Saturday 2 March 2019

INTEGRITAS DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN

INTEGRITAS DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN
Aktivitas bisnis adalah tentang pengambilan keputusan. Tidak ada yang dapat dilakukan di dalam suatu kegiatan bisnis tanpa melakukan pengambilan keputusan yang bentangnya sangat lebar, dari yang sifatnya mayor hingga minor, dari yang berkaitan murni keuntungan bisnis hingga berkaitan dengan moral. Berbicara tentang moralitas di dalam organisasi, integritas telah menjadi salah satu istilah penting dalam etika bisnis yang terus dibahas dan digunakan penerapannya di dalam organisasi.

masyarakat, atau organisasi di mana seseorang berada. Hal ini menjadikan integritas suatu hal yang relatif tergantung pada lingkup peran seseorang. Dalam sudut pandang ini, bahkan seseorang yang mangkir dari tugasnya di kantor demi pergi bertamasya untuk memuaskan kesenangan pribadi tetap dapat dikatakan berintegritas. Hal ini disebabkan karena konsep ini menekankan integritas sebagai kesesuaian tindakan seseorang dengan prinsip atau nilai tertentu yang dipilihnya.

Konsep ini agaknya akan menemui kesulitan ketika seorang yang mangkir tersebut dibandingkan dengan dengan karyawan lain yang disiplin terhadap tugas yang diberikan kepadanya. Keduanya dapat dikatakan berintegritas meski berada pada konteks yang berbeda dan ini tampak tidak adil. Meski demikian, satu hal yang penting dicatat dari konsep ini adalah bahwa integritas meliputi komitmen seseorang terhadap suatu prinsip.

Integritas juga telah didefinisikan dengan menekankan konsistensi moral, keutuhan pribadi, atau kejujuran (di dalam bahasan akademik misalnya) (Jacobs, 2004). Di dalam penelitian di bidang seleksi karyawan, tes terhadap integritas dilakukan dengan mengukur beberapa variabel yang di antaranya adalah kejujuran dan penalaran moral (Berry, Sackett, Wiemann, 2007; Ones, Viswesvaran, Schmidt, 1995). Kejujuran seakan menjadi bagian tak terpisahkan dari bahasan tentang integritas. Di dalam literatur tentang organisasi dan sumber daya manusia, integritas paling sering dikaitkan dengan kejujuran individu (Yulk & Van Fleet, 1992).

Hal yang sama juga dilakukan oleh Butler dan Cantrell (1984, di dalam Hosmer, 1995) yang mengartikan integritas sebagai reputasi dapat dipercaya dan jujur dari seseorang untuk menjelaskan istilah “kepercayaan” di dalam konteks organisasi. Integritas juga ditempatkan sebagai sebagai inti etika keutamaan yang digagas oleh Solomon (1992) dengan menyebut integritas tidak hanya tentang otonomi individu dan kebersamaan, tetapi juga loyalitas, keserasian, kerjasama, dan dapat dipercaya.

Meski demikian, apakah memang integritas dapat disamakan dengan kejujuran ataukah sifat dapat dipercaya? Lain lagi, DeGeorge (1993) berpendapat bahwa bertindak dengan integritas dan bertindak etis adalah sinonim, meski secara literal tidak ada konotasi moral di dalamnya. Satu hal yang tidak menjadi kontroversi di dalam literatur etika bisnis tentang konsepsi istilah integritas mungkin hanyalah bahwa integritas adalah suatu hal yang baik dan penting di dalam kehidupan organisasi (Audi & Murphy, 2006).

Integritas Sebagai Bentuk Loyalitas
Dalam etika objektivisme, integritas diartikan sebagai loyalitas terhadap prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang rasional (Peikoff, 1991). Meski objektivisme sendiri sebenarnya mendapat banyak kritik ketika digunakan sebagai pondasi dasar pengembangan etika karena sifat etikanya yang egoistik (lihat Rand, 1964; dan keberatan terhadap objektivisme dalam Barry & Stephens, 1998), aksioma objektivisme dapat membantu mengembangkan konsep integritas. Pada intinya, objektivisme menekankan bahwa realitas berada terpisah dari kesadaran manusia dan manusia yang berkesadaran itu berhubungan dengan realitas melalui akal budinya melalui proses pembentukan konsep dan logika. Dan karena memiliki kesadaran dan akal budi, manusia memiliki kemampuan untuk berpikir atau tidak berpikir, dan karenanya dapat memilih alternatif-alternatif tindakan yang ada.

