Friday 24 March 2017

Prinsip Keadilan Sebagai Ide Hukum

Prinsip Keadilan Sebagai Ide Hukum
Dalam berbagai literatur hukum banyak teori-teori yang berbicara mengenai keadilan. Salah satu diantara teori keadilan itu adalah teori etis, menurut teori ini hukum semata-mata bertujuan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan yang etis tentang yang adil dan tidak adil[13]. Hukum menurut teori ini bertujuan untuk merealisir atau mewujudkan keadilan. Pemikiran filsafat tentang keadilan ini, terutama yang dipandang dari sudut filsafat hukum, sesuai dengan sudut pandang teori tentang tiga lapisan ilmu hukum yang meliputi dogmatik hukum, teori hukum dan filsafat hukum, sangat bermanfaat juga pada akhirnya bagi praktek hukum. Melalui pemikiran yang mendasar tentang apa yang menjadi hak yang telah menjadi buah pemikiran, dari beberapa ahli filsafat mulai dari Aristoteles sampai pada ahli filsafat masa kini, dapat disediakan referensi bagi pengambil keputusan untuk mengarahkan dan menjalankan fungsi pengaturan dalam praktek hukum.

Masalah keadilan telah lama menjadi bahan kajian dan bahan pemikiran oleh para ahli filsafat, para politikus dan rohaniawan, namun demikian apabila orang bertanya tentang keadilan atau bertanya tentang apa itu keadilan, akan muncul berbagai jawaban dan jawaban ini jarang memuaskan hati orang yang terlibat maupun para pemikir yang tidak terlibat. Bebagai jawaban mungkin akan muncul yang menunjukkan bahwa sukar sekali diperoleh jawaban umum, apabila dikemukakan jawaban atau batasan tentang keadilan oleh suatu masyarakat maka akan terdapat semacam jawaban yang sangat beragam, sehingga dapat dikatakan bahwa berbagai rumusan tentang keadilan merupakan rumusan yang bersifat relatif. Kesulitan tersebut mendorong orang terutama kaum positivis untuk mengambil jalan pintas dengan menyerahkan perumusan keadilan pada pembentuk undang-undang yang akan merumuskannya pada pertimbangan sendiri.

Pemikiran keadilan dalam hubungannya dengan hukum sejak lama sudah dikemukakan oleh Aristoteles dan Thomas Aquinus dengan mengatakan sebagai berikut[14]: Justice forms the substance of the law, but his heterogeneous substance is composed of three elements: an individual element: the suum cuiquire tribuere (individual justice): a social element: the changing fundation of prejudgments upon which civilization reposes at any given moment (social justice), and a political element, which is based upon the reason of the strongest, represented in the particular case by the state (justice of the state). Hal ini menunjukkan ada pengaruh timbal balik antara hukum dan keadilan, yaitu bahwa hukum diciptakan berdasarkan nilai-nilai atau kaidah-kaidah moral yang adil, yang sudah ada terlebih dahulu dan yang telah hidup dalam masyarakat, jadi tugas pembentuk undang-undang hanya merumuskan apa yang sudah ada. Sedangkan dilain pihak terdapat kemungkinan bahwa perumusan hukum itu sendiri hanya bersifat memberikan interpretasi, atau memberikan norma baru termasuk norma keadilan. Tentang apa yang dimaksud dengan keadilan meliputi dua hal, yaitu yang menyangkut hakekat keadilan dan yang menyangkut dengan isi atau norma, untuk berbuat secara konkrit dalam keadaan tertentu.

Hakekat keadilan yang dimaksud di sini adalah penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan dengan mengkajinya dari suatu norma. Jadi dalam hal ini ada dua pihak yang terlibat, yaitu pihak yang membuat adanya perlakuan atau tindakan dan pihak lain yang dikenai tindakan itu, dalam pembahasan ini, pihak-pihak yang dimaksud adalah pihak penguasa atau pemerintah, sebagai pihak yang mengatur kehidupan masyarakat melalui instrumen hukum, dan pihak masyarakat sebagai pihak yang tata cara bertindaknya dalam negara diatur oleh ketentuan hukum.

