Sunday 25 December 2016

STRUKTUR PEMBANGUNAN KARYA SASTRA

STRUKTUR PEMBANGUNAN KARYA SASTRA
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Puisi
Sebuah karya sastra mengandung unsur intrinsik serta unsur ekstrinsik. Keterikatan yang erat antar unsur tersebut dinamakan struktur pembangun karya sastra. Unsur intrinsik ialah unsur yang secara langsung membangun cerita dari dalam karya itu sendiri, sedangkan unsur ekstrinsik ialah unsur yang turut membangun cerita dari luar karya sastra. Unsur intrinsik yang terdapat dalam puisi, prosa, dan drama memiliki perbedaan, sesuai dengan ciri dan hakikat dari ketiga genre tersebut. Namun unsur ekstrinsik pada semua jenis karya sastra memiliki kesamaan. Unsur intrinsik sebuah puisi terdiri dari tema, amanat, sikap atau nada, perasaan, tipografi, enjambemen, akulirik, rima, citraan, dan gaya bahasa. Unsur ekstrinsik yang banyak mempengaruhi puisi antara lain: unsur biografi, unsur kesejarahan, serta unsur kemasyarakatan.

Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Prosa
Unsur pembangun prosa terdiri dari struktur dalam atau unsur intrinsik serta struktur luar atau unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik prosa terdiri dari tema dan amanat, alur, tokoh, latar, sudut pandang, serta bahasa yang dipergunakan pengarang untuk mengekspresikan gagasannya. Tema prosa fiksi terutama novel dapat terdiri dari tema utama serta beberapa tema bawahan. Pada cerpen yang memiliki pengisahan lebih singkat, biasanya hanya terdapat tema utama.

Alur merupakan struktur penceritaan yang dapat bergerak maju (alur maju), mundur (alur mundur), atau gabungan dari kedua alur tersebut (alur campuran). Pergerakan alur dijalankan oleh tokoh cerita. Tokoh yang menjadi pusat cerita dinamakan tokoh sentral. Tokoh adalah pelaku di dalam cerita. Berdasarkan peran tokoh dapat dibagi menjadi tokoh utama, tokoh bawahan, dan tokoh tambahan. Tokoh tercipta berkat adanya penokohan, yaitu cara kerja pengarang untuk menampilkan tokoh cerita. Penokohan dapat dilakukan menggunakan 3 metode: 
  • analitik,
  • dramatik, dan
  • kontekstual.
Tokoh cerita akan menjadi hidup jika ia memiliki watak seperti layaknya manusia. Watak tokoh terdiri dari sifat, sikap, serta kepribadian tokoh. Cara kerja pengarang memberi watak pada tokoh cerita dinamakan penokohan, yang dapat dilakukan melalui dimensi;
  • fisik,
  • psikis, dan
  • sosial.
Latar berkaitan erat dengan tokoh dan alur. Latar adalah seluruh keterangan mengenai tempat, waktu, serta suasana yang ada dalam cerita. Latar tempat terdiri dari tempat yang dikenal, tempat tidak dikenal, serta tempat yang hanya ada dalam khayalan. Latar waktu ada yang menunjukkan waktu dengan jelas, namun ada pula yang tidak dapat diketahui secara pasti. 

Cara kerja pengarang untuk membangun cerita bukan hanya melalui penokohan dan perwatakan, dapat pula melalui sudut pandang. Sudut pandang adalah cara pengarang untuk menetapkan siapa yang akan mengisahkan ceritanya, yang dapat dipilih dari tokoh atau dari narator. Sudut pandang melalui tokoh cerita terdiri dari 
  • sudut pandang akuan,
  • sudut pandang diaan,
  • sudut pandang campuran.
Dalam menuangkan cerita menggunakan medium bahasa, pengarang bebas menentukan akan menggunakan bahasa nasional, bahasa daerah, dialek, ataupun bahasa asing.

Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Drama
Karya sastra drama memiliki unsur intrinsik serta unsur ekstrinsik yang diperlukan untuk membangun ceritanya. Unsur intrinsik drama terdiri dari tema, plot, tokoh, dialog, karakter, serta latar.

Drama yang merupakan ciptaan kreatif pengarang harus memiliki tema yang kuat, agar tercipta sebuah cerita yang tak lekang oleh waktu. Tanpa adanya konflik, cerita drama akan terasa datar. Konflik terdapat di dalam plot, yang terjadi karena adanya ketegangan antartokoh. Tokoh drama terbagi menurut peran dan fungsinya dalam lakon. Menurut perannya tokoh terdiri dari tokoh utama, tokoh bawahan, serta tokoh tambahan. Di dalam drama fungsi tokoh sangat penting, yaitu sebagai tokoh protagonis, tokoh antagonis, dan tokoh tritagonis.

Cakapan merupakan ciri utama drama yang mungkin berupa dialog namun dapat pula berbentuk monolog. Selain itu, ada pula karakter (sebagai apa dan kejiwaannya seperti apa) dan latar yang saling berhubungan erat. Latar dalam drama sangat mempengaruhi karakter tokoh. 

PUISI
Pengertian dan Ciri-ciri Puisi
Puisi ialah perasaan penyair yang diungkapkan dalam pilihan kata yang cermat, serta mengandung rima dan irama. Ciri-ciri puisi dapat dilihat dari bahasa yang dipergunakan serta dari wujud puisi tersebut. Bahasa puisi mengandung rima, irama, dan kiasan, sedangkan wujud puisi terdiri dari bentuknya yang berbait, letak yang tertata ke bawah, dan tidak mementingkan ejaan. Untuk memahami puisi dapat juga dilakukan dengan membedakannya dari bentuk prosa.

Jenis-jenis Puisi
Berdasarkan waktu kemunculannya puisi dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu puisi lama, puisi baru, dan puisi modern. Puisi lama adalah puisi yang lahir sebelum masa penjajahan Belanda, sehingga belum tampak adanya pengaruh dari kebudayaan barat. Sifat masyarakat lama yang statis dan objektif, melahirkan bentuk puisi yang statis pula, yaitu sangat terikat pada aturan tertentu. Puisi lama terdiri dari mantra, bidal, pantun dan karmina, talibun, seloka, gurindam, dan syair. Puisi baru adalah puisi yang muncul pada masa penjajahan Belanda, sehingga pada puisi baru tampak adanya pengaruh dari kebudayaan Eropa. Penetapan jenis puisi baru berdasarkan pada jumlah larik yang terdapat dalam setiap bait. Jenis puisi baru dibagi menjadi distichon, terzina, quatrain, quint, sextet, septima, stanza atau oktaf, serta soneta. Puisi modern adalah puisi yang berkembang di Indonesia setelah masa penjajahan Belanda. Berdasarkan cara pengungkapannya, puisi modern dapat dibagi menjadi puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik.

Analisis Unsur-unsur Intrinsik Puisi
Untuk memahami makna sebuah puisi dapat dilakukan dengan menganalisis unsur-unsur intrinsiknya, misalnya dengan mengkaji gaya bahasa dan bentuk puisi. Gaya bahasa yang dipergunakan penyair mencakup:
  • Gaya bunyi yang meliputi: asonansi, aliterasi, persajakan, efoni, dan kakofoni.
  • Gaya kata yang membahas tentang pengulangan kata dan diksi.
  • Gaya kalimat yang berisi gaya implisit dan gaya retorika
  • Larik, dan
  • bahasa kiasan.
Memahami puisi melalui bentuknya dapat dilakukan dengan menelaah tipografi, tanda baca, serta enjambemen. Untuk mempermudah dan memperjelas penganalisisan puisi, di depan setiap larik berilah bernomor urut. Apabila puisi yang hendak dianalisis tersebut memiliki beberapa bait, dapat pula diberi bernomor pada setiap baitnya.

