Monday, 13 March 2017

JENIS DAN ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN DAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN DAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
1. Aliran-aliran filsafat pendidikan
a. Aliran-aliran filsafat pendidikan
Filsafat Pendidikan bukanlah ilmu yang berdiri sendiri, dan filsafat itu sendiri dengan berbagai tokoh dan pendirinya memberikan pandangan yang berbeda-beda tentang segala sesuatu baik Tuhan, alam semesta dan manusia, yang adakalanya bersifat saling mendukung, tetapi tak jarang pula saling bertentangan, maka perbedaan pandangan tersebut berimbas pada Filsafat Pendidikan sehingga menimbulkan berbagai aliran dalam Filsafat Pendidikan yang dilatarbelakangi oleh aliran-aliran filsafat itu sendiri. Berikut adalah aliran-aliran dalam Filsafat Pendidikan:

1). Idealisme
Idealisme termasuk dalam kelompok filsafat tertua. Tokoh aliran ini adalah Plato (427-34 SM) yang secara umum dipandang sebagai bapak idealisme di Barat yang hidup kira-kira 2500 tahun yang lalu. Aliran ini menurut Poedjawijatna memandang dan menganggap yang nyata hanya idea. Idea tersebut selalu tetap dan tidak mengalami perubahan atau pergeseran. Aliran filsafat idealisme menekankan moral dan ralitas spiritual sebagai sumber-sumber utama di alam ini.

Ramayulis dan Samsul Nizar menjelaskan bahwa aliran filsafat ini memandang pendidikan bukan hanya mengembangkan atau menumbuhkan tetapi juga harus digerakkan ke arah tujuan yaitu menjaga keunggulan kultural, sosial dan spiritual, sehingga manusia bisa mencapai kesempurnaan dirinya, yaitu mencapai nilai-nilai dan ide-ide yang diperlukan oleh semua manusia secara bersama-sama. Oleh karenanya kurikulum pendidikan seyogyanya bersifat tetap, dan tidak menerima perkembangan.

2). Realisme
Realisme berasal dari kata real yang berarti aktual atau yang ada. Realisme adalah aliran yang patuh kepada yang ada (fakta). Realisme termasuk dalam kelompok pemikiran klasik. 

Aliran ini memandang dunia dari sudut materi. Menurut mereka, realitas dunia ini adalah alam. Segala sesuatu berasal dari alam dan yang menjadi subjek adalah hukum alam (dunia nyata, alam dan benda). Oleh karenanya suatu pengetahuan akan dikatakan benar atau tepat apabila sesuai dengan kenyataan. 

Dalam bidang pendidikan, perhatian aliran realisme ini tertuju pada pemenuhan akal peserta didik dengan peraturan-peraturan dan hakikat-hakikat yang terlihat dalam alam. Oleh karenanya pendidikan realism mengutamakan pendidikan akal (rasio) atas dasar bahwa pendidikan adalah tujuan dan sasaran untuk mendapat segala sesutu yang diperoleh melalui porses berfikir yang didapat melalui metode latihan yang benar. Karena hal itu merupakan perhatian terhadap studi-studi dasar yang punya hubungan dengan segi-segi akhlak, rasio dan logika kemanusiaan maka kewajiban guru adalah berupaya menciptakan model-model dalam pengajaran dengan pendekatan pada kenyataan yang inderawi, kemudia berpindah kepada hal-hal yang abstrak.

3). Pragmatisme
Aliran Pragmatisme timbul pada abad 20. Pendiri aliran ini adalah Charks E. Peirce. Pemikiran Peirce mendapat pengaruh dari Kant dan Hegel. Aliran Pragmatisme adalah suatu aliran yang memandang realitas sebagai sesuatu yang secara tetap mengalami perubahan (terus menerus berubah). Untuk itu realitas hanya dapat dikenal melalui pengalaman. Tidak ada pengetahuan yang absolute (permanen). Realitas atau kenyataan hanyala apa yang dapat diamati dan dirasakan. Pengetahuan bersifat sementara dan demikian juga dengan nilai-nilai. Bagi pragmatism semua yang mengalami perubaan tidak ada yang kekal (tetap). 

Adapun yang kekal adalah perubahan itu sendiri.
Pragmatisme mementingkan orientasinya kepada pandangan anthroposentris (berpusat kepada manusia), kemampuan kreativitas dan pertumbuhan manusia ke arah yang bersifat praktis, kemampuan kecerdasan dan individualitas serta perbuatan dalam masyarakat. 

Dalam bidang pendidikan, aliran ini tidak memisakan antara materi pengajaran dengan metode pengajaran. Variasi metode pengajaran yang digunakan berpijak atas konsep demokrasi. Guru tidak boleh menghilangkan keaktifan anak didiknya. Seorang guru tidak boleh membatasi kegiatan murid dan hanya menerima pemikiran guru. Aliran ini menuntut agar peserta didik diikutsertakan secara demokratis dan dinamis; baik dalam berpikir dan membahas. Dengan demikian, peserta didik akan mampu menemukan hakikat kebenaran dengan sendirinya. 

Aliran ini mempercayai adanya perbedaan-perbedaan kecerdasan individual. Untuk itu, pendidikan yang perlu dikembangkan seyogyanya menekankan pada upaya menanamkan rasa kebebasan individual kepada setiap orang yang bekerja di bidang pendidikan. Aliran ini tidak melihat perlunya menggunakan hukuman fisik terhadap anak didik dengan alas an bahwa ketertiban dan kesadaran bertanggung jawab mesti tumbuh dari murid sendiri dan murid haruslah dilibatkan dalam semua kegiatan. Bila timbul kesulitan, guru harus berusaha memecahkannya bersama murid, tanpa menyerahkannya ke bagian administrasi.

4). Eksistensialisme
Kata eksistensi berasal dari kata latin existere, ex yang berarti keluar dan sitere yang berarti membuat berdiri. Jadi eksistensialisme berarti apa yang ada, apa yang memiliki aktualitas, apa saja yang dialami. Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang melukiskan dan mendiagnosa kedudukan manusia yang sulit. Titik sentralnya adalah manusia. Menurut eksistensialisme, hakekat manusia terletak dalam eksistensi dan aktivitasnya. Aktivitas manusia merupakan eksistensi dari dirinya dan hasil aktifitas yang dilakukan merupakan cermin hakekat dirinya.

Aliran ini memandang bahwa manusia menciptakan kehidupannya sendiri. Oleh sebab itu, manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas pilihan-pilihan yang dibuat. Baik dan buruknya sesuatu tergantung atas keyakinan pribadinya. Aliran ini memberikan pemahaman kepada individual, kebebasan dan penanggungjawabannya.

Dalam bidang pendidikan, aliran eksistensialisme menuntut adanya sistem pendidikan yang beraneka ragam warna dan berbeda-beda, baik metode pengajarannya maupun penyusunan keahlian-keahlian. Hal ini karena aliran eksistensialisme mengutamakan perorangan/individu. Oleh sebab itu, ia tidak membatasi murid dengan buku-buku yang ditetapkan saja. Sebab, hal ini akan membatasi kemampuan murid untuk mengenal pnngan lain yang bermacam-macam dan berbeda-beda.

b. Aliran-aliran filsafat pendidikan Islam
Dalam dunia pendidikan Islam, terdapat tiga aliran utama filsafat pendidikan Islam, yaitu: 1) Aliran Konservatif, dengan tokoh utamanya adalah al-Ghazali, 2) Aliran Religius-Rasional, dengan tokoh utamanya yaitu Ikhwan al-Shafa, dan 3) Aliran Pragmatis, dengan tokoh utamanya adalah Ibnu Khaldun.

1). Aliran Konservatif (al-Muhafidz)
Tokoh-tokoh aliran ini adalah al-Ghazali, Nasiruddin al-Thusi, Ibnu Jama’ah, Sahnun, Ibnu Hajar al-Haitami, dan al-Qabisi. Aliran al-Muhafidz cenderung bersikap murni keagamaan.

Aliran ini memaknai ilmu dengan pengertian sempit. Menurut al-Thusi, ilmu yang utama hanyalah ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat sekarang, yang jelas akan membawa manfaat di akhirat kelak. 

Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi:
a. Berdasarkan pembidangannya, ilmu dibagi menjadi dua bidang:
1) Ilmu syar’iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari para Nabi, terdiri atas: a. Ilmu ushul (ilmu pokok), b. Ilmu furu’ (cabang), c. Ilmu pengantar (mukaddimah), dan d. Ilmu pelengkap (mutammimah).
2) Ilmu ghairu syar’iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari ijtihad ulama’ atau intelektual muslim, terdiri atas: a. Ilmu terpuji, b. Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan), c. Ilmu yang tercela (merugikan).
b. Berdasarkan status hukum mempelajarinya, dapat digolongkan menjadi: 1) Ilmu yang fardlu ‘ain, dan 2) Ilmu yang fardlu kifayah.

Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu-ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh dengan kesempurnaan rasio dan kejernihan akal budi.Karena, hanya dengan rasiolah manusia mampu menerima amanat dari Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.Pemikiran al-Ghazali ini sejalan dengan aliran Mu’tazilah yang berpendapat bahwa rasio mampu menetapkan baik buruknya sesuatu.

Pola umum pemikiran al-Ghazali dalam pendidikannya antara lain:
  • Kegiatan menuntut ilmu tiada lain berorientasi pada pencapaian ridha Allah.
  • Teori ilmu ilhami sebagai landasan teori pendidikannya, dan diperkuat dengan sepuluh kode etik peserta didik.
  • Tujuan agamawi merupakan tujuan puncak kegiatan menuntut ilmu.
  • Pembatasan term al-‘ilm hanya pada ilmu tentang Allah.
Dari deskripsi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran utama aliran konservatif antara lain: 1) Ilmu adalah ilmu al-hal, yaitu ilmu yang dibutuhkan saat sekarang yang bisa membawa manfaat di akhirat, 2) Ilmu-ilmu selain ilmu keagamaan adalah sia-sia, dan 3) Ilmu hanya bisa diperoleh melalui rasio.

2). Aliran Religius-Rasional (al-Diniy al-‘Aqlaniy)
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih.Aliran ini dijuluki “pemburu” hikmah Yunani di belahan dunia Timur, dikarenakan pergumulan intensifnya dengan rasionalitas Yunani.

Menurut Ikhwan al-Shafa, yang dimaksud dengan ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui. Proses pengajaran adalah usaha transformatif terhadap kesiapan ajar agar benar-benar menjadi riil, atau dengan kata lain, upaya transformatif terhadap jiwa pelajar yang semula berilmu (mengetahui) secara potensial, agar menjadi berilmu (mengetahui) secara riil-aktual.

Dengan demikian, inti proses pendidikan adalah pada kiat transformasi potensi-potensi manusia agar menjadi kemampuan “psikomotorik”.

Ikhwan berpendapat bahwa akal sempurna mengemanasikan keutamaan-keutamaan pada jiwa dan dengan emanasi ini eternalitas akal menjadi penyebab keberadaan jiwa.Kesempurnaan akal menjadi penyebab keabadian jiwa dan supremasi akal menjadi penyebab kesempurnaan jiwa. Pandangan dualisme jiwa-akal Ikhwan tersebut merupakan bukti dari pengaruh pemikiran Plato.

Menurut Ikhwan, jiwa berada pada posisi tengah antara dunia fisik-materiil dan dunia akal. Hal inilah yang menjadikan pengetahuan manusia menempuh laju “linier-progresif” melalui tiga cara, yaitu: 1) Dengan jalan indera, jiwa dapat mengetahui sesuatu yang lebih rendah dari substansi dirinya; 2) Dengan jalan burhan (penalaran-pembuktian logis), jiwa bisa mengetahui sesuatu yang lebih tinggi darinya; dan 3) Dengan perenungan rasional, jiwa dapat mengetahui substansi dirinya.

Ikhwan tidak sependapat dengan ide Plato yang menganggap bahwa belajar tiada lain hanyalah proses mengingat ulang. Ikhwan menganggap bahwa semua pengetahuan berpangkal pada cerapan inderawiah.Segala sesuatu yang tidak dijangkau oleh indera, tidak dapat diimajinasikan, segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, maka tidak bisa dirasiokan.

Kalangan Ikhwan sangat memberi tempat terhadap ragam disiplin ilmu yang berkembang dan bermanfaat bagi kemajuan hidup manusia.Implikasinya adalah konsep ilmu berpangkal pada “kesedia-kalaan” ilmu tanpa pembatasan.

Ikhwan membagi ragam disiplin ilmu sebagai berikut: 1) Ilmu-ilmu Syar’iyah (keagamaan), 2) Ilmu-ilmu Filsafat, dan 3) Ilmu-ilmu Riyadliyyat (matematik). Al-Farabi menghendaki agar operasionalisasi pendidikan seiring dengan tahap-tahap perkembangan fungsi organ tubuh dan kecerdasan manusia.

Dari pemikiran kedua tokoh di atas, teori utama aliran Religius-Rasional ini antara lain: 1) Pengetahuan adalah muktasabah, yakni hasil perolehan dari aktivitas belajar, 2) Modal utama ilmu adalah indera, 3) Lingkup kajian meliputi pengkajian dan pemikiran seluruh realitas yang ada, 4) Ilmu pengetahuan adalah hal yang begitu bernilai secara moral dan sosial, dan 5) Semua ragam ilmu pengetahuan adalah penting.

3). Aliran Pragmatis (al-Dzarai’iy)
Tokoh aliran Pragmatis adalah Ibnu Khaldun. Sedangkan tokoh Pragmatisme Barat yaitu John Dewey.Bila filsafat pendidikan Islam berkiblat pada pandangan pragmatisme John Dewey, tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah segala sesuatu yang sifatnya nyata, bukan hal yang di luar jangkauan pancaindera.

Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan pembelajaran adalah tabi’i (pembawaan) manusia karena adanya kesanggupan berfikir. Pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian duniawi dan ukhrowi, keduanya harus memberikan keuntungan, karena baginya pendidikan adalah jalan untuk memperoleh rizki.

Ibnu Khaldun mengklasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan tujuan fungsionalnya, yaitu: 1) Ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik. Misal: ilmu-ilmu keagamaan, Ontologi dan Teologi, dan 2) Ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental bagi ilmu instrinsik. Misal: kebahasa-Araban bagi ilmu syar’iy, dan logika bagi ilmu filsafat.

Berdasarkan sumbernya, ilmu dapat dibagi menjadi dua yaitu: 1) Ilmu ‘aqliyah (intelektual) yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari olah pikir rasio, yakni ilmu Mantiq (logika), ilmu alam, Teologi dan ilmu Matematik, dan 2) Ilmu naqliyah yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari hasil transmisi dari orang terdahulu, yakni ilmu Hadits, ilmu Fiqh, ilmu kebahasa-Araban, dan lain-lain.

Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.

Dari pemikiran Ibnu Khaldun di atas, maka ide pokok pemikiran aliran Pragmatis antara lain: 1) Manusia pada dasarnya tidak tahu, namun ia menjadi tahu karena proses belajar, 2) Akal merupakan sumber otonom ilmu pengetahuan, dan 3) Keseimbangan antara pengetahuan duniawi dan ukhrawi.

DAFTAR PUSTAKA
  • H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002
  • Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997
  • Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional, 1983.
  • Musa Asy’arie, Filsafat Islam, Yogyakarta : LESFI, 2010 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
  • Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Jakarta: Bulan Bintang, 1990
  • H.Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan pemikiran Para tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia, 2009
  • Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.

No comments:

Post a Comment