Prinsip keadilan dalam pembentukan hukum dan praktek hukum, memperoleh kedudukan dalam dokumen-dokumen resmi tentang hak asasi manusia. Bahkan jauh sebelum dokumen-dokumen hak asasi itu dikeluarkan, prinsip keadilan telah dijadikan sebagai landasan moral untuk menata kehidupan masyarakat. Filsuf hukum alam seperti Agustinus mengajarkan bahwa hukum abadi yang terletak dalam budi Tuhan ditemukan juga dalam jiwa manusia. Partisipasi hukum abadi itu tampak dalam rasa keadilan, yaitu suatu sikap jiwa untuk memberi kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Prinsip tersebut mengindikasikan, inti tuntutan keadilan adalah bahwa untuk tujuan apapun, hak asasi seseorang tidak boleh dilanggar, hak asasi manusia harus dihormati, hak ini melekat pada manusia bukan karena diberikan oleh negara, melainkan karena martabatnya sebagai manusia. Hal ini berarti jika seseorang mempunyai hak atas sesuatu, orang lain juga mempunyai hak yang sama.

Pemahaman terhadap hal tersebut di atas, menunjukkan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, apa yang menjadi kepentingan bersama, akan mudah dicapai apabila masyarakat ditata menurut cita-cita keadilan. Keadilan menuntut agar semua orang diperlakukan sama, jadi keadilan merupakan suatu nilai yang mewujudkan keseimbangan antara bagian-bagian dalam masyarakat, antara tujuan pribadi dan tujuan bersama. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu wujud cita-cita hukum yang bersifat universal adalah tuntutan keadilan. Soal bagaimana menentukan apakah hukum itu adil atau tidak? Tidak tergantung atau tidak diukur dari kriteria obyektif keadilan, melainkan diukur dari apa yang oleh masyarakat dianggap adil. Untuk memahami hukum yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat, terlebih dahulu harus dipahami makna hukum yang sesungguhnya. Menurut pandangan yang dianut dalam literatur ilmu hukum, makna hukum itu ialah mewujudkan keadilan dalam kehidupan manusia. Makna ini akan tercapai dengan dimasukkannya prinsip-prinsip keadilan dalam peraturan hidup bersama tersebut. Hukum yang dimaksud di sini adalah hukum positif yang merupakan realisasi dari prinsip-prinsip keadilan.

Bertolak dari pemikiran yang demikian, pengaturan hak dan kebebasan masyarakat dengan menggunakan kriteria keadilan, menunjukkan bahwa di dalam diri manusia, ada perasaan keadilan yang membawa orang pada suatu penilaian terhadap faktor-foktor yang berperan dalam pembentukan hukum. Keinsyafan akan perasaan keadilan ini bukan hanya dimiliki oleh warga negara tapi juga oleh penguasa. Oleh karena itu, dengan dibangun di atas prinsip-prinsip keadilan, maka keadilan itu dapat disebut sebagai prinsip hukum atau ide hukum. Hal ini sesuai dengan ajaran Immanuel Kant yang mengatakan bahwa keadilan itu bertitik tolak dari martabat manusia. Dengan demikian pembentukan hukum harus mencerminkan rasa keadilan dan bertujuan untuk melindungi martabat manusia. Keadilan merupakan prisip normatif fundamental bagi negara[15]. Atas dasar hal tersebut, kriteria prinsip keadilan, merupakan hal yang mendasar dan bersifat fundamental, sebab semua negara di dunia ini selalu berusaha menerapkan prisip-prinsip keadilan dalam pembentukan hukumnya. Prinsip keadilan mendapat tempat yang istimewa dalam seluruh sejarah filsafat hukum. Dalam konsep negara-negara modern penekanan terhadap prinsip keadilan diberikan dengan menyatakan bahwa tujuan hukum yang sebenarnya adalah untuk menciptakan keadilan dalam masyarakat.