Penafsiran Puisi
Agar dapat memahami isi puisi diawali dengan menelaah atau melakukan kajian terhadap gaya maupun bentuk puisi yang bersama-sama membentuk suatu keutuhan isi puisi. Perhatikan jika terdapat hal-hal yang menarik perhatian, misalnya judul serta kekerapan kata. Banyaknya kata yang berulang dapat menggiring pembaca dalam memahami tema. Jika terdapat bait yang mengandung sedikit lirik, biasanya di sanalah tertuang tema puisi. Seperti halnya pada judul yang juga dapat membayangkan tema. Tetapi ingat, judul belum tentu sama dengan tema. Mengetahui tema serta akulirik merupakan langkah pertama yang harus dilakukan dalam upaya memahami puisi.

Prosa
Pengertian dan Ciri Prosa Fiksi
Prosa fiksi sebagai cerita rekaan bukan berarti prosa fiksi adalah lamunan kosong seorang pengarang. Prosa fiksi adalah perpaduan atau kerja sama antara pikiran dan perasaan. Fiksi dapat dibedakan atas fiksi yang realitas dan fiksi yang aktualitas. Fiksi realitas mengatakan: “seandainya semua fakta, maka beginilah yang akan terjadi. Jadi, fiksi realitas adalah hal-hal yang dapat terjadi, tetapi belum tentu terjadi. Penulis fiksi membuat para tokoh imaginatif dalam karyanya itu menjadi hidup. Fiksi aktualitas mengatakan “karena semua fakta maka beginilah yang akan terjadi”. Jadi, aktualitas artinya hal-hal yang benar-benar terjadi. Contoh: roman sejarah, kisah perjalanan, biografi, otobiografi. Prosa selalu bersumber dari lingkungan kehidupan yang dialami, disaksikan, didengar, dan dibaca oleh pengarang.

Adapun ciri-ciri prosa fiksi adalah bahasanya terurai, dapat memperluas pengetahuan dan menambah pengetahuan, terutama pengalaman imajinatif. Prosa fiksi dapat menyampaikan informasi mengenai suatu kejadian dalam kehidupan. Maknanya dapat berarti ambigu. Prosa fiksi melukiskan realita imajinatif karena imajinasi selalu terikat pada realitas, sedangkan realitas tak mungkin lepas dari imajinasi. Bahasanya lebih condong ke bahasa figuratif dengan menitikberatkan pada penggunaan kata-kata konotatif. Selanjutnya prosa fiksi mengajak kita untuk berkontemplasi karena sastra menyodorkan interpretasi pribadi yang berhubungan dengan imajinasi.

Jenis-jenis Prosa
Berdasarkan pembagian sejarah sastra Indonesia, dikenal 2 macam sastra, yaitu sastra klasik dan sastra modern. Sastra modern termasuk di dalamnya prosa baru yang mencakup roman, novel, novel populer, cerpen. Selanjutnya sastra klasik termasuk di dalamnya yaitu prosa lama yang mencakup cerita rakyat, dongeng, fabel, epos, legenda, mite, cerita jenaka, cerita pelipur lara, sage, hikayat, dan silsilah.

Roman adalah salah satu jenis karya sastra ragam prosa. Pengertian roman pada mulanya ialah cerita yang ditulis dalam bahasa Romana. Dalam perkembangannya kemudian, roman berupa cerita yang mengisahkan peristiwa/pengalaman lahir/batin sejumlah tokoh pada satu masa tertentu. Hal ini terjadi pada akhir abad ke-17. Perkembangan roman mencapai puncaknya pada abad ke-18. Pada abad ke-19 muncullah penulis-penulis roman yang termasyhur, seperti Honore de Balzac, Gustave Flaubert, Emile Zola, Charles Dickens, Leo Tolstoy, F. Dostojevski. Penulis-penulis roman ini kemudian disusul oleh rekan-rekannya yang mewakili abad ke-20, seperti Proust, Joyce, Kafka, dan Faulkner. 

Bentuk yang hampir sama dengan roman adalah novel. Bagi pembaca awam, kedua bentuk ini sulit dibedakan. Pada dasarnya novel maupun roman menceritakan hal luar biasa yang terjadi dalam kehidupan manusia sehingga jalan hidup tokoh cerita yang ditampilkan dapat berubah. Novel dapat dibedakan menjadi novel kedaerahan, novel psikologi, novel sosial, novel gotik, dan novel sejarah, serta novel populer. Cerita jenis lain yang memiliki ciri utama sepertri novel adalah cerpen. Bedanya dengan novel, cerpen penceritaannya lebih ringkas, masalahnya lebih padu dan plotnya tunggal dan terfokus ke akhir cerita. Sebuah cerita yang panjang yang berjumlah ratusan halaman, jelas tidak dapat disebut dengan cerpen.

Unsur Intrinsik Prosa
Unsur intrinsik prosa terdiri atas alur, tema, tokoh dan penokohan, latar/setting, sudut pandang, gaya, pembayangan, dan amanat. Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi, bahwa pada umumnya alur cerita rekaan terdiri atas:

Alur buka, yaitu situasi terbentang sebagai suatu kondisi permulaan yang akan dilanjutkan dengan kondisi berikutnya; 
  • Alur tengah, yaitu kondisi mulai bergerak ke arah kondisi yang memulai memuncak;
  • Alur puncak, yaitu kondisi mencapai titik puncak sebagai klimaks peristiwa ; danAlur tutup
  • Dengan kata lain, alur cerita meliputi paparan, konflik, klimaks dan penyelesaian.
Kedelapan unsur tersebut saling mengisi dalam sebuah prosa. Tema, misalnya menjadi sentral yang mengilhami cerita. Begitu juga dengan penokohan yang meramu watak tokohnya menjadi penyampai pesan yang diinginkan pengarang, baik yang jahat maupun yang baik. Agar penokohan ini tampak lebih hidup, ditopang dengan latar/setting cerita, gaya, pembayangan dan amanat.

Unsur Ekstrinsik Prosa
Unsur ekstrinsik prosa fiksi adalah segala faktor luar yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra seperti nilai sosiologi, nilai kesejarahan, nilai moral, nilai psikologi. Ia merupakan nilai subjektif pengarang yang bisa berupa kondisi sosial,motivasi, tendensi yang mendorong dan mempengaruhi kepengarangan seseorang. Pada gilirannya unsur ekstrinsik yang sebenarnya ada di luar karya sastra itu, cukup membantu para penelaah sastra dalam memahami dan menikmati karya yang dihadapi. Pengalaman mendalam dan pengenalan unsur ekstrinsik tersebut memungkinkan seseorang penelaah mampu ,menginterpretasikan karya sastra dengan lebih tepat. 

Unsur tingkat nilai penghayatan dalam prosa fiksi adalah neveau anorganik, neveau vegetatif, neveau animal, neveau humanis, dan neveau metafisika/ transendental. 