Hasil identifikasi isu-isu moral menghasilkan suatu gambaran dilema moral beserta alternatif tindakan yang dapat dilakukan. Pengambilan keputusan tindakan mana yang sebaiknya diambil bukanlah sebuah proses pemilihan secara acak. Pemutusan harus berdasarkan penalaran yang tepat yang memperhatikan prinsip-prinsip moral yang relevan di dalam proses penalaran etis. Alternatif tindakan yang telah diambil pun membutuhkan ketetapan hati maupun dorongan untuk melakukannya. Itulah yang disebut motivasi etis yang kemudian diikuti oleh implementasi etis di mana alternatif tindakan yang dipilih dilakukan secara nyata.

Integritas terjadi ketika implementasi tindakan yang dilakukan konsisten dengan prinsip moral yang digunakan sebagai pegangan dalam membuat keputusan di tahap penalaran etis yang di dalamnya kesadaran moral berperan secara dominan. Itu sebabnya konsistensi terhadap prinsip moral disebut sebagai integritas moral. Kohlberg (1995) menekankan pentingnya perhatian kepada kesadaran moral ini untuk memahami bagaimana keputusan etis diambil dan juga alasan etis mengapa seseorang mengambil keputusan tertentu (Rest, 1986; Trevino, 1992). Satu hal yang mendasar dari konsep ini adalah bahwa kesadaran moral tidak ditentukan oleh perasaan, melainkan oleh kemampuan intelektual, yaitu kemampuan untuk memahami dan mengerti sesuatu secara rasional (Magnis-Suseno, 2000).

Dalam menjelaskan teori ini, Kohlberg tidak berbicara tentang prinsip moral tertentu, tidak bicara tentang apa yang benar dan tidak secara moral, melainkan meneliti kompetensi untuk memberikan penalaran etis. Ia tidak mengatakan apakah tindakan seorang nenek mencuri susu demi cucunya yang kelaparan, misalnya, adalah etis atau tidak etis, melainkan apakah tindakan mencuri susu itu disetujui ataupun tidak disetujui dibenarkan secara memadai (Arbuthnot & Faust, 1980).

Di dalam tipologi yang dikembangkan oleh Kohlberg, ada tiga tingkat dasar penalaran berbeda terhadap isu moral, yang masing-masing dinamai tingkat pre-conventional, conventional, dan postconventional. Tiap tingkatan tersebut masing-masing memiliki dua tahap yang menjadikan seluruhnya ada enam tahap penalaran. Semua tingkat dan tahap ini dapat dipandang sebagai pemikiran moral sendiri, pandangan yang berbeda mengenai dunia sosio-moral (Crain, 1985).

Pada tingkat pre-conventional, yang meliputi tahap 1 dan 2, seorang individu memahami pengertian benar dan salah berdasarkan konsekuensi yang diterimanya, misalnya hukuman, hadiah, atau pemenuhan kebutuhan pribadi. Secara ringkas, tahap pertama digambarkan sebagai orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman. Pada tahap pertama, seseorang mengasosiasikan penilaian baik dan buruk dengan konsekuensi fisik dari suatu tindakan.

Ketika seseorang menerima hukuman atasl. tindakannya, maka ia akan memahami bahwa tindakannya itu salah. Dibandingkan dengan modus penalaran tahap pertama, tahap kedua merepresentasikan penalaran yang menilai apa yang baik itu dalam rangka pemenuhan kepentingan pribadi seseorang. Orang mulai dapat memahami bahwa orang lain memiliki kebutuhan individualnya sendiri dan bahwa organisasi sosial dibangun atas dasar pertukaran seimbang antara kepentingan satu orang dengan kepentingan orang lain. Baik penalaran pada tahap pertama dan kedua ini bersifat egosentrik.