Beberapa teori tentang keadilan seperti yang dikemukakan oleh Stammler, Radbruch dan Kelsen menitikberatkan keadilan sebagai tujuan hukum. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum yang mewujudkan keadilan itu mutlak diperlukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tanpa adanya hukum hidup manusia menjadi tidak teratur dan manusia kehilangan kemungkinan untuk berkembang secara manusiawi.

Teori lain yang berbicara tentang keadilan adalah teori yang dikemukakan oleh John Rawls[16]. Dalam teorinya dikemukakan bahwa ada tiga hal yang merupakan solusi bagi problema keadilan. Pertama prinsip kebebasan yang sama bagi setiap orang (principle of greatest equal liberty), tentang hal ini dirumuskan oleh John Rawls sebagai berikut: Each person is to have an equal right to the most extensive basic liberty compatible with a semilar liberty of thers. Rumusan ini mengacu pada rumusan Aristoteles tentang kesamaan, oleh karenanya juga kesamaan dalam memperoleh hak dan penggunaannya berdasarkan hukum alam. Rumusan ini inhern dengan pengertian equal yakni sama atau sederajat diantara sesama manusia. Usaha memperbandingkan ini juga secara tidak langsung merupakan pengakuan atau konfirmasi bahwa manusia selalu hidup bersama yang menurut Aristoteles disebut sebagai makhluk sosial, sehingga penentuan hak atau keadilan yang diterapkan adalah keadilan yang memperhatikan lingkungan sosial atau dengan kata lain harus merupakan keadilan sosial.

Prinsip ini mencakup kebebasan berperanserta dalam kehidupan politik, kebebasan berserikat dan berbicara termasuk kebebasan pers dan kebebasan beragama. Kedua prinsip perbedaan (the difference principle), yang dirumuskannya sebagai berikut: Social and economic inequalities are to be arranged so that they are bot (a) reasonably expected to be to everyone’s advantage, and (b) attached to positions and office open to all[17]. Rumusan ini merupakan modifikasi atau imbangan terhadap rumusan pertama yang menghendaki persamaan terhadap semua orang, modifikasi ini berlaku apabila memberi manfaat kepada setiap orang. Selain itu rumusan ini juga nampak ditujukan untuk masyarakat modern yang sudah memiliki tatanan yang lengkap, meskipun maksudnya adalah untuk memberi pemerataan dalam kesempatan kerja atau memberi peranan yang sama dan merata, akan tetapi bagaimana pun juga sudah terlihat perhatiannya yang sungguh-sungguh, untuk tidak melupakan dan meninggalkan orang lain yang sulit untuk memperoleh kedudukan dan kesempatan dalam kegiatan ekonomi. Jadi perbedaan sosial ekonomi, harus diatur agar memberi manfaat bagi warga yang kurang beruntung. Ketiga prinsip persamaan yang adil untuk memperoleh kesempatan bagi setiap orang (the principle of fair equality of opportunity), yaitu ketidaksamaan ekonomi harus diatur sedemikian rupa agar memberi kesempatan bagi setiap orang untuk menikmatiknya.

Prisip persamaan ini lebih lanjut dikemukakan oleh W. Friedmann[18] sebagai berikut: “ In a formal and general sense equality, is a postulate of justice. Aristoteles “distributive justive” demands the equal treatment of those equal before the law. This like any general formula of justice is however, applicable to any form of government or society; for it leaves it to a particular legal order to determine who are equal berfore the law… Equality in rights, as postulated by the extention of individual rights, ini principle, to all citizens distinct from a priveleged minoritiy”. Pada pokoknya pandangan yang dikemukakan Friedman tersebut mengandung dua pengertian.

Pertama, persamaan dipandang sebagai unsur keadilan, di dalamnya terkandung nilai-nilai universal dan keadilan tersebut pada satu sisi dapat diartikan sama dengan hukum, hal ini dapat dilihat dari istilah “justice” yang berarti hukum, akan tetapi pada sisi lain, keadilan juga merupakan tujuan hukum. Dalam mencapai tujuan tersebut, keadilan dipandang sebagai sikap tidak memihak (impartiality). Sikap inilah yang mengandung gagasan mengenai persamaan (equality) yaitu persamaan perlakukan yang adil terhadap semua orang. 

Kedua, persamaan merupakan hak, persamaan sebagai hak dapat dilihat dari ketentuan The Universal Declaration Human Rights 1948, maupun dalam International Covenant on Economic, Socialo and Cultural Rights 1966 dan International Covenant on Civil and Political Rights 1966. Di dalam ketiga dokumen hak asasi manusia tersebut, dimuat ketentuan yang diawali dengan kata-kata: setiap orang … dst. Demikian pula halnya di dalam Pasal 27 UUD 1945. Pasal ini pada dasarnya menempatkan persamaan dan kebebasan yang meliputi kepentingan dan tujuan dari hak itu ditetapkan dalam suatu hubungan. Mengenai hubungan persamaan dengan kebebasan ini, Friedmann pada pokoknya memandang bahwa kebebasan merupakan suatu alat yang membuka jalan seluas-luasnya bagi pengembangan personalitas, sedang persamaan dimaksudkan untuk memberi kesempatan yang sama terhadap setiap orang dalam mengembangkan personalitasnya.

Dalam kaitannya dengan pengaturan hak asasi dan kebebasan warga, teori ini merupakan teori yang cukup relevan untuk diterapkan, oleh karena itu, pembentukan hukum melaui undang-undang yang bersifat membatasi kebebasan warga perlu mempertimbangkan teori ini, agar pengaturan melalui undang-undang tersebut mencerminkan rasa keadilan bagi warga.

Bagi bangsa Indonesia, kaitan teori itu dengan keadilan sosial yang berdasarkan Pancasila adalah bahwa konsepsi dan persepsi keadilan itu harus sesuai dengan perasaan suatu bangsa. Sejalan dengan itu apabila kita berbicara tentang hukum, berarti kita juga berbicara tentang keadilan. Hukum adalah suatu yang mengikat dan bila ikatan itu dikaitkan dengan manusia maka ikatan itu harus mencerminkan rasa keadilan. Keadilan sebagai konsepsi adalah keadilan dalam dunia “Sollen”, namun demikian dunia Sollen dari keadilan itu patut dirumuskan dalam rangka usaha untuk menterjemahkan dunia ide itu menjadi dunia “Sein” atau kenyataan. Oleh karena itu pengaturan hak dan kebebasan warga harus dibangun di atas prinsip-prinsip keadilan yang berdasarkan Pancasila. Untuk itu hukum yang dikehendaki adalah hukum yang sifatnya memberi perlindungan terhadap warga masyarakat, termasuk perlindungan terhadap hak warga untuk berserikat dan berkumpul. Perlindungan dalam hal ini, berarti bahwa rasa keadilan yang ada pada nurani warga harus terpenuhi.

Menggarisbawahi prinsip Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, UUD 1945 sebagai hukum dasar menempatkan hukum pada posisi yang menentukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam kaitan itu, konsep kenegaraan Indonesia antara lain menentukan bahwa pemerintah menganut paham konstitusional, yaitu suatu pemerintahan yang dibatasi oleh ketentuan yang temuat dalam konstitusi. Pada negara yang bersistem konstitusi atau berdasarkan hukum dasar, terdapat hirarki perundangan, dimana UUD berada di puncak piramida sedangkan ketentuan yang lain berada di bawah konstitusi. Konstitusi yang demikian ini dikenal dengan “stufenbau theory” Hans Kelsen.