SELUK-BELUK DRAMA
Pengertian Drama Laku dalam Simulasi Realitas
Drama adalah laku yang meniru laku dalam kehidupan nyata untuk memberikan pengukuhan dan alternatif bagi kehidupan itu sendiri. Karena yang ditekankan adalah laku, maka kata-kata/dialog dalam drama harus dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan situasi interaksi atau komunikasi manusia yang melibatkan tidak hanya kata-kata/dialog itu sendiri, tetapi juga situasi yang melingkungi dialog, seperti siapa yang berdialog, kapan dan di mana dialog itu berlangsung, dan mengapa dialog itu diutarakan. Dengan demikian, dalam laku drama kita melihat kesatuan antara kata-kata, perbuatan, dan situasi. Sifat kemenyatuan ini sangat sesuai atau mirip dengan keadaan yang berlangsung dalam kehidupan komunikasi manusia yang nyata. Oleh karena itu, drama dapat berfungsi sebagai media simulasi realitas, yaitu media untuk menghaluskan dan mengembangkan diri manusia dan kebudayaannya melalui penanaman nilai kultural/keagamaan, penyampaian pemikiran baru, dan penyampaian kritik sosial.

Struktur Drama
Sebagai naskah yang utuh, drama dibangun oleh beberapa unsur yang saling berkaitan, yaitu dialog, petunjuk pemanggungan, plot, dan karakter. Dialog merupakan ucapan tokoh tertentu yang kemudian disusul oleh ucapan tokoh yang lain. Melalui pergiliran ucapan tokoh-tokoh itulah segala informasi diutarakan perlahan-lahan dari awal sampai akhir drama. Karena itulah kedudukan dialog sangat penting dan utama di dalam drama. Selain itu, informasi juga diberikan melalui petunjuk pemanggungan. 

Petunjuk pemanggungan adalah teks sampingan yang berfungsi untuk memberikan petunjuk tentang berbagai aspek pemang-gungan, yakni aspek karakter, penuturan, dan desain. Teks ini mungkin terdapat di dalam dialog (intradialog) dan mungkin pula terdapat di luar dialog (ekstradialog). Unsur drama berikutnya adalah plot, yaitu pola pengaturan kejadian dalam drama yang membuat kejadian-kejadian tersebut saling berhubungan secara logis, utuh, dan bermakna. Kejadian-kejadian dalam drama tentu saja muncul karena adanya tindakan tokoh/karakter dramatik dengan segala aspek psikis, moral, sosial, dan ciri fisiknya.

Jenis Drama
Pada umumnya, drama dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu tragedi dan komedi. Pengelompokan ini didasarkan pada cara pandang filosofis drama tersebut terhadap hakikat hidup manusia. Pandangan hidup yang khas dalam drama tragedi terletak pada penegasan bahwa manusia harus menerima suratan nasib yang tidak dapat dihindarkan. Namun, tragedi juga menggambarkan kenyataan bahwa meskipun kita harus menghadapi dan menerima suratan nasib, kita juga punya kebutuhan yang kuat untuk memberi makna pada nasib kita. Oleh karena itu, semangat drama tragedi tidaklah pasif, melainkan penuh dengan semangat perjuangan, yakni perjuangan untuk memberi makna pada nasib hidup manusia. Adapun komedi menggambarkan kenyataan bahwa seberapa kali pun kita jatuh atau gagal, kita akan dapat bangkit kembali dan meneruskan kehidupan. Komedi memperlihatkan kehendak hidup yang tak terpadamkan. Inilah semangat yang menggerakkan tokoh-tokohnya, yakni semangat untuk merayakan kegembiraan hidup. Kegembiraan hidup itu ditunjukkan dengan cara menyimpangkan keseriusan dan kesakitan (penderitaan) sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan kelucuan.

Pementasan Drama
Naskah drama dibuat bukan semata-mata untuk dibaca, tetapi lebih dimaksudkan untuk dipentaskan. Untuk mewujudkan naskah drama menjadi sebuah pementasan, diperlukan banyak pihak yang harus bekerja sama secara kompak. Pihak-pihak tersebut adalah produser, sutradara, aktor/aktris, dan desainer. Berbagai pihak ini kemudian mengubah atau mengonkretkan naskah menjadi konsep produksi, yakni suatu rumusan konseptual atau ide dasar yang menyatukan berbagai aspek pementasan yang berbeda sehingga dapat terbentuk suatu sudut pandang pemaknaan bersama terhadap produksi pementasan. Rumusan ini bersifat general, konkret, dan inspiratif. Dengan panduan konsep produksi itulah berbagai pihak tersebut saling memberikan kontribusi demi terciptanya pementasan yang berhasil.

TEORI-TEORI SASTRA
Teori sastra Psikoanalisis
Teori sastra psikoanalisis menganggap bahwa karya sastra sebagai symptom (gejala) dari pengarangnya. Dalam pasien histeria gejalanya muncul dalam bentuk gangguan-gangguan fisik, sedangkan dalam diri sastrawan gejalanya muncul dalam bentuk karya kreatif. Oleh karena itu, dengan anggapan semacam ini, tokoh-tokoh dalam sebuah novel, misalnya akan diperlakukan seperti manusia yang hidup di dalam lamunan si pengarang. Konflik-konflik kejiwaan yang dialami tokoh-tokoh itu dapat dipandang sebagai pencerminan atau representasi dari konflik kejiwaan pengarangnya sendiri. Akan tetapi harus diingat, bahwa pencerminan ini berlangsung secara tanpa disadari oleh si pengarang novel itu sendiri dan sering kali dalam bentuk yang sudah terdistorsi, seperti halnya yang terjadi dengan mimpi. Dengan kata lain, ketaksadaran pengarang bekerja melalui aktivitas penciptaan novelnya. Jadi, karya sastra sebenarnya merupakan pemenuhan secara tersembunyi atas hasrat pengarangnya yang terkekang (terepresi) dalam ketaksadaran.

Teori Sastra Struktural
Studi (kajian) sastra struktural tidak memperlakukan sebuah karya sastra tertentu sebagai objek kajiannya. Yang menjadi objek kajiannya adalah sistem sastra, yaitu seperangkat konvensi yang abstrak dan umum yang mengatur hubungan berbagai unsur dalam teks sastra sehingga unsur-unsur tersebut berkaitan satu sama lain dalam keseluruhan yang utuh. Meskipun konvensi yang membentuk sistem sastra itu bersifat sosial dan ada dalam kesadaran masyarakat tertentu, namun studi sastra structural beranggapan bahwa konvensi tersebut dapat dilacak dan dideskripsikan dari analisis struktur teks sastra itu sendiri secara otonom, terpisah dari pengarang ataupun realitas sosial. Analisis yang seksama dan menyeluruh terhadap relasi-relasi berbagai unsur yang membangun teks sastra dianggap akan menghasilkan suatu pengetahuan tentang sistem sastra.

Teori Sastra Feminis
Teori sastra feminisme melihat karya sastra sebagai cerminan realitas sosial patriarki. Oleh karena itu, tujuan penerapan teori ini adalah untuk membongkar anggapan patriarkis yang tersembunyi melalui gambaran atau citra perempuan dalam karya sastra. Dengan demikian, pembaca atau peneliti akan membaca teks sastra dengan kesadaran bahwa dirinya adalah perempuan yang tertindas oleh sistem sosial patriarki sehingga dia akan jeli melihat bagaimana teks sastra yang dibacanya itu menyembunyikan dan memihak pandangan patriarkis. Di samping itu, studi sastra dengan pendekatan feminis tidak terbatas hanya pada upaya membongkar anggapananggapan patriarki yang terkandung dalam cara penggambaran perempuan melalui teks sastra, tetapi berkembang untuk mengkaji sastra perempuan secara khusus, yakni karya sastra yang dibuat oleh kaum perempuan, yang disebut pula dengan istilah ginokritik. 