Pada tingkat konvensional, yaitu tahap 3 dan tahap 4, individu memahami benar atau tidak secara moral sebagai kesesuaian keputusan yang diambil dengan harapan orang lain atas dirinya, baik dalam menolak menerima uang suap karena ia terikat sumpah jabatan institusinya (kesadaran moral tahap 4) dapat dikatakan berintegritas? Ini adalah pertanyaan penting yang perlu dipecahkan untuk menjawab bagaimana integritas moral harus dimaknai.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, tidak seperti Mayer, Davis, & Schoorman (1995) dan TrevinyoRodríguez (2007), para kaum obyektivis menilai bahwa tindakan berintegritas moral harus mengacu kepada prinsip dan nilai moral yang objektif, terlepas dari kerangka individu, sosial, maupun organisasi. Obyektivitas prinsip dan nilai moral itu mengandaikan bahwa prinsip dan nilai moral itu berada terlepas dari kesadaran manusia sehingga eksistensinya berdiri secara otonom dari eksistensi manusia.

Manusia menangkap prinsip dan nilai moral melalui akal budinya dan kemampuannya untuk memilih. Kedua, obyektivitas prinsip dan nilai moral harus mengandaikan bahwa prinsip dan nilai moral itu karenanya bersifat universal, yaitu berlaku bagi semua manusia dan melampaui batasan waktu. Ada atau tidaknya kesepakatan dan persetujuan publik tentang suatu prinsip dan nilai moral tidak mempengaruhi keberadaan prinsip dan nilai moral tersebut.

Konsep ini bersama dengan teori tahap perkembangan kesadaran moral akan berujung pada kesimpulan bahwa integritas moral baru dapat terpenuhi ketika keputusan dan perilaku seseorang dilandasi oleh pemahaman prinsip moral pada tahap perkembangan moral keenam. Pada tahap keenam ini, orientasi nilai integritas benar-benar mengarah kepada prinsip moral universal yang secara otonom dipilih dan dijadikan pegangan (Wisesa, 2009).

Pada tahap ini, misalnya, seorang mahasiswa memilih untuk tidak mencontek bukan karena enggan menerima konsekuensi nilai nol, atau ikut-ikutan teman-temannya, atau kewajiban sebagai mahasiswa, atau lainnya, tetapi karena loyalitas kepada nilai kejujuran. Nilai kejujuran sendiri adalah salah satu prinsip moral universal yang kepadanya norma-norma moral di tatanan masyarakat dan budaya mengacu. Apa yang secara etis benar di tahap keenam adalah bertindak sejalan dengan prinsip-prinsip yang dipegang secara otonom yang mencakup lingkup seluruh manusia pada seluruh kurun waktu. Prinsip universal ini diikuti bukan karena disetujui secara komunal di dalam kontrak sosial, tetapi karena berasal dari kesamaan hak asasi manusia dan rasa hormat terhadap kemanusiaan dan martabat individu.

Bagaimana menentukan apakah suatu tindakan sejalan dengan apa yang dipercaya berlaku secara universal? Kohlberg mengajukan dua konsep etika yang sejalan dengan modus yang dimaksudkannya di dalam tahap keenam, yaitu the golden rule dan imperatif kategoris. The golden rule berisi aturan yang menganjurkan seseorang untuk tidak melakukan pada orang lain apa yang ia tidak mau orang lain lakukan kepada dirinya. Aturan ini dibangun di atas konsep kesamaan derajat, harkat, dan martabat semua manusia. Semua orang setara dan memiliki nilai kemanusiaan yang sama tanpa memandang latar belakang ras, suku bangsa, usia, jenis kelamin, pekerjaan, status, dan lainnya. Oleh karena itu semua orang harus menghargai orang lain setidaknya sama seperti ia menghargai dirinya.

Imperatif kategoris sendiri adalah konsep yang dipopulerkan oleh Immanuel Kant (1785/1996). Meski mirip dengan the golden rule, tetapi keduanya berbeda. The golden rule menuntut bahwa tindakan seseorang disesuaikan dengan standar dirinya sendiri, sebaliknya imperatif kategoris mengandaikan standar yang berlaku di mana pun dan kapan pun. Ia menyatakan bahwa seseorang harus selalu.

Hal ini juga sekaligus menjadi bantahan bagi DeGeorge (1993) yang berpendapat bahwa bertindak dengan integritas dan bertindak etis adalah sinonim. Bertindak dengan integritas memang dapat dipahami sebagai sebuah tindakan etis, bahwa bertindak dengan integritas diharapkan dan dinilai memiliki kadar moral oleh masyarakat, tetapi terlalu cepat bila mengatakan bahwa bertindak dengan integritas bersinonim dengan bertindak etis. Bertindak etis mengandaikan adanya tindakan, yaitu aktualisasi ide tentang moralitas ke dalam tindakan.

