Wednesday 11 October 2017

Defenisi Relations, Fungsi Public Relations dan Tujuan Publik Relations

Teori Khusus
1 Public Relations
Penulis menemukan bahwa definisi dari Public Relation sangat beragam, karena itu penulis akan memaparkan definisi Public Relation dari beberapa pakar yang dikutip dari buku “Handbook Of Public Relation” karya Elvinaro Ardianto, tahun 2011, halaman 8, sebagai berikut:
  • Public Relations adalah fungsi manajemen yang menilai sikap-sikap publik, mengidentifikasi kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur dari individu atau organisasi atas dasar kepentingan public dan melaksanakan rencana kerja untuk memperoleh pengertian dan pengakuan publik. 
  • Sementara menurut Denny Griswold (Wilcox,dkk.2006), PR adalah fungsi manajemen yang mengevaluasi publik, memperkenalkan berbagai kebijakan dan prosedur dari suatu individu atau organisasi berdasarkan kepentingan publik, dan membuat perencanaan, serta melaksanakan suatu program kerja dalam upaya memperoleh pengertian dan pengakuan publik.
  • Sedangkan menurut J.C. Seidel PR adalah proses kontinu dari usaha-usaha manajemen untuk memperoleh goodwill (itikad baik) dan pengertian dari pelanggan, pegawai, dan public yang lebih luas; ke dalam mengadakan analisis, sedangkan ke luar memberikan pernyataan-pernyataan.
Dari ketiga definisi tentang Public Relation diatas, dapat disimpulkan bahwa Public Relation adalah sebuah fungsi manajemen yang bersifat berkelanjutan (kontinu) yang didalam nya adalah usaha-usaha untuk menilai dan mengevaluasi sikap publik yang lalu memperkenalkannya kedalam sebuah organisasi serta melaksanakan rencana kerja atas dasar kepentingan masyarakat banyak (public) dalam upaya nya untuk memperoleh itikad baik (goodwill), pengertian publik, dan pengakuan publik.

2. Fungsi Public Relations
Dalam buku professional Public Relations (2011), pakar Public Relations internasional, Cutlip & Centre and Canfield (1982) merumuskan fungsi Public Relations sebagai berikut :
  1. Menunjang aktivitas utama manajemen dalam mencapai tujuan bersama (fungsi melekat pada manajemen lembaga/organisasi).
  2. Membina hubungan yang harmonis antara organisasi dengan publiknya yang merupakan khalayak sasaran.
  3. Mengidentifikasi segala sesuatu yang berkaitan dengan opini, persepsi dan tanggapan masyarakat terhadap organisasi yang diwakilinya atau sebaliknya.
  4. Melayani keinginan publiknya dan memberikan sumbang saran kepada pimpinan manajemen demi tercapainya tujuan dan manfaat bersama.
  5. Menciptakan komunikasi dua arah dan timbal balik, dan mengatur arus informasi, publikasi serta pesan dari organisasi ke publiknya atau sebaliknya, demi tercapainya citra positif bagi kedua belah pihak.
Fungsi humas bersifat melekat pada manajemen organisasi/perusahaan. Yaitu bagaimana humas dapat menyelenggarakan komunikasi dua arah atau timbal balik antara organisasi/lembaga yang diwakilinya dengan publik, yang artinya peranan ini turut menentukan sukses atau tidaknya misi, visi dan tujuan bersama dari organisasi/lembaga tersebut.

3 Peran Public Relations
Peranan PR dalam suatu perusahaan akan sangat terlihat jika suatu organisasi terlihat aktif, bertanggung jawab dan menciptakan manfaat bagi masyarakat, maka orang-orang akan tertarik untuk bergabung dan akan simpatik pada perusahaan. Hal yang sebaliknya, jika suatu perusahaan bernuansa tidak aktif, tidak didukung penuh oleh anggota perusahaan maka kemungkinan sukses nya kecil.

Mirip dengan hal yang telah diungkapkan di atas, seorang konsumen akan lebih suka membeli produk-produk atau jasa dan suatu perusahaan yang terkesan ramah, penuh perhatian kepada para karyawannya maupun kepada masyarakat. Image yang baik merupakan hasil dari Public Relations yang di manage dengan baik (Edy Sahputra, 2011:8).

Peran Public Relations secara umum adalah dua arah yaitu berorientasi ke dalam (inward looking) dan berorientasi ke luar (outward looking). Dalam Ruslan (2003) Menurut Henry Fayol ada beberapa kegiatan dan sasaran Public Relations adalah :
1. Membangun identitas dan citra perusahaan (building corporate identity and image).
  • Menciptakan identitas dan citra perusahaan yang positif.
  • Mendukung kegiatan komunkasi timbal balik dua arah dengan berbagai pihak.
2. Menghadapi krisis (facing of crisis)
a. Menangani keluhan dan menghadapi krisis yang terjadi dengan membentuk manajemen krisis dan public relations recovery of image yang bertugas memperbaiki lost of image and damage.

3. Mempromosikan aspek kemasyarakatkan (promotion public causes)
  • Mempromosikan yang menyangkut kepentingan publik
  • Mendukung kegiatan kampanye sosial yang dilakukan pemerintah contohnya, kampanye sosial anti merokok, anti narkoba dan lain-lain. (Dalam buku Edy Sahputra sitepu,2011:32)
Selain itu peranan PR dalam suatu organisasi menurut Dozier & Broom, 1995 dalam buku Manajemen Public Relations dan Media Komunikasi terbagi menjadi empat kategori :
1. Penasehat Ahli (Expert Prescriber)
Seorang praktisi pakar public relations yang berpengalaman dan memiliki kemampuan tinggi dapat membantu mencarikan solusi dalam penyelesaian masalah hubungan dengan publiknya (Public Relationship). Hubungan praktisi pakar dengan manajemen organisasi seperti hubungan antara dokter dan pasiennya. Artinya , pihak manajemen bertindak pasif untuk menerima atau mempercayai apa yang telah disarankan atau usulan dari pakar PR (expertpresciber) tersebut dalam memecahkan dan mengatasi persoalan publik relations yang tengah dihadapi oleh organisasi berangkutan.

2. Fasillitator Komunikasi ( Communication Fasilitator)
Dalam hali ini, praktisi PR bertindak sebagai komunikator atau mediator untuk membantu pihak manajemen dalam hal untuk mendengar apa yang diinginkan dan diharapkan oleh publiknya. Dipihak lain, dia juga dituntut mampu menjelaskan kembali keinginan, kebijakan dan harapan organisasi kepada pihak publiknya. Sehingga dengan komunikasi timbal tersebut dapat tercipta saling pengertian, mempercayai, menghargai, mendukung dan toleransi yang baik dari kedua belah pihak.

3. Fasilitator Proses Pemecahan Masalah (Problem solving process fasilitator)
Peranan praktisi PR dalam proses pemecahan persoalan public relations ini merupakan bagian dari tim manajemen. Hal ini dimaksudkan untuk membantu pimpinan organisasi baik sebagai penasihat hingga mengambil tindakan eksekusi dalam mengatasi persoalan atau krisis yang tengah dihadapi secara rasional dan profesional.

4. Teknisi Komunikasi (Communication technician)
Berbeda dengan tiga peranan praktisi PR profesional sebelumnya yang terkait erat dengan fungsi dan peranan manajemen organisasi. Peranan communication technician ini menjadikan praktisi PR sebagai journalist in resident yang hanya menyediakan layanan teknis komunikasi atau dikenal dengan methode of communication in organization. Sistem komunikasi dalam organisasi tergantung dari masing-masing bagian atau tingkatan, yaitu secara teknis komunikasi, baik arus maupun media komunikasi yang dipergunakan dari tingkat pimpinan dengan bawahan akan berbeda dari bawahan ke tingkat atasan.

4 Tujuan Public Relations
Tujuan PR terlebih dahulu dibagi menjadi 2 yaitu tujuan PR dari kegiatan Internal dan Eksternal, Tujuan PR berdasarkan kegiatan internal relations dapat mencakup ke dalam beberapa hal yaitu :
  1. Mengadakan suatu penilaian terhadap sikap tingkah laku dan opini publik terhadap perusahaan, terutama ditujukan kepada kebijaksanaan perusahaan yang sedang dijalankan.
  2. Mengadakan suatu analisa dan perbaikan terhadap kebijaksanaan yang sedang dijalankan, guna mencapai tujuan yang ditetapkan perusahaan dengan tidak melupakan kepentingan publik.
  3. Memberikan penerangan kepada publik karyawan mengenai suatu kebijaksanaan perusahaan yang bersifat objektif serta menyangkut kepada berbagai aktivitas rutin perusahaan.
  4. Merencanakan bagi penyusunan suatu staff yang efektif bagi penugasan yang bersifat internal public relations dalam perusahaan tersebut.
Tujuan dari Public Relations berdasarkan bentuk kegiatan eksternal relations, yaitu :
  1. Memperluas langganan atau pemasaran.
  2. Memeperkenalkan sesuatu jenis hasil produksi atau gagasan yang berguna bagi publik dalam arti luas.
  3. Mencari dan mengembangkan modal.
  4. memeperbaiki citra perusahaan terhadap pendapat masyarakat luas, guna mendapatkan opini publik yang positif.

Pengertian Citra Pada Perusahaan dan Macam-Macam Citra

Citra
Pada suatu perusahaan, citra menjadi hal yang pertama dilihat oleh publik, bagaimana citra perusahaan tersebut terbentuk itu adalah dari kinerja perusahaan tersebut menangani para pelanggan atau kliennya. Jika perusahaan tersebut mempunyai kinerja yang bagus dan menangani pelanggan secara professional, maka citra perusahaan tersebut dapat menjadi positif perlu diketahui perusahaan dapat menghadapi publik yang sangat kritis. Dalam satu penelitian terhadap seratus top eksekutif, lebih dari 50% menganggap “penting sekali untuk memelihara publik yang baik”. Untuk membangun citra yang baik atau positif kita tidak perlu melepaskan kesan publik yang negatif. Namun kebanyakan perusahaan menganggap citra atau kesan yang baik dapat mendapatkan kesuksesan yang berkepanjangan.(Seitel,1992:193 dalam buku dasar-dasar Public Relation, 2011 hal 111, karya Soleh Soemirat, M.S. dan Drs. Elvinaro Ardianto, M.si.)

Dalam membentuk citra biasanya yang bertugas adalah Public Relations, Pada umumnya PR mempermasalahkan : pembentukan goodwill, mutual understanding dan favourable public opinion. Sukatendel,(1990) mengungkapkan bahwa citra memang sengaja diciptakan agar bernilai positif. Namun sering tidak jelas apa yang dimaksud dengan istilah tersebut sehingga Sukatendel menawarkan definisinya, yaitu PR adalah salah satu metode komunikasi untuk menciptakan citra positif dari mitra organisasi atas dasar menghormati kepentingan bersama. (Soemirat,Ardianto,2010:112)

Kesan pertama dalam definisi ini :
  1. Komunikasi adalah ilmu. PR adalah bagian dari ilmu komunikasi, ilmu yang sedang tumbuh dan mulai disenangi.
  2. Citra adalah suatu istilah baru yang menarik. Banyak diperbincangkan saat ini oleh masyarakat. Kita perlu memanfaatkan momentum ini, sekaligus memasyaratkan pengertian dari perlunya PR.
  3. Mitra adalah juga istilah baru yang menarik. Memberi kesan saling memperhatikan. Inilah model masyarakat masa depan, sehingga PR sungguh berwawasan, sangat mendukung dalam mendukung suasan nasioanal yang membangun. Sangat cocok dengan pancasila.
  4. Kepentingan bersama (mutual interest) adalah esensi dan kegiatan PR jelas dan menggambarkan dua pihak (two way communication) jadi topic internasional. Masalah lingkungan (social dan fisik) yang perlu diperhatikan untuk keharmonisan umat manusia.
Mengacu kepada definisi yang ditawarkan itu terdapat empat unsur penting :
Salah satu metode komunikasi lainnya adalah:
  • Jurnalisitik, untuk kepentingan umum.
  • Propaganda, untuk kepentingan komunikator.
  • Iklan, untuk kepentingan perusahaan.
Metode komunikasi berarti cara mencapai tujuan dengan menggunakan ilmu komunikasi. PR untuk kepentingan bersama (organisasi dengan publiknya).

Menciptakan citra positif : citra adalah kesan, perasaan, gambaran dari publik terhadap perusahaan; kesan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu objek, orang, atau organisasi.

Dari mitra organisasi : Wartawan adalah mitra PR, karena wartawan dapat digunakan PR sebagai media publisitas bagi kepentingan umum.

Atas dasar menghormati kepentingan bersama. PR tidak hanya untuk kepentingan perusahaan atau organisasi namun PR juga harus membela kepentingan publiknya (mitranya).

Pengertian Citra
Citra adalah cara bagaimana pihak lain memandang sebuah perusahaan, seseorang, suatu komite, atau suatu aktivitas. Setiap perusahaan mempunyai citra. Setiap perusahaan mempunyai banyak citra sebanyak jumlah orang yang memandangnya. Berbagai citra datang dari pelanggan perusahaan, pelanggan yang potensial, bankir, staf perusahaan, pesaing , distributor, pemasok, asosiasi dan gerakan pelanggan di sektor perdagangan yang mempunyai pandangan terhadap perusahaan (Katz, 1994:67-68).

Ada banyak citra perusahaan, misalnya: siap membantu, inovatif, sangat memperhatikan karyawannya, bervariasi dalam produk, dan tepat dalam pengiriman. Tugas rangka dalam membentuk citranya adalah dengan mengidentifikasi citra seperti apa yang ingin dibentuk di mata masyaraka (Ardianto,2011:62).

Menurut Frank Jefkins dalam bukunya Public Relations Technique, mengatakan bahwa citra adalah kesan seseorang atau individu tentang sesuatu yang muncul sebagai hasil dari pengetahuan dan pengalamannya.(Ardianto,2011:62).

Jenis Citra
Menurut Frank Jefkins, dalam bukunya Hubungan Masyarakat (Intermasa, 1992) ada beberapa jenis citra yang dikenal di dunia aktivitas hubungan masyarakat (public relations), dan dapat dibedakan satu dengan yang lain sebagai berikut :

Citra cermin (mirror image)
Pengertian di sini bahwa citracermin yang diyakini oleh perusahaaan bersangkutan, terutama para pimpinannya yang selalu merasa dalam posisi baik tanpa mengacuhkan kesan orang luar. Setelah diadakan studi tentang tanggapan, kesan dan citra di masayarakat ternayata terjadi perbedaan antarayang diharapkan dengan kenyataan citra di lapangan, bisa terjadi justru mencerminkan “citra” negatifnya yang muncul.

Citra kini (current image)
Citra merupakan kesan yang baik diperoleh dari orang lain tentang perusahaan atau organisasi atau hal yang lain berkaitan dengan produknya. Berdasarkan pengalaman dan informasi krang baik penerimaannya, sehingga dalam posisi tersebut pohak humas atau PR akan menghadapi risiko yang sifatnya permusuhan, kecurigaan, prasangka buruk, dan hingga muncul kesalah pahaman yang menyebabkan citra kini yang ditanggapi secara tidak adil atau bahkan kesan yang negatif diperolehnya.

Citra keinginan (wish image)
Citra keinginan ini adalah seperti apa yang ingin dan dicapai oleh pihak manajemen terhadap lembaga/perusahaan, atau produk yang ditampilkan tersebut lebih dikenal, menyenangkan dan diterima dengan kesan yang selalu positif diberikan oleh publiknya atau masyarakat umum.

Citra perusahaan (corporate image)
Jenis citra ini adalah yang berkaitan dengan sosok perusahaan sebagai tujuan utamanya, bagaimana menciptakan citra perusahaan yang positif, lebih dikenal serta doterima oleh publiknya, mungkin tentang sejarahnya, kualitas pelayanan nya prima, keberhasilan dalam bidang marketing, dan hingga berkaitan dengan tanggung jawab sosial sebagainya. Dalam hal ini pihak Humas/PR berupaya atau bahkan ikut bertanggung jawab untuk mempertahankan citra perusahaan, agar mampu mempengaruhi harga sahamnta tetap bernilai tinggi utnuk berkompetisi di pasar bursa saham.

Citra serbaneka (multiple image)
Citra ini merupakan pelengkap dari citra perusahaan di atas, misalnya bagaimana pihak PR akan menampilkan pengenalan terhadap identitas perusahaan, atribut logo, brand’s name, seragam para front liner, sosok gedung, dekorasi lobby kantor dan penampilan para profesionalnya. Semua itu kemudian diunifikasikan atau diidentikkan ke dalam suatru citra sebaneka yang diintegrasikan terhadap citra perusahaan.

Citra penampilan (performance image)
Citra penampilan ini lebih dutujukan kepada subjeknya. Bagaimana kinerja atau penampilan diri para profesional pada perusahaan bersangkutan. Misalnya dalam memberikan berbagai bentuk dan kualitas pelayanannya, menyambut telepon, tamu, dan pelanggan serta publiknya, harus serba menyenangkan serta memberikan kesan yang selalu baik. Mungkin masalah citra penampilan ini kurang diperhatikan atau banyak disepelekan orang. Misalnya, dalam hal mengangkat secara langsung telepon yang sedang berdering dianggap sebagai tindakan interupsi, termasuk si penerima telepon masuk tidak nenyebut identitas nama pribadi atau perusahaab bersangkutan merupakan tindakan kurang bersahabat dan melanggar etika. (Ruslan,2010:77)

Pengertian Citra cermin (mirror image) dan Jenis-Jenis Citra

Pengertian Citra
Citra adalah cara bagaimana pihak lain memandang sebuah perusahaan, seseorang, suatu komite, atau suatu aktivitas. Setiap perusahaan mempunyai citra. Setiap perusahaan mempunyai banyak citra sebanyak jumlah orang yang memandangnya. Berbagai citra datang dari pelanggan perusahaan, pelanggan yang potensial, bankir, staf perusahaan, pesaing , distributor, pemasok, asosiasi dan gerakan pelanggan di sektor perdagangan yang mempunyai pandangan terhadap perusahaan (Katz, 1994:67-68).

Ada banyak citra perusahaan, misalnya: siap membantu, inovatif, sangat memperhatikan karyawannya, bervariasi dalam produk, dan tepat dalam pengiriman. Tugas rangka dalam membentuk citranya adalah dengan mengidentifikasi citra seperti apa yang ingin dibentuk di mata masyaraka (Ardianto,2011:62).

Menurut Frank Jefkins dalam bukunya Public Relations Technique, mengatakan bahwa citra adalah kesan seseorang atau individu tentang sesuatu yang muncul sebagai hasil dari pengetahuan dan pengalamannya.(Ardianto,2011:62).

Jenis Citra
Menurut Frank Jefkins, dalam bukunya Hubungan Masyarakat (Intermasa, 1992) ada beberapa jenis citra yang dikenal di dunia aktivitas hubungan masyarakat (public relations), dan dapat dibedakan satu dengan yang lain sebagai berikut :

Citra cermin (mirror image)
Pengertian di sini bahwa citracermin yang diyakini oleh perusahaaan bersangkutan, terutama para pimpinannya yang selalu merasa dalam posisi baik tanpa mengacuhkan kesan orang luar. Setelah diadakan studi tentang tanggapan, kesan dan citra di masayarakat ternayata terjadi perbedaan antarayang diharapkan dengan kenyataan citra di lapangan, bisa terjadi justru mencerminkan “citra” negatifnya yang muncul.

Citra kini (current image)
Citra merupakan kesan yang baik diperoleh dari orang lain tentang perusahaan atau organisasi atau hal yang lain berkaitan dengan produknya. Berdasarkan pengalaman dan informasi krang baik penerimaannya, sehingga dalam posisi tersebut pohak humas atau PR akan menghadapi risiko yang sifatnya permusuhan, kecurigaan, prasangka buruk, dan hingga muncul kesalah pahaman yang menyebabkan citra kini yang ditanggapi secara tidak adil atau bahkan kesan yang negatif diperolehnya.