Di sini yang diupayakan adalah penelitian tentang kekhasan karya sastra yang dibuat kaum perempuan, baik gaya, tema, jenis, maupun struktur karya sastra kaum perempuan. Para sastrawan perempuan juga diteliti secara khusus, misalnya proses kreatifnya, biografinya, dan perkembangan profesi sastrawan perempuan. Penelitian-penelitian semacam ini kemudian diarahkan untuk membangun suatu pengetahuan tentang sejarah sastra dan sistem sastra kaum perempuan.

Teori Resepsi pembaca
Teori resepsi pembaca berusaha mengkaji hubungan karya sastra dengan resepsi (penerimaan) pembaca. Dalam pandangan teori ini, makna sebuah karya sastra tidak dapat dipahami melalui teks sastra itu sendiri, melainkan hanya dapat dipahami dalam konteks pemberian makna yang dilakukan oleh pembaca. Dengan kata lain, makna karya sastra hanya dapat dipahami dengan melihat dampaknya terhadap pembaca. 

Karya sastra sebagai dampak yang terjadi pada pembaca inilah yang terkandung dalam pengertian konkretisasi, yaitu pemaknaan yang diberikan oleh pembaca terhadap teks sastra dengan cara melengkapi teks itu dengan pikirannya sendiri. Tentu saja pembaca tidak dapat melakukan konkretisasi sebebas yang dia kira karena sebenarnya konkretisasi yang dia lakukan tetap berada dalam batas horizon harapannya, yaitu seperangkat anggapan bersama tentang sastra yang dimiliki oleh generasi pembaca tertentu.

Horizon harapan pembaca itu ditentukan oleh tiga hal, yaitu
  • Kaidah-kaidah yang terkandung dalam teks-teks sastra itu sendiri, 
  • Pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan 
  • Kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata. Butir ketiga ini ditentukan pula oleh sifat indeterminasi teks sastra, yaitu kesenjangan yang dimiliki teks sastra terhadap kehidupan real.
Teori resepsi sastra beranggapan bahwa pemahaman kita tentang sastra akan lebih kaya jika kita meletakkan karya itu dalam konteks keragaman horizon harapan yang dibentuk dan dibentuk kembali dari zaman ke zaman oleh berbagai generasi pembaca. Dengan begitu, dalam pemahaman kita terhadap suatu karya sastra terkandung dialog antara horizon harapan masa kini dan masa lalu. Jadi, ketika kita membaca suatu teks sastra, kita tidak hanya belajar tentang apa yang dikatakan teks itu, tetapi yang lebih penting kita juga belajar tentang apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri, harapanharapan kita, dan bagaimana pikiran kita berbeda dengan pikiran generasi lain sebelum kita. Semua ini terkandung dalam horizon harapan kita.

Pengertian dan Ciri Prosa Fiksi

Prosa
Pengertian dan Ciri Prosa Fiksi
Prosa fiksi sebagai cerita rekaan bukan berarti prosa fiksi adalah lamunan kosong seorang pengarang. Prosa fiksi adalah perpaduan atau kerja sama antara pikiran dan perasaan. Fiksi dapat dibedakan atas fiksi yang realitas dan fiksi yang aktualitas. Fiksi realitas mengatakan: “seandainya semua fakta, maka beginilah yang akan terjadi. Jadi, fiksi realitas adalah hal-hal yang dapat terjadi, tetapi belum tentu terjadi. Penulis fiksi membuat para tokoh imaginatif dalam karyanya itu menjadi hidup. Fiksi aktualitas mengatakan “karena semua fakta maka beginilah yang akan terjadi”. Jadi, aktualitas artinya hal-hal yang benar-benar terjadi. Contoh: roman sejarah, kisah perjalanan, biografi, otobiografi. Prosa selalu bersumber dari lingkungan kehidupan yang dialami, disaksikan, didengar, dan dibaca oleh pengarang.

Adapun ciri-ciri prosa fiksi adalah bahasanya terurai, dapat memperluas pengetahuan dan menambah pengetahuan, terutama pengalaman imajinatif. Prosa fiksi dapat menyampaikan informasi mengenai suatu kejadian dalam kehidupan. Maknanya dapat berarti ambigu. Prosa fiksi melukiskan realita imajinatif karena imajinasi selalu terikat pada realitas, sedangkan realitas tak mungkin lepas dari imajinasi. Bahasanya lebih condong ke bahasa figuratif dengan menitikberatkan pada penggunaan kata-kata konotatif. Selanjutnya prosa fiksi mengajak kita untuk berkontemplasi karena sastra menyodorkan interpretasi pribadi yang berhubungan dengan imajinasi.

Jenis-jenis Prosa
Berdasarkan pembagian sejarah sastra Indonesia, dikenal 2 macam sastra, yaitu sastra klasik dan sastra modern. Sastra modern termasuk di dalamnya prosa baru yang mencakup roman, novel, novel populer, cerpen. Selanjutnya sastra klasik termasuk di dalamnya yaitu prosa lama yang mencakup cerita rakyat, dongeng, fabel, epos, legenda, mite, cerita jenaka, cerita pelipur lara, sage, hikayat, dan silsilah.

Roman adalah salah satu jenis karya sastra ragam prosa. Pengertian roman pada mulanya ialah cerita yang ditulis dalam bahasa Romana. Dalam perkembangannya kemudian, roman berupa cerita yang mengisahkan peristiwa/pengalaman lahir/batin sejumlah tokoh pada satu masa tertentu. Hal ini terjadi pada akhir abad ke-17. Perkembangan roman mencapai puncaknya pada abad ke-18. Pada abad ke-19 muncullah penulis-penulis roman yang termasyhur, seperti Honore de Balzac, Gustave Flaubert, Emile Zola, Charles Dickens, Leo Tolstoy, F. Dostojevski. Penulis-penulis roman ini kemudian disusul oleh rekan-rekannya yang mewakili abad ke-20, seperti Proust, Joyce, Kafka, dan Faulkner. 

Bentuk yang hampir sama dengan roman adalah novel. Bagi pembaca awam, kedua bentuk ini sulit dibedakan. Pada dasarnya novel maupun roman menceritakan hal luar biasa yang terjadi dalam kehidupan manusia sehingga jalan hidup tokoh cerita yang ditampilkan dapat berubah. Novel dapat dibedakan menjadi novel kedaerahan, novel psikologi, novel sosial, novel gotik, dan novel sejarah, serta novel populer. Cerita jenis lain yang memiliki ciri utama sepertri novel adalah cerpen. Bedanya dengan novel, cerpen penceritaannya lebih ringkas, masalahnya lebih padu dan plotnya tunggal dan terfokus ke akhir cerita. Sebuah cerita yang panjang yang berjumlah ratusan halaman, jelas tidak dapat disebut dengan cerpen.

Unsur Intrinsik Prosa
Unsur intrinsik prosa terdiri atas alur, tema, tokoh dan penokohan, latar/setting, sudut pandang, gaya, pembayangan, dan amanat. Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi, bahwa pada umumnya alur cerita rekaan terdiri atas:

Alur buka, yaitu situasi terbentang sebagai suatu kondisi permulaan yang akan dilanjutkan dengan kondisi berikutnya; 
  • Alur tengah, yaitu kondisi mulai bergerak ke arah kondisi yang memulai memuncak;
  • Alur puncak, yaitu kondisi mencapai titik puncak sebagai klimaks peristiwa ; danAlur tutup
  • Dengan kata lain, alur cerita meliputi paparan, konflik, klimaks dan penyelesaian.
Kedelapan unsur tersebut saling mengisi dalam sebuah prosa. Tema, misalnya menjadi sentral yang mengilhami cerita. Begitu juga dengan penokohan yang meramu watak tokohnya menjadi penyampai pesan yang diinginkan pengarang, baik yang jahat maupun yang baik. Agar penokohan ini tampak lebih hidup, ditopang dengan latar/setting cerita, gaya, pembayangan dan amanat.

