Wednesday 29 March 2017

Wacana Integrasi dalam Studi Islam

Wacana Integrasi dalam Studi Islam
Dalam polarisasi sikap yang seperti itulah, dua sistem pengetahuan berjalan secara bersamaan. Pengetahuan modern dengan sistem sekulernya, dan pengetahuan Islam dengan orientasi ukhrawi-nya. Orientasi dikotomik ini, terus meluas pada pola pendidikan yang semakin mempersulit umat Islam untuk mencairkannya.

Diantara tokoh yang mencoba mencairkan ilmu yang dikotomik tersut adalah, Pertama, Ismail Raji al-Faruqi. Ia pernah menulis sebuah buku berjudul Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan diterbitkan oleh International Institute of Islamic Thought, pada tahun 1982. ia termasuk pemikir Muslim pertama yang mencetuskan gagasan perlunya Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Gagasan utamanya sebenarnya adalah pada teori kesatuan pengetahuan (tauhid), yaitu disiplin untuk mencari objektivitas yang rasional dan pengetahuan yang kritis mengenai kebenaran; kesatuan hidup, segala disiplin harus menyadari dan mengabdi kepada tujuan penciptaan; dan kesatuan sejarah, segala disiplin akan menerima yang ummatis atau kemasyarakatan dari seluruh aktivitas manusia, dan mengabdi pada tujuan-tujuan ummah di dalam sejarah.

Ziauddin Sardar, mencoba menegaskan bahwa sains Islam bukan untuk mencari kebenaran akan tetapi melakukan penyelidikan sains menurut kehendak masyarakat Muslim yakin berdasarkan etos Islam yang digali dari Alquran. Menurut Sardar, justru pada setiap sains memiliki sarat nilai (value bounded) dan kegiatan sains lazim dijalankan dalam suasana pemikiran atau paradigma tertentu.

Sementara Syed Muhammad Naquib al-Attas, memformulasikan gerakan integrasi sain dan agama ini kedala dua langkah, pertama, melakukan pemisahan terhadap istilah-istilah atau elemen-elemen mendasar pada metode-metode sains Barat. 

...Dalam menilai, kita harus menguji secara kritis metode-metode ilmu modern; konsep-konsep, teori-teori, dan simbol-simbolnya; aspek-aspek empiris dan rasional serta aspek-aspek yang bersinggungan dengan nilai dan etika; interpretasinya mengenai asal-usul; teorinya mengenai ilmu pengetahuan; pemikirannya mengenai eksistensi dunia nyata, keseragaman alam raya, dan rasionalitas proses-proses alam; teorinya mengenai alam semesta; klasifikasinya mengenai ilmu; batasan-batasan serta kaitannya antara satu ilmu dan ilmu-ilmu lain serta hubungan sosialnya.

Kedua, memasukkan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci Islam ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Dalam hal ini, lihat pernyataan

Di Indonesia, proyek Islamisasi, pada akhirnya dimaknai dengan mendirikan Madrasah dan UIN. Tetapi konsep pemaknaan ini, justru menimbulkan sikap ambivalensi umat Islam. Karena integrasi ilmu tersebut tidak berangkat dari dua sistem ilmu tanpa konsep Sehingga menghasilkan pola integrasi yang “setengah hati”. Hal ini, dapat kita lihat bagaimana upaya Abduh ketika akan melakukan “modernisasi” pendidikan al-Azhar, yaitu hanya “sekedar” memasukkan beberapa pelajaran umum yang telah dipelajari Barat. Hal ini, menurut Syed S. Hussain dan Syed Ali Asyraf tetap saja melahirkan dua sistem pendidikan. Yang pada akhirnya, persaingan dari dua sistem tersebut justru akan melemahkan dasar-dasar masyarakat Muslim.

Seperti apa yang pernah di lontarkan Ziaudin Sardar sementara para ilmuwan Barat menggunakn hanya pada satu macam metode ilmiah yaitu observasi, para pemikir muslim menggunakan tiga macam metode sesuai dengan tingkat atau hierarki objek-objeknya yaitu 1) metode observasi sebagaimana yang telah digunakan oleh teori Barat atau biasa di sebut dengan Bayani atau Tajribi, 2) metode logis atau demontratif yang disebut dengan Burhani, 3) metode intuitif atau yang biasa disebut dengan Irfani yang masing-masing bersumber pada indra,akal dan hati.

1. Metode observasi
Metode observasi adalah metode eksperimen yang berkaitan dengan pengamatan indrawi yang tentunya sanat cocok atau sesuai dengan objekobjek fisik, al kindi misalnya di kenal bukan hanya sebagai seorang filosof melainkan ilmuan yang menggunakan metode observasi di laboratium kimia dan fisikanya.

2. Metode demontratif
Metode demontratif atau burhani pada dasarnya adalah metode logika atau penalaran rasional yang di gunakan untuk menguji kebenaran dan kekliruan dari sebuah penyataan atau teori-teori ilmiah dan filosofis dengan cara memperhatikan keabsahan dan akurasi pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah.

Menurut para filosof metode burhani di gunakan dalm penelitian ilmiah dan filosofis sekalipun di ketahui bahwa kadang-kadang mereka juga menggunakan metode dealikta yang biasanya di gunakan oleh para teologi perbedaan antar keduanya terletak pada dasar premis mereka, premis demonstratisf didasarkan pada pengetahuan ilmiah sementara premis-premis dealikta opini

3. Metode intuitif
Kalau metode bayani berkaitan dengan indrawi, metode burhani berkaitan dengan akal maka intuitif sesuai dengan namanya berkaitan dengan intuisiatau hati (qalb).

Metode pendekatan intuitif biasanya juga disebut metode dzauqi ada juga yang menyebut presensial karena objek-objeknya hadir dalam jiwa seseorang bisa dialami langsung oleh pelakunya, modus ilmu seperti ini biasanya disebut ilmu hudhuri (knowlegde by presense).

Dalam dunia Islam dihiasi oleh karya-karya mistik yang agung dan sangat inspirasional seperti Fushus al-Hikam dan al-Futuhat al-Makiyah karangan ibn Arabi, Manthiq at-Thoir karangan Faridudin Atthar, al-Matsnawi al-Ma’nawi karya Jalaludin ar Rumi.

Dalam sains Islam juga tidak bebas nila. Hal ini sebagaimana yang digambarkan oleh Munawar Ahmad Anees, yang menyatakan bahwa sains Islam bukanlah:
  1. Sains yang diislamkan, karena epistemologi dan metodologinya adalah produk ajaran Islam yang tidak bisa direduksi ke dalam pandangan Barat yang sempit.
  2. Reduktif, karena paradigma makro absolut Tauhid mengikat semua pengetahuan dalam sebuah kesatuan organik.
  3. Anakronistik (menyalahi zaman), karena ia diperlengkapi dengan kesadaran masa depan yang disampaikan melalui sarana dan tujuan sains.
  4. Dominan secara metalologis, karena ia mengizinkan pengembangan metode bebas secara mutlak di dalam nonma-norma Islam yang universal.
  5. Terkotak-kotak, karena la meningkatkan polimathy yang bertentangan dengan spesialisasi disiplin ilmu yang sempit.
  6. Ketidakadilan, karena epistemologi dan metodologinya bermakna distribusi keadilan dengan sebuah konteks sosial yang pasti.
  7. Sempit, karena nilai-nilai sains Islam yang tak dapat dipindahkan itu menjadi cermin dari image nilai-nilai Islam.
  8. Ketidakseseraian secara sosial, lantaran "objektivitas subjektifnya" berada dalam konteks produk sains secara sosial.
  9. Bucaillisme, oleh karena la adalah pikiran logika yang keliru. 
  10. Pemujaan, karena ia tidak membuat pengesahan epistemik terhadap Ilmu Gaib, Astrologi, Mistisisme dan ilmu-ilmu sejenisnya.
Hal ini tentu berbeda dengan dinamika epstemologi di Barat, yang secara tegas menyatakan bahwa sains bebas nilai (values free). Karena sains bebas nilai ini lah, kemudian makna Islamisasi pengetahuan diarahkan pada nilaisasi ilmu. Artinya, nilai yang membentuk upaya sains dan teknologi haruslah nilai Islami, yang dalam istilah singkatnya disebut sebagai konsep sains Islam.

Namun demikian, kesulitan yang paling mendasar justru pada sekitar abad ke-16 – 17. pada masa ini, muncul epistemologi dikotomik antara “sains agama” (‘ulum syari’ah) atau “sains-sains tradisional” (‘ulum naqliyyah) dan “sains rasional” (‘ulum ‘aqliyyah atau ghair syar’iyyah), pada puncaknya adalah ketika al-Ghozali mengkategorikan fardhu ‘ain bagi sains agama (hati) dan fardhu kifayah bagi sains rasional (akal).

No comments:

Post a Comment