Meskipun di satu sisi kebaikan itu memiliki nilai absolut, tetapi di sisi lain kebaikan itu dapat bernilai relatif. Hal ini sebenarnya tergambar di dalam teori perkembangan moral Kohlberg, perilaku yang sama dapat memiliki kadar moral yang berbeda tergantung dari kapasitas moral kognitif seseorang yang melakukannya. Berbicara jujur, misalnya, dapat dikategorikan sebagai sebuah tindakan etis. Hanya saja nilai moral dari tindakan tersebut bernilai moral berbeda, misalnya ketika tujuan dari berbicara jujur itu dilakukan demi mendapatkan pujian bila dibandingkan berbicara jujur yang dilakukan demi nilai kejujuran itu sendiri. Kedua, di lain pihak, perilaku yang sama dapat dipersepsi berbeda kadar moralnya oleh orang atau masyarakat yang berbeda.

Kejujuran meski memiliki nilai moral universal, tetapi prinsip moral yang diturunkan darinya, seperti misalnya berbicara jujur tidak selalu dipandang sebagai tindakan etis. Dapat dikatakan bahwa tindakan etis mengacu kepada prinsip moral yang berlaku pada sistem sosial tertentu. Pada titik ini tindakan etis tidak selalu bersinonim dengan bertindak dengan integritas karena bertindak dengan integritas mengandaikan tindakan yang mengacu kepada prinsip dan nilai moral yang universal. Dengan demikian, tidak tepat bila menyamakan bertindak dengan integritas dengan bertindak etis.

Daftar Pustaka;
  • Kohlberg, L. (1995). Tahap-tahap Perkembangan Moral, diterjemahkan oleh John de Santo dan Agus Cremers, Yogyakarta: Kanisius.
  • Magnis-Suseno, F. (2000). 12 Tokoh Etika Abad Ke-20, Yogyakarta: Kanisius. 
  • Mayer, R. C., Davis, J. H., dan Schoorman, F. D. (1995). “An Integrative Model of Organizational Trust”, Academy of Management Review, Vol 20, pp 709-734.
  • McFall, L. (1987). “Integrity”, Ethics, Vol 98, pp 5-20.
  • McShane, S. L. dan M. A. Von Glinow (2003). Organizational Behavior, 2 ed, Boston: McGraw-Hill Irwin. 
  • Morrison, A. (2001). “Integrity and Global Leadership”, Journal of Business Ethics, Vol. 1 (May), pp 65- 76.
  • Ones, D. S., Viswesvaran, C., dan Schmidt, F. L. (1995). “Integrity Tests: Overlooked Facts, Resolved Issues, and Remaining Questions”, American Psychologist, Vol. 50, pp 456-457.
  • Paine, L. S. (1994). “Managing for Organizational Integrity”, Harvard Business Review, March-April, pp 106-117.

PERSONAL INTEGRITAS DENGAN KEPEMIMPINAN

PERSONAL INTEGRITAS DENGAN KEPEMIMPINAN
Pengertian Integritas Konon, orang-orang Tiongkok kuno merasa tidak aman dengan kelompok Barbar Utara, mereka sering menghadapi serangan dari kaum Barbar itu. Jadi ada semacam permusuhan di antara mereka. Orang-orang Tiongkok kuno menginginkan rasa damai dengan kelompok Barbar tersebut, maka mereka pun membangun tembok besar yang cukup tinggi. Dengan itu mereka yakin bahwa tidak seorang pun bisa memanjat tembol itu, tembok itu sangat tebal sehingga tidak mudah untuk dihancurkan. Terjadi bahwa selama seratus tahun sejak tembok itu dibangun ada setidaknya tiga kali serangan musuh dialami oleh Tiongkok, tetapi tidak ada satu orang pun berhasil masuk melewati tembok itu karena tinggi, tebal, dan sangat kuat. Suatu ketika, musuh menyuap penjaga pintu gerbang perbatasan itu. Yang terjadi kemudian adalah musuh berhasil masuk dan melakukan penyerangan. Orang Tiongkok kuno itu berhasil membangun tembok batu yang kuat dan dapat diandalkan namun gagal membangun integritas pada generasi berikutnya. Seandainya, penjaga pintu gerbang tembok itu memiliki integritas yang tinggi, ia tidak akan menerima uang suap, yang tidak hanya menghancurkan dirinya melainkan juga orang lain.