Unsur Ekstrinsik Prosa
Unsur ekstrinsik prosa fiksi adalah segala faktor luar yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra seperti nilai sosiologi, nilai kesejarahan, nilai moral, nilai psikologi. Ia merupakan nilai subjektif pengarang yang bisa berupa kondisi sosial,motivasi, tendensi yang mendorong dan mempengaruhi kepengarangan seseorang. Pada gilirannya unsur ekstrinsik yang sebenarnya ada di luar karya sastra itu, cukup membantu para penelaah sastra dalam memahami dan menikmati karya yang dihadapi. Pengalaman mendalam dan pengenalan unsur ekstrinsik tersebut memungkinkan seseorang penelaah mampu ,menginterpretasikan karya sastra dengan lebih tepat. 

Unsur tingkat nilai penghayatan dalam prosa fiksi adalah neveau anorganik, neveau vegetatif, neveau animal, neveau humanis, dan neveau metafisika/ transendental. 

SELUK-BELUK DRAMA
Pengertian Drama Laku dalam Simulasi Realitas
Drama adalah laku yang meniru laku dalam kehidupan nyata untuk memberikan pengukuhan dan alternatif bagi kehidupan itu sendiri. Karena yang ditekankan adalah laku, maka kata-kata/dialog dalam drama harus dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan situasi interaksi atau komunikasi manusia yang melibatkan tidak hanya kata-kata/dialog itu sendiri, tetapi juga situasi yang melingkungi dialog, seperti siapa yang berdialog, kapan dan di mana dialog itu berlangsung, dan mengapa dialog itu diutarakan. Dengan demikian, dalam laku drama kita melihat kesatuan antara kata-kata, perbuatan, dan situasi. Sifat kemenyatuan ini sangat sesuai atau mirip dengan keadaan yang berlangsung dalam kehidupan komunikasi manusia yang nyata. Oleh karena itu, drama dapat berfungsi sebagai media simulasi realitas, yaitu media untuk menghaluskan dan mengembangkan diri manusia dan kebudayaannya melalui penanaman nilai kultural/keagamaan, penyampaian pemikiran baru, dan penyampaian kritik sosial.

Struktur Drama
Sebagai naskah yang utuh, drama dibangun oleh beberapa unsur yang saling berkaitan, yaitu dialog, petunjuk pemanggungan, plot, dan karakter. Dialog merupakan ucapan tokoh tertentu yang kemudian disusul oleh ucapan tokoh yang lain. Melalui pergiliran ucapan tokoh-tokoh itulah segala informasi diutarakan perlahan-lahan dari awal sampai akhir drama. Karena itulah kedudukan dialog sangat penting dan utama di dalam drama. Selain itu, informasi juga diberikan melalui petunjuk pemanggungan. 

Petunjuk pemanggungan adalah teks sampingan yang berfungsi untuk memberikan petunjuk tentang berbagai aspek pemang-gungan, yakni aspek karakter, penuturan, dan desain. Teks ini mungkin terdapat di dalam dialog (intradialog) dan mungkin pula terdapat di luar dialog (ekstradialog). Unsur drama berikutnya adalah plot, yaitu pola pengaturan kejadian dalam drama yang membuat kejadian-kejadian tersebut saling berhubungan secara logis, utuh, dan bermakna. Kejadian-kejadian dalam drama tentu saja muncul karena adanya tindakan tokoh/karakter dramatik dengan segala aspek psikis, moral, sosial, dan ciri fisiknya.

Jenis Drama
Pada umumnya, drama dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu tragedi dan komedi. Pengelompokan ini didasarkan pada cara pandang filosofis drama tersebut terhadap hakikat hidup manusia. Pandangan hidup yang khas dalam drama tragedi terletak pada penegasan bahwa manusia harus menerima suratan nasib yang tidak dapat dihindarkan. Namun, tragedi juga menggambarkan kenyataan bahwa meskipun kita harus menghadapi dan menerima suratan nasib, kita juga punya kebutuhan yang kuat untuk memberi makna pada nasib kita. Oleh karena itu, semangat drama tragedi tidaklah pasif, melainkan penuh dengan semangat perjuangan, yakni perjuangan untuk memberi makna pada nasib hidup manusia. Adapun komedi menggambarkan kenyataan bahwa seberapa kali pun kita jatuh atau gagal, kita akan dapat bangkit kembali dan meneruskan kehidupan. Komedi memperlihatkan kehendak hidup yang tak terpadamkan. Inilah semangat yang menggerakkan tokoh-tokohnya, yakni semangat untuk merayakan kegembiraan hidup. Kegembiraan hidup itu ditunjukkan dengan cara menyimpangkan keseriusan dan kesakitan (penderitaan) sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan kelucuan.

Pementasan Drama
Naskah drama dibuat bukan semata-mata untuk dibaca, tetapi lebih dimaksudkan untuk dipentaskan. Untuk mewujudkan naskah drama menjadi sebuah pementasan, diperlukan banyak pihak yang harus bekerja sama secara kompak. Pihak-pihak tersebut adalah produser, sutradara, aktor/aktris, dan desainer. Berbagai pihak ini kemudian mengubah atau mengonkretkan naskah menjadi konsep produksi, yakni suatu rumusan konseptual atau ide dasar yang menyatukan berbagai aspek pementasan yang berbeda sehingga dapat terbentuk suatu sudut pandang pemaknaan bersama terhadap produksi pementasan. Rumusan ini bersifat general, konkret, dan inspiratif. Dengan panduan konsep produksi itulah berbagai pihak tersebut saling memberikan kontribusi demi terciptanya pementasan yang berhasil.

JENIS-JENIS DAN TEORI SASTRA

TEORI-TEORI SASTRA
Teori sastra Psikoanalisis
Teori sastra psikoanalisis menganggap bahwa karya sastra sebagai symptom (gejala) dari pengarangnya. Dalam pasien histeria gejalanya muncul dalam bentuk gangguan-gangguan fisik, sedangkan dalam diri sastrawan gejalanya muncul dalam bentuk karya kreatif. Oleh karena itu, dengan anggapan semacam ini, tokoh-tokoh dalam sebuah novel, misalnya akan diperlakukan seperti manusia yang hidup di dalam lamunan si pengarang. Konflik-konflik kejiwaan yang dialami tokoh-tokoh itu dapat dipandang sebagai pencerminan atau representasi dari konflik kejiwaan pengarangnya sendiri. Akan tetapi harus diingat, bahwa pencerminan ini berlangsung secara tanpa disadari oleh si pengarang novel itu sendiri dan sering kali dalam bentuk yang sudah terdistorsi, seperti halnya yang terjadi dengan mimpi. Dengan kata lain, ketaksadaran pengarang bekerja melalui aktivitas penciptaan novelnya. Jadi, karya sastra sebenarnya merupakan pemenuhan secara tersembunyi atas hasrat pengarangnya yang terkekang (terepresi) dalam ketaksadaran.