Hans Kelsen mengemukakan tentang tertib hukum ini dalam proses pembentukan hukum yang bersifat hirarkis dan dinamis. Tertib hukum itu menurut Hans Kelsen[19] disebut sebagai : The legal order is a system of norm. The question then arises: what is it that makes a system out of multitudes of norm? This question in close connection with the question as to the reason of validity of a norm. Dia memandang tertib hukum itu sebagai suatu “stufenbau” dari beberapa tangga pembentukan hukum. Adanya pembentukan hukum oleh tingkat yang lebih rendah, yaitu pembentukan hukum yang kepadanya telah didelegasikan wewenang untuk itu, menurut pandangan Kelsen bergantung pada adanya suatu pembentukan hukum yang lebih tinggi, yaitu pembentukan hukum oleh yang mendelegasikan. Pada akhirnya mengenai berlakunya keseluruhan tertib hukum itu dapat dikembalikan pada suatu yang berakar dalam suatu “grundnorm”. Tentang hal ini Kelsen menyebutkan: A norm the validity of which cannot be derived from a superior norm we call a “basic” norm. all norms whose validity may be traced to one and the same basic norm a system of norms, or an order[20]. Melalui “grundnorm” ini terjadi kesatuan di dalam proses pembentukan hukum yang dinamis dan di dalam tertib hukum yang memang ditimbulkan oleh “grundnorm” itu. Hal ini berarti bahwa “grundnorm” merupakan suatu norma yang tidak dapat dideduksikan lagi dari sumber lainnya. Artinya, “grundnorm” merupakan norma dasar yang keberadaan dan keabsahannya bukan merupakan bagian dari hukum positif, tetapi merupakan sumber dari hukum positif. Di sini terlihat bahwa pandangan Kelsen tentang “grundnorm” bukan merupakan sesuatu yang berbentuk tertulis akan tetapi merupakan: One may describe the Grundnorm as a constitution in the transcendental-logical sense, as distinct from the constitution in the positive legal sense. The latter is the contitution posited by human acts of will, the vailidity of which is based on the assumed (vorausgesertzte) basic norm[21]. Lebih jelas lagi jika diperhatikan bahwa apa yang disebutnya sebagai berikut: The basic norm is not created in a legal procedure by a law creating organ… by a legal cat … it is valid becouse it is presupposed to be valid: and it is presupposed to valid becouse without this presupposition no human act could be interpreted as a legal, especially as a norm creating, act[22].

Indonesia juga mengenal tata urutan perundang-undangan menurut Stufenbau theory Hans Kelsen. Hal ini dapat dilihat dalam Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 Tentang memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Perundang-undangan. Tap ini kemudian dicabut dengan Tap MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan perundang-undangan. Ketetapan MPR No.III/2000 ini, terdapat perbedaan dengan Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang sumber hukum dan tata urutannya. Jika pada Tap MPRS No. XX/1966 sumber tertib hukum itu dimana Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum yang perwujudanya terdiri dari: Proklamasi 17 Agustus 1945, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 (Proklamasi) dan Supersemar 1966, maka di dalam Tap MPR No. III/MPR/2000 sumber hukum terdiri dari Pancasila dan UUD 1945. Begitu pula dengan tata urutan perundang-undangan terjadi perubahan, pada Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 posisi Undang-undang terjadi perubahan, pada Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 posisi Undang-undang sederajat dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu), sedangkan Tap MPR No. III/MPR/2000 Perpu berada di bawah Undang-undang, dan peraturan daerah merupakan salah satu urutan perundang-undangan yang semula pada Tap MPRS No.XX/MPRS/1966 hanya merupakan peraturan pelaksana. Selanjutnya mengenai tata urutan dan pembentukan peraturan perundang-undangan dimuat dalam UU No. 10 Tahun 2004 dan kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011, ari beberapa ketentuan tersebut ada satu persamaan yaitu bahwa semua peraturan hukum yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum yang lebih tinggi sesuai dengan tata urutan perundang-undangan.