Citra keinginan (wish image)
Citra keinginan ini adalah seperti apa yang ingin dan dicapai oleh pihak manajemen terhadap lembaga/perusahaan, atau produk yang ditampilkan tersebut lebih dikenal, menyenangkan dan diterima dengan kesan yang selalu positif diberikan oleh publiknya atau masyarakat umum.

Citra perusahaan (corporate image)
Jenis citra ini adalah yang berkaitan dengan sosok perusahaan sebagai tujuan utamanya, bagaimana menciptakan citra perusahaan yang positif, lebih dikenal serta doterima oleh publiknya, mungkin tentang sejarahnya, kualitas pelayanan nya prima, keberhasilan dalam bidang marketing, dan hingga berkaitan dengan tanggung jawab sosial sebagainya. Dalam hal ini pihak Humas/PR berupaya atau bahkan ikut bertanggung jawab untuk mempertahankan citra perusahaan, agar mampu mempengaruhi harga sahamnta tetap bernilai tinggi utnuk berkompetisi di pasar bursa saham.

Citra serbaneka (multiple image)
Citra ini merupakan pelengkap dari citra perusahaan di atas, misalnya bagaimana pihak PR akan menampilkan pengenalan terhadap identitas perusahaan, atribut logo, brand’s name, seragam para front liner, sosok gedung, dekorasi lobby kantor dan penampilan para profesionalnya. Semua itu kemudian diunifikasikan atau diidentikkan ke dalam suatru citra sebaneka yang diintegrasikan terhadap citra perusahaan.

Citra penampilan (performance image)
Citra penampilan ini lebih dutujukan kepada subjeknya. Bagaimana kinerja atau penampilan diri para profesional pada perusahaan bersangkutan. Misalnya dalam memberikan berbagai bentuk dan kualitas pelayanannya, menyambut telepon, tamu, dan pelanggan serta publiknya, harus serba menyenangkan serta memberikan kesan yang selalu baik. Mungkin masalah citra penampilan ini kurang diperhatikan atau banyak disepelekan orang. Misalnya, dalam hal mengangkat secara langsung telepon yang sedang berdering dianggap sebagai tindakan interupsi, termasuk si penerima telepon masuk tidak nenyebut identitas nama pribadi atau perusahaab bersangkutan merupakan tindakan kurang bersahabat dan melanggar etika. (Ruslan,2010:77)

Tuesday 10 October 2017

Konsep Sistem dan Pengelolaan Manajemen Integrasi

Konsep Sistem dan Pengelolaan Integrasi
A. TUJUAN
Agar Mahasiswa mampu memahami tentang konsep sistem dan pengelolaan integrasi proyek yang meliputi pembahasan antara lain : arti konsep sistem, unsur dan sifat sitem, aplikasi konsep sistem, kegunaan konsep sistem bagi manajemen proyek, integrasi dan kordinasi dan interface manjemen.

Dalam Bahan Ajar ini disampaikan materi kuliah antara lain; soal latihan dan ringkasa. 

B. MATERI KULIAH
1. Arti Konsep Sistem 
Sebelum membahas lebih lanjut kegunaan konsep sistem dalam penyelenggaraan proyek, perlu dibahas arti konsep sistem, yang mulai diperkenalkan sekitar dekade 1920-an. Dalam perkembangan selanjutnya Buckley memberikan definisi konsep sistem sebagai berikut :

“Suatu kebulatan atau totalitas yang berfungsi secara utuh, disebabkan adanya saling ketergantungan di antara bagian-bagiannya dinamakan suatu sistem.” (A whole that functions as a whole by virtue of interdependence of its parts is called a system.)

Sebagai contoh adalah suatu organisasi perusahaan yang utuh dan menyeluruh akan terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung baik berupa fisik dan nonfisik seperti pimpinan, tenaga pelaksana, keahlian, material, peralatan, dana, logistik, pemasaran, informasi dan lain-lain. Definisi lain yang lebih terinci perihal pemikiran sistem datang datang dari H. Kerzner (1989):

“Sekelompok komponen yang terdiri dari manusia dan/atau bukan manusia (nonhuman) yang diorganisir dan diatur sedemikian rupa sehingga komponen-komponen tersebut dapat bertindak sebagai satu kesatuan dalam mencapai tujuan, sasaran bersama atau hasil akhir”.

Definis di atas menjelaskan pentingnya aspek pengaturan dan pengorganisasian komponen dari suatu sistem untuk mencapai sasaran bersama, karena bila tidak ada sinkronisasi dan koordinasi yang tepat maka kegiatan masing-masing komponen, subsistem, atau bidang dalam suatu organisasi akan kurang saling menunjang. Seperti telah disebutkan di atas, kegunaan pendekatan ini amat menonjol terutama untuk menganalisis dan mengelola suatu fenomena, seperti kegiatan proyek yang besar dan kompleks, dikarenakan pendekatan ini mempunyai kemampuan membuat situasi yang selintas kelihatan tidak teratur (terdiri dari kegiatan-kegiatan yang tidak sejenis, dan ditangani oleh berbagai bidang internal dan eksternal perusahaan) menajdi rangkaian yang tertib dan saling terkait.

Komponen, Subsistem, dan Keterkaitannya
Batasan tentang sistem tidak lengkap tanpa menyinggung perincian unsur-unsur di dalam susunan hierarki tersebut. Setiap sistem terdiri dari komponen-komponen, dan komponen ini dapat dipecah menjadi kompoenen yang lebih kecil, yang bila dipandang dari segi hirarki dapat dinamakan sebagai subsistem. Atau dengan kata lain, subsistem adalah sistem yang menjadi bagian dari sistem yang lebih besar. Bagian terkecil dari sistem disebut elemen. Sebagai contoh adalah Perusahaan Engineering dan Konstruksi pda Gambar 4-1. Perusahaan ini merupakan satu sistem, dimana Departemen Proyek dan Departemen Keuangan merupakan subsistem, sedangkan pegawai gedung, peralatan konstruksi, dan komunikasi adalah komponen. Tetapi untuk suatu tujuan tertentu, Departemen Proyek dapat pula dianggap sebagai sistem dan Bidang Konstruksi serta Bidang Engineering sebagai subsistemnya.

2. Unsur dan Sifat Sistem
Di atas telah disebutkan bahwa komponen-komponen sistem yang berupa unsur atau subsustem terkait satu dengan yang lain dalam suatu rangkaian yang membentuk sistem. Fungsi dan efektivitas sistem dalam usaha mencapai tujuannya dari ketepatan susunan rangkaian atau struktur terhadap tujuan yang ditentukan. Beberapa sifat yang melekat pada sistem dan masing-masing komponennya, demikian pula hubungan antara satu dengan yang lain adalah sebagai berikut :

Bersifat Dinamis
Sistem menunjukkan sifat dinamis, dengan perilaku tertentu. Perilaku sistem umumnya dapat diamati pada caranya mengkonversikan masukan (input) menjadi hasil (output).

Sistem Terpadu Lebih Besar daripada Jumlah Komponen-komponenya.
Bila elemen-elemen atau bagian-bagian tersebut tersusun atau terorganisir secara benar, maka akan terjalin satu sistem terpadu yang lebih besar dari pada jumlah bagian-bagiannya. Sebagai contoh adalah pesawat terbang. Bila mesin, badan, sayap, ekor, dan roda tersusun dan terjalin secara benar menjadi satu pesawat (satu sistem) yang siap terbang, maka pesawat ini memiliki arti yang lebih besar daripda jumlah komponen-komponennya sebelum disusun atau dirakit.

Mempunyai Arti yang Berbeda
Satu sistem yang asama mungkin dipandang atau diartikan berbeda, tergantung siapa yang mengamatinya dan untuk kepentingan apa. Seperti contoh di atas, pesawat tidak dapat terbang, setelah diperiksa inspektor terungkap di bagian mesin ada sesuatu yang tidak benar. Di bengkel mesin, diketahui penyebab ketidak beresan itu, yaitu bahwa mutu minyak pelumasnya di bawah standar. Pada contoh kasus di atas, inspektor berpandangan pesawat terbang sebagai keseluruhan merupakan satu sistem. Bila perusahan pemilik pesawat mengajukan perkara kepengadilan, mkaa sistem ini akan akan termasuk penjual dan mungkin juga pabrik penghasil misnyak pelumas yang bersangkutan.

Mempunyai Sasaran yang Jelas
Salah satu tanda keberadaan sistem adalah adanya tujuan atau sasaran yang jelas. Umumnya identifikasi tujuan merupakan langkah awal untuk mengatahui perilaku suatu sistem dan bagian-bagiannya.

Mempunyai Keterbatasan
Sistem mempunyai keterbatasan yang disebabkan oleh faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar berupa hambatan dari lingkungan, sedangkan faktor dari dalam adalah keterbatasan sumber daya.

A. Siklus dan Proses Sistem
Aspek pentingnya dari pendekatan sistem terletak pada siklus sistem dan prosesnya, yaitu perubahan teratur yang mengikuti pola dasar tertentu dan terjadi selama sistem masih aktif. Sistem yang aktif akan bergerak seiring dengan berjalannya waktu. Seperti terlihat pada peristiwa alam, pola dasar dimulai dari lahir, kemudian tumbuh dan berkembang, mencapai prestasi puncak, menurun dan akhirnya berhenti tidak berfungsi lagi. Semua produk atau fasilitas yang merupakan sistem buatan manusia juga mengikuti siklus dan proses seperti sistem ciptaan alam di atas. Dengan titik tolak pandangan demikian, maka dapat diantisipasi tahap-tahap yang akan dilalui dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengelola sistem dan semua tahap dengan sebaik-baiknya. Sebagai contoh, sistem buatan manusia adalah sistem produk (pesawat terbang) yang siklus dan proses sistemnya seperti pada gambar 4-2a dan untuk sistem berbentuk pabrik dan fasilitas produksi.

Penahapan dalam Siklus Sistem
Proses mewujudkan sistem untuk keperluan operasi atau produksi sampai siklus sistem berhenti berfungsi dikelompokkan menjadi beberapa tahap yang dibedakan atas jenis kegiatan yang dominan. Dalam hal ini terdapat serta terminologi yang dipakai, seperti terliat pada Gambar4-2a dan b. Tahap desain dan pengembangan yang terdapat pada Gambar 4-2a adalah identik dengan tahap PP/definisi yang dibicarakan pada Bab 1. Jadi, menurut sudut pandang sistem, setiap sistem baik sistem produk, instalasi produksi atau manufaktur, atau yang lain, mempunyai siklus dan tahapan-tahapan tertentu. Bila hal tesebut tidak sepenuhnya dipahami maka akan mengarah kepada pengambilan keputusan yang tidak tepat, seperti tetap memproduksi produk yang sudah ketinggalan jaman, mempertahankan peralatan yang sudah usang teknologinya, menggunakan sistem pengelolaan yang sudah tidak cocok, dan lain-lain, yang kesemuanya dalam jangka panjang akan merugikan perusahaan.

B. Siklus Sistem dan Siklus Biaya
Dalam rangka mewujudkan gagasan menjadi kenyataan fisik, maka perlu penilaian menyeluruh terhadap sistem yang bersangkutan. Yang dinilai adalah karakteristik teknis sistem yang dijabarkan sebagai parameter, spesifikasi, dan kriteria terhadap biaya yang diperlukan. Karakteristik sistem yang dihasilkan dari gabungan parameter teknis, seperti ukuran-ukuran dimensi, berat, kapasitas, prestasi, kecepatan, kualitas, keandalan, dan lain-lain yang pada gilirannya akan menentukan efektivitas teknis sistem. Sisi lain yang perlu dikaji dan dipertimbangkan adalah biaya yang berkaitan dengan mewujudkan sistem tersebut, tidambah biaya untuk mendukung operasi atau produksi dan pemeliharaan. Biaya ini disebut siklus biaya (life cycle cost), mencakup semua biaya yang diperlukan selama periode siklus sistem (system life cycle), yaitu dari penelitian dan pengembangan, desain-engineering, manufaktur dan kontruksi, sampai pada operasi atau produksi atau utilisasi dan pemeliharaan. Jadi, disini berarti perhatian terhadap biaya haruslah integral, dan harus dihindari, misalnya, suatu sistem biaya akuisisinya rendah tetapi biaya operasi atau pemeliharaannya tinggi sehingga biaya total siklus sistem akan berjumlah tinggi. Agar dapat memperkirakan dan menganalisis secara sistematis, biaya tersebut dikelompokkan menjadi biaya untuk mewujudkan sistem secara fisik (biaya proyek) atau akuisisi dan biaya yang berkaitan dengan operasi atau produksi dan pemeliharaan. Memperkirakan dan menganalisis kelompok biaya kedua lebih sulit dibanding kelompok pertama, hal ini disebabkan lamanya kurun waktu periode yang bersangkutan.

Kembali pada masalah mewujudkan sistem dan hubungannya dengan biaya selama siklus sistem, maka yang harus diusahakan adalah tercapainya keseimbangan optimal antara biaya yang diperlukan dengan sistem yang hendak diwujudkan untuk mencapai tujuan usaha. Ini berarti harus dilakukan analisis efektivitas sistem terhadap siklus biaya dan diadakan penyesuaian-penyesuaian sampai tercapai keseimbangan optimal antara biaya yang diperlukan, keterbatasan biaya, dan efektivitas sistem yang dapat dicapai. Tentu saja setiap situasi akan melahirkan keseimbangan optimal yang berbeda-beda tergantung dari gabungan parameter yang dikehendaki dan tersedianya biaya, atau sebaliknya. Keseimbangan antara siklus biaya sistem dan parameter sisteml

Aplikasi Konsep Sistem 
Di bagian awal bab ini telah dibahas secara singkat arti dan maksud dari konsep sistem. Konsep sistem adalah suatu konsep pemikiran yang bertujuan memandang sesuatu atas dasar totalitas. Langkah berikutnya adalah bertujuan mengetahui bagaimana aplikasi konsep sistem tersebut dalam melakukan suatu kegiatan. Misalnya, sebagai strategi untuk memecahkan suatu masalah, perencanaan , dan implementasi. Untuk maksud tersebut dikenal suatu pendekatan sistem (system approach) dengan rumusan metodologinya, yaitu analisis sistem, engineering sistem, dan manajemen sistem, seperti terlihat pada Gambar 4-4. masing-masing metodologi tersebut akan dibahas berikut ini.

A. Analisis Sistem 
Pengambilan keputusan adalah bagian dari perencanaan yang akan selalu dihadapi oleh setiap pengelola suatu usaha. Pihak berwenang akan memilih alternatif terbaik dari yang tersedia. Tetapi pertanyaan berikutnya adalah bagaimana menetukan alternatif mungkin dapat dilakukan tanpa banyak mengalami kesulitan, tetapi untuk sistem yang kompleks diperlukan metode tertentu untuk menghadapinya. Dalam konsep sistem tersedia metodologi untuk menghadapi persoalan di atas, yaitu analisis sistem. Pada garis besarnya analisis sistem adalah menganalisis dan memecahkan masalah pengambilan keputusan dengan memilih alternatif yang terbaik, dengan melihat sumber daya yang diperlukan dibandingkan manfaat yang akan diperoleh, termasuk pengkajian risiko yang mungkin dihadapi. Pemilihan di atas dilakukan dengan simulasi, atau metode matematis yang lain sebelum memberi kesimpulan dan mengambil keputusan berdasarkan judgment (penilaian) atas dasar pengalaman.

Proses Analisis Sistem
Telah disebutkan di atas bahwa analisis sistem adalah proses mempelajari suatu kegiatan, lazimnya dengan cara-cara matematis, untuk menentukan (mengambil keputusan) tujuan, kemudian menyusun prosedur operasi dalam rangka mencapai tujuan tersebut secara efisien. Dalam perkembangan selanjutnya, analisis sistem tidak ahanya menggunakan cara matematis tetapi juga non matematis. Untuk membantu dan memudahkan pengambilan keputusan, analisis sistem acapkali mempergunakan model. Model ini dapat berbentuk fisik, formulasi matematik, atau program komputer. Proses analisis sistem terdiri dari beberapa tahap, yaitu formulasi, penelitian, analisis/kesimpulan, dan verifikasi, seperti terlihat pada Gambar 4-5. Pada tahap pertama, adalah formulasi atau merumuskan ide yang timbul. Awal dari ide tersebut dapat berupa gagasan yang masih berupa konsep, kemudian dikembangkan dengan memberikan penjelasan perihal tujuan, lingkup, risiko, dan lain-lain.

Tahap berikutnya adalah penelitian yang mengumpulkan dan mempelajari data dan informasi perihal gagasan tersebut. Pada tahap ini, komponen sistem dan hubungan diantaranya didentifikasi, kemudian sumber daya yang diperlukan dan antisipasi hambatan yang mungkin timbul diperkirakan. Selanjutnya, alternatif untuk mencapai tujuan yang dimaksud disajikan.

Periode selanjutnya, adalah analisis yang membuahkan kesimpulan. Pada tahap ini umumnya dibuat model untuk membandingkan alternatif-alternatif, yang hasilnya diajukan kepada yang berwenang untuk diambil keputusan.

Tahap akhir adalah verifikasi, disini kesimpulan yang telah diambil diuji coba dalam praktek atau penggunaannya secara nyata, dengan demikian akan diketahui kebenaran atau kekurangan kesimpulan yang telah diambil.

Dari proses di atas terlihat bahwa metode analisis sistem relatif memerlukan waktu untuk menyelesaikan langkah-langkah yang diperlukan sebelum sampai kepada suatu kesimpulan, tetapi menyajikan suatu cara yang logis dan konsisten. Oleh karena itu, apabila yang dihadapi adalah pemilihan berbagai macam alternatif, maka metode ini dapat menghasilkan keputusan yang lebih akurat dibanding pertimbangan yang hanya bersifat intuitif.

B. Engineering Sistem 
Engineering sistem adalah proses yang teratur dalam aspek engineering untuk mewujudkan suatu gagasan menjadi sistem yang diinginkan bagi keperluan koperasi atau utilisasi. Apabila digunakan definisi yang lengkap dari B.S. Blanchard (1990) akan menjadi sebagai berikut :

“Engineering sistem adalah aplikasi yang efektif dari usaha-usaha ilmu pengetahuan dan engineering dalam rangka mewujudkan kebutuhan operasional menjadi suatu sistem konfigurasi tertentu, melalui proses yang saling terkait berupa definisi keperluan analisis fungsional, sintesis, optimasi, desain, tes, dan evaluasi.”

Dengan kata lain, dilihat dari sudut keperluan operasional, engineering sistem adalah metodologi dengan merekayasa dengan teratur dan sistematis dalam rangka memnuhi keprluan operasional yang timbul ke dalam suatu perwujudan fisik (fasilitas atau produk) dengan cara yang efektif dan efisien. Langkah-langkah tersebut terdiri dari;
  • Menjabarkan keperluan-keperluan operasional menajdi parameter dari sistem yang diperlukan melalui proses analisis fungsional, definisi, sintesis, prestasi, keandalan, kemampuan produksi, dan lain-lain.
  • Mengintegrasikan parameter-parameter teknis tersebut di atas ke dalam suatu kegiatan desai-engineering yang akan mengoptimalkan sistem secara keseluruhan
Siklus dan Proses Engineering Sistem dan Siklus Sistem 
Seperti hanya dengan sistem itu sendiri, engineering sistem mempunyai siklus yang ditandai seluruh spektrum aktivitas yang terdiri dari beberapa tahap. Tahap-tahap tersebut diawali identifikasi kebutuhan, dilanjutkan dengan desain dan pengembangan, aspek engineering pada kontruksi, prosuksi, operasi dan pemeliharaan. Pada akhirnya sistem berhenti tak berguna lagi. Aktivitas masing-masing tahap memiliki hubungan tetentu dengan tahap sebelum dan sesudahnya. Oleh karena itu, amatlah penting untuk mengelola engineering sistem dengan hasil yang optimal. Tahap-tahap dalam sistem engineering mempunyai kurun waktu maupun sifat yang berbeda-beda tergantung dari keperluan, tujuan dan kompleksitas sistem tersebut. Pola umum siklus engineering sistem di dalam siklus engineering sistem di dalam siklus sistem (produk) mengikuti Gambar 4-6.

Pemahaman akan sifat siklus engineering sistem tersebut adalah penting untuk mengantisipasi, mengarahkan, dan merencanakan tindakan-tindakan pengelolaan yang tepat dalam aspek desain-engineering. Siklus sistem dan siklus engineering sistem dimulai dengan timbulnya kebutuhan. Bila hal tersebut terjadi, yang harus dihadapi pertama-tama adalah mengidentifikasi seberapa jauh keperluan tersebut hasrus dipenuhi dan memperkirakan secara kasar seberapa besar sumber daya yang sekiranya diperlukan. Pada taraf ini belum diperlukan analisis cara memecahkan persoalan yang timbul secara spesifik, tetapi baru dipusatkan pada cara mencari jawaban atas pertanyaan apakah benar kebutuhan tersebut hasrus diatasi dan diprioritaskan. Adapun tahap atau proses selanjutnya adalah seperti berikut.
a. Tahap konseptual 
Memperjelas dan merumuskan permasalahan dalam suatu studi kelayakan, termasuk menentukan tujuan dan sasaran. Mengkaji dasar-dasar keperluan untuk mewujudkan sistem, operasi sistem, dan pemeliharaan.

b. Desain Pendahuluan dan Definisi Sistem
Menetukan fungsi utama sistem berarti meletakkan dasar untuk penyusunan kriteria dan spesifikasi peralatan yang diperlukan, kualitas dan kuantitas pegawai, fasilitas pendukung, pemeliharaan, dan lain-lain. Kemudian mengelompokkan dalam subsistem, dilanjutkan dengan melakukan analisis untuk mengevaluasi alternatif desain secara terperinci seperti :
  • Melihat semua aspek untuk mewujudkan sistem (konstruksi atau manufaktur), operasi, dan pemeliharaan.
  • Mendefinisikan masing-masing fungsi semua komponen sistem (peralatan utama, peralatan pendukung, dan lain-lain).
  • Mencari keseimbangan antara keperluan dengan sumber daya yang tersedia, dengan mengkaji parameter teknis yang dibandingkan dengan siklus biaya.
Jadi, misalnya pada suatu proyek E-MK, maka kegiatan ini mencoba menerjemahkan kebutuhan-kebutuhan operasi, pemeliharaan, dan pendukungnya ke dalam parameter desain-engineering secara spesifik, kuantitatif, dan kualitatif.

c. Desain Terinci
Desain terinci melanjutkan segala sesuatu yang dasar-dasarnya telah diletakkan pada langkah sebelumnya, terdiri dari kegiatan-kegiatan menyiapkan deskripsi konfigurasi subsistem, komponen sistem, dan perincian lain-lainnya. Pada akhirnya desain terinci menghasilkan dokumen-dokumen sperti gambar-gambar engineering, gambar kontruksi, dan lain-lain. Termasuk kegiatan desain terinci adalah membuat model dan menyusun prosedur tes dan evaluasi. Secara singkat kegiatan ini terdiri dari :
  • Deskripsi dari spesifikasi, kriteria, dan konfigurasi terinci dan subsistem atau komponen sistem.
  • Membuat dokumen engineering subsistem seperti gambar engineering, gambar kontruksi, dan lain-lain.
  • Membangun model dari sistem yang hendak dibangun.
  • Menyiapkan prosedur inspeksi, tes, dan evaluasi.
Seperti telah disinggung di muka bahwa desain-engineering hendaknya ditujukan kearah pemenuhan kebutuhan operasi dan pemeliharaan sistem engan mengingat kendala biaya siklus sistem. Oleh karena itu, pada taraf desain terinci, masalah tersebut hendaknya telah dapat dipecahkan dan dimasukkan sebagai syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan produk-produk desain engineering

Adapun kebutuhan operasi dan pemeliharaan yang dominan terdiri dari :
· Memenuhi kinerja teknis (technical performance), baik kapasitas maupun mutu.
  • Bersifat tangguh atau dapat dipercaya (reliable), beroperasi dengan baik selama kurun waktu yang telah ditentukan.
  • Memperhatikan faktor manusia yang akan mengerjakan operasi dan pemeliharaan, tidak sulit, tidak cepat melelahkan, dan cukup memperhatikan aspek keamanan (safety).
  • Memperhatikan faktor productibility, constructibility, dan maintainability.
  • Keluwesan atau flexibility, misalnya, suatu sistem yang diwujudkan harus mampu beroperasi dengan kapasitas yang berubah-ubah atau mutu yang bervariasi.
  • Transportasi, sistem, atau produk yang dihasilkan telah memasukkan faktor transportasi yang dihadapi, misalnya ukuran, dimensi, berat rakitan, dan lain-lain.
  • Pemeriksaan dan inspeksi, yaitu, apakah sistem atau produk yang dihasilkan telah memperhatikan kemudahan bagi pemeriksaan, inspeksi, dan testing yang setiap waktu diperlukan.
  • Tersedianya material atau komponen di lokasi atau daerah yang berdekatan.
Setelah memperhatikan kebutuhan-kebutuhan di atas maka faktor terakhir yang tidak kalah penting adalah petimbangan ekonomis. Bagaimanapun baiknya hasil desain-engineering yang dibuat harus didukung juga oleh faktor ekonomi, agar dapat direalisasi dan dipertanggung jawabkan dalam jangka panjang. Gambar 4-3 menunjukkan beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam desain-engineering dan bila telah tercapai pemecahan serta kesimpulan akhir, ditampung (incorporated) dalam produk-produk desain-engineering terinci.

d. Pabrikasi dan Kontruksi
Pada tahap ini, engineering sistem medukung aspek engineering dari seluruh kegiatan, mulai dari pembelian material, peralatan pabrikasi dan manufaktur, kontruksi, inspeksi, dan uji coba, dalam rangka mewujudkan sistem yang diinginkan menjadi kenyataan fisik, yang siap untuk dioperasikan.

e. Operasi atau Produksi
Pada tahap ini sistem beroperasi atau berproduksi (misalnya, pabrik), atau utilisasi (misalnya, pesawat terbang). Pendekatan engineering sistem bermaksud mendukung sistem yang telah terwujud mendukung sistem yang telah terwujud agar dapat beroperasi sesuai dengan kapasitas atau prestasi yang telah ditentukan dengan cara antara lain melakukan pemeriksaan, inspeksi berkala, evaluasi untuk perbaikan, dan lain-lain.

f. Pendukung dan Pemeliharaan
Tahap keenam ini merupakan aspek engineering dari pemeliharaan yang dapat di modifiksi bila diperlukan dan didukung pelayanan teknis yang lain agar sistem dapat beroperasi atau berfungsi sesuai dengan yang diharapkan.

g. Menurun dan Berhenti
Disini fungsi sistem mulai menurun, misanya bagian-bagian yang merupakan komponen (peralatan) telah menjadi usang dan akhirnya seluruh sistem berhenti karena tidak ekonomis lagi untuk berfungsi. Pada aspek engineering diadakan evaluasi apakah perbaikan memang sudah tidak ekonomis lagi untuk dilakukan.

Sepanjang proses engineering sistem dilakukan kegiatan evaluasi untuk meyakini bahwa sistem ayang akan diwujudkan betul-betul dapat memenuhi tujuan dan sasaran yang telah ditentukan seperti kriteria mutu, prestasi, dan efisien dalam operasi atau penggunaannya.

Siklus Proyek dan Siklus Sistem
Pada Bab 1 telah disinggung perihal siklus proyek tersebut bila dihubungkan dengan siklus sistem, misalnya sistem produk? Mengingat proyek adalah kegiatan atau usaha yang bertujuan mewujudkan gagasan menjadi bentuk fisik, maka hal ini sama dengan bagian dari sistem, yaitu mulai dari definisi keperluan, tahap konseptual, engineering pendahuluan, engineering terinci, sampai dengan kontruksi atau manufaktur. Disini instalasi atau produk hasil proyek telah terwujud dalam bentuk fisik. Tahap atau proses perwujudan tersebut sering disebut akusisi (acquisition). Adapun proses dari siklus sistem selanjutnya, seperti operasi atau produksi dan pemeliharaan, sudah diluar siklus proyek. Meskipun demikian, dalam menentukan berbagai faktor dan parameter pada proses akusisi harus diperhitungkan keperluan-keperluan tahap operasi atau produksi dan pemeliharaan. Inilah yang merupakan ciri pokok pendekatan total sistem.

C. Manajemen Sistem
Di atas telah dibicarakan beberapa metodologi konsep sistem, yaitu analisis sistem dan engineering sistem. Metodologi yang lain adalah manajemen sistem, yaitu mengelola suatu organisasi atau usaha dengan pendekatan sistem. Sama halnya dengan dua metodologi terdahulu, manajemen sistem juga berorientasi ke totalitas. Hal ini berarti penekanan terletak pada keberhasilan tujuan sistem secara keseluruhan, dengan demikian pengelolaan dilakukan berdasarkan pertimbangan optimasi total sistem dan bukan komponen-komponennya, baik dalam aspek perencanaan, implementasi, maupun pengendalian agar terdapat sinkronisasi dalam usaha mencapai tujuan total sistem secara efektif. H. Kerzner (1989) merumuskan definis manajemen sistem dipandang dari sudut pengelolaan perusahaan sebagai berikut :

“Sejumlah unsur, baik manusia ataupun bukanmanusia (nonhuman) diorganisir dan diatur sedemikian rupa sehingga unsur-unsur tersebut bertindak sebagai kesatuan dalam rangka mencapai tujuan.”

Jadi,manajemen sistem ditandai oleh orientasi keberhasilan misi total sistem. Keputusan-keputusan didasarkan atas optimasi total sistem, bukan unsur-unsurnya (kepentingan perusahaan, bukan kepentingan divisi-divisi logistik, pemasaran, manufaktur, dan lain-lain). Umumnya usaha-usaha besar melibatkan banayak organisasi sebagai peserta, sehingga penanggung jawab langsung, dalam hal ini pimpinan sistem, hendaknya mencurahkan perhatiannya pada masalah-masalah saling ketergantungan dan keterkaitan diantara organisasi atau komponen organisasi peserta (subsistem).

4. Kegunaan Konsep Sistem bagi Manajemen Proyek
Dari Gambar 4-2a dan b serta penjelasan-penjelasan yang menyertainya disebutkan bahwa siklus proyek adalah bagian dari siklus sistem (misalnya sistem produk). Dengan demikian, pokok-pokok metodologi sistem-seperti pemakaian analisis sistem sebagai pola pengambilan keputusan, engineering sistem untuk proses mewujudkan gagasan menjadi sistem sebagai pendekatan pengelolaan yang menekannkan aspek koordinasi dan integrasi subsistem agar menjadi satu sistem terpadu-mengarah kesuksesannya tujuan sistem. Semua ini tepat untuk digunakan dalam usaha mencapai keberhasilan penyelenggaraan proyek, terutama bagi proyek yang berukuran besar dan kompleks seperti proyek E-MK. Pada masa awal proyek, yaitu pada tahap konseptual dan PP/Definisi dimana kegiatan perencanaan-termasuk pengambilan keputusan-merupakan kegiatan yang dominan maka penggunaan analisis sistem akan menaikkan kualitas keputusan yang akan diambil. Pada tahap implementasi, yaitu setelah proyek dinyatakan lulus evaluasi dan seleksi, serta telah tersedia sumber daya,manajemen proyek memusatkan perhatian pada kerhasilan pelaksanaan pekerjaan dengan cara sebagai berikut :
  • Mengelola para peserta proyek (konsultan, kontraktor, rekanan penyandang dana, dan lain-lain) dengan pengertian bahwa mereka adalah subsistem dari suatu sistem (proyek). Mereka harus diarahkan untuk mencapai sasaran bersama, yaitu keberhasilan proyek, meskipun terdapat tujuan yang berlainan. (Pemilik ingin menekan biaya proyek, sedangkan kontraktor atau rekanan kerja ingin meningkatkan laba).
  • Mengelola proyek dengan menyadari bahwa proyek adalah bagian dari siklus sistem yang utuh, jadi mengikuti pola tahap konseptual, desain pendahuluan dan pengembangan, desain terinci, sampai pada konstruksi atau manufaktur, dengan memperhatikan keprluan-keperluan untuk tahap berikutnya (operasi atau produksi dan pemeliharaan).
  • Mengelola proyek dengan memahami siklus proyek dan siklus sistem, sehingga dapat mengikuti dinamika kegiatan dan mengantisipasi kapan, jumlah, dan jenis sumberdaya yang harus disediakan.
Dimasa berlangsungnya proyek (siklus proyek), aktivitas pengelolaan akan mengalami perubahan dengan intensitas sesuai dengan macam dan besarnya kegiatan yang dihadapi pada waktu itu, seperti telah dibahas pada bab 1, yaitu perilaku kegiatan proyek yang dinamis. Sedangkan pada tahap operasi atau produksi pengelolaan bersifat operasional rutin. Penekanan aktivitas pengelolaan untuk masing-masing tahap terlihat pula pada Gambar 4-7. sekali lagi ditekankan disini bahawa salah satu aplikasi yang penting dari pendekatan sistem pad pengelolaan proyek adalah bahwa proyek tersebut merupakan bagian dari total sistem, sehingga keinginan atau syarat-syarat yang diperlukan agar produk atau fasilitas produksi dapat bekerja dengan efektif dan efisien pada tahap operasi haruslah diperhatiakn pada waktu pengelolaan proyek.

5. Integrasi dan Koordinasi
Telah disebutkan pada awal Bab 4 bahwa konsep sistem bertujuan agar pelaksanaan tugas hendaknya berorientasi pada totalitas. Hal ini diupayakan dengan mengadakan koordinasi dan integrasi pengelolaan subsistem yang bersangkutan. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan integrasi dan koordinasi adalah proses yang bertujuan agar komponen-komponen kegiatan proyek (subsistem, bagian kegiatan personil, dan lain-lain) dapat berfungsi sebagai kesatuan yang utuh atau terpadu untuk mencapai tujuan sistem (proyek) secara efektif dan efisien. Dalam hubungan ini, menarik untuk memperhatikan hasil penelitian Peter Moris yang menunjukkan bahwa fungsi intergarasi dan koordinasi diperlukan bila dijumpai keadaan sebagai berikut :
  • Sasaran dan tujuan organisasi memerlukan kelompok-kelompok yang berbeda untuk bekerja sama secara erat.
  • Bekerja dalam lingkungan yang berubah dengan cepat
  • Pekerjaan yang bersifat interrelated dan interconnected.
  • Teknologi dan metode yang digunakan bermacam-macam.
  • Struktur organisasi kompleks dan sering mengalami perubahan.
Keadaan yang digambarkan di atas dijumpai hampir di setiap proyek terutama pada proyek-proyek besar sebagaimana telah dibahas dalam Bab 1,2 dan 3. Proses integrasi dan koordinasi (I & K) selama siklus proyek dapat dibedakan menajdi internal dan eksternal.

Proses I & K Internal berkaitan dengan interaksi kompoenen kegiatan proyek itu sendiri, misalnya hasil kegiatan tahap konseptual berupa studi kelayakan akan menjadi masukan utama tahap berikutnya yaitu tahap PP/Definisi. Interaksi tersebut umumnya berlangsung secara intensif dan seringkali memerlukan :trade-off” di antara komponen kegiatan yang bersangkutan.

Proses integrasi dan koordinasi eksternal ditandai oleh kenyataan bahwa proyek melibatkan banyak peserta di dalam (antar bidang) organisasi perusahaan yang bersangkutan, dan dengan pihak luar(subkontraktor, rekanan, pemerintah dan lain-lain) satu dengan yang lain mempunyai hubungan dan keterkaitan tertentu yang harus berfungsi sebagai kesatuan yang utuh. Agar proyek dapat mencapai sasaran dengan efektif dan efisien, diperlukan langkah koordiansi dan integrasi secara tepat dan ketat. Bila tidak, maka dikhawatirkan mereka akan bergerak sendiri-sendiri dan ini berakibat negatif terhadap pencapaian sasaran.

Proses Integrasi
Proses integrasi tidak berjalan dengan sendirinya tetapi harus direncanakan, didorong dan dilakukan tindakan khusus oleh pengelolaan proyek. Berikut adalah tindakan-tindakan yang diperlukan agar proses integrasi berlangsung efektif.;
  • Menciptakan suasana yang mendukung proses integrasi.
  • Menjalin proses perencanaan → im[plementasi perencanaan → pengendalian secara ketat dalam berbagai aspek kegiatan dan peserta.
  • Mengelola konflik secara tepat
  • Memelihara komunikasi yang aktif dengan stake holder.
a. Menciptakan Suasana yang Mendukung 
Suasana yang mendukung (conducive) perlu diciptakan agar perusahaan yang bersangkutan siap menerima dan mendukung aktivitas yang diperlukan proyek. Penciptaan suasana yang mendukung ini terdiri dari serangkaian tindakan, antara lain :
  • Mengidentifikasi para peserta/pelaksana dan penjelasan tentang adanya proyek serta garis besar rencana pengelolaannya.
  • Mengidentifikasi bidang fungsional dan manajer yang akan berperan.
  • Menunjuk pimpro sebagai penanggung jawab proyek.
  • Menerbitkan project character yang menjelaskan batas-batas otoritas pimpro dengan manajer fungsional.
  • Mengidentifikasi keperluan sumber daya yang diperlukan proyek seperti keuangan, peralatan, personil, dan lain-lain.
  • Menyiapkan prosedur koordinasi proyek, yang menjelaskan tata cara kerja sama antara para peserta atau pelaku inti (pemilik, kontraktor, konsultan, vendor, penyandang dana, dan lain-lain)
Langkah awal di atas dilakukan oleh pemimpin perusahaan sebelum implementasi fisik dimulai.

b. Menjalin Perencanaan dan Pengendalian Secara Ketat
Salah satu cara yang efektif agar terbentuk integrasi antara berbagai komponen kegiatan proyek adalah mengusahakan terjalinnya perencanaan dan pengendalian dalam bentuk siklus perencanaan → implementasi (pelaksanaan dari perencanaan) → pengendalian → koreksi. Hal ini terjadi karena aspek perencanaan dan penegndalian secara berurutan diperlukan untuk pengelolaan baik oleh komponen kegiatan proyek (yang relatif mandiri) maupun kegiatan proyek yang dikerjakan oleh berbagai peserta atau pelaku. Dengan adanya proses perencanaan-implementasi pengendalian-koreksi di atas yang menjangkau proyek secara keseluruhan, komponen kegiatan yang kelihatannya terpecah-pecah itu diharapkan dapat menjadi kesatuan yang terpadu.

c. Mengelola Konflik Secara Tepat 
Konflik akan selalu terjadi bila dua individu atau kelompok mengadakan kerja sama. Konflik yang tidak berlebihan dan dikelola dengan baikakan berdampak positif; sebaliknya konflik yang berlebihan dan tidak dikelola dengan baik akan dapat merugikan penyelenggaraan proyek. Mengelola konflik dalam proyek berarti mngelola individu atau kelompok yang harus bekerja sama dalam waktu relatif pendek, dengan sasaran yang sekaligus sama dan berbeda. Dalam keadaan demikian, pimpro diharapkan memiliki antisipasi yang tajam dan menguasai cara (konsep) menghadapinya.

Salah satu yang sering menjadi sebab timbulnya konflik adalah penentuan prioritas alokasi sumber daya (tenaga ahli, peralatan, dana, dan lain-lain), terutama bagi perusahaan yang menangani multi proyek. Dalam hal demikian, pimpinan perusahaan, misalnya Kepala Divisi Proyek, perlu mengikut-sertakan para pimpro dan stafnya dalam mnyusun perencanaan alokasi sumber daya yang sedang dan akan dilaksanakan.

d. Memelihara Komunikasi dengan Stake Holder
Salah satu sarana integrasi yang penting adalah memelihara komunikasi dengan stake holder proyek, terutama mereka yang berlangsung berurusan sehari-hari dengan proyek seperti tim proyek pemilik, kontraktor, subkontraktor, rekanan, manufacturer, dan lain-lain. Umumnya pimpro harus menyediakan sebagian besar waktunya guna mengurusi komunikasi, seperti mengadakan rapat operasional proyek, menyusun dan me-review laporan, prosedur dan kebijakan, klasifikasi petunjuk dari atasan dan pendapat dari stake holder yang lain, serta di atas menjadi prasyarat terbentuknya integrasi baik yang bersifat internal maupun eksternal. Lebih jauh, adanya komunikasi terbuka akan dapat meminimalkan terjadinya hal-hal yang berakibat negatif terhadap usaha integral seperti perbedaan persepsi, antagonisme antara pelaku atau organisasi dan sikap melawan perubahan (resistance to change).

Spesialisasi dan Integrasi
Dari sudut lain perlunya fungsi integrasi dikemukakan oleh Lawrence dan Lorch bahwa, dengan majunya perkembangan ilmu dan teknologi dan semakin kompleksnya sistem yang dikelola, diperlukan spesialisasi yang semakin mendalam. Dengan sendirinya timbul keperluan akan koordinasi dan integrasi agar para spesialis tidak terpisahkan dan terbenam dalam “keasyikan” dibidangnya masing-masing. Dalam pengelolaan proyek efektif dituntut terciptanya keseimbangan antra kedua keperluan tersebut. Karena bidang fungsional (pendukung proyek) dianggap berorientasi ke spesialisasi, maka tugas pimpro adalah melakukan koordinasi dan integrasi agar dicapai keseimbangan yang diinginkan.

6. “Interface Management”
Dalam usaha memahami lebih jauh fungsi integrasi pada pengelolaan proyek, R. D. Achibald (1979) mencoba menghubungkannya dengan apa yang dikenal sebagai interface management yang didefinisikan sebagai berikut :

“Interface management adalah merencanakan dan mengendalikan interaksi antra berbagai unsur kegiatan dan organisasi para peserta atau stake holder pada waktu area tertentu”.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa interface management terdiri dari identifikasi, dokumentasi, penyusunan jadwal, komunikasi dan pengendalianinterface unsur kegiatan dan organisasi peserta proyek. Dengan demikian, terlihat bahwa suatu interface management yang efektif merupakan syarat penting terciptanya proses integrasi.

Contoh Interface Management
Contoh yang jelas suatu interface management adalah yang brlangsung di zona ketika terjadi interaksi anatara proyek dan organisasi peserta yang bersangkutan, yang dikenal sebagai daerah antarfase (organizational interface). Gambar 4-8 memperlihatkan dua bidang sebagai organisasi peserta yang menangani penyelenggaraan beberapa proyek (A, B dan C), yaitu bidang hukum dan logistik. Tidak seluruh seksi didepartemen tersebut terlibat, tetapi hanya sebagian misanya Seksi Ha (kontrak) dari bidang hukum untuk proyek A, Hb untuk proyek B. Seksi pembelian (Lb) dari bidang logistik dari bidang B dan Lc untuk proyek C. Seksi-seksi Ha, Hb, Lb dan Lc inilah yang dimaskudkan sebagai daerah antar fase dimana pihak proyek hendaknya memperhatikan sepenuhnya dalam bentuk koordinasi dan integrasi agar bagian pekerjaan proyek yang dikerjakan diseksi-seksi tersebut sesuai dengan keperluan dan kepentingan proyek yang bersangkutan dari segi lingkup, jadwal, biaya dan mutu.

Jenis Interface
Disamping pembagian menjadi statis dan dinamis, interface dapat pula digolongkan menajdi personil, organisasi dan sistem.

a. Interface Personil
Dalam proyek terdapat individu atau kelompok yang harus bekerjsama antara satu dengan yang lain. Hal ini selalu menimbulkan potensi untuk timbulnya persoalan karena kepentingan yang sekaligus mengandung unsur kesamaan dan perbedaan.

b. Interface Organisasi
Setiap organisasi pelaku proyek, di samping memiliki tujuan bersama, juga mempunyai tujuan sendiri. Misalnya, di samping ingin mensukseskan pelaksanaan proyek, kontraktor juga ingin mendapatkan laba. Pengelolaan interface jenis ini cukup sulit, karena para organaisasi pelaku umumnya telah merumuskan tujuan secara kongkret dan memegang teguh tujuan tersebut. Contoh interface organisasi

c. Interface Sistem
Interface sistem adalah interface yang berkaitan dengan sistem nonhuman, seperti perangkat keras, fasilitas, instalasi produk dan lain-lain yang sedang dikerjakan dalam suatu proyek. Ini dapat terdiri dari interface fisik yang terdapat pada komponen-komponen yang saling berhubungan (interconnecting part)

Interface dengan Stake Holder
Secara umum yang dimaskud dengan stake holder proyek adalah individu, kelompok atau organisasi yang : 
  • Aktif ikut serta dalam kegiatan proyek
  • Dalam jangka pendek atau panjang akan terkena dampak positif atau negatif dari adanya proyek.
  • Memiliki kepentingan hasil proyek.
Tim pengelolaan proyek harus mengidentifikasi para stake holder untuk mengetahui apa yang mereka harapkan, meskipun hal ini tidak mudah dilakukan karena banyaknya stake holder serta beraneka ragamnya kepentingan yang dimiliki. Beberapa stake holder yang penting adalah sebagai berikut :
Pimpro dan tim inti proyek, yaitu individu dan kelompok yang bertanggung jawab atas pengelolaan proyek. 
  • Pelanggan atau pemilik, yaitu pihak yang akan memakai atau memiliki produk hasil proyek.
  • Sponsor, yaitu pihak yang bertindak sebagai penyandang dana.
  • Pelaksana, yaitu perusahaan yang mengerjakan kegiatan proyek, misalnya kontraktor, subkontraktor dan konsultan.
  • Organisasi atau pihak lain seperti pemerintah atau badan berwenang yang keputusannya dapat mempengaruhi proyek.
  • Pemerhati lingkungan, yaitu individu atau kelompok yang akan terkena dampak proyek dalam arti positi maupun negatif.
Guna membatasi pembahasan, dalam buku ini dipakai istilah peserta proyek yang meliputi beberapa anggota stake holder yang langsung ikut aktif menangani penyelenggaraan proyek seperti pimpro, tim inti proyek pemilik, kontraktor, bidang fungsional yang bersangkutan, dan konsultan. Interface management amat penting artinya terutama dalam rangka mengintegrasikan kegiatan proyek yang dilakukan oleh bagian organisasi para peserta.

a. Interface dengan Pemilik Proyek
Bagi pelaksana (peserta) seperti perusahaan kontraktor, interface dengan pemilik harus didasari pemikiran bahwa segala upaya (hendaknya) diusahakan untuk memenuhi keinginan pelanggan (customer). Dalam konteks ini pemilik adalah pelanggan. Pemilik mempunyai pengaruh dan peranan besar terhadap keberhasilan proses pengelolaan proyek. Seringkali dukungan kerjasama dari pemilik tergantung pada intensitas peranan dan partisipasinya pada tahap perencanan dan implementasi. Pada masa tersebut pelaksanaan harus banyak melakukan konsultasi dengan pemilik dan membicarakan serta membahas berbagai masalah yang berkaitan dengan proram implemenatasi. Diantranya yang terpenting adalah sebagai berikut :
  • Konfirmasi lingkup kerja termasuk jadwal, biaya dan mutu.
  • Organisasi proyek dan pengisian personil inti
  • Prosedur kerja dan koordinasi Prosedur keuangan dan pembayaran
  • Komunikasi, termasuk frekuensi dan jenis laporan
  • Inspeksi dan testing
Keikut sertaan dan persetujuan mengenai masalah tersebut di atas akan mendorong tumbuhnya dukungan dan komitmen dari pemilik yang pada akhirnya mempermudah proses pengelolaan implementasi proyek.

b. Interface dengan Berbagai Bidang dan Pimpinan Internal Perusahaan
Interface antara pimpro dengan berbagai bidang dan pimpinan internal perusahaan dapat dikelompokkan sebagai berikut : 
  • Dengan pimpinan, yaitu kepala divisi koordinasi pelaksana proyek-proyek (korpel). 
  • Dengan kepala atau manajer berbagai bidang fungsional (engineering, pengadaan, personalia, hukum, dan lain-lain). 
  • Dengan anggota atau kelompok dalam inti proyek. 
Pimpinan memegang peranan penting yang meliputi;
  • Meletakkan dasar tujuan dan sasaran proyek sesuai dengan kepentingan perusahaan secara keseluruhan.
  • Menentukan prioritas alokasi sumber daya untuk perusahaan yang sedang menangani multiproyek.
  • Memecahkan konflik yang mungkin timbul bilamana pimpro atau para pimpro belum dapat menyelesaikannya.
Merencanakan pengembangan karir personil.
Sedangkan pimpro berkewajiban melaporkan kemajuan proyek dan kendala-kendala yang dihadapinya.
Interface dengan berbgai bidang fungsional merupakan salah satu tugas yang paling sulit karena pimpro tidak memiliki otoritas “memerintah” sedangkan banyak sekali faktor keberhasilan proyek tergantung dari pekerjaan yang diserahkan kepada bidang-bidang tersebut. Di lain pihak, bidang-bidang fungsional seringkali mempunyai alasan yang wajar seperti berikut ini : 
  • Banyaknya beban pekerjaan yang sedang dihadapi sedangkan sumber daya yang dimiliki amat terbatas 
  • Jadwala penyelesaian yang diajukan tidak realitas 
  • Semua (pekerjaan) proyek minta diprioritaskan 
  • Munculnya hal-hal yang tidak terduga, seperti berhentinya personil atau tenaga ahli.
Untuk menghadapi keadaan di atas, pimpro hendaknya mempunyai cadangan kontijensi untuk mengatasi ketidak tentuan tersebut (misalnya, memaki konsultan dari luar) dan tidak berharap selalu mendapatkan tenaga ahli terbaik. Interface antara pimpro dengan anggota atau kelompok dalam tim inti umumnya tidak terlalu sulit karena mereka dimasukkan (dipindahkan) ke dalam susunan staf pimpro. Jadi, pimpro memiliki jalur (line) otoritas terhadap mereka meskipun waktunya (periodenya) terbatas selama mereka masih diperlukan proyek. Faktor yang perlu diperhatikan pimpro dalam hal terakhir ini adalah agar diusakan mendapatkan anggota staf inti yang betul-betul berkualitas dan siap pakai, karena tidak ada waktulagi utnuk mengadakan pelatihan.

c. Interface dengan Pemerintah dan Masyarakat
Dalam Subbab 4-6 telah disebutkan bahwa integarasi dan koordinasi dengan pihak luar (eksternal) diantaranya adalah yangberkaitan dengan pemerintah dan kelompok masyarakat yang berkepentingan dengan proyek. Seperti halnya dengan para stake holder yang lain perlu diperhatikan pengelolaan interface dengan pihak-pihak tersebut, yaitu melakukan identifikasi dan analisis peranan serta aspek yang dapat dipengaruhi. Intensitas interface golongan ini umumnya tergantung pada sejumlah faktor seperti ukuran proyek, perilaku masyarakat, peraturan pemerintah, dan lain-lain.

Tingkat Manajerial Organisasi Pelaksana 
Tugas dan tanggung jawab pimpro dan tim inti proyek dalam hubungannya dengan manajemen interface akan lebih mudah dirumuskan bila disadari bahwa dalam organisasi pelaksana (misalnya, kontraktor) umumnya terdapat lapisan manjerial (management level) yang masing-masing mempunyai fungsi berbeda, yang dapat digambarkan debagai berikut :

Tingkat I : Manajemen Senior 
Manajemen senior mempunyai tugas berurusan dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia luar proyek, yaitu menghubungkan (interface) masalah proyek dengan masyrakat yang lebih luas seperti pemerintah, pemilik, serta kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat dan kemudian mengambil keputusan yang bersangkutan dengannya.

Tingkat II : Manajemen Madya 
Manajemen madya berfungsi mengadakan koordinasi berbagai kegiatan proyek serta menjabarkan keputusan-keputusan strategis pimpinan perusahaan menjadi perencana operasional. Umumnya posisi pimpro termasuk dalam lapisan tingkat II meskipun tidak secara absolut karena kenytaan menunjukkan bahwa dalam kapasitas yang terbatas pimpro harus pula berurusan dengan pihak luar.

Tingkat III : Manajemen Teknis 
Manajemen teknis berurusan dengan masalah teknis (technical/tactical matters), terutama melaksanakan kegiatan operasional proyek seperti engineering, kontruksi atau manufaktur, sampai menjadi paket deliverable.

Memahami adanya tingkat manajerial pada organisasi pelaksana amat penting artinya dalam manajemen interface, dalam arti siapa atau lapisan manakah yang harus bertanggung jawab dan aktif melaksanakannya.
  • Pemikiran sistem berpengaruh besar terhadap konsep manajemen proyek terutama proyek-proyek besar dan kompleks yang bertujuan mewujudkan gagasan menjadi kenyataan atau bentuk fisik.
  • Sistem dalam pengertian ini diartikan sebagai suatu kebulatan (totalitas ) yang berfungsi secara utuh karena adanya saling keterhgantungan diantara bagian-bagiannya.
  • Seperti halnya proyek, sistem mengenal adanya siklus yang disebut siklus sistem. Siklus sistem ini dimulai dari tahap konseptual, desain pengembangan, manufaktur, instalasi atau kontruksi, operasi atau utilisasi sampai sistem tersebut menurun dan berhenti berfungsi.
  • Berdasarkan pemikiran ini, siklus proyek adalah bagian dari siklus sistem, yaitu periode mulai dari tahap konseptual sampai dengan implementasi fisik, misalnya menghasilkan instalasi atau gedung baru. Tahap operasi dan pemeliharaan hasil proyek berada di luar siklus proyek tetapi masih di dalam siklus sistem tersebu
  • Meskipun tahap operasi atau produksi hasil proyek berada di luar siklus proyek (di luar pengelolaan proyek), pemikiran sistem menekankan agar, sewaktu mewujudkan gagasan menjadi bentuk fisik (siklus proyek), diperhatikan masalah-masalah yang menyangkut operasi, pemeliharaan, dan kehandalannya. Jadi, pemikiran sisitem ini menyangkut totalitas sistem.
  • Dikenal tiga metodologi sistem yang erat kaitannya dengan penyelenggaraan proyek, yaitu metodologi analisis sistem, engineering sistemdan manajemen sistem. Analisis sistem berurusan dengan proses analisis untuk pemilihan alternatif dan pengambilan keputusan. Engineering sistem memberikan sistematika dan prosedur rekayasa untuk mewujudkan sistem. Sedangkan manajemen sistem memberikan penekanan pada orientasi mencapai tujuan dan optimasi total sistem.
  • Aspek integrasi dan koordinasi mendapat perhatian utama karena proyek umumnya terdiri dari bermacam-macam pekerjaan yang dilakukan oleh sejumlah organisasi atau kelompok peserta.
  • Interface manajemen berurusan dengan perencanaan dan penegndalian interaksi berbagai unsur kegiatan atau peserta proyek (stake holder) pada kurun waktu dan area tertentu.
  1. Apakah yag dimaksud dengan pendekatan atau pemikiran sistem? Pendekatan ini dianggap amat relevan untuk menghadapi proyek. Uraiakan dimana letak relevansinya. Jelaskan pula bahwa pemikiran sistem tidak dapat dipisahkan dari pengelolaan proyek besar dan kompleks yang mengandung unsur engineering cukup besar.
  2. Siklus proyek dinyatakan sebagai bagian dari siklus sistem. Apakah implikasi keadaan demikian?
  3. Dalam usaha mewujudkan gagasan menjadi kenyataan fisik, yang kemudian mengoperasikannya, dikenal adalah siklus sistem dan siklus biaya yang saling terkait. Agar didapatkan keseimbangan optimal antara kedua siklus tersebut perlu dianalisis dan diperhitungkan parameter-parameter yang bersangkutan. Sebutkan ari parameter-parameter tersebut yang lazimnya paling sulit ditentukan!
  4. Bagaimana proses dalam mekanisme pendekatan analisis sistem dibandingkan dengan cara analisis yang lain? Jelaskan tahap-tahap analisis siste
  5. Sebutkan tahap-tahap engineering sistem dibandingkan dengan kegiatan proyek E-MK pada tahap konseptual, PP/Definisi dan awal implementasi (engineering terinci). Bagaimana kesimpulan saudara?
  6. Metodologi analisis sistem dan enginering sistem merupakan pendekatan yang penting dan dipraktekan pada tahap konseptual, perencanaan dan sebagai tahap implementasi fisik proye. Uraikan apakah terdapat macam proyek yang kurang memerlukan penekanaan pendekatan tersebut di atas.
  7. Pada aspek dan tahap mana, aplikasi manajemen sistem perlu ditekankan pada proses penyelenggaraan proyek?
  8. Sebutkan satu tindakan terpenting agar proses integrasi dapat berlangsung dengan lancar. Terangkan jawaban Anda!
  9. Manajemen interface dengan pihak luar seringkali merupakan hal yang amat sulit dan memerlukan pendekatan yang khusus. Jelaskan pernyataan tersebut!
  10. Mengikat stake holder memiliki kepentingan yang berbeda bahkan kadang-kadang juga berlawanan, sebutkan bagaimana cara pimpro harus menghadapi dan menanganinya! 
C. DAFTAR PUSTAKA
Ali, Tubagus Haedar. 1989. Prinsip Prinsip Network Planning. Cetakan Keua. Jakarta. Penerbit PT. Gramedia
Fahrenkrog, Steve, PMP. 2004. A guide to the Project Management Body of Knowledge. Third Edition. Global Standard, ANSI. Project Mangement Institute. Newtown Square Pennsylvania USA.
O’Ben, James A. 2002. Management Information Systems : Mannagement Information Technology in the E-Bussiness Enterprice. Fifth Edition. New York. McGraw-Hill USA.

Otoritas Gereja Katolik dan Protestan


Untuk video, pedoman studi dan bahan-bahan lainnya, silakan kunjungi Third Millennium Ministries di thirdmill.org. 

Membangun Teologi Anda
© 2012 by Third Millennium Ministries 
Semua Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak terbitan ini dalam bentuk apapun atau dengan cara apapun untuk diperjualbelikan, kecuali dalam bentuk kutipan-kutipan singkat untuk digunakan sebagai tinjauan, komentar, atau pendidikan akademis, tanpa izin tertulis dari penerbit, Third Millennium Ministries, Inc., P.O. Box 300769, Fern Park, Florida 32730-0769. 

Kecuali disebutkan, semua kutipan Alkitab diambil dari ALKITAB BAHASA INDONESIA TERJEMAHAN BARU, © 1974 LEMBAGA ALKITAB INDONESIA. 

tentang Third Millennium Ministries 
Didirikan pada tahun 1997, Third Millennium Ministries adalah sebuah organisasi nirlaba yang didedikasikan untuk menyediakan Pendidikan Alkitab. Bagi Dunia. Secara cuma-cuma. Dalam menyikapi kebutuhan global yang semakin berkembang akan pelatihan kepemimpinan Kristen yang benar dan berdasarkan Alkitab, kami membuat kurikulum seminari multimedia yang mudah digunakan dan didukung oleh donasi dalam lima bahasa (Inggris, Spanyol, Rusia, Mandarin, Arab) dan membagikannya secara cuma-cuma kepada mereka yang paling memerlukannya, terutama bagi pemimpin-pemimpin Kristen yang tidak memiliki akses untuk atau mengalami kendala finansial untuk dapat mengikuti pendidikan tradisional. Semua pelajaran ditulis, dirancang dan diproduksi oleh organisasi kami sendiri, serta memiliki kemiripan dalam gaya dan kualitas dengan pelajaran-pelajaran yang ada di History Channel©. Metode pelatihan yang tidak ada bandingannya dan hemat-biaya untuk para pemimpin Kristen ini telah terbukti sangat efektif di seluruh dunia. Kami telah memenangkan Telly Awards untuk produksi video yang sangat baik dalam Pendidikan dan Penggunaan Animasi, dan kurikulum kami ini baru-baru ini telah digunakan di lebih dari 150 negara. Materi Third Millennium ada dalam bentuk DVD, cetakan, streaming internet, pemancar televisi satelit, siaran radio serta televisi. 

Untuk informasi lebih lanjut mengenai pelayanan kami dan untuk mengetahui bagaimana Anda bisa mengambil bagian di dalamnya, silakan kunjungi http://thirdmill.org. 

Daftar Isi 
I. Introduksi........................................................................................................... 1 

II. Gereja Katolik Roma Zaman Pertengahan..................................................... 1 
A. Otoritas Alkitab 2 
1. Inspirasi 2 
2. Makna 3 
3. Ketidakjelasan 4 
B. Otoritas Gereja 4 
1. Otoritas di Masa Lampau 5 
2. Otoritas Kontemporer Zaman Pertengahan 6 

III. Protestantisme Mula-Mula................................................................................ 6 
A. Otoritas Alkitab 7 
1. Inspirasi 7 
2. Makna 8 
3. Kejelasan 10 
B. Otoritas Gereja 11 
1. Otoritas Masa Lampau 11 
2. Otoritas Protestan Kontemporer 14 

IV. Protestantisme Kontemporer............................................................................ 15 
A. Otoritas Alkitab 15 
1. Inspirasi 15 
2. Makna 16 
3. Kejelasan 18 
B. Otoritas Gereja 20 
1. Otoritas Masa Lampau 20 
2. Otoritas Protestan Kontemporer 22 
V. Kesimpulan ........................................................................................................ 24 

INTRODUKSI 
Pernahkah Anda memperhatikan berapa banyak masa hidup kita yang kita gunakan untuk mencari dan mengikuti otoritas? Saya tahu hal ini terdengar aneh di dalam dunia modern, tetapi ini memang benar. Ketika mobil kita rusak, kita mencari orang yang dapat memperbaikinya. Ketika kita sakit, kita mencari orang yang berotoritas dalam dunia medis. Dalam hampir semua wilayah kehidupan, jika kita bijaksana, kita mencari orang-orang yang berotoritas dan dengan saksama mendengarkan mereka, dan dalam derajat tertentu kita mengikuti arahan mereka. 

Hal serupa juga berlaku di dalam teologi Kristen. Jika kita bijaksana, kita juga akan mendengarkan orang-orang yang berotoritas di dalam teologi. Kita mencari bimbingan untuk memimpin kita ke arah yang benar dan kita mendengarkan mereka dengan saksama. Secara sekilas, bisa terkesan bahwa pertanyaan tentang otoritas dalam teologi Kristen adalah masalah sederhana. Akan tetapi, ketika orang Kristen mencari bimbingan dalam teologi selama beberapa milenium, mereka telah menemukan munculnya sejumlah isu praktis yang sangat penting. Jenis otoritas apa yang kita perlukan untuk teologi Kristen? Di mana kita bisa menemukannya?

Pelajaran keempat dalam seri Membangun Teologi Anda ini diberi judul “Otoritas dalam Teologi,” sebab kita akan menelusuri beberapa isu sentral yang terlibat di dalam menemukan dan mengikuti otoritas ketika kita membangun teologi kita. 

Kita akan memusatkan perhatian kita pada cara-cara orang Kristen menangani hal ini dalam tiga periode sejarah gereja yang berbeda. Pertama, kita akan merangkum pandangan-pandangan tentang otoritas teologis dalam Gereja Katolik Roma Zaman Pertengahan (medieval); kedua, kita akan memeriksa bagaimana kaum Protestan mula-mula memahami otoritas teologis; dan ketiga, kita akan menelusuri bagaimana kaum Protestan pada masa kini harus menangani hal-hal ini. Mari kita mulai dengan memperhatikan pandangan Katolik Roma Zaman Pertengahan tentang otoritas dalam teologi Kristen. 

GEREJA KATOLIK ROMA ZAMAN PERTENGAHAN 
Di sepanjang seri pelajaran ini, kita terutama telah memusatkan perhatian pada teologi Reformed atau Protestan, tetapi seringkali akan bermanfaat jika kita mulai dengan Gereja Katolik Roma Zaman Pertengahan sebagai latar belakang bagi pandangan-pandangan Protestan. Seperti yang akan kita lihat, pandangan Reformed tentang otoritas dalam teologi dibangun terutama sebagai respons terhadap kesalahan-kesalahan gereja di Zaman Pertengahan. 

Ketika kita menelusuri gereja Zaman Pertengahan, kita akan menyinggung dua topik: pertama, doktrin Zaman Pertengahan tentang otoritas Alkitab; kedua, pandangan yang dihasilkan tentang otoritas gerejawi. Mari kita perhatikan terlebih dulu otoritas Alkitab di dalam Gereja Katolik Roma Zaman Pertengahan. 

Otoritas Alkitab
Sebelum Reformasi, Alkitab diperlakukan secara berbeda oleh orang-orang yang berbeda dan ordo-ordo yang berbeda di dalam gereja. Meskipun begitu, cukup adil untuk mengatakan bahwa mayoritas yang sangat luas dari teolog Zaman Pertengahan mempercayai otoritas Alkitab, setidaknya secara teori. Akan tetapi, dalam praktiknya, gereja Zaman Pertengahan mengambil sikap terhadap Alkitab yang membuatnya hampir mustahil untuk menindaklanjuti komitmen kepada otoritas Alkitab ini. 

Ketika kita menyelidiki masalah ini, kita akan menyinggung tiga hal: pertama, pandangan ekstrim tentang inspirasi Alkitab pada Zaman Pertengahan; kedua, pandangan yang berlebihan tentang makna Alkitab; dan ketiga, klaim yang berlebihan tentang ketidakjelasan Alkitab. Pertama mari kita pikirkan terlebih dulu tentang pandangan Zaman Pertengahan tentang inspirasi Alkitab.

Inspirasi
Secara keseluruhan, para teolog Katolik Zaman Pertengahan mengakui bahwa Alkitab sepenuhnya diinspirasikan oleh Allah dan diberikan melalui instrumen-instrumen manusiawi. Sayangnya, selama periode sejarah gereja ini, banyak teolog menjadi terlalu ekstrim dalam cara mereka mengerti inspirasi. Mereka menekankan asal-usul ilahi Alkitab dengan mengabaikan asal-usul manusiawi dan historisnya. Zaman Pertengahan menekankan asal-usul ilahi Alkitab secara berlebihan karena sejumlah alasan. 

Sebagai contoh, para teolog Zaman Pertengahan sangat bergantung pada filsafat Yunani, seperti neo-Platonisme dan Aristotelianisme, dan dalam banyak cara filsafat-filsafat ini mengarahkan kategori-kategori dan prioritas-prioritas teologi Kristen. Karena filsafat-filsafat ini lebih menghargai realitas kekal ketimbang realitas sementara dan historis, para teolog Kristen belajar untuk berpikir bahwa asal-usul surgawi Alkitab jauh lebih esensial bagi karakter Alkitab ketimbang asal-usul historis dan manusiawinya. 

Selain hal ini, para sarjana biblika Zaman Pertengahan sedikit sekali mengetahui sejarah kuno zaman Alkitab sehingga mereka tidak dapat memanfaatkan latar belakang historis Alkitab secara praktis. Jadi, mereka menekankan apa yang mereka ketahui – yaitu bahwa Alkitab mengandung kebenaran abadi yang telah diwahyukan oleh Allah surgawi yang kekal – dan mereka banyak meremehkan pertimbangan-pertimbangan lainnya. 

Penekanan gereja Zaman Pertengahan pada asal-usul ilahi Alkitab juga membawa kepada suatu kepercayaan yang merugikan tentang makna Alkitab. Secara luas diasumsikan bahwa asal-usul surgawi Alkitab mengimplikasikan bahwa Alkitab tidak menyampaikan makna dengan cara yang sama seperti kitab-kitab lain. Sebaliknya, karena Allah yang menginspirasikannya, Alkitab melimpah dengan makna. Banyak teolog abad pertengahan mengikuti Agustinus dalam meyakini bahwa salah satu bukti untuk inspirasi Alkitab adalah bahwa teks Alkitab memiliki makna majemuk. 

Perhatikan bagaimana Agustinus menyatakan ini dalam buku ketiga dari On Christian Doctrine:

Ketika... dua atau lebih tafsiran diberikan terhadap kata-kata yang sama dalam Alkitab, meskipun makna yang dimaksudkan oleh penulisnya tetap tidak ditemukan, tidak ada bahaya... Sebab hal apakah yang lebih berlimpah dan lebih bermanfaat yang bisa Allah berikan sehubungan dengan Kitab Suci yang Sakral selain bahwa kata-kata yang sama dapat dipahami dengan beberapa pengertian? 

Dalam banyak hal, kita dapat mengagumi pandangan Agustinus yang meninggikan Alkitab. Alkitab bukanlah buku biasa, dan banyak kualitasnya yang luar biasa menunjuk kepada inspirasi ilahinya. Kita juga bisa menyetujui bahwa banyak aspek Alkitab hanya dapat dijelaskan dalam kerangka pengawasan adikodrati Allah dalam penulisannya. 

Makna
Akan tetapi, pandangan Agustinus diteruskan lebih jauh lagi. Ia percaya bahwa inspirasi ilahi menyebabkan bagian-bagian Alkitab disarati dengan berbagai makna. Ketimbang memusingkan tentang pemikiran-pemikiran yang ingin disampaikan oleh para penulis Alkitab, Agustinus percaya kita harus memusatkan perhatian pada banyak makna yang Allah maksudkan. Kita akan menyebut pandangannya, dan pandangan-pandangan lain yang berkaitan sebagai “pandangan polivalensi klasik,” yaitu kepercayaan bahwa teks alkitabiah memiliki banyak tingkatan makna atau nilai karena berasal dari Allah. 

Barangkali ekspresi yang paling dikenal luas dari polivalensi klasik ini adalah pendekatan untuk penafsiran yang dipopulerkan oleh John Cassian, yang dikenal sebagai Quadriga. Menurut pendekatan ini, setiap teks Alkitab harus dianggap memiliki empat makna yang berbeda. Pertama, makna harfiah adalah makna langsung atau biasa dari suatu teks. Kedua, makna alegoris menafsirkan teks sebagai kiasan untuk kebenaran doktrinal. Ketiga, makna tropologis atau moral menghasilkan pedoman etis untuk perilaku Kristen. Dan keempat, makna anagogis menunjukkan bagaimana teks tersebut berbicara tentang penggenapan masa depan dari janji-janji ilahi di dalam eskhaton, atau pada hari-hari terakhir.

Detail-detail Quadriga dan ekspresi-ekspresi lain dari polivalensi klasik tidak penting untuk tujuan kita, dan banyak penulis telah menjelaskannya dalam tulisan lain. Kita hanya ingin memahami bahwa pada masa Reformasi, kebanyakan teolog Katolik percaya bahwa makna teks alkitabiah jauh melampaui apa yang kini kita sebut sebagai makna normal atau biasa. Dan secara signifikan, mereka cenderung percaya bahwa makna-makna tambahan ini tidak berakar pada makna yang ingin disampaikan oleh para penulis Alkitab. Bahkan, makna harfiah atau tersurat dari suatu nas kerap dianggap terlalu sederhana bagi perenungan teologis yang serius. Sebaliknya, para teolog didorong untuk mementingkan lapisan-lapisan makna yang lebih dalam dan tersembunyi sebab hal-hal itu menyatakan kedalaman pikiran Allah bagi gereja. 

Ketidakjelasan
Pendekatan Zaman Pertengahan kepada inspirasi dan makna Alkitab mengarahkan kita kepada penekanan yang berlebihan pada karakteristik lain dari Alkitab: ketidakjelasannya. Alkitab akhirnya diperlakukan sebagai sebuah kitab yang sangat tidak jelas, kecuali bagi mereka yang telah menerima wawasan-wawasan supernatural yang khusus. 

Kita tidak perlu heran bahwa isi Alkitab terkesan tidak jelas bagi rata-rata orang Kristen sebelum Reformasi. Pertama-tama, Alkitab sangat langka sehingga orang hampir tidak memiliki akses untuk membacanya. Lagi pula, bahasa Latin adalah bahasa utama Alkitab dan teologi, dan hanya sedikit orang berpendidikan tinggi yang cukup menguasai bahasa Latin cukup untuk dapat menggunakannya. Maka, masuk akal bahwa Alkitab merupakan kitab yang tertutup bagi rata-rata orang Kristen pada zaman itu. 

Akan tetapi, Alkitab juga dianggap tidak jelas bahkan bagi mereka yang memiliki kemampuan dan kesempatan untuk membaca Alkitab. Allah telah menaruh banyak lapisan makna di dalam Alkitab yang tersembunyi dari pandangan mata. 

Bayangkan seseorang memperlihatkan sebuah foto dari peti harta yang tertutup kepada Anda, dan meminta Anda untuk memberitahukan jenis harta apa yang ada di dalamnya. Tentu saja, mustahil untuk mengetahui apa yang ada di dalam peti itu sebab harta di dalamnya tersembunyi. Hal yang sama juga berlaku pada Alkitab di dalam gereja Zaman Pertengahan. 

Pada masa Reformasi, kepercayaan tentang ketidakjelasan Alkitab mengakibatkan Alkitab hampir tidak mungkin memiliki otoritas praktis atau nyata bagi perkembangan teologi. Tentu saja, Alkitab secara teori tetap merupakan peti harta Allah yang diinspirasikan bagi teologi Kristen. Akan tetapi, pada intinya, Alkitab tetap tertutup; Alkitab begitu tidak jelas sehingga tidak sanggup menuntun para teolog dalam tugas mereka. 

Sambil mengingat pandangan Zaman Pertengahan tentang otoritas Alkitab, kita siap untuk beralih kepada pertimbangan kedua kita: otoritas gerejawi di dalam gereja Zaman Pertengahan. 

Otoritas Gereja
Pandangan Zaman Pertengahan tentang otoritas gereja berkembang sebagai obat penawar bagi masalah-masalah yang dimunculkan oleh doktrin Zaman Pertengahan tentang Alkitab. Karena Alkitab dianggap tidak jelas, maka Alkitab tidak dapat berfungsi sebagai otoritas atas teologi. Akibatnya, otoritas gerejawi atau gereja mulai memainkan peran yang sangat penting dalam teologi. 

Untuk mengerti peran khusus dari otoritas gerejawi ini, kita akan melihat ke dua arah: pertama, bagaimana para teolog Zaman Pertengahan memahami otoritas gereja di masa lalu mereka; dan kedua, bagaimana mereka memahami otoritas gerejawi di zaman mereka sendiri. Mari kita lihat terlebih dulu otoritas teologi gerejawi dari masa lampau. 

Otoritas di Masa Lampau
Pada masa Reformasi, Gereja Katolik telah mengembangkan pendekatan yang cukup rumit tentang otoritas gerejawi di masa lampau. Tentu saja, Alkitab itu sendiri dilihat sebagai bagian dari warisan gereja. Namun, sebagaimana telah kita lihat, pada Zaman Pertengahan, ajaran-ajaran Alkitab itu sendiri dianggap begitu tidak jelas sehingga diperlukan sumber panduan lainnya. Akibatnya, para teolog Zaman Pertengahan menyelidiki sejarah teologi gerejawi untuk menentukan apa yang harus mereka percayai. Dan mayoritas terbesar dari mereka melihat sejarah gereja sebagai sejarah tentang Allah yang memimpin dan menuntun umat-Nya di dalam jalan-jalan kebenaran. Karena alasan ini, apa yang gereja ajarkan di masa lampau menjadi perhatian vital bagi para teolog Zaman Pertengahan setidaknya dalam dua hal.

Di satu pihak, banyak perhatian diberikan kepada para bapa gereja mula-mula. Tulisan-tulisan dari orang-orang seperti Polikarpus, Ignatius, Irenaeus, Tertulianus dan Yustinus Martir, dan para bapa gereja yang kemudian seperti Agustinus, Athanasius dan Hieronimus – orang-orang ini sangat mempengaruhi kepercayaan dari berbagai ordo di dalam gereja. Memang lazimnya para bapa gereja ini tidak dianggap infallible, dan berbagai cabang gereja cenderung menghargai arus-arus tradisi bapa gereja yang berbeda. 

Namun, secara umum orang masih mengasumsikan bahwa Allah telah memberikan wawasan khusus kepada para teolog agung di masa lampau ini, dan bahwa gereja harus memberi perhatian khusus kepada ajaran mereka. Para teolog Zaman Pertengahan jarang membuat penegasan teologis tanpa sejenis dukungan dari para bapa gereja mula-mula. 

Di pihak lain, gereja Zaman Pertengahan bahkan lebih bergantung pada konsili-konsili ekumenis gereja: konsili Nicea, konsili Konstantinopel, konsili Chalcedon. Temuan-temuan dari konsili-konsili ini dan konsili-konsili lainnya ditanggapi dengan sangat serius. Pada intinya, para teolog Zaman Pertengahan menganggap semua itu sebagai rangkuman yang tidak diragukan lagi dari ajaran Alkitab. Tidak sepaham dengan semuanya itu sama saja dengan tidak sepaham dengan Alkitab dan Kristus. 

Setelah berabad-abad berlalu, banyak ajaran para bapa gereja dan temuan konsili ekumenis berkembang menjadi tradisi gerejawi yang resmi. Dan ketika semua tradisi ini menguat, hal-hal tersebut ikut membentuk dogma ekstensif yang dianut gereja. Dogma gerejawi ini tidak dianggap sebagai teologi manusia yang fallible, tetapi sebagai teologi yang menyandang otoritas yang sama dengan Alkitab. Bahkan, pada intinya, dogma gereja menggantikan Alkitab. Sebelum Reformasi, orang Kristen yang setia tidak diharapkan untuk bertanya, “Apa yang Alkitab katakan?” tetapi “Apa yang gereja katakan?”

Walaupun otoritas gerejawi masa lampau penting bagi gereja Zaman Pertengahan, doktrin Alkitab masa tersebut juga menciptakan kebutuhan akan otoritas teologis yang tinggi pada situasi kontemporer.

Otoritas Kontemporer Zaman Pertengahan 
Yang pasti, gereja terus mengakui otoritas Alkitab dalam teori. Akan tetapi, Alkitab sendiri terlalu tidak jelas untuk memimpin gereja dalam isu-isu kontemporer yang belum diselesaikan di masa lampau. Jadi, bagaimana gereja mendapatkan panduan dalam menghadapi berbagai kontroversi teologis saat itu?

Sederhananya, para teolog abad pertengahan percaya bahwa Allah telah mendirikan suatu sistem otoritas hidup di dalam hierarki gereja, dan hierarki ini melengkapi tubuh Kristus dengan ajaran yang tidak perlu diragukan lagi. Otoritas untuk menyelesaikan kontroversi saat itu ada di tangan para imam, uskup, dan Paus yang oleh banyak pihak dianggap sebagai kepala gereja yang infallible. Ketika ada keputusan teologis yang harus ditetapkan, orang percaya tidak dianjurkan untuk bertanya, “Apa kata Alkitab?” Sebaliknya, mereka didorong untuk bertanya, “Apa yang dikatakan oleh hierarki gereja?”

Beberapa puluh tahun yang lalu saya melayani dalam proyek penginjilan untuk orang-orang jalanan di sebuah negara Eropa Timur, yang mayoritas penduduknya beragama Katolik. Pada satu kesempatan, saya menawarkan Alkitab kepada seorang pemuda. Ia berhenti dan berbicara dengan saya, tetapi menolak untuk menerima Alkitab itu. Ia berkata kepada saya, “Saya tidak bisa mengerti Alkitab. Imam saya harus memberitahukan artinya kepada saya.” “Tidak, Anda bisa memahaminya,” saya berkata kepadanya sambil membuka ke Yohanes 3:16, “Coba baca ayat ini dan beri tahu saya apa artinya.” Ia memperhatikan Yohanes 3:16, lalu dengan sangat tulus berkata, “Sudah saya katakan, saya tidak bisa memahami artinya; hanya imam saya yang dapat memberitahukan artinya untuk saya.” Meskipun pemuda itu hidup dalam dunia modern, pendekatannya kepada Alkitab sangat mirip dengan kebanyakan orang Kristen Barat dalam Zaman Pertengahan. 

Jika satu-satunya cara untuk mengerti kehendak Allah adalah melalui otoritas gerejawi, maka tidak ada alasan yang baik bagi orang Kristen biasa untuk memperhatikan Alkitab sama sekali. Jika demikian, yang berfungsi sebagai pembimbing yang infallible bagi teologi kontemporer adalah hierarki resmi gereja, dan bukan Alkitab. 

Dengan mengingat pandangan dari Zaman Pertengahan ini, kini kita siap untuk menghargai bagaimana kaum Protestan mula-mula memahami otoritas alkitabiah dan otoritas gerejawi. 

PROTESTANTISME MULA-MULA 
Dalam banyak hal, inti kontroversi di antara kaum Katolik dan Protestan tepatnya adalah dalam hal otoritas. Apakah Alkitab akan berfungsi sebagai panduan bagi gereja ataukah otoritas gerejawi di masa lampau dan masa kini yang akan mengarahkannya?

Pertama-tama, kita akan memperhatikan pandangan Protestan tentang otoritas Alkitab dan, kedua, pandangan Protestan tentang otoritas gerejawi. Mari kita lihat terlebih dulu pandangan Protestan tentang otoritas Alkitab. 

Otoritas Alkitab
Seperti yang kita lihat, pandangan Katolik Zaman Pertengahan tentang Alkitab bersifat ekstrim dalam beberapa cara yang signifikan. Dalam bagian ini, kita akan melihat bahwa kaum Protestan mula-mula menanggapi kesalahan-kesalahan ini dengan mengkalibrasi ulang doktrin inspirasi, makna, dan kejelasan dari Alkitab. Kita tinjau terlebih dulu doktrin inspirasi. 

Inspirasi
Sejak awal harus kita katakan bahwa seperti halnya para teolog Zaman Pertengahan, para Reformator mengerti bahwa Alkitab memiliki asal usul ilahi sekaligus manusiawi. Di satu pihak, mereka melihat Alkitab sebagai suatu kitab supernatural yang berasal dari Allah. Luther, Zwingli dan Calvin menyatakan secara tegas bahwa Alkitab diberikan kepada umat Allah melalui inspirasi ilahi. Mereka menganggap serius perkataan rasul Paulus di dalam 2 Timotius 3:16 bahwa: 

Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran (2 Timotius 3:16).

Sebagaimana diajarkan oleh nas ini, Alkitab terutama berasal dari Allah, dan dirancang untuk menyediakan bagi umat Allah wahyu khusus yang sepenuhnya dapat diandalkan. 

Para Reformator percaya bahwa tangan Allah melindungi Alkitab dari kesalahan. Allah secara supernatural memberikan kepada para penulis Alkitab informasi tentang masa kini, masa lampau dan masa yang akan datang, dan Ia membimbing mereka dalam proses penulisannya sehingga semua yang mereka tuliskan itu benar. Yang paling penting, inspirasi ilahi memberikan kepada Alkitab otoritas absolut yang tidak mungkin diragukan. 

Akan tetapi, para Reformator menghindari kesalahan gereja Zaman Pertengahan dengan mengakui juga bahwa para penulis manusia yang menulis Alkitab memberikan kontribusi-kontribusi yang signifikan terhadap isi dan makna Alkitab. Ketimbang memperlakukan Alkitab seakan-akan kitab itu telah jatuh dari langit, kaum Protestan mula-mula menekankan bahwa Alkitab datang melalui instrumen manusiawi, melalui proses-proses sejarah. Perhatian pada kepengarangan manusiawi ini sangat sesuai dengan cara Yesus dan para penulis Alkitab itu sendiri kerap memperlakukan Alkitab.

Sebagai contoh, di dalam Matius 22:41-44 kita membaca catatan ini:

Ketika orang-orang Farisi sedang berkumpul, Yesus bertanya kepada mereka, kata-Nya: “Apakah pendapatmu tentang Mesias? Anak siapakah Dia?” Kata mereka kepada-Nya: “Anak Daud.” Kata-Nya kepada mereka: “Jika demikian, bagaimanakah Daud oleh pimpinan Roh dapat menyebut Dia Tuannya, ketika ia berkata: Tuhan telah berfirman kepada Tuanku: duduklah di sebelah kanan-Ku, sampai musuh-musuh-Mu Kutaruh di bawah kaki-Mu” (Matius 22:41-44).

Dalam nas ini Yesus menggunakan Mazmur 110:1 untuk membingungkan orang Farisi dengan cara mengarahkan perhatian mereka secara eksplisit kepada Daud, penulis manusia dari nas ini. Baik Yesus maupun orang Farisi sepakat bahwa Mesias haruslah keturunan Daud. Akan tetapi, di Palestina abad pertama, Daud lazimnya tidak akan menyebut keturunannya “Tuhan.” 

Jadi, Yesus meminta orang-orang Farisi untuk menjelaskan mengapa Daud memberikan gelar ini kepada anaknya. Perhatikan bahwa argumen Yesus bergantung pada fakta bahwa makna Alkitab sebagian bergantung pada rincian kehidupan dari para pengarang manusianya. Ada banyak contoh-contoh semacam ini tentang para penulis dan tokoh Alkitab yang menyebut Musa, Yesaya, Yeremia, Daud, Paulus, dan orang-orang lainnya sebagai instrumen-instrumen dari Firman Allah. Instrumen manusiawi ini memberikan sejumlah kontribusi pribadi yang signifikan kepada Alkitab. 

Dari contoh ini dan contoh yang lainnya, para Reformator dengan tepat menyimpulkan bahwa Alkitab muncul dari situasi manusiawi yang nyata, dan ditulis oleh manusia untuk keadaan-keadaan historis tertentu. Agar orang Kristen dapat mengerti Alkitab dengan tepat, mereka tidak boleh hanya menekankan asal-usul ilahi dari Alkitab, tetapi juga asal-usul manusiawinya yang historis. 

Mementingkan sisi manusiawi dalam inspirasi Alkitab bukan sekadar teori bagi para Reformator; hal ini secara signifikan juga mempengaruhi cara mereka memahami makna Alkitab. 

Makna
Kita dapat merangkumkan hal ini demikian: Ketimbang mengikuti teladan dari aliran Katolik Roma Zaman Pertengahan dengan mencari makna-makna ilahi yang tersembunyi di dalam Alkitab, para Reformator berusaha untuk mendasarkan semua penafsiran mereka pada pengertian harfiah dari teks alkitabiah, makna yang ingin dikomunikasikan oleh para penulis manusianya kepada para pembaca aslinya. 

Memang kita harus menyadari bahwa kaum Protestan mula-mula tidak sepenuhnya meninggalkan pendekatan Zaman Pertengahan terhadap makna Alkitab. Kadang kala, sisa-sisa dari polivalensi klasik muncul dalam tulisan para Reformator. Sebagai contoh, tafsiran Luther tentang Mazmur memperlihatkan ketergantungan yang terus berlanjut pada metode penafsiran ini. Namun, dapat dikatakan bahwa para Reformator secara konsisten jauh lebih menekankan makna yang dimaksud oleh penulis manusia ketimbang kebanyakan penafsir Katolik. Dan secara umum, mereka mendasarkan banyak penerapan nas-nas Alkitab pada makna asli dari teks. Bagi orang Protestan, fokus historis ini sangat penting bagi penafsiran. 

Untuk memahami penekanan Reformasi pada makna harfiah atau tersurat dari teks Alkitab, akan membantu jika kita mengingat bahwa pendekatan hermeneutis ini telah berakar di Eropa Barat selama masa Renaisans di abad ke-15. 

Istilah Renaisans atau “kelahiran kembali” berasal dari munculnya kembali minat terhadap literatur dan kebudayaan Romawi klasik dan secara khusus Yunani yang terjadi di Eropa Barat sebelum terjadinya Reformasi. Sebelum Renaisans, biasanya para ahli hanya mengenal tulisan-tulisan kuno Yunani dalam bentuk terjemahannya, dan penafsirannya kebanyakan dilakukan di bawah pengawasan gereja. Pada saat-saat yang berbeda, gereja bisa dikatakan telah membaptis Plato, Aristoteles dan para penulis Yunani lainnya mereka ditafsirkan seolah-olah mendukung doktrin Kristen. Akan tetapi, selama Renaisans, banyak ahli menemukan patron yang mendukung keinginan mereka untuk memahami teks-teks kuno dari zaman klasik tanpa pengawasan gerejawi. Sebaliknya, mereka mulai menafsirkan tulisan-tulisan ini sesuai dengan maksud awal dari para penulisnya. Dan akibatnya, penafsiran terhadap sastra klasik yang sangat dihargai itu mulai berfokus pada makna historisnya, yang kerap memiliki kontras yang tajam dengan ajaran-ajaran gereja. 

Pada masa Renaisans, edisi-edisi baru Alkitab Ibrani dan Yunani juga diterbitkan dan ini juga mengakibatkan suatu pergeseran yang signifikan di dalam penafsiran Alkitab. Sebagaimana telah kita lihat, sebelum masa itu, ayat-ayat Alkitab kebanyakan ditafsirkan di bawah panduan gereja dan untuk mendukung dogma gereja. Akan tetapi, mengikuti prinsip Renaisans, banyak sarjana Alkitab, khususnya sarjana Protestan, mulai membaca Alkitab tanpa dikendalikan oleh gereja, dan mereka berusaha untuk mendasarkan tafsiran Alkitab mereka pada makna historis aslinya. 

Orientasi Protestan pada makna asli atau harfiah sebagai dasar untuk semua penafsiran bermuara pada suatu pergeseran yang signifikan dalam pengertian tentang makna Alkitab. Kaum Protestan berbicara tentang satu makna yang menyatu dan koheren bagi setiap nas Alkitab. Seperti yang dikatakan oleh Pengakuan Iman Westminster pasal I, bagian 9, 

Makna yang benar dan lengkap dari bagian Alkitab mana pun – tidak jamak, tetapi satu. 

Kita boleh menyebut pandangan ini sebagai pandangan tentang makna yang “univalen.”

Tentu saja, kaum Protestan menyadari bahwa seringkali ada jauh lebih banyak yang dikatakan oleh nas-nas Alkitab ketimbang yang mungkin diindikasikan oleh penilaian sederhana terhadap pengertian harfiahnya. Nas-nas Alkitab memiliki banyak implikasi dan kaitan dengan kebenaran-kebenaran Kristen yang melampaui apa yang mungkin dipahami oleh para penulis aslinya pada zaman mereka. Akan tetapi, semua dimensi ini merupakan bagian dari makna yang tunggal, benar dan lengkap karena dimensi-dimensi ini berkoordinasi dengan makna harfiah atau tersurat dari Alkitab.

Selain menekankan sisi manusiawi dari inspirasi, dan pentingnya makna harfiah yang menyatu dari Alkitab, kaum Protestan juga mengakui kejelasan atau kegamblangan dari Alkitab. 

Kejelasan 
Ketimbang melihat Alkitab sebagai kitab yang tidak jelas dan membutuhkan tafsiran gerejawi yang berotoritas, para Reformator berargumen bahwa Alkitab bisa dipahami. Sejumlah faktor berkontribusi secara signifikan bagi doktrin Protestan tentang kejelasan Alkitab. 

Pertama, penggunaan yang meluas dari mesin cetak yang hurufnya dapat digerakkan telah membuat Alkitab semakin banyak tersedia. Dan ketersediaan ini memungkinkan orang Kristen membaca sendiri Alkitab dan mengevaluasi apakah penilaian Gereja Katolik benar ketika mengatakan bahwa Alkitab tidak jelas. Kedua, para pionir yang berani telah mulai menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa rakyat jelata dan ini juga memungkinkan orang untuk menelaah sendiri kejelasan Alkitab. Ketiga, fokus Reformasi pada sensus literalis (makna harfiah) juga memampukan para teolog untuk mendasarkan penafsiran mereka pada sesuatu yang dapat ditelaah dan diuji. Mereka tidak lagi perlu untuk bersandar semata-mata pada otoritas gerejawi untuk memberitahukan makna Alkitab. Penelaahan Alkitab dengan cara-cara ini menghasilkan kesadaran yang meluas yang bertentangan dengan pandangan Katolik, bahwa Alkitab sangat jelas. 

Bahkan Erasmus, penganut Katolik Roma yang setia, yang menentang Luther dan Reformasi, menuliskan kata-kata ini:

… orang yang membajak sawah dapat memahami Alkitab.

Perkembangan-perkembangan ini membuka jalan bagi kaum Protestan untuk mengukuhkan kejelasan Alkitab dan memperkenalkan kembali Alkitab sebagai otoritas praktis bagi Kekristenan. Ketika orang Protestan membaca Alkitab sekali lagi di dalam lingkungan baru ini, menjadi jelas bahwa banyak nas yang amat penting yang dinyatakan tidak jelas oleh Gereja Katolik sesungguhnya relatif mudah untuk dipahami. Para penafsir Protestan menemukan bahwa ketika mereka makin banyak mempelajari bagian-bagian Alkitab, ada semakin banyak ajaran alkitabiah yang tampak luar biasa jelas. Selama dekade-dekade awal Reformasi, kaum Protestan sangat optimis tentang kejelasan Alkitab. Semuanya terkesan sebagai hal yang agak sederhana. Membaca Alkitab dan menyesuaikan teologi dengan wahyu Allah yang jelas di dalamnya.

Akan tetapi, saat gerakan Protestan terus-menerus menggali isi Alkitab, kaum Protestan sendiri menjadi lebih realistis terhadap Alkitab dan mereka berbicara tentang derajat-derajat kejelasan di dalam Alkitab. Mulai tampak jelas bahwa makna dari beberapa bagian Alkitab lebih jelas daripada bagian-bagian lainnya. 

Ketika terlihat jelas bahwa kaum Lutheran mempercayai satu hal, kaum Calvinis mempercayai hal lainnya, dan kaum Zwinglian mempercayai yang lainnya lagi, pandangan sebelumnya yang terlalu optimistis tentang kegamblangan Alkitab membuka jalan bagi suatu pandangan yang lebih berhati-hati. Sesungguhnya, pandangan Protestan yang lebih dewasa ini tidak seharusnya membuat kita terkejut. 

Bahkan rasul Petrus mengakui bahwa beberapa hal dalam Alkitab sukar untuk dipahami ketika ia menuliskan perkataan ini di dalam 2 Petrus 3:16:

Dalam surat-suratnya [Paulus] itu ada hal-hal yang sukar dipahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain (2 Petrus 3:16).

Perhatikan bagaimana Petrus merumuskannya: Ia tidak mengatakan bahwa semua tulisan Paulus mudah dipahami; juga tidak mengatakan bahwa semuanya sukar dipahami. Sebaliknya, ia berkata bahwa ada hal-hal tertentu dalam tulisan Paulus yang sulit dipahami. 

Jadi, berbeda dengan gereja Zaman Pertengahan, para Reformator Protestan meninggikan Alkitab melebihi otoritas gereja. Kaum Protestan mengerti bahwa mereka tidak terputus dari wahyu Allah di dalam Alkitab. Mereka mengukuhkan kejelasan Alkitab dan, sebagai akibatnya, Alkitab diperkenalkan kembali sebagai otoritas mutlak atas semua otoritas gerejawi. 

Sesudah kita melihat pandangan kaum Protestan awal tentang Alkitab, kini kita siap melihat bagaimana kaum Protestan mula-mula juga memandang otoritas gerejawi. 

Otoritas Gereja
Seperti yang sudah kita lihat, para Reformator mengandalkan pandangan mereka tentang inspirasi, makna dan kejelasan Alkitab untuk memperkenalkan kembali Alkitab sebagai satu-satunya kaidah teologi yang tidak dapat diragukan. Namun, kita juga harus menyadari fakta bahwa kaum Protestan mula-mula tidak sepenuhnya menolak otoritas teologi gerejawi. Sebaliknya, kaum Protestan percaya bahwa teologi gerejawi memiliki banyak otoritas, tetapi menegaskan bahwa otoritas ini sekunder dan tunduk kepada ajaran-ajaran Alkitab. 

Ada baiknya kita menelusuri pandangan Protestan tentang otoritas gerejawi dengan memperhatikan dua aspek: pertama, bagaimanakah orang Protestan mula-mula memahami otoritas gereja dari masa lampau; kedua, bagaimana mereka memahami otoritas gereja kontemporer? Kita perhatikan dulu pandangan Protestan mula-mula tentang otoritas gerejawi dari masa lampau.

Otoritas Masa Lampau
Meskipun sukar bagi kebanyakan kita untuk membayangkannya, kaum Protestan mula-mula mengakui banyak sekali otoritas pengajaran dari para bapa gereja dan konsili gereja mula-mula. Para Reformator memegang doktrin yang sehat dan kuat tentang gereja. Mereka sungguh percaya bahwa Roh Kudus telah memimpin gereja mula-mula ke dalam banyak kebenaran penting yang perlu diakui oleh orang-orang Kristen di zaman mereka. 

Sebagaimana yang kita lihat dalam pelajaran sebelumnya, para Reformator berbicara tentang otoritas Alkitab di bawah rubrik Sola Scriptura, “hanya [oleh] Alkitab.” Sayangnya, banyak orang injili masa kini memiliki kesalahpahaman yang serius tentang doktrin Sola Scriptura. 

Sekarang ini banyak orang injili percaya bahwa doktrin Sola Scriptura menyiratkan bahwa kita tidak boleh memiliki otoritas lain selain Alkitab. Akan tetapi, ini bukanlah posisi dari Reformasi, dan bukan implikasi yang benar dari doktrin Sola Scriptura. Para Reformator menekankan Sola Scriptura bukan karena mereka percaya bahwa Alkitab adalah satu-satunya otoritas bagi orang percaya; sebaliknya, yang mereka maksudkan adalah bahwa Alkitab adalah otoritas satu-satunya yang tidak mungkin diragukan bagi orang percaya. Meskipun terdengar asing, kaum Protestan dengan teguh membela doktrin Sola Scriptura bukan karena mereka menolak semua otoritas lain yang ada, tetapi justru karena mereka sangat menghormati otoritas-otoritas teologis lainnya. 

Demi memudahkan kita, ada baiknya kita mengacu kepada rangkuman tentang hal-hal ini di dalam Pengakuan Iman Westminster pasal I, paragraf 10:

Hakim Tertinggi, yang oleh-Nya semua kontroversi tentang agama harus diputuskan, dan segala ketetapan tentang konsili-konsili, opini-opini para penulis dari zaman dahulu, doktrin-doktrin manusia, dan pandangan-pandangan pribadi (private spirits), harus diperiksa, dan yang keputusan-Nya menjadi landasan kita, tidak lain adalah Roh Kudus, yang berfirman di dalam Kitab Suci. 

Paragraf ini secara tegas mengukuhkan bahwa Roh Kudus yang berbicara dalam Alkitab adalah “Hakim Tertinggi, yang oleh-Nya semua kontroversi tentang agama harus diputuskan.” Dengan kata lain, semua keputusan gereja harus dibuat menurut standar Alkitab. Akan tetapi, perhatikan bahasanya di sini. Roh Kudus, yang berbicara di dalam Alkitab, adalah “Hakim Tertinggi.” Jika ada hakim tertinggi, berarti ada hakim-hakim lain yang bukan hakim tertinggi. Sesungguhnya, Pengakuan Iman tersebut menyebutkan sejumlah otoritas lain ini dalam bagian ini. Berdasarkan urutan kepentingannya, pernyataan ini menyebutkan konsili-konsili, para penulis dari zaman dahulu (atau para bapa gereja); doktrin-doktrin manusia, yang mengacu kepada ajaran dari para pengajar lainnya di dalam gereja di masa lampau dan di zaman itu; serta pandangan-pandangan pribadi, yaitu pengertian atau keyakinan di dalam hati tentang hal spesifik. Pengakuan Iman Westminster mengakui semua otoritas ini, tetapi memberinya kedudukan sekunder, yaitu sebagai otoritas di bawah otoritas mutlak Alkitab. 

Para teolog Katolik kerap menuduh para Reformator menolak otoritas gerejawi, tetapi para Reformator berhati-hati untuk tidak menolak masa lampau ketika mereka mempertahankan doktrin Sola Scriptura. 

Yang pertama, kaum Protestan mula-mula kerap mendukung pandangan mereka dengan rujukan kepada para bapa gereja mula-mula. Bahkan, ketika tulisan Calvin Institutes of the Christian Religion direvisi 20 kali, kita menemukan bahwa Calvin terus memperbanyak interaksi dengan para bapa gereja mula-mula. Yang kedua, satu bagian di dalam Institutes of the Christian Religion dengan jelas menyatakan pandangannya tentang otoritas konsili gereja. 

Perhatikan ucapan Calvin dalam buku keempat Institutes. 
Saya tidak berargumen bahwa semua konsili harus disalahkan atau semua keputusannya harus dinyatakan tidak berlaku, dan (seperti kata orang) harus dibatalkan sekaligus. “Akan tetapi,” Anda akan berkata, “ Engkau merendahkan semuanya, sehingga semua orang memiliki hak untuk menerima atau menolak keputusan konsili.” Sama sekali tidak! Namun, setiap kali suatu ketetapan dari konsili apa pun dikemukakan, saya berharap orang dengan rajin terlebih dulu merenungkan kapan keputusan itu diberikan, tentang isu apa, dengan maksud apa, dan orang seperti apa yang hadir; lalu memeriksa apa yang dibahas oleh keputusan itu dengan standar Alkitab – dan melakukan hal ini dengan begitu rupa sehingga definisi dari konsili itu dapat memiliki bobotnya dan menjadi semacam keputusan sementara. Namun, jangan menghalangi pemeriksaan yang telah saya sebutkan. 

Ada beberapa ide penting yang menonjol di dalam perkataan Calvin ini: Pertama, ia menegaskan bahwa konsili-konsili gereja perlu dipahami secara historis. Konsili bukanlah penyataan langsung yang abadi dari Allah sendiri. Metode-metode penafsiran Renaisans – yaitu fokus pada makna harfiahnya – harus diterapkan pula kepada konsili gereja. Orang percaya harus “merenungkan pada saat kapan keputusan itu diadakan, tentang isu apa, dengan maksud apa, dan orang macam apa yang menghadirinya.”

Kedua, tidak mengherankan jika kita melihat doktrin Sola Scriptura mengarahkan Calvin untuk menegaskan bahwa ajaran gereja akhirnya harus dievaluasi di dalam terang Alkitab. Seperti yang ia katakan di sini, “standar Alkitab" harus diterapkan. 

Namun, yang ketiga, dan yang paling penting untuk tujuan kita di sini, Calvin mengklaim bahwa doktrin-doktrin dari masa lampau harus diterima “sebagai keputusan sementara.” Artinya, temuan-temuan gereja dari zaman dahulu yang telah lama ada harus kita terima sebagai keputusan sementara atau pendahuluan; kita harus menerima ajaran mereka sampai bobot eksegesis alkitabiah yang teliti membuktikan kesalahan dari hal-hal itu. 

Strategi Calvin mencerminkan hikmat yang membimbing semua orang Protestan pada zamannya kecuali mereka yang paling radikal. Mayoritas yang amat besar dari kaum Protestan memahami otoritas yang tinggi dari para bapa gereja mula-mula, dan juga dari pengakuan-pengakuan iman gereja yang harus diakui. Mereka memperlakukan otoritas gerejawi di masa lampau dengan penerimaan sementara, yang dibarengi dengan komitmen pada keutamaan Alkitab. 

Sesudah memperhatikan pandangan Protestan mula-mula tentang otoritas gerejawi masa lampau, kita harus beralih kepada bagaimana kaum Protestan memahami otoritas dari karya-karya kontemporer mereka sendiri. Otoritas macam apakah yang mereka akui bagi diri mereka dan orang lain, sementara mereka untuk menjawab isu-isu hal teologis pada saat itu?

Otoritas Protestan Kontemporer
Seperti yang Anda ingat, Gereja Katolik Zaman Pertengahan mengembangkan suatu sistem yang kompleks yaitu otoritas teologis yang masih hidup, dengan paus yang infallible sebagai puncaknya. Reformasi Protestan terutama merupakan penolakan terhadap otoritas gerejawi ini. Hanya otoritas Alkitab yang harus diterima sebagai otoritas yang tidak mungkin diragukan. Paus, konsili-konsili gereja, dan otoritas gerejawi lainnya merupakan otoritas yang fallible dan bisa keliru. 

Penting untuk kita pahami bahwa kaum Protestan mula-mula sangat menjunjung tinggi otoritas para guru yang ditahbiskan secara tepat di dalam gereja. Seorang ahli ataupun doktor di dalam gereja patut menerima penghargaan yang tinggi saat mereka mengembangkan teologi Reformasi lebih jauh. Bahkan, kaum Protestan mula-mula dalam hampir semua denominasi merumuskan sejumlah pengakuan iman, katekismus dan kredo mereka sendiri yang diakui sebagai otoritas sekunder di dalam gereja. 

Kaum Protestan mula-mula begitu menjunjung tinggi para teolog kontemporer yang ditahbiskan secara tepat sebab mereka percaya bahwa Alkitab mengajar para pengikut Kristus untuk menghormati otoritas-otoritas yang Allah tempatkan di dalam gereja. 

Banyak nas Alkitab menyinggung soal ini, tetapi sebagai contoh kita ambil instruksi Paulus kepada Titus di dalam Titus 2:1, 15. Di sana kita membaca kata-kata berikut: 

Tetapi engkau, beritakanlah apa yang sesuai dengan ajaran yang sehat:… Beritakanlah semuanya itu, nasihatilah dan yakinkanlah orang dengan segala kewibawaanmu. Janganlah ada orang yang menganggap engkau rendah (Titus 2:1, 15).

Kaum Protestan mula-mula sadar bahwa ada banyak nas Alkitab seperti ini yang mengajar para pengikut Kristus untuk sebanyak mungkin tunduk kepada para pemimpin gereja yang ditahbiskan secara tepat. Membangun teologi Kristen bukanlah tugas bagi perorangan atau kelompok-kelompok yang terpisah dari struktur-struktur otoritas seperti ini. 

Keseimbangan di antara otoritas alkitabiah dan otoritas gerejawi ini bisa disimpulkan dengan satu slogan kuno yang sering diulangi di kalangan Reformed. “Gereja Reformed selalu mengalami reformasi,” atau yang sering disingkat dalam frasa Latin semper reformanda: “selalu mereformasi diri.” Slogan ini menyatakan bahwa gereja dari cabang Reformed sepenuhnya mengakui bahwa sepenting apa pun otoritas gerejawi, semuanya itu harus selalu tunduk kepada pemeriksaan yang saksama dari Alkitab. 

Sesudah kita melihat gereja di Zaman Pertengahan dan di awal Reformasi, kini kita siap mempertimbangkan topik ketiga dari pelajaran ini: bagaimanakah seharusnya kaum Protestan kontemporer memandang hal ini? Apa yang harus kita percayai tentang otoritas Alkitab dan otoritas gereja pada zaman kita sendiri? 

PROTESTANTISME KONTEMPORER 
Kami akan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan pertama-tama membahas jenis-jenis pandangan yang kita harus miliki terhadap Alkitab, dan kedua dengan mengusulkan beberapa perspektif penting yang harus kita miliki terhadap otoritas gerejawi di zaman kita. Kita akan melihat terlebih dulu doktrin tentang Alkitab. 

Otoritas Alkitab
Kita akan menelusuri pandangan-pandangan kontemporer tentang Alkitab dengan menyinggung tiga isu yang menjadi perhatian kita di sepanjang pelajaran ini: inspirasi Alkitab, makna Alkitab dan kejelasan Alkitab. Pada zaman kita ini, sejumlah pandangan berbeda tentang topik-topik ini mengklaim mengikuti tradisi Reformasi. Kita akan memperhatikan ketiga pandangan ini dan menilainya, dimulai dengan perspektif modern tentang inspirasi Alkitab.

Inspirasi
Semua orang yang secara sah mengaku sebagai orang Protestan pada masa kini akan mendukung kepercayaan tertentu bahwa Alkitab diinspirasikan oleh Allah. Namun, ada banyak kebingungan tentang bagaimana doktrin Reformed tentang inspirasi harus diformulasikan pada zaman kita. 

Paling tidak ada tiga pandangan tentang inspirasi yang populer di antara kaum Protestan kontemporer. Di ujung salah satu spektrum terdapat pandangan yang kerap disebut sebagai “inspirasi romantis”; di ujung spektrum yang lain ada pandangan ekstrim lain yang disebut sebagai “inspirasi mekanis”. Dan di antara kedua pandangan yang ekstrim ini terdapat pandangan yang selama ini disebut “inspirasi organis”. Mari kita perhatikan secara singkat ketiganya.

Inspirasi romantis didukung secara luas oleh orang Protestan yang lebih liberal. Dalam pandangan ini, Alkitab diinspirasikan dalam pengertian romantis, hampir sama seperti ketika kita membicarakan Shakespeare, Rembrandt, atau Bach yang mendapatkan “inspirasi”. Allah memotivasi para penulis Alkitab, tetapi Ia tidak membimbing proses penulisan mereka. Dalam pandangan ini Alkitab hanyalah opini manusia. Karena itu, Alkitab dianggap fallible dan tidak memiliki otoritas absolut atas gereja. Tentu saja, pandangan tentang inspirasi ini harus ditolak oleh mereka yang ingin melanjutkan semangat Reformasi; pandangan ini meninggalkan komitmen sentral Protestan pada Sola Scriptura dengan menyangkali keandalan maupun otoritas tertinggi Alkitab. 

Di ujung lain dari spektrum ini terdapat inspirasi mekanis, atau yang terkadang disebut “inspirasi dengan dikte.” Sampai batas tertentu, pandangan ini menegaskan bahwa para pengarang Alkitab relatif pasif ketika mereka menulis Alkitab. Dalam pandangan ini, pada hakikatnya Allah sendirilah yang mengarang Alkitab, sedangkan pengarang manusia bertindak sebagai juru tulis-Nya yang patuh. Secara keseluruhan, pandangan tentang inspirasi ini juga melenceng dari prinsip Reformasi Sola Scriptura karena menyangkali pentingnya konteks historis para penulis manusia serta makna aslinya. Seperti yang dengan teliti diamati oleh para Reformator, ketika nilai dari makna harfiah Alkitab ditolak, otoritas praktis Alkitab menjadi terhalangi. Makna Alkitab tidak lagi dapat dinilai dan diikuti. Kita dipaksa untuk memaknai Alkitab dengan ide-ide kita sendiri. Dan akibatnya, Alkitab itu sendiri tidak lagi berfungsi sebagai otoritas tertinggi kita dalam teologi. 

Teologi Reformed masa kini harus menghindari pandangan ekstrim inspirasi romantis maupun inspirasi mekanis dengan menegaskan kembali natur inspirasi yang sepenuhnya organis: Allah menggerakkan para penulis untuk menulis, dan membimbing mereka dalam menulis sehingga mereka menulis dengan infallible dan dengan otoritas. Akan tetapi, Ia tidak menyingkirkan pemikiran pribadi, motivasi, perasaan atau teologi mereka. Sebaliknya, dimensi manusiawi dan dimensi ilahi dari inspirasi sama sekali tidak bertolak belakang. Sebaliknya, seluruh Alkitab menyajikan kebenaran Allah yang abadi, tetapi dalam teks yang sangat manusiawi dan terkondisi oleh budaya. Seluruh ajaran Alkitab adalah normatif untuk segala waktu, tetapi ajarannya terikat kepada konteks keadaan-keadaan tertentu. Pandangan Reformed tentang inspirasi organis menekankan kualitas manusiawi maupun ilahi, dan kualitas historis maupun transenden dari seluruh Alkitab. Dan dengan sarana ini, doktrin Reformed Sola Scriptura dapat dipertahankan. 

Tentu saja, dari ketiga cara utama kaum Protestan memandang inspirasi Alkitab, mereka yang ingin meneruskan Reformasi di zaman kita akan melihat bahwa doktrin inspirasi organis paling serasi dengan prinsip-prinsip yang memunculkan dan mengarahkan Reformasi Protestan. 

Selain menekankan natur organis dari inspirasi, para teolog modern yang mengikuti tradisi Reformasi juga harus secara benar menilai natur dari makna Alkitab.

Makna
Sekali lagi, suatu spektrum yang terdiri dari berbagai posisi telah diusulkan untuk mewakili pemikiran Reformed dalam bidang ini, tetapi tidak semua pilihan tersebut memajukan ideal dari Reformasi. Di satu ujung kontinum terdapat pandangan yang dapat disebut sebagai “polivalensi kontemporer,” sementara di ujung yang lainnya terdapat pandangan yang disebut sebagai “univalensi simplistis,” dan di tengah-tengahnya terdapat pandangan yang bisa disebut sebagai “univalensi multifaset.” Mari kita bahas terlebih dulu polivalensi kontemporer. 

Selama beberapa dekade terakhir, beberapa teolog Reformed telah membicarakan polivalensi teks alkitabiah, dan percaya bahwa Alkitab memiliki banyak makna yang berbeda. Akan tetapi, apabila “polivalensi klasik” mengakui adanya makna yang beragam karena asal usul ilahi Alkitab, “polivalensi kontemporer” biasanya didasarkan pada ambiguitas bahasa manusia. 

Akibatnya, “polivalensi kontemporer” mengajarkan bahwa bagian-bagian Alkitab adalah wadah kosong untuk pengisian makna oleh para penafsir. Yang pasti, sebagaimana satu wadah memiliki bentuk tertentu, tata bahasa teks alkitabiah mengatur beberapa parameter dasar bagi makna. Walaupun begitu, di dalam parameter-parameter ini, makna spesifiknya diberikan oleh para penafsir Alkitab. 

Atas dasar ini, diajukan argumen bahwa kita harus menolak penekanan Reformasi pada standar sensus literalis yang tetap berlaku. Sebaliknya, demikian argumennya, kita harus menuangkan penafsiran kita sendiri ke dalam nas-nas Alkitab, dan cukup memberi sedikit perhatian pada, atau tidak perlu memperhatikan, makna asli atau harfiah dari teks itu. Akan tetapi, kita harus menolak pengertian polivalensi ini karena konsep ini menjadikan otoritas Alkitab tidak berlaku. Konsep ini memberi hak kepada para penafsir manusia untuk menuangkan ide-ide mereka sendiri ke dalam Alkitab. 

Di ujung lain dari spektrum ini hadir pandangan yang kita sebut sebagai “univalensi simplistis.” Pandangan ini dengan tepat mendukung pengertian bahwa semua bagian Alkitab hanya memiliki satu makna, tetapi secara keliru menyangkal bahwa makna tunggal itu bisa saja kompleks. Ambillah sebagai contoh Yohanes 3:16: 

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16).

Seorang Kristen yang meyakini univalensi simplistis bisa berkata seperti ini: “Ayat ini sangat sederhana; Yohanes 3:16 memberitahu kita bahwa kita harus percaya kepada Kristus.” 

Rangkuman ini memang benar meskipun terbatas, tetapi ada lebih banyak lagi yang dinyatakan oleh ayat ini. Ayat ini juga berbicara secara eksplisit tentang kasih Allah; tentang inkarnasi, kematian dan kebangkitan Kristus; dan tentang dunia, hukuman kekal, dan hidup kekal. Dan, karena doktrin-doktrin Alkitab membentuk jejaring beberapa relasi timbal balik, ayat ini juga berbicara secara implisit tentang segala jenis topik yang dibahas secara lebih langsung oleh bagian-bagian Alkitab lainnya. Jadi, dalam pengertian ini, Yohanes 3:16, hanya memiliki satu makna, tetapi makna itu melampaui rangkuman apapun yang bisa kita rumuskan darinya. 

Apabila kita gagal melihat bahwa makna Alkitab sedemikian kompleks sehingga makna itu selalu melampaui penafsiran kita, kita menghadapi suatu risiko yang serius – risiko hampir menganggap penafsiran kita terhadap Alkitab sebagai Alkitab itu sendiri. Penafsiran kita mengambil otoritas Alkitab itu sendiri dan kita menolak Sola Scriptura, yaitu kepercayaan bahwa Alkitab selalu berdiri di atas penafsiran kita. 

Di pusat spektrum ini terdapat “univalensi kompleks,” yang selaras dengan pandangan Reformasi mula-mula. Pengakuan Iman Westminster memaparkan “univalensi kompleks”dalam pasal I, paragraf 9, di mana dikatakan: 

Ketika ada pertanyaan tentang makna yang benar dan penuh (yang tidak jamak, tetapi satu) dari bagian Alkitab mana pun, makna itu harus diselidiki dan diketahui melalui nas-nas lain yang membicarakan hal itu dengan lebih jelas. 

Dalam pandangan ini, masing-masing bagian memiliki satu makna, tetapi makna yang satu ini kompleks dan multifaset, dinyatakan oleh jejaring beberapa relasi timbal balik yang diatur oleh keseluruhan ajaran Alkitab. 

Kita harus mengukuhkan pengertian Reformasi tentang univalensi kompleks ini di masa kini karena pengertian ini mengukuhkan bahwa Alkitab menyajikan makna yang berotoritas ketimbang menunggu kita untuk menyediakannya. Akan tetapi, pandangan ini juga mencegah kita dari merendahkan Alkitab ke level rangkuman kita tentang Alkitab. Setiap teks Alkitab memiliki otoritas yang melampaui usaha terbaik kita untuk menafsirkan teks tersebut. Pandangan “univalensi multifaset” ini menyediakan jalan untuk memahami makna Alkitab yang akan memampukan kita untuk meneruskan teologi Reformasi di zaman kita. 

Kini kita siap untuk berbicara tentang pandangan Reformed mengenai kejelasan Alkitab. 

Kejelasan
Akan bermanfaat jika kita kembali berpikir tentang tiga titik di sepanjang spektrum. Di ujung yang satu, kita menghadapi kecenderungan kontemporer ke arah ketidakjelasan total; di ujung lainnya kita menghadapi kecenderungan kontemporer ke arah kejelasan total; tetapi di tengahnya terdapat doktrin Reformasi tentang tingkat-tingkat kejelasan. 

Tidaklah sukar untuk menemukan orang Protestan masa kini yang memperlakukan Alkitab sebagai kitab yang hampir sepenuhnya tidak jelas atau tersembunyi bagi kita. Sering kali, dalam semangat dekonstruksi dan hermeneutika post-modern, mereka menganggap Alkitab tidak jelas sebab mereka percaya Alkitab berkontradiksi dengan dirinya (self-contradictory) dan menggagalkan rancangannya sendiri (self-defeating), persis seperti pandangan mereka tentang literatur lainnya. Dalam pandangan mereka, sejarah penafsiran Alkitab telah menyingkapkan begitu banyak kesulitan eksegetis sehingga hampir mustahil untuk menentukan bagaimana kita harus memahami Alkitab pada masa kini.

Memang benar bahwa seperti halnya semua komunikasi manusia yang memadai, selalu ada ketidakjelasan di batas luar atau margin dari wahyu alkitabiah, tetapi tetap tidak dapat dikatakan bahwa Alkitab tidak jelas tentang segala sesuatu. Ada banyak hal di dalam Alkitab yang cukup jelas. Pandangan ini tidak mencerminkan kepercayaan Reformasi tentang kejelasan Alkitab. Jika kita ingin mempertahankan semangat Reformasi pada masa kini, kita harus menolak anggapan yang dibesar-besarkan ini tentang ketidakjelasan Alkitab. 

Di ujung lain dari spektrum itu, sebagian kaum Protestan percaya bahwa hampir seluruh Alkitab begitu jelas sehingga mereka dapat memahaminya dengan cepat dan mudah. Yang lebih sering terjadi, para pembela pandangan semacam ini mampu memegang pandangan sederhana tentang kejelasan Alkitab ini karena mereka langsung menolak semua penafsiran yang tidak berasal dari komunitas Kristen mereka sendiri yang sangat sempit. 

Melebih-lebihkan kejelasan Alkitab adalah pencobaan besar bagi banyak teolog di dalam tradisi Reformed masa kini. Kita mati-matian ingin menjauhkan Alkitab dari jerat skeptisisme dan sinisisme modern. Akan tetapi, terlalu menyederhanakan kejelasan Alkitab seperti ini tidak mewakili pandangan Reformasi tentang kejelasan Alkitab. Seperti yang telah kita lihat, para Reformator mula-mula mengakui bahwa sebagian isi Alkitab itu sukar, jika bukan mustahil, untuk dipahami. 

Di bagian tengah spektrum tentang kejelasan Alkitab ini terdapat posisi yang mengakui beberapa tingkat kejelasan. Inilah posisi yang diambil oleh Pengakuan Iman Westminster pasal I, paragraf 7: 

Tidak semua hal di dalam Alkitab itu jelas pada dirinya, dan tidak semua hal itu jelas bagi semua orang: tetapi hal-hal yang harus diketahui, dipercayai, dan ditaati untuk keselamatan dikemukakan dan disingkapkan dengan begitu jelas di dalam bagian tertentu dari Alkitab atau di bagian lainnya, sehingga bukan hanya orang yang berpendidikan, melainkan juga orang yang tidak berpendidikan, dapat memperoleh pengertian yang memadai tentangnya.

Perhatikan bagaimana Pengakuan Iman ini memahami bahwa apa yang merupakan keharusan bagi keselamatan itu jelas di satu bagian atau bagian lainnya, tetapi juga mengakui bahwa tidak semua hal lainnya di dalam Alkitab sama jelasnya. Dengan kata lain, Alkitab bukan sepenuhnya tidak jelas atau sepenuhnya jelas. 

Anda ingat bahwa di dalam pelajaran terdahulu kita telah membedakan berbagai tingkat keyakinan yang kita miliki tentang doktrin-doktrin Kristen yang berbeda. Kita memakai model yang kita sebut “kerucut kepastian.” Di dekat dasar kerucut kepastian, kita menemukan kepercayaan yang kita pegang secara longgar karena kita memiliki tingkat keyakinan yang rendah tentangnya. Di bagian puncak, kita menemukan kepercayaan-kepercayaan inti yang kita pegang dengan teguh; melepaskannya berarti melepaskan iman Kristen. Dan di antara kedua ekstrim ini kita menemukan segala hal lain yang kita percayai dengan derajat keyakinan yang berbeda-beda. 

Dalam banyak hal, akan bermanfaat jika kita memikirkan kejelasan Alkitab dalam cara yang sama. Pertama, banyak aspek ajaran Alkitab, termasuk pengetahuan tentang apa yang dituntut bagi keselamatan, bisa dipahami dengan sedikit atau tanpa upaya ilmiah sama sekali. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Pengakuan Iman Westminster, “orang yang terpelajar“ dan “orang yang tidak terpelajar“ sama-sama bisa mengerti hal-hal ini. Informasi Alkitab lainnya juga cocok dengan kategori ini. Bahkan, bagian yang amat besar dari Alkitab cukup mudah untuk dipahami. 

Sebagai contoh, tidak sukar untuk melihat bahwa Allah menciptakan dunia, atau bahwa ada orang bernama Abraham, Musa, dan Daud, atau bahwa Israel pergi ke Mesir dan kemudian ke pembuangan. Perjanjian Baru dengan jelas mengajarkan bahwa Yesus dibesarkan di Nazaret dan bahwa ada sejumlah rasul. Hal-hal ini dan fitur lainnya yang tidak terhitung banyaknya di dalam Alkitab begitu jelas sehingga tidak seorang pun perlu mengerahkan upaya ilmiah atau akademis agar bisa mengetahuinya. 

Kedua, beberapa aspek Alkitab hanya dikenal oleh orang-orang yang serius mempelajarinya, yang mempelajari topik-topik seperti sejarah kuno, atau kritik teks, atau bahasa-bahasa Alkitab, metode penafsiran, dan teologi. Di antara semua topik ini, kita bisa memasukkan hal-hal seperti eskatologi Paulus, atau tujuan historis dari kitab Kejadian. Hal-hal ini serta aspek-aspek lain dari Alkitab menuntut lebih banyak perhatian akademis. Akan tetapi, dengan usaha akademis yang memadai, banyak hal yang semula terkesan kabur menjadi lebih jelas bagi kita.

Akhirnya, beberapa bagian Alkitab seolah tetap tidak jelas, tidak peduli sebesar apapun usaha yang kita kerahkan. Beberapa contoh yang lebih jelas tentang dimensi-dimensi ini di dalam Alkitab muncul ketika kita berusaha menyelaraskan bagian-bagian Alkitab yang paralel seperti Samuel, Raja-raja, dan Tawarikh, atau Kitab-Kitab Injil dalam Perjanjian Baru. Walaupun telah ada sejumlah kemajuan besar dalam wilayah ini, ada banyak masalah yang tampaknya tidak terpecahkan. 

Jadi, saat kita mempelajari Alkitab, kita harus selalu ingat bahwa beberapa dimensi Alkitab lebih jelas daripada yang lainnya. Hanya jika kita menghadapi kenyataan inilah kita dapat menangani otoritas Alkitab secara bertanggung jawab. Meskipun setiap bagian Alkitab memiliki otoritas yang tidak mungkin diragukan, pada tingkat praktis kita mampu memahami dan mengikuti tuntutannya yang berotoritas dengan derajat yang bervariasi, tergantung dari kejelasan relatif dari berbagai bagian yang berbeda dalam Alkitab. Jadi kita melihat bahwa untuk mewakili tradisi Reformed di zaman kita, kita harus menghindari ekstrim kontemporer tentang kejelasan Alkitab dan mengukuhkan bahwa terdapat tingkatan dalam pemahaman Alkitab. 

Sambil mengingat perspektif tentang otoritas Alkitab ini, kita harus mengalihkan perhatian kita kepada otoritas gerejawi di dalam teologi Reformed kontemporer. 

Otoritas Gereja
Kita kembali akan berfokus kepada dua aspek: pertama, kita akan memperhatikan bagaimana seharusnya para teolog Reformed kontemporer memandang otoritas gerejawi dari masa lampau; dan kedua, kita akan membahas bagaimana para teolog Reformed kontemporer seharusnya memandang otoritas gerejawi di masa kini. Kita mulai dengan memperhatikan masa lampau.

Otoritas Masa Lampau
Seperti yang telah kita lihat, kaum Protestan mula-mula mengerti bahwa Roh Kudus telah mengajarkan banyak kebenaran kepada gereja di masa lampau. Mereka berusaha memberikan penghargaan yang layak dan tunduk kepada pengajaran para bapa gereja, pengakuan-pengakuan iman serta tradisi-tradisi gereja yang telah lama dipegang dengan menerimanya sebagai keputusan sementara. Namun, kaum Protestan mula-mula juga menyeimbangkan praktik ini dengan pengakuan yang tegas akan keutamaan Alkitab atas ajaran-ajaran gereja di masa lampau. Mereka mengandalkan masa lampau, tetapi mereka juga berusaha mengevaluasi semua ajaran gereja berdasarkan standar Alkitab. 

Sayangnya, para teolog Reformed masa kini sering mengalami kesulitan untuk memegang teguh kedua sisi dari posisi Protestan mula-mula ini. Akan membantu jika kita melihat tiga arah yang bisa kita tempuh: tradisionalisme di ujung yang satu, biblisisme di ujung lainnya, dan praktik Reformed semper reformanda yang hadir di antara kedua ekstrim ini.

Di satu pihak, para teolog Reformed masa kini kerap jatuh ke dalam perangkap “tradisionalisme.” Yang kita maksudkan dengan tradisionalisme adalah bahwa mereka menyimpang kepada praktik-praktik yang sangat mirip dengan tradisionalisme Katolik Roma Zaman Pertengahan. Memang para teolog Reformed mengakui otoritas Alkitab dan tentu saja mereka menolak tradisi-tradisi aliran Katolik. Akan tetapi, sering kali, kaum tradisionalis Reformed begitu menjunjung tinggi ekspresi-ekspresi masa lampau dari iman Reformed sehingga secara praktis, mereka gagal untuk mencermati masa lampau secara memadai. 

Jika Anda banyak berinteraksi dengan para teolog Reformed masa kini, barangkali Anda telah melihat kecenderungan ini. Sering kali para teolog Reformed menerima posisi dan praktik doktrinal dari masa lampau sampai menjadikan tradisi-tradisi ini dianggap sebagai fondasi-fondasi yang tidak mungkin dipertanyakan bagi perenungan dan praktik masa kini. Terlalu sering, para teolog Reformed yang bermaksud baik ini cenderung menjawab pertanyaan-pertanyaan teologis hanya dengan menanyakan, “Apa yang dikatakan oleh pengakuan iman Reformed?” ketimbang bertanya, “Apa yang Alkitab katakan?”

Di pihak lain, para teolog Reformed modern juga melangkah kepada ekstrim yang sebaliknya ketika mereka menghadapi otoritas gerejawi dari masa lampau. Di dalam modernisme Zaman Pencerahan versi Kristen, mereka jatuh ke dalam apa yang bisa kita sebut sebagai “biblisisme.” Para teolog ini bertindak seakan-akan setiap orang harus datang kepada Alkitab dan memutuskan semua isu teologis tanpa bantuan tradisi Protestan masa lampau.

Dari waktu ke waktu, para teolog yang mengidentikkan diri mereka dengan gereja cabang Reformed, bereaksi terhadap tradisionalisme Reformed dengan mengutarakan hal-hal seperti, “Tidak penting apa yang telah dikatakan oleh gereja. Yang penting bagi saya hanyalah apa yang Alkitab katakan.” Retorika seperti ini melangkah terlalu jauh dalam menyatakan ketundukan kepada Alkitab sebagai otoritas final kita. Ini juga mengabaikan hikmat yang telah dikaruniakan Roh Allah kepada gereja, dan sekaligus membatasi keputusan teologis hanya kepada perorangan atau kelompok yang sekarang ini ada. 

Untuk mempertahankan semangat Reformasi pada masa kini, kita harus meneguhkan kembali prinsip semper reformanda. Kita harus berjuang untuk mengukuhkan keutamaan Alkitab tanpa mengabaikan pentingnya tradisi Reformasi. 

Di satu pihak, semper reformanda masa kini menuntut kita menerima sebagai keputusan sementara tidak saja para bapa gereja mula-mula dan konsili-konsili, tetapi juga pengakuan-pengakuan iman dan tradisi-tradisi Reformed yang kita miliki. Kita memiliki Pengakuan Iman Westminster, Katekismus Besar dan Katekismus Kecil Westminster, Katekismus Heidelberg, Belgic Confession, serta Kanon Dort. Selain itu kita memiliki sejumlah tulisan yang tidak terlalu formal dari para pemimpin dan para teolog di masa lampau. Akan tetapi, di pihak lain, otoritas-otoritas dari masa lampau ini harus selalu tunduk kepada ajaran Alkitab yang tidak mungkin diragukan. Demi mempertahankan Reformasi di masa kini, kita perlu mempelajari cara untuk menentukan bobot yang sesuai dari otoritas-otoritas gerejawi dari masa lampau di bawah otoritas Alkitab. 

Sesudah melihat bagaimana teolog Reformed masa kini seharusnya berelasi dengan masa lampau, kita harus beralih ke hal yang sama pentingnya: Bagaimana seharusnya para teolog Reformed menilai otoritas gerejawi kontemporer. Bagaimana seharusnya kita mengerti otoritas dari formulasi teologis yang sedang berkembang di zaman kita?

Otoritas Protestan Kontemporer
Kita telah melihat bahwa kaum Protestan mula-mula mengakui pentingnya teologi yang dikembangkan oleh para pemimpin gereja yang ditahbiskan secara tepat di dalam gereja, tetapi mereka berhati-hati untuk tidak meninggikan otoritas kontemporer di dalam gereja melebihi ajaran Alkitab. Sayangnya, sekali lagi para teolog Reformed kontemporer sering mengalami kesulitan untuk mengikuti pandangan Protestan mula-mula ini. Mereka cenderung bersikap ekstrim dalam cara-cara mereka memahami para teolog Reformed yang hidup di zaman mereka sendiri.

Di satu pihak teolog Reformed cenderung bersikap skeptis terhadap formulasi doktrinal masa kini. Di sisi lain, ada banyak yang menganut dogmatisme tentang formulasi doktrinal di zaman kita. Akan tetapi, jalan yang mestinya ditempuh oleh teologi Reformasi yang otentik adalah berjuang untuk “setia dalam formulasi doktrinal kontemporer.”

Ketimbang menganut skeptisisme atau dogmatisme yang sangat kaku dalam teologi Reformed kontemporer, pandangan ini bermaksud menciptakan “formulasi yang setia.” Mari kita jabarkan apa yang dimaksud dengan formulasi yang setia ini. Untuk mengerti apa yang kami maksudkan, ada baiknya kita memeriksa bagaimana kita memahami kebenaran dari pernyataan-pernyataan teologis.

Skeptisisme dan dogmatisme yang kaku yang kita hadapi dalam zaman kita hadir salah satunya karena pernyataan-pernyataan doktrinal kerap dievaluasi dalam pengertian biner sederhana. Seperti tabel kebenaran logika abstrak tradisional, pernyataan doktrinal sering hanya dianggap benar atau salah. Akan tetapi, dalam kenyataannya, akan menolong jika kita meninggalkan model biner abstrak ini. Jauh lebih berguna jika kita memikirkan nilai kebenaran dari pernyataan-pernyataan doktrinal dengan pengertian analog, yaitu sebagai suatu kisaran kemungkinan-kemungkinan di sepanjang kontinum di antara kebenaran dan kesalahan. Semua pernyataan teologis itu entah lebih atau kurang benar atau salah, bergantung pada sejauh mana ajaran itu mencerminkan ajaran Alkitab yang infallible.

Di satu sisi dari kontinum ini, kita menemukan bahwa beberapa posisi teologis memaparkan ajaran Alkitab dengan cukup baik sehingga kita dengan hati nurani yang bersih dapat menyebutnya benar. Pernyataan-pernyataan ini tentunya tidak sempurna, tetapi cukup dekat untuk dianggap benar, kecuali muncul beberapa kualifikasi yang menyatakan bahwa pernyataan itu tidak memadai. Di sisi lain dari kontinum itu, posisi teologis lainnya sedemikian jauh dari ajaran Alkitab sehingga kita dengan benar bisa menganggapnya salah, kecuali beberapa kualifikasi memperlihatkan bahwa pernyataan itu dapat diterima.

Ambillah contoh, pernyataan “Allah berdaulat atas segala sesuatu.” Pernyataan ini cukup dekat dengan apa yang Alkitab ajarkan sehingga sewajarnya kita tidak memiliki masalah untuk mengatakan bahwa pernyataan ini benar meskipun terbatas. Alkitab memang mengajarkan bahwa Allah berdaulat atas segala sesuatu dalam ciptaan-Nya. Namun, karena pernyataan ini masih dapat diperbaiki, maka dalam arti tertentu kalimat ini tidak sempurna. Sebagai contoh, jika kita sedang membedakan iman alkitabiah dari deisme atau fatalisme, pernyataan ini sesungguhnya bisa memberi kesan yang salah. Bahkan pernyataan ini sesungguhnya dapat menyesatkan, kecuali kita membatasinya dengan memasukkan realitas tentang pemeliharaan ilahi bahwa Allah berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa historis.

Dalam cara sama, pernyataan “Yesus adalah Allah” cukup dekat dengan Alkitab sehingga bisa dianggap benar dalam kebanyakan situasi. Kita bisa puas bahwa kalimat ini mewakili ajaran Alkitab, meskipun terbatas. Akan tetapi, kita sadar bahwa dalam konteks tertentu, seperti ketika kita berhadapan dengan bidat Kristen, pernyataan ini malah bisa mengaburkan kebenaran; atau menyesatkan. Alkitab juga mengajarkan bahwa Kristus sepenuhnya manusia. Dan, dalam keadaan tertentu, kita harus membatasinya bahwa pernyataan “Yesus adalah Allah“ juga mencakup kemanusiaan Kristus sebelum kita bisa puas bahwa pernyataan itu mengungkapkan kebenaran dengan cukup baik.

Akhirnya, kita dapat mengatakan hal berikut ini tentang formulasi teologis kontemporer. Beberapa pernyataan teologis cukup dekat dengan Alkitab sehingga bisa dinyatakan benar. Yang lainnya cukup jauh dari Alkitab sehingga bisa dinyatakan salah. Ada satu hal yang berlaku bagi semua formulasi teologis: semua formulasi itu dapat diperbaiki. Ini tidak lain adalah semboyan Reformed mula-mula: semper reformanda, “selalu mereformasi diri.” Atau mengikuti ungkapan yang saya sukai, “Formulasi teologis yang final hanya menunjukkan kurangnya imajinasi.”

Inilah yang dimaksud ketika dikatakan bahwa tujuan teologi Reformed kontemporer adalah menghasilkan formulasi teologis yang setia. Di satu sisi, kita tidak skeptis dengan teologi gerejawi kontemporer; kita tidak menolak semua pengertian tentang otoritas atau perlunya ketundukan kepada apa yang dikatakan oleh gereja masa kini. Di pihak lain, kita tidak sepenuhnya dogmatis; kita tidak bersikeras bahwa formulasi-formulasi kontemporer itu sempurna. Sebaliknya, dengan rendah hati dan bertanggung jawab kita menggunakan semua sumber daya yang telah Allah berikan – eksegesis Alkitab, interaksi dalam komunitas, dan kehidupan Kristen – untuk mengembangkan formulasi-formulasi doktrin yang setia.

Kita sebisa mungkin berusaha menyesuaikan ajaran kita dengan ajaran Alkitab. Semakin dekat doktrin-doktrin kita kepada Alkitab, semakin besar otoritas yang dimilikinya. Semakin jauh doktrin-doktrin itu dari Alkitab, semakin berkurang pula otoritasnya. Akan tetapi, di dalam semuanya itu, teologi gereja harus selalu dipegang dengan ketundukan kepada Alkitab. Sasaran kita adalah untuk menghasilkan formulasi-formulasi teologis yang setia.

KESIMPULAN
Di dalam pelajaran ini kita telah menelusuri relasi di antara otoritas alkitabiah dan otoritas gerejawi. Kita telah melihat sejumlah pandangan yang dikembangkan pada periode Zaman Pertengahan. Kita juga telah melihat bagaimana Reformasi mula-mula mengoreksi pandangan ini. Dan akhirnya, kita telah menelusuri kebutuhan untuk menerapkan pandangan Reformasi kepada otoritas alkitabiah dan otoritas gerejawi di zaman kita ini. 

Membangun teologi Kristen menuntut penilaian yang cermat terhadap otoritas alkitabiah dan gerejawi. Dengan tetap mengingat prinsip-prinsip yang telah kita lihat di dalam pelajaran, kita akan mampu untuk menghindari banyak masalah yang telah mewabah dalam teologi gereja di masa lampau dan banyak masalah yang masih mengganggu kita kini. Kita akan mampu membangun teologi yang akan melayani gereja dan membawa kemuliaan bagi Allah.