Teori Sastra Struktural
Studi (kajian) sastra struktural tidak memperlakukan sebuah karya sastra tertentu sebagai objek kajiannya. Yang menjadi objek kajiannya adalah sistem sastra, yaitu seperangkat konvensi yang abstrak dan umum yang mengatur hubungan berbagai unsur dalam teks sastra sehingga unsur-unsur tersebut berkaitan satu sama lain dalam keseluruhan yang utuh. Meskipun konvensi yang membentuk sistem sastra itu bersifat sosial dan ada dalam kesadaran masyarakat tertentu, namun studi sastra structural beranggapan bahwa konvensi tersebut dapat dilacak dan dideskripsikan dari analisis struktur teks sastra itu sendiri secara otonom, terpisah dari pengarang ataupun realitas sosial. Analisis yang seksama dan menyeluruh terhadap relasi-relasi berbagai unsur yang membangun teks sastra dianggap akan menghasilkan suatu pengetahuan tentang sistem sastra.

Teori Sastra Feminis
Teori sastra feminisme melihat karya sastra sebagai cerminan realitas sosial patriarki. Oleh karena itu, tujuan penerapan teori ini adalah untuk membongkar anggapan patriarkis yang tersembunyi melalui gambaran atau citra perempuan dalam karya sastra. Dengan demikian, pembaca atau peneliti akan membaca teks sastra dengan kesadaran bahwa dirinya adalah perempuan yang tertindas oleh sistem sosial patriarki sehingga dia akan jeli melihat bagaimana teks sastra yang dibacanya itu menyembunyikan dan memihak pandangan patriarkis. Di samping itu, studi sastra dengan pendekatan feminis tidak terbatas hanya pada upaya membongkar anggapananggapan patriarki yang terkandung dalam cara penggambaran perempuan melalui teks sastra, tetapi berkembang untuk mengkaji sastra perempuan secara khusus, yakni karya sastra yang dibuat oleh kaum perempuan, yang disebut pula dengan istilah ginokritik. 

Di sini yang diupayakan adalah penelitian tentang kekhasan karya sastra yang dibuat kaum perempuan, baik gaya, tema, jenis, maupun struktur karya sastra kaum perempuan. Para sastrawan perempuan juga diteliti secara khusus, misalnya proses kreatifnya, biografinya, dan perkembangan profesi sastrawan perempuan. Penelitian-penelitian semacam ini kemudian diarahkan untuk membangun suatu pengetahuan tentang sejarah sastra dan sistem sastra kaum perempuan.

Teori Resepsi pembaca
Teori resepsi pembaca berusaha mengkaji hubungan karya sastra dengan resepsi (penerimaan) pembaca. Dalam pandangan teori ini, makna sebuah karya sastra tidak dapat dipahami melalui teks sastra itu sendiri, melainkan hanya dapat dipahami dalam konteks pemberian makna yang dilakukan oleh pembaca. Dengan kata lain, makna karya sastra hanya dapat dipahami dengan melihat dampaknya terhadap pembaca. 

Karya sastra sebagai dampak yang terjadi pada pembaca inilah yang terkandung dalam pengertian konkretisasi, yaitu pemaknaan yang diberikan oleh pembaca terhadap teks sastra dengan cara melengkapi teks itu dengan pikirannya sendiri. Tentu saja pembaca tidak dapat melakukan konkretisasi sebebas yang dia kira karena sebenarnya konkretisasi yang dia lakukan tetap berada dalam batas horizon harapannya, yaitu seperangkat anggapan bersama tentang sastra yang dimiliki oleh generasi pembaca tertentu.

Horizon harapan pembaca itu ditentukan oleh tiga hal, yaitu
  • Kaidah-kaidah yang terkandung dalam teks-teks sastra itu sendiri, 
  • Pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan 
  • Kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata. Butir ketiga ini ditentukan pula oleh sifat indeterminasi teks sastra, yaitu kesenjangan yang dimiliki teks sastra terhadap kehidupan real.
Teori resepsi sastra beranggapan bahwa pemahaman kita tentang sastra akan lebih kaya jika kita meletakkan karya itu dalam konteks keragaman horizon harapan yang dibentuk dan dibentuk kembali dari zaman ke zaman oleh berbagai generasi pembaca. Dengan begitu, dalam pemahaman kita terhadap suatu karya sastra terkandung dialog antara horizon harapan masa kini dan masa lalu. Jadi, ketika kita membaca suatu teks sastra, kita tidak hanya belajar tentang apa yang dikatakan teks itu, tetapi yang lebih penting kita juga belajar tentang apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri, harapanharapan kita, dan bagaimana pikiran kita berbeda dengan pikiran generasi lain sebelum kita. Semua ini terkandung dalam horizon harapan kita.

ALIRAN SASTRA
Supernaturalisme dan Naturalisme
Idealisme dan Materialisme
Istilah-istilah naturalis, materialis, dan idealis, adalah istilah-istilah yang digunakan di kalangan ilmu filsafat sebagai suatu paham, pandangan, atau falsafah hidup yang akhirnya di kalangan ilmu sastra merupakan aliran yang dianut seseorang dalam menghasilkan karyanya. Aliran dalam karya sastra biasanya terlihat pada periode tertentu. Setiap periode sastra biasanya ditandai oleh aliran yang dianut para pengarang pada masa itu. Bahkan unsur aliran yang menjadi mode pada periode tertentu merupakan ciri khas karya sastra yang berada pada masa tersebut. 

Masalah aliran sebagai pokok pandangan hidup, berangkat dari paham yang dikemukakan para filosof dalam menghadapi kehidupan alam semesta ini. Tafsiran yang mula-mula diberikan oleh manusia terhadap alam ini ada dua macam, yaitu supernatural dan natural. Penganut paham-paham tersebut dinamakan supernaturalisme dan naturalisme. Paham supernatural mengemukakan bahwa di dalam alam ini terdapat wujud-wujud yang bersifat gaib yang bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa daripada alam nyata yang mengatur kehidupan alam sehingga menjadi alam yang ditempati sekarang ini. Kepercayaan animisme dan dinamisme merupakan kepercayaan yang paling tua usianya dalam sejarah perkembangan kebudayaan manusia yang berpangkal pada paham supernaturalisme dan masih dianut oleh beberapa masyarakat di muka bumi ini. Sebagai lawan dari paham supernatural adalah naturalisme yang menolak paham supernatural. Paham ini mengemukakan bahwa gejala-gejala alam yang terlihat ini terjadi karena kekuatan yang terdapat di dalam alam itu sendiri yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat diketahui. Paham ini juga mengemukakan bahwa dunia sama sekali bergantung pada materi, kebendaan, dan gerak. Kenyataan pokok dalam kehidupan dan akhir kehidupan adalah materi, atau kebendaan. 

Pada bidang seni terdapat pula kedua aliran besar tersebut dengan karakteristik yang berbeda, yaitu aliran idealisme dan materialisme. Idealisme adalah aliran yang menilai tinggi angan-angan (idea) dan cita-cita (ideal) sebagai hasil perasaan daripada dunia nyata. Aliran ini pada awalnya dikemukakan oleh Socrates (469-399 sM.) yang dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Plato (427-347 sM.). Dalam bidang seni rupa pelukis yang beraliran idealisme cenderung lebih suka mewujudkan benda-benda sebaik mungkin daripada apa adanya. Dalam ilmu kesusilaan idealisme mengandung pandangan hidup di mana rohani mewujudkan kekuatan yang berkuasa dan menjelaskan bahwa semua benda di dalam alam dan pengalaman adalah perwujudan pikiran, pandangan yang nyata. 