Mengikuti pemikiran Hans Kelsen timbul pertanyaan tentang apa yang menjadi Grundnorm dari peraturan atau hukum Indonesia? Dalam banyak literatur, jelas dikemukakan bahwa Pancasila adalah Grundnorm atau norma dasar, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku dan yang akan diberlakukan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari pandangan yang mengatakan bahwa Pancasila berkedudukan sebagai landasan unsur konstitutif dan regulatif, sebagai Grundnorm sumbernya dari segala sumber hukum dan landasan filosofis dari bangunan hukum nasional, dan pelbagai manifestasi budaya Indonesia yang memancarkan dan menghadirkan “Geislichen Hintergrund” yang khas[23]. Dengan demikian hukum tidak terlepas dari nilai yang berlaku di masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan yang hidup dalam masyarakat. Ini berarti bahwa hukum positif Indonesia bersumber pada nilai, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang merupakan asas kerohanian negara Indonesia. Jika konsep Grundnorm menurut teori hukum murni Hans Kelsen, dihubungkan dengan Pancasila sebagai norma dasar dalam pembentukan hukum Indonesia. Sangat sulit untuk menempatkan atau bahkan tidak mungkin memposisikan teori hukum murni tersebut untuk menafsirkan Pancasila sebagai Grundnorm. Alasannya, dilihat dari sudut pandang teori hukum, apa yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dengan teori hukum murni, secara tegas memisahkan hukum dengan moral. Hal ini dapat dilihat dari teori Kelsen yang mengtakan; suatu analisis tentang struktur hukum positif yang dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat etik atau politik mengenai nilai[24]. Pancasila sebagai pandangan hidup, sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sebagai asas kerohanian sarat dengan nilai moral. Oleh karena itu teori hukum murni tidak mungkin menjelaskan Pancasila sebagai Grundnorm.

Grundnorm merupakan sistem nilai, dalam esensinya sistem nilai itu dapat dibedakan menjadi nilai dasar dan nilai tujuan. Sebagai nilai dasar berarti merupakan sumber nilai bagi pembuat kebijakan dan juga sebagai pembatas dalam implementasinya, sebagai landasan dan acuan untuk mencapai atau memperjuangkan sesuatu. Sedang sebagai nilai tujuan berarti merupakan sesuatu yang harus dan layak untuk diperjuangkan. Sistem ini mempunyai peranan penting dalam hubungannya dengan pembentukan hukum, sistem nilai ini diejawantahkan ke dalam berbagai asas hukum dan kaidah hukum yang secara keseluruhan mewujudkan sebagai sistem hukum.

Pada sisi lain Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa, di dalamnya terkandung sistem nilai yang kemudian berkelanjutan menjadi norma-norma kehidupan. Nilai diartikan oleh Mc Cracken[25] sebagai: “volue is that aspect of a fact or experience in virture of which it is seen to contain in its nature or essence the sufficient reason for its existence as such a deteminate fact or experience, or the sufficient reason form its being regarded as an end for practice or contemplation”. Senada dengan itu, Notonagoro[26] mengatakan : … Pancasila bukan hanya satu konsepsi politis, akan tetapi buah hasil perenungan jiwa yang dalam, buah hasil penyelidikan cipta yang teratur dan seksama di atas basis pengetahuan dan pengalaman yang luas. Dengan demikian Pancasila dalam keseluruhan artinya adalah nilai-nilai kejiwaan bangsa, hasrat keinginan yang mendalam dari bangsa, ikatan antara jiwa bangsa dan kenyataan hidup.

Dalam kaitan ini Flew[27] menyatakan; …. About what things in the world are good, desirable, and important. Jadi nilai merupakan sesuatu yang berkaitan dengan yang dipandang baik, diperlukan dan penting bagi kehidupan. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa nilai memiliki karakteristik baik, bersahaja dan penting. Karakteristik lain tentang nilai dikemukakan oleh The Lie Anggie[28] sebagai berikut:
  • Dari perkataan nilai dapat dilihat dari sudut kata kerja (menilai) atau dilihat dari sudut kata sifat (bernilai), atau dilihat dari sudut kata benda (suatu nilai), dan sebagainya.
  • Nilai adalah merupakan dasar suatu perbuatan atau pilihan.
  • Nilai itu sendiri sering dikatakan merupakan suatu pilihan 
  • Pada situasi tertentu setiap orang dapat berselisih dalam mempertimbangkan suatu nilai.
  • Nilai dapat dibedakan ke dalam dua macam, yaitu nilai intrinsik dan nilai instrumental.
  • Nilai berkaitan dengan hal yang positif dan yang negatif, yaitu berkaitan dengan kebaikan dan kejahatan.
  • Penilaian kapan saja berkaitan dengan kehidupan.
Sedang Koesneo[29] mengemukakan bahwa di dalam hidup manusia, nilai-nilai banyak ragam dan macamnya, ada nilai kebenaran, nilai kesusilaan, nilai keindahan dan ada nilai hukum. Sistem nilai ini secara teoritis dan konsepsional disusun sedemikian rupa, sehingga nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung di dalamnya merupakan suatu jalinan pemikiran yang logis. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai yang berkaitan dengan keadilan sosial akan menempati kedudukan yang penting di dalam hukum. Untuk itu dalam pengaturan hak dan kebebasan warga negara nilai-nilai keadilan harus mendapat perhatian. Berdasarkan hal yang demikian ini, terlihat dengan jelas bahwa Pancasila mengharuskan tertib hukum Indonesia sesuai dengan norma-norma moral, kesusilaan, etika dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa Pancasila selain mengandung nilai moral juga mengandung nilai politik.

Menururt Moh. Hatta sebagaimana dikutip Ruslan Saleh[30] Pancasila terdiri atas dua fundamen yaitu fundamen politik dan fundamen moral. Dengan meletakkan fundamen moral di atas, negara dan pemerintahannya memperoleh dasar yang kokoh, yang memerintahkan berbuat benar, melaksanakan keadilan, kebaikan dan kejujuran serta persaudaraan keluar dan ke dalam. Dengan fundamen politik pemerintahan yang berpegang pada moral yang tinggi diciptakan tercapainya suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mengacu pada pemikiran Moh. Hatta di atas, dapat disimpulkan bahwa Pancasila bukan hanya norma dasar dari kehidupan hukum nasional, akan tetapi juga merupakan norma dasar dari norma-norma lain, seperti norma moral, norma kesusilaan, norma etika dan nilai-nilai. Oleh karena itu Pancasila mengharuskan agar tertib hukum serasi dengan norma moral, sesuai dengan norma kesusilaan dan norma etika yang merupakan pedoman bagi setiap warga negara untuk bertingkah laku.

Hukum adalah sesuatu yang abstrak, tidak dapat dilihat dan tidak dapat diraba, yang dapat dilihat adalah tingkah laku manusia sehari-hari, lebih tepat lagi tingkah laku hukum manusia. Hukum itu sendiri merupakan hasil karya manusia berupa norma yang berisikan petunjuk bagi manusia untuk bertingkah laku, hal ini berkaitan dengan keberadaan manusia sebagai makhluk yang berakal budi, sehingga setiap tingkah laku manusia harus diatur secara normatif dengan arti bahwa manusia harus bertingkah laku sesuai dengan norma-norma yang ditentukan sebagai pegangan hidupnya. Melalui penormaan tingkah laku ini, hukum memasuki semua aspek kehidupan manusia, seperti yang dikatakan Steven Vago[31]; “The normative life of the state and its citizens”. Agar supaya tingkah laku ini diwarnai oleh nilai-nilai Pancasila, maka norma hukum positif yang berlaku di Indonesia harus bernapaskan Pancasila.

Formulasi yang demikian ini mengandung arti bahwa peraturan perundang-undangan, mengandung norma hukum yang di dalamnya terdapat patokan penilaian dan patokan tingkah laku. Patokan penilaian ini tidak hanya terbatas pada macam-macam nilai, akan tetapi merupakan satu kesatuan atau keterpaduan yang disebut dengan sistem penilaian. Melalui sistem penilaian ini, dapat dirumuskan petunjuk tingkah laku, tentang perbuatan apa saja yang mesti dilakukan dan yang harus ditinggalkan. Penilaian terhadap tingkah laku manusia bukan merupakan penilaian yang berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari suatu ide yang lebih besar, yaitu ide tentang masyarakat yang dicita-citakan.

No comments:

Post a Comment