ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN DAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
1. Aliran-aliran filsafat pendidikan
a. Aliran-aliran filsafat pendidikan
Filsafat
Pendidikan bukanlah ilmu yang berdiri sendiri, dan filsafat itu sendiri
dengan berbagai tokoh dan pendirinya memberikan pandangan yang
berbeda-beda tentang segala sesuatu baik Tuhan, alam semesta dan
manusia, yang adakalanya bersifat saling mendukung, tetapi tak jarang
pula saling bertentangan, maka perbedaan pandangan tersebut berimbas
pada Filsafat Pendidikan sehingga menimbulkan berbagai aliran dalam
Filsafat Pendidikan yang dilatarbelakangi oleh aliran-aliran filsafat
itu sendiri. Berikut adalah aliran-aliran dalam Filsafat Pendidikan:
1). Idealisme
Idealisme
termasuk dalam kelompok filsafat tertua. Tokoh aliran ini adalah Plato
(427-34 SM) yang secara umum dipandang sebagai bapak idealisme di Barat
yang hidup kira-kira 2500 tahun yang lalu. Aliran ini menurut
Poedjawijatna memandang dan menganggap yang nyata hanya idea. Idea
tersebut selalu tetap dan tidak mengalami perubahan atau pergeseran.
Aliran filsafat idealisme menekankan moral dan ralitas spiritual sebagai
sumber-sumber utama di alam ini.
Ramayulis
dan Samsul Nizar menjelaskan bahwa aliran filsafat ini memandang
pendidikan bukan hanya mengembangkan atau menumbuhkan tetapi juga harus
digerakkan ke arah tujuan yaitu menjaga keunggulan kultural, sosial dan
spiritual, sehingga manusia bisa mencapai kesempurnaan dirinya, yaitu
mencapai nilai-nilai dan ide-ide yang diperlukan oleh semua manusia
secara bersama-sama. Oleh karenanya kurikulum pendidikan seyogyanya
bersifat tetap, dan tidak menerima perkembangan.
2). Realisme
Realisme
berasal dari kata real yang berarti aktual atau yang ada. Realisme
adalah aliran yang patuh kepada yang ada (fakta). Realisme termasuk
dalam kelompok pemikiran klasik.
Aliran
ini memandang dunia dari sudut materi. Menurut mereka, realitas dunia
ini adalah alam. Segala sesuatu berasal dari alam dan yang menjadi
subjek adalah hukum alam (dunia nyata, alam dan benda). Oleh karenanya
suatu pengetahuan akan dikatakan benar atau tepat apabila sesuai dengan
kenyataan.
Dalam
bidang pendidikan, perhatian aliran realisme ini tertuju pada pemenuhan
akal peserta didik dengan peraturan-peraturan dan hakikat-hakikat yang
terlihat dalam alam. Oleh karenanya pendidikan realism mengutamakan
pendidikan akal (rasio) atas dasar bahwa pendidikan adalah tujuan dan
sasaran untuk mendapat segala sesutu yang diperoleh melalui porses
berfikir yang didapat melalui metode latihan yang benar. Karena hal itu
merupakan perhatian terhadap studi-studi dasar yang punya hubungan
dengan segi-segi akhlak, rasio dan logika kemanusiaan maka kewajiban
guru adalah berupaya menciptakan model-model dalam pengajaran dengan
pendekatan pada kenyataan yang inderawi, kemudia berpindah kepada
hal-hal yang abstrak.
3). Pragmatisme
Aliran
Pragmatisme timbul pada abad 20. Pendiri aliran ini adalah Charks E.
Peirce. Pemikiran Peirce mendapat pengaruh dari Kant dan Hegel. Aliran
Pragmatisme adalah suatu aliran yang memandang realitas sebagai sesuatu
yang secara tetap mengalami perubahan (terus menerus berubah). Untuk itu
realitas hanya dapat dikenal melalui pengalaman. Tidak ada pengetahuan
yang absolute (permanen). Realitas atau kenyataan hanyala apa yang dapat
diamati dan dirasakan. Pengetahuan bersifat sementara dan demikian juga
dengan nilai-nilai. Bagi pragmatism semua yang mengalami perubaan tidak
ada yang kekal (tetap).
Adapun yang kekal adalah perubahan itu sendiri.
Pragmatisme
mementingkan orientasinya kepada pandangan anthroposentris (berpusat
kepada manusia), kemampuan kreativitas dan pertumbuhan manusia ke arah
yang bersifat praktis, kemampuan kecerdasan dan individualitas serta
perbuatan dalam masyarakat.
Dalam
bidang pendidikan, aliran ini tidak memisakan antara materi pengajaran
dengan metode pengajaran. Variasi metode pengajaran yang digunakan
berpijak atas konsep demokrasi. Guru tidak boleh menghilangkan keaktifan
anak didiknya. Seorang guru tidak boleh membatasi kegiatan murid dan
hanya menerima pemikiran guru. Aliran ini menuntut agar peserta didik
diikutsertakan secara demokratis dan dinamis; baik dalam berpikir dan
membahas. Dengan demikian, peserta didik akan mampu menemukan hakikat
kebenaran dengan sendirinya.
Aliran
ini mempercayai adanya perbedaan-perbedaan kecerdasan individual. Untuk
itu, pendidikan yang perlu dikembangkan seyogyanya menekankan pada
upaya menanamkan rasa kebebasan individual kepada setiap orang yang
bekerja di bidang pendidikan. Aliran ini tidak melihat perlunya
menggunakan hukuman fisik terhadap anak didik dengan alas an bahwa
ketertiban dan kesadaran bertanggung jawab mesti tumbuh dari murid
sendiri dan murid haruslah dilibatkan dalam semua kegiatan. Bila timbul
kesulitan, guru harus berusaha memecahkannya bersama murid, tanpa
menyerahkannya ke bagian administrasi.
4). Eksistensialisme
Kata
eksistensi berasal dari kata latin existere, ex yang berarti keluar dan
sitere yang berarti membuat berdiri. Jadi eksistensialisme berarti apa
yang ada, apa yang memiliki aktualitas, apa saja yang dialami.
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang melukiskan dan mendiagnosa
kedudukan manusia yang sulit. Titik sentralnya adalah manusia. Menurut
eksistensialisme, hakekat manusia terletak dalam eksistensi dan
aktivitasnya. Aktivitas manusia merupakan eksistensi dari dirinya dan
hasil aktifitas yang dilakukan merupakan cermin hakekat dirinya.
Aliran
ini memandang bahwa manusia menciptakan kehidupannya sendiri. Oleh
sebab itu, manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas pilihan-pilihan
yang dibuat. Baik dan buruknya sesuatu tergantung atas keyakinan
pribadinya. Aliran ini memberikan pemahaman kepada individual, kebebasan
dan penanggungjawabannya.
Dalam
bidang pendidikan, aliran eksistensialisme menuntut adanya sistem
pendidikan yang beraneka ragam warna dan berbeda-beda, baik metode
pengajarannya maupun penyusunan keahlian-keahlian. Hal ini karena aliran
eksistensialisme mengutamakan perorangan/individu. Oleh sebab itu, ia
tidak membatasi murid dengan buku-buku yang ditetapkan saja. Sebab, hal
ini akan membatasi kemampuan murid untuk mengenal pnngan lain yang
bermacam-macam dan berbeda-beda.
b. Aliran-aliran filsafat pendidikan Islam
Dalam
dunia pendidikan Islam, terdapat tiga aliran utama filsafat pendidikan
Islam, yaitu: 1) Aliran Konservatif, dengan tokoh utamanya adalah
al-Ghazali, 2) Aliran Religius-Rasional, dengan tokoh utamanya yaitu
Ikhwan al-Shafa, dan 3) Aliran Pragmatis, dengan tokoh utamanya adalah
Ibnu Khaldun.
1). Aliran Konservatif (al-Muhafidz)
Tokoh-tokoh
aliran ini adalah al-Ghazali, Nasiruddin al-Thusi, Ibnu Jama’ah,
Sahnun, Ibnu Hajar al-Haitami, dan al-Qabisi. Aliran al-Muhafidz
cenderung bersikap murni keagamaan.
Aliran
ini memaknai ilmu dengan pengertian sempit. Menurut al-Thusi, ilmu yang
utama hanyalah ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat sekarang, yang jelas akan
membawa manfaat di akhirat kelak.
Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi:
a. Berdasarkan pembidangannya, ilmu dibagi menjadi dua bidang:
1)
Ilmu syar’iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari para Nabi, terdiri
atas: a. Ilmu ushul (ilmu pokok), b. Ilmu furu’ (cabang), c. Ilmu
pengantar (mukaddimah), dan d. Ilmu pelengkap (mutammimah).
2)
Ilmu ghairu syar’iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari ijtihad
ulama’ atau intelektual muslim, terdiri atas: a. Ilmu terpuji, b. Ilmu
yang diperbolehkan (tak merugikan), c. Ilmu yang tercela (merugikan).
b.
Berdasarkan status hukum mempelajarinya, dapat digolongkan menjadi: 1)
Ilmu yang fardlu ‘ain, dan 2) Ilmu yang fardlu kifayah.
Al-Ghazali
menegaskan bahwa ilmu-ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh dengan
kesempurnaan rasio dan kejernihan akal budi.Karena, hanya dengan
rasiolah manusia mampu menerima amanat dari Allah dan mendekatkan diri
kepada-Nya.Pemikiran al-Ghazali ini sejalan dengan aliran Mu’tazilah
yang berpendapat bahwa rasio mampu menetapkan baik buruknya sesuatu.
Pola umum pemikiran al-Ghazali dalam pendidikannya antara lain:
- Kegiatan menuntut ilmu tiada lain berorientasi pada pencapaian ridha Allah.
- Teori ilmu ilhami sebagai landasan teori pendidikannya, dan diperkuat dengan sepuluh kode etik peserta didik.
- Tujuan agamawi merupakan tujuan puncak kegiatan menuntut ilmu.
- Pembatasan term al-‘ilm hanya pada ilmu tentang Allah.
Dari
deskripsi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran utama
aliran konservatif antara lain: 1) Ilmu adalah ilmu al-hal, yaitu ilmu
yang dibutuhkan saat sekarang yang bisa membawa manfaat di akhirat, 2)
Ilmu-ilmu selain ilmu keagamaan adalah sia-sia, dan 3) Ilmu hanya bisa
diperoleh melalui rasio.
2). Aliran Religius-Rasional (al-Diniy al-‘Aqlaniy)
Tokoh-tokoh
aliran ini adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu
Miskawaih.Aliran ini dijuluki “pemburu” hikmah Yunani di belahan dunia
Timur, dikarenakan pergumulan intensifnya dengan rasionalitas Yunani.
Menurut
Ikhwan al-Shafa, yang dimaksud dengan ilmu adalah gambaran tentang
sesuatu yang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui. Proses
pengajaran adalah usaha transformatif terhadap kesiapan ajar agar
benar-benar menjadi riil, atau dengan kata lain, upaya transformatif
terhadap jiwa pelajar yang semula berilmu (mengetahui) secara potensial,
agar menjadi berilmu (mengetahui) secara riil-aktual.
Dengan
demikian, inti proses pendidikan adalah pada kiat transformasi
potensi-potensi manusia agar menjadi kemampuan “psikomotorik”.
Ikhwan
berpendapat bahwa akal sempurna mengemanasikan keutamaan-keutamaan pada
jiwa dan dengan emanasi ini eternalitas akal menjadi penyebab
keberadaan jiwa.Kesempurnaan akal menjadi penyebab keabadian jiwa dan
supremasi akal menjadi penyebab kesempurnaan jiwa. Pandangan dualisme
jiwa-akal Ikhwan tersebut merupakan bukti dari pengaruh pemikiran Plato.
Menurut
Ikhwan, jiwa berada pada posisi tengah antara dunia fisik-materiil dan
dunia akal. Hal inilah yang menjadikan pengetahuan manusia menempuh laju
“linier-progresif” melalui tiga cara, yaitu: 1) Dengan jalan indera,
jiwa dapat mengetahui sesuatu yang lebih rendah dari substansi dirinya;
2) Dengan jalan burhan (penalaran-pembuktian logis), jiwa bisa
mengetahui sesuatu yang lebih tinggi darinya; dan 3) Dengan perenungan
rasional, jiwa dapat mengetahui substansi dirinya.
Ikhwan
tidak sependapat dengan ide Plato yang menganggap bahwa belajar tiada
lain hanyalah proses mengingat ulang. Ikhwan menganggap bahwa semua
pengetahuan berpangkal pada cerapan inderawiah.Segala sesuatu yang tidak
dijangkau oleh indera, tidak dapat diimajinasikan, segala sesuatu yang
tidak bisa diimajinasikan, maka tidak bisa dirasiokan.
Kalangan
Ikhwan sangat memberi tempat terhadap ragam disiplin ilmu yang
berkembang dan bermanfaat bagi kemajuan hidup manusia.Implikasinya
adalah konsep ilmu berpangkal pada “kesedia-kalaan” ilmu tanpa
pembatasan.
Ikhwan
membagi ragam disiplin ilmu sebagai berikut: 1) Ilmu-ilmu Syar’iyah
(keagamaan), 2) Ilmu-ilmu Filsafat, dan 3) Ilmu-ilmu Riyadliyyat
(matematik). Al-Farabi menghendaki agar operasionalisasi pendidikan
seiring dengan tahap-tahap perkembangan fungsi organ tubuh dan
kecerdasan manusia.
Dari
pemikiran kedua tokoh di atas, teori utama aliran Religius-Rasional ini
antara lain: 1) Pengetahuan adalah muktasabah, yakni hasil perolehan
dari aktivitas belajar, 2) Modal utama ilmu adalah indera, 3) Lingkup
kajian meliputi pengkajian dan pemikiran seluruh realitas yang ada, 4)
Ilmu pengetahuan adalah hal yang begitu bernilai secara moral dan
sosial, dan 5) Semua ragam ilmu pengetahuan adalah penting.
3). Aliran Pragmatis (al-Dzarai’iy)
Tokoh
aliran Pragmatis adalah Ibnu Khaldun. Sedangkan tokoh Pragmatisme Barat
yaitu John Dewey.Bila filsafat pendidikan Islam berkiblat pada
pandangan pragmatisme John Dewey, tujuan yang ingin dicapai dalam
pendidikan adalah segala sesuatu yang sifatnya nyata, bukan hal yang di
luar jangkauan pancaindera.
Menurut
Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan pembelajaran adalah tabi’i
(pembawaan) manusia karena adanya kesanggupan berfikir. Pendidikan bukan
hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga
untuk mendapatkan keahlian duniawi dan ukhrowi, keduanya harus
memberikan keuntungan, karena baginya pendidikan adalah jalan untuk
memperoleh rizki.
Ibnu
Khaldun mengklasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan tujuan
fungsionalnya, yaitu: 1) Ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik. Misal:
ilmu-ilmu keagamaan, Ontologi dan Teologi, dan 2) Ilmu-ilmu yang
bernilai ekstrinsik-instrumental bagi ilmu instrinsik. Misal:
kebahasa-Araban bagi ilmu syar’iy, dan logika bagi ilmu filsafat.
Berdasarkan
sumbernya, ilmu dapat dibagi menjadi dua yaitu: 1) Ilmu ‘aqliyah
(intelektual) yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari olah pikir rasio,
yakni ilmu Mantiq (logika), ilmu alam, Teologi dan ilmu Matematik, dan
2) Ilmu naqliyah yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari hasil transmisi
dari orang terdahulu, yakni ilmu Hadits, ilmu Fiqh, ilmu
kebahasa-Araban, dan lain-lain.
Menurut
Ibnu Khaldun, ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semata-mata
bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis
di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala
konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya
dalam tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan tidak
lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.
Dari
pemikiran Ibnu Khaldun di atas, maka ide pokok pemikiran aliran
Pragmatis antara lain: 1) Manusia pada dasarnya tidak tahu, namun ia
menjadi tahu karena proses belajar, 2) Akal merupakan sumber otonom ilmu
pengetahuan, dan 3) Keseimbangan antara pengetahuan duniawi dan
ukhrawi.
DAFTAR PUSTAKA
- H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002
- Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997
- Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional, 1983.
- Musa Asy’arie, Filsafat Islam, Yogyakarta : LESFI, 2010 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
- Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Jakarta: Bulan Bintang, 1990
- H.Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan pemikiran Para tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia, 2009
- Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.
No comments:
Post a Comment