Lawan aliran idealisme adalah aliran materialisme. Aliran ini mengemukakan bahwa dunia sama sekali bergantung pada materi dan gerak. Ajaran ini sudah dikemukakan oleh Democrates pada abad ke-4 sM, yang mengatakan bahwa semua kejadian yang gaib, dan ajaib di alam ini digerakkan oleh atom dan keluasan geraknya. Tidak ada kekuatan gaib yang bersifat supernatural yang mengatur kehidupan ini. Di dalam bidang seni, seni rupa dan seni pahat, aliran materialisme atau naturalisme ini disebut juga dengan aliran realisme, yaitu bentuk lukisan yang diciptakan menurut keadaan alam yang sebenarnya yang berdasarkan atas faktor-faktor perspektif, proporsi, warna, sinar, dan bayangan. Sedangkan di dalam seni sastra aliran materialisme atau naturalisme ini merupakan kelanjutan dari aliran realisme.

Idealisme dan Aliran Lainnya dalam Karya Sastra
Aliran-aliran yang terdapat di dalam karya sastra tidak dapat di- “cap”-kan sepenuhnya kepada seorang pengarang. Sutan Takdir Alisyahbana, misalnya dalam karyanya ia idealis tetapi juga romantis, sehingga ia juga dikenal sebagai seorang yang beraliran romantis-idealis. Dalam aliran idealisme terdapat aliran romantisme, simbolisme, ekspresionisme, mistisisme, dan surealisme. Sedangkan yang termasuk ke dalam aliran materialisme ialah aliran realisme, naturalisme, impresionisme, serta determinisme. Aliran lain yang berpandangan ke arah manusia sebagai pribadi yang unik dikenal sebagai aliran eksistensialisme. 

Aliran idealisme adalah aliran di dalam filsafat yang mengemukakan bahwa dunia ide,dunia cita-cita, dunia harapan adalah dunia utama yang dituju dalam pemikiran manusia. Dalam dunia sastra, idealisme berarti aliran yang menggambarkan dunia yang dicita-citakan, dunia yang diangan-angankan, dan dunia harapan yang masih abstrak yang jauh jangka waktu pencapaiannya. Di dalamnya digambarkan keindahan hidup yang ideal, yang menyenangkan, penuh kedamaian, kebahagiaan, ketenteraman, adil makmur dan segala sesuatu yang menggambarkan dunia harapan yang sesuai dengan tuntutan batin yang menyenangkan yang tidak lagi adanya keganasan, kecemasan, kemiskinan, penindasan, ketidakadilan, keterbelakangan, yang menyusahkan dan menyengsarakan batin. Sastrawan Indonesia yang dikenal sebagai seorang yang idealis baik di dalam novel maupun puisinya ialah Sutan Takdir Alisyahbana. 

Aliran romantisme ini menekankan kepada ungkapan perasaan sebagai dasar perwujudan pemikiran pengarang sehingga pembaca tersentuh emosinya setelah membaca ungkapan perasaannya. Untuk mewujudkan pemikirannya, pengarang menggunakan bentuk pengungkapan yang seindah-indahnya dan sesempurnasempurnanya. Aliran romantisme biasanya dikaitkan dengan masalah cinta karena masalah cinta memang membangkitkan emosi. Tetapi anggapan demikian tidaklah selamanya benar. 

Simbolisme adalah aliran kesusastraan yang penyajian tokoh-tokohnya bukan manusia melainkan binatang, atau benda-benda lainnya seperti tumbuh-tumbuhan yang disimbolkan sebagai perilaku manusia. Binatang-binatang atau tumbuh-tumbuhan diperlakukan sebagai manusia yang dapat bertindak, berbicara, berkomunikasi, berpikir, berpendapat sebagaimana halnya manusia. Kehadiran karya sastra yang beraliran simbolisme ini biasanya ditentukan oleh situasi yang tidak mendukung pencerita atau pengarang berbicara. Pada masyarakat lama, misalnya di mana kebebasan berbicara dibatasi oleh aturan etika moral yang mengikat kebersamaan dalam kelompok masyarakat, pandangan dan pendapat mereka disalurkan melalui bentuk-bentuk peribahasa atau fabel.

Aliran ekspresionisme adalah aliran dalam karya seni, yang mementingkan curahan batin atau curahan jiwa dan tidak mementingkan peristiwa-peristiwa atau kejadiankejadian yang nyata. Ekspresi batin yang keras dan meledak-ledak. biasa dianggap sebagai pernyataan atau sikap pengarang. Aliran ini mula-mula berkembang di Jerman sebelum Perang Dunia I, Pengarang Indonesia yang dianggap ekspresionis ialah Chairil Anwar. 

Mistisisme adalah aliran dalam kesusastraan yang mengacu pada pemikiran mistik, yaitu pemikiran yang berdasarkan kepercayaan kepada Zat Tuhan Yang Maha Esa, yang meliputi segala hal di alam ini. Karya sastra yang beraliran mistisisme ini memperlihatkan karya yang mencari penyatuan diri dengan Zat Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Tuhan Semesta Alam. Pada masa kesusastraan Klasik dikenal Raja Ali Haji dengan Gurindam Dua Belas-nya yang sarat dengan ajaran mistik. Pada karya-karya sastra sekarang ini yang memperlihatkan aliran mistik, misalnya Abdul Hadi W.M., Danarto, dan Rifai Ali. 

Surealisme adalah aliran di dalam kesusastraan yang banyak melukiskan kehidupan dan pembicaraan alam bawah sadar, alam mimpi. Segala peristiwa yang dilukiskan terjadi dalam waktu yang bersamaan dan serentak. Aliran ini dipengaruhi oleh Sigmund Freud (1856-1939) ahli psikiatri Austria yang dikenal dengan psikoanalisisnya terhadap gejala histeria yang dialami manusia. Dia berpendapat bahwa gejala histeria traumatik yang dialami seseorang dapat disembuhkan melalui analisis kejiwaan yang dilakukan dengan kondisi kesadaran pasien, bukan dengan cara menghipnotis sebagaimana yang dilakukan oleh rekannya Breuer. Menurut Freud emosi yang terpendam itu bersifat seksual. Perbuatan manusia digerakkan oleh libido, nafsu seksual yang asli. Dengan menggali bawah sadar manusia, ia akan dapat dikembalikan kepada kondisinya semula.

Realisme dan Aliran Lainnya dalam Karya Sastra
Realisme adalah aliran dalam karya sastra yang berusaha melukiskan suatu objek seperti apa adanya Pengarang berperan secara objektif. Dalam keobjektifanlah ia melihat keindahan objek yang dibidiknya dan dihasilkan di dalam karya sastra. Pengarang tidak memasukkan ide, pikiran, tanggapan dalam menghadapi objeknya. Gustaf Flaubert seorang pengarang realisme Perancis mengemukakan bahwa objektivitas pengarang sangat diperlukan dalam menghasilkan karyanya. Objek yang dibidik pengarang sebagai objek ceritanya tidak hanya manusia dengan beragam karakternya, ia juga dapat berupa binatang, alam, tumbuh-tumbuhan, dan objek lainnya yang berkesan bagi pengarang sebagai sumber inspirasinya. Impresionisme berarti aliran dalam bidang seni sastra, seni lukis, seni musik yang lebih mengutamakan kesan tentang suatu objek yang diamati dari pada wujud objek itu sendiri. Di bidang seni lukis, aliran ini bermula di Perancis pada akhir abad ke-l9. Di dalam seni sastra aliran impresionisme tidak berbeda dengan aliran realisme, hanya pada impresionisme yang dipentingkan adalah kesan yang diperoleh tentang objek yang diamati penulis. Selanjutnya, kesan awal yang diperoleh pengarang diolah dan dideskripsikan menjadi visi pengarang yang sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu. 