Integritas adalah sesuatu yang terkait langsung dengan individu, bukan dengan kelompok atau organisasi. Kepemilikan integritas hanya bisa dikatakan kepada individu, bukan kepada keluarga, orangtua atau saudara. Integritas seorang ayah tidak serta merta menjadi integritas anaknya. Dalam cerita tersebut, kerapian kerja kelompok, berhasil membangun tembok yang baik dan kuat, tidak serta merta menjamin bahwa individu-individu yang ada di dalamnya juga otomatis memiliki ketahanan diri yang kuat. Penguatan utama yang mesti dilakukan adalah penguatan diri individu, yang menguatkan diri masing-masing aggota kelompok atau generasi berikutnya, untuk memiliki integritas diri yang baik dan kuat.

Dari cerita, integritas diri dapat diartikan sebagai suatu ketahanan diri untuk tidak tergoda berbagai desakan untuk memikirkan dan mengutamakan kepentingan dan atau keuntungan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan dan nasib orang banyak, dengan tanggung jawab hal itu sedang berada di tangannya. Integritas diri berkaitan dengan sikap selalu mengedepankan tanggung jawab, kepercayaan, dan kesetiaan terhadap janji. Integritas berkaitan dengan kemampuan menahan dan mengendalikan diri dari berbagai godaan yang akan menghancurkan harkat dan martabat mulia diri sendiri. Orang yang memiliki integiritas adalah orang yang bisa diandalkan, dipercaya, dan diteladani.

Kata integrity memiliki konotasi etis, dan menurut Minkes, et al. (1999), perilaku etis berkaitan dengan “ought” atau “ought not”, bukan hanya “must” dan “must not”. Oleh karena itu terdapat ukuran-ukuran lain yang terletak di belakang apa yang dituntut hukum atau ukuran-ukuran lain yang lebih mentitikberatkan pada pertimbangan keuntungan. Jadi masalah integritas tidak bisa dibatasi hanya pada hal-hal yang kelihatan saja atau yang dapat diukur dari sudut pandang butir-butir hukum. Perilaku yang dapat diamati dan dianggap sesuai dengan aturan atau hukum, belum tentu juga etis.

Integritas adalah suatu konsep yang biasanya digunakan dalam diskusi formal dan informal tentang leadership dan teori-teori organisasi, namun demikian tidak begitu jelas dirumuskan dan dimengerti (Rieke & Guastello, 1995). Sebagai contohnya, dalam literatur yang ada, kata seperti integrity, honesty, and conscientiousness sering tidak dibedakan, dan cenderung digunakan sebagai istilah yang dapat dipertukarkan tanpa keterangan lebih lanjut (Becker, 1998).

Kajian Dasar Pemahaman Integritas melekat dalam tradisi relativisme moral, yang pemahaman tentang perilaku yang dianggap baik bisa bervariasi di antara manusia, budaya, dan zaman. Secara filosofis, relativisme seperti itu tentu saja dapat bertahan, namun paling tidak dalam praktiknya hal itu menjadi hal yang problematis. Kepemimpinan Adolf Hitler memperlihatkan contoh ekstrem. Walaupun banyak orang akan setuju bahwa dia tidak memiliki integritas, anggota Nazi pada zaman itu barangkali merupakan orang-orang yang setuju bahwa dia memiliki integritas. Atas dasar itu, penelitian sekarang ini mendukung definisi tentang integritas yang diberikan oleh Becker (1998:157-158), yang menyatakan “integrity is commitment in action to a morally justifiable set of principles and values.” Dalam definisi ini pembenaran moral dari sudut pandang objektif integritas didasarkan atas kebenaran universal ketimbang sekadar setuju atas serangkaian pandangan moral dan nilai-nilai individu atau kelompok (Becker, 1998).

Penilaian terhadap integritas tidak bisa hanya didasarkan pada tolok ukur yang digunakan oleh masing-masing individu atau kelompok atau budaya saja. Ada bahaya ketika suatu perilaku individu yang sesungguhnya sangat dicela oleh banyak orang, tetap ada saja orang atau kelompok atau budaya tertentu yang menganggapnya sebagai hal yang terpuji. Relativisme moral seperti ini tidak dapat dipertahankan. Sesuatu yang dianggap baik itu harus bisa dibuka dan tahan uji atas penilaian masyarakat umum. Harus bisa ditemukan alasan rasional dan masuk akal sehat atas suatu sikap atau perilaku yang dinilai sebagai baik, yang mengatasi berbagai pandangan terbatas individu atau budaya tertentu. Demikian juga sebaliknya, harus bisa diberikan alasan yang masuk akal mengapa suatu perbuatan dianggap tidak baik dari sudut etis, dan tidak boleh berhenti pada alasan karena kebiasaan semata. Perihal integritas tidak hanya berdasarkan kebiasaan, melainkan lebih sebagai pilihan sadar dan disengaja, dengan maksud dan tujuan tertentu. Ketika sesuatu hal sering dilakukan memang akan berkembang menjadi kebiasaan. Namun berhubung setiap situasi adalah unik, maka kebiasaan itu tidak diterapkan secara sama. Selalu ada tanggung jawab pribadi untuk setiap situasi harus memilih untuk bertindak apa berdasarkan prinsip-prinsip etis yang umum diterima.

Penilaian atas integritas tidak bisa hanya didasarkan pada sikap atau perilaku yang kelihatan saja karena tidak selalu bahwa tindakan yang diperlihatkan oleh seseorang merupakan penampakan atau wujud konkret atau ekspresi dari sikap moral atau pilihan dasar moralnya. Walaupun perilaku yang kelihtan di luar sering merupakan ungkapan dari apa yang ada di dalam pikiran atau hati seseorang, selalu saja bisa ada gap (jurang) antara apa yang ada di dalam (pilihan sikap moral) dengan tindakan yang diperlihatkan di luar. Di sini peran niat atau motif dari dalam sangat menentukan. Integritas terutama terkait dengan niat atau motif seseorang dalam melakukan sesuatu. Niat atau motif yang tidak baik bisa saja dicapai atau diwujudkan dengan pilihan tindakan yang secara umum dinilai atau kelihatan baik. Orang yang kelihatan menolong orang lain, membagi-bagikan uangnya kepada orang yang susah/menderita, dengan mudah akan dinilai sebagai orang baik. Padahal jika ditelusuri lebih dalam, ternyata di balik tindakan-tindakannya itu dia memiliki niat atau motif yang tidak baik, yakni ingin menguasai banyak orang, mau berkuasa atas orang-orang lain.

Demikian juga halnya bisa terjadi orang dengan sengaja melakukan tindakan tidak baik namun dengan tujuan yang baik. Ilustrasinya dapat dilihat dalam film Robin Hood, yang mencuri demi menolong orang-orang miskin. Dia mencuri kepada orang-orang kaya, sehingga tindakannya itu tidak selalu mendatangkan penderitaan kepada orang-orang kaya itu, karena yang dapat dicurinya itu hanya sedikit saja dan barangkali tidak terlalu berarti bagi mereka. Namun hasil curiannya itu menjadi sangat berarti bagi orang-orang miskin yang menerimanya. Dalam sejarah pemikiran moral sikap seperti ini pernah dianggap sebagai sikap moral yang baik, finis instificat medium, tujuan menghalalkan cara, tujuan yang baik membuat cara yang ditempuh untuk itu menjadi baik. Dalam pandangan seperti ini menilai suatu tindakan yang secara umum kelihatan buruk tidak bisa secara langsung dijadikan dasar untuk menilai pelaku tindakan itu sebagai manusia buruk juga, karena penentu utama adalah niat atau motif di balik atau yang melatarbelakangi tindakan yang kelihatan itu. Hal yang penting bukanlah tindakan, melainkan niatnya mau menjadi orang baik, yang berusaha mencapai tujuan baik. Bukan terutama what should I do? melainkan what kind of person should I be? Jadi bukan hanya bahwa perbuatan saya baik, melainkan lebih dari itu bahwa saya sendiri orang baik.

Pandangan yang terakhir dikemukakan pernah mendapat tempat bahkan kejayaan dalam sejarah pemikiran moral. Sekarang pandangan seperti itu tidak dianut lagi. Tujuan yang baik harus juga ditempuh dengan cara yang baik. Tidak pernah cara yang buruk berubah menjadi baik karena tujuan yang ingin dicapai di dalamnya baik. Perbuatan atau tindakan jahat tetap jahat dan tidak menjadi baik karena tujuannya baik. Jika orang mau mencapai tujuan yang baik, dia harus juga memikirkan dan memilih jalan atau cara yang baik untuk mencapainya. Orang yang berintegritas selalu memikirkan untuk mengedepankan tujuan baik sekaligus menempuh cara-cara yang baik untuk mencapainya. Pertama-tama dia mau menjadi orang baik, what kind of person should I be, dan jika dia benar-benar orang baik maka semua tindakan-tindakannya pun harus baik. Jika orang tersebut masih memperlihatkan tindakan-tindakan tidak baik, pantas diragukan bahwa dia benar orang baik. Tindakan-tindakan baik yang dilakukan oleh seseorang, jika dia memang orang itu baik, hal itu merupakan ekspresi dari diri pribadinya yang memang baik.

Hal lain yang bisa terjadi bahwa orang dapat khilaf atau lalai, sehingga melakukan tindakan yang tenyata tidak baik. Di sini perlu hati-hati untuk menjatuhkan vonis dengan langsung menilai orang tersebut sebagai orang tidak baik, yang tidak memiliki integritas diri. Di sini selalu perlu dilihat apakah yang bersangkutan memang memiliki niat atau motif serta sengaja melakukan tindakan tersebut atau tidak. Jika sungguh di luar niat dan kesengajaan, apalagi segera disusul dengan penyesalan dan niat baik untuk memperbaiki diri, kita tidak boleh langsung menyimpulkan bahwa orang bersangkutan adalah orang tidak baik, yang tidak memiliki integritas diri. Tentu kita tidak juga langsung mengklaim bahwa orangnya baik dan menutup mata atas tindakan buruk yang telah dilakukannya. Seraya tidak memvonisnya sebagai orang baik atau orang jahat, kita perlu melihat bagaimana orang tersebut sesudahnya, apakah dia sanggup memperlihatkan bahwa dia adalah orang baik atau tidak. Jadi peri hidupnya ke depan akan menjelaskan hal itu.

Integritas dalam Dunia Kerja
Dalam dunia kerja, kata integritas bukan hanya masalah kejujuran, masalah etis dan moral, bahwa orang tidak berbohong atau tidak melakukan hal-hal tidak bermoral. Integrity berkaitan juga dengan kinerja, suatu pencapaian hasil baik yang dicapai dengan selalu menjunjung tinggi kejujuran dan nilai-nilai moral lainnya. Kata integrity berasal dari akar kata “integrated”, yang berarti berbagai bagian dari karakter dan keterampilan berperan aktif dalam diri kita, yang tampak dari keputusankeputusan dan tindakan-tindakan kita (Lee, 2006). Untuk dapat menghasilkan kinerja baik di tempat kerja, seseorang harus memiliki dalam dirinya kemampuan-kemapuan seperti, jujur, berani, berdaya juang, membangun hubungan baik, pandai mengorganisasikan diri sendiri, teratur, dan terencana dengan baik.

Integritas harus dapat menyumbang pada perbaikan kehidupan, dan dalam konteks dunia kerja berarti perbaikan kinerja. Itu berarti integritas tidak hanya bersifat negatif saja, sekadar untuk tidak berbohong, tidak curang, atau tidak melakukan hal-hal yang tidak bermoral. Integritas harus juga memiliki sifat positif, yakni berbuat sesuatu untuk menghasilkan sesuatu, dengan suatu kualitas moral di dalamnya. Integritas diri harus mendorong pencapaian hasil baik dari diri sendiri, entah berupa kinerja baik atau pencapaian hal-hal baik dalam kehidupan. Jadi sifat negatif dan positif itu harus berjalan bersama. Seraya seseorang berusaha untuk tidak berbohong, tidak curang (mengendalikan diri), dia juga harus berbuat sesuatu untuk memperlihatkan hasil atau pencapaian yang baik. Hal yang pertama, yang sifatnya negatif itu, suatu tindakan menaham dan mengendalikan diri itu, barulah tahap minimal dari perwujudan integritas, tahap maksimalnya justu dicapai ketika sifat positifnya itu muncul, berupa tindakan-tindakan baik yang menghasilkan sesuatu dengan kualitas baik. Umumnya dianggap bahwa tahap minimal itu berupa penghindaran (menahan dan mengendalikan diri) untuk berbuat yang tidak baik merupakan hal utama dalam hal integritas dan sifatnya wajib, sedangkan tahap maksimalnya, suatu tindakan menghasilan sesuatu yang berkualitas, merupakan harapan atau himbauan. Tapi dalam kaitan dengan dunia kerja, maka tahap maksimal itu bukan hanya himbauan atau harapan saja, melainkan suatu tuntutan, keharusan.

Dengan demikian, ada berbagai sifat-sifat pribadi dan kemampuan tertentu yang mesti digabungkan dengan kejujuran dan berbagai sikap positip lainnya untuk bisa menghasilan apa yang disebut integrity. Semuanya itu akan menghantar pada keberhasilan di tempat kerja. Jadi perihal kompetensi dalam bidangnya merupakan juga bagian dari integrity. Tanpa adanya kompetensi maka sulit untuk menunjukkan integritas itu sendiri, sementara kompetensi sendiri akan sulit berwujud kinerja baik tanpa disertai bagian-bagian dari karakter, yang mendorongnya untuk bisa mencapai hasil yang baik dan dengan cara yang baik (bandingkan Simon, 2007; 2011).

Berbiacara mengenai integritas di tempat kerja tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang kompetensi yang dimiliki oleh seseorang untuk bisa menghasilkan kinerja baik di tempat kerja. Kedua hal itu saling mendukung. Orang dikatakan makin memiliki integritas, dia makin memerhatikan kompetensinya juga; dan sebaliknya, orang makin memiliki kompetensi yang baik dia juga memerhatikan integritasnya. Orang yang memiliki kompetensi yang baik namun tidak memiliki integritas, maka kemampuan (kompetensi) yang baik itu bisa tidak menghasilkan kinerja atau hasil kerja yang baik. Demikian juga sebaliknya, orang yang memiliki integritas yang baik, namun tidak memiliki kompetensi yang baik, juga tidak bisa diharapkan menghasilkan kinerja yang baik pula.

Sukses berkarier dan integritas berjalan bersamaan. Seseorang yang memiliki integritas dapat menunjukkan bahwa mereka membuat pilihan-pilihan etis dalam kehidupan kerja mereka tiap hari. Orang-orang ini sering keluar sebagai pemenang dalam arti yang sesungguhnya dalam persaingan karir. Mereka yang memiliki bawahan, perlu lebih aktif menginspirasi bawahan mereka. Mereka aktif mempromosikan integritas melalui sikap dan tindakan pribadi mereka, kepercayaan dan komitmen pada nilai inti organisasi (Gauss, 2000). Secara lebih jelas hal ini dikemukakan oleh Simons (2002), bahwa integrity merupakan sebuah pola yang kelihatan dimana adanya kesamaan antara kata dan pebuatan. Atau dengan kata lain, suatu kenyataan bahwa seorang pemimpin dapat dilihat dengan jelas ketika dia melakukan apa yang dia katakan. Ketentuan penting dalam hal integritas adalah bahwa dalam kenyataannya seorang pemimpin menepati janjinya, dan memperlihatkan nilai-nilai yang selalu dijunjungnya.

Daftar Pustaka;
  • Bakker, A. B. & Schaufeli, W. B. (2008). Positive organizational behaviour: Engaged employees in flourishing organizations. Journal of Organizational Behavior, 29, 147–154.
  • Becker, T (1998). Integrity in organization: beyond honesty and conscienstiousness. Academic of Management Review, 23(1), 154–161.
  • Gauss, J. W. (2000, Aug). Integrity is integral to career success. Healthcare Financial Management, 54(8), 89
  • Holian, R. (2002). Management decision making and ethics: Practices skills and preferences. Management Decision, 40(9), 862.
  • Kanungo, R. N. and M. Mendonca (1996). Ethical Dimenstion of Leadership. CA: Sage, Thousand Oak.