Karya sastra yang beraliran impresionisme pada umumnya terdapat pada masa angkatan Pujangga Baru, masa Jepang, yang pada masa itu kebebasan berekspresi tentang cita-cita, harapan, ide belum dapat disalurkan secara terbuka. Semua idealisme disalurkan melalui bentuk yang halus yang maknanya terselubung. 

Pengarang Indonesia yang karyanya bersifat impresif antara lain ialah Sanusi Pane, dengan puisi-puisinya Candi, Teratai, Sungai, Abdul Hadi W.M., dan W.S Rendra. Aliran naturalisme adalah aliran yang mengemukakan bahwa fenomena alam yang nyata ini terjadi karena kekuatan alam itu sendiri yang berinteraksi sesamanya. Kebenaran penciptaan alam ini bersumber pada kekuatan alam (natura). Di dalam seni lukis aliran naturalisme ini dimaksudkan sebagai karya seni yang menampilkan keadaan alam apa adanya, berdasarkan faktor perspektif, proporsi sinar, dan bayangan. Di dalam karya sastra aliran naturalisme adalah aliran yang juga menampilkan peristiwa sebagaimana adanya. Karena itu ia tidak jauh berbeda dengan realisme. Hanya saja, kalau realisme menampilkan objek apa adanya yang mengarah kepada kesan positif, kesan yang menyenangkan, sedangkan naturalisme sebaliknya. 

Dalam kesusastraan Barat, yang dikenal sebagai tokoh naturalis ialah Emil Zola (1840- 1902) pengarang Perancis. Dalam karyanya gambaran kemesuman, pornografi digambarkan apa adanya. Aliran seni untuk seni (l’art pour art’) melatarbelakangi pandangannya dalam berkarya. Di Indonesia pengarang yang karyanya cenderung beraliran naturalisme adalah Armijn Pane dengan novel Belenggu-nya, Motinggo Busye pada awal-awal novelnya tahun 60-an dan 70-an bahkan memperlihatkan novel yang dikategorikan pornografis. Novel Saman (l998) karya Ayu Utami juga memperlihatkan kecenderungan ke arah naturalis. 

Determinisme ialah aliran dalam kesusastraan yang merupakan cabang dari naturalisme yang menekankan kepada takdir sebagai bagian dari kehidupan manusia yang ditentukan oleh unsur biologis dan lingkungan. Takdir yang dialami manusia bukanlah takdir yang ditentukan oleh yang Mahakuasa melainkan takdir yang datang menimpa nasib seseorang karena faktor keturunan dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya.

Eksistensialisme dalam Karya Sastra
Di samping aliran-aliran yang telah dibicarakan sebelumnya, terdapat pula aliran kesusastraan yang berkembang akhir-akhir ini, yaitu aliran eksistensialisme. Aliran ini adalah aliran di dalam filsafat yang muncul dari rasa ketidakpuasan terhadap dikotomi aliran idealisme dan aliran materialisme dalam memaknai kehidupan ini. Aliran idealisme yang hanya mementingkan ide sebagai sumber kebenaran kehidupan dan materialisme yang menganggap materi sebagai sumber kebenaran kehidupan, mengabaikan manusia sebagai makhluk hidup yang mempunyai keberadaan sendiri yang tidak sama dengan makhluk lainnya. Idealisme melihat manusia hanya sebagai subjek, hanya sebagai kesadaran, sedangkan materialisme melihat manusia hanya sebagai objek. Materialisme lupa bahwa sesuatu di dunia ini disebut objek karena adanya subjek. Eksistensialisme ingin mencari jalan ke luar dari kedua pemikiran yang dianggap ekstrem itu yang berpikiran bahwa manusia di samping ia sebagai subjek ia pun juga sekaligus sebagai objek dalam kehidupan ini (Ahmad Tafsir,1994 hal 193). 

Kata eksistensi berasal dari kata exist, bahasa Latin yang diturunkan dari kata ex yang berarti ke luar dan sistere berarti berdiri. Jadi eksistensi berarti berdiri dengan ke luar dari diri sendiri. Pikiran seperti ini dalam bahasa Jerman dikenal dengan dasei. Dengan ia ke luar dari dirinya, manusia menyadari keberadaan dirinya, ia berada sebagai aku atau sebagai pribadi yang menghadapi dunia dan mengerti apa yang dihadapinya dan bagaimana menghadapinya. Dalam menyadari keberadaannya, manusia selalu memperbaiki, atau membangun dirinya, ia tidak pernah selesai dalam membangun dirinya. Filsuf yang pertama mengemukakan eksistensi manusia ialah Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) dari Denmark, kemudian Jean Paul Satre (1905-1980) filsuf Perancis yang menyebabkan eksistensialisme menjadi terkenal. Menurut Satre karena manusia menyadari bahwa dia ada, yang berarti manusia menyadari pula bahwa ia menghadapi masa depan. Karenanya manusia sebagai individu mempunyai tanggung jawab terhadap masa depan dirinya sendiri dan tanggung jawab terhadap manusia secara keseluruhan. Akibatnya, orang eksistensialisme berpendapat bahwa salah satu watak keberadaan manusia adalah rasa takut yang datang dari kesadaran tentang wujudnya di dunia ini. Sebagai manusia yang mempunyai tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap manusia lainnya di dunia ini, mereka bebas menentukan, bebas memutuskan dan sendiri pula memikul akibat keputusannya tanpa ada orang lain atau sesuatu yang bersamanya. Dari konsepnya ini timbul pemikiran bahwa nasib manusia ditentukan oleh dirinya sendiri dengan tidak bantuan sedikit pun dari yang lain. Akibatnya, manusia selalu hidup dalam rasa sunyi, cemas, putus asa, dan takut serta selalu dipenuhi bayangan harapan yang tak pernah terwujud dan berakhir.

Karena dasar eksistensialisme ini adalah ide tentang keberadaan manusia, maka aliran ini tidak mementingkan gaya bahasa yang khas yang mencerminkan aliran tertentu, melainkan menekankan kepada pandangan pengarang terhadap kehidupan dan keberadaan manusia. Dalam perkembangannya, aliran eksistensialisme berkembang menjadi dua jalur, yaitu eksistensialisme yang ateistis dan eksistensialisme yang theistis. Eksistensialisme yang ateistis dikembangkan oleh Jean Paul Sartre dan eksistensialisme yang theistis dikembangkan oleh Gabriel Marcel. Dia menyatakan dengan tegas bahwa semua eksistensi adalah kenyataan karena adanya Tuhan. Manusia tidak mungkin ada kalau tidak ada Tuhan yang menciptakannya, dan konkretisasi alam dunia ini merupakan bukti nyata dari keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, keberadaan manusia di alam ini harus kembali ke jalan Tuhan dan mewujudkan pujian kepada Tuhan.

Di dalam kesusastraan Indonesia, eksistensialisme ini terlihat pada novel-novel karya Iwan Simatupang, seperti Ziarah, Merahnya Merah, dan Kering, Dalam karyanya, Iwan Simatupang memperlihatkan manusia sebagai tamu di dunia ini. Sebagai tamu, ia datang, dan pergi lagi. Manusia gelisah, tidak punya rumah, selalu berada dalam perjalanan dan berlangitkan relativisme-relativisme.

TEORI, KRITIK, dan SEJARAH SASTRA
Dalam studi sastra, perlu dipahami antara teori, kritik dan sejarah sastra. Setiap teori, kritik, dan sejarah sastra sudah banyak ilmuwan yang menggeluti ilmu tersebut. Seperti Aristoteles selaku teoretikus sastra, Sainte-Beuve yang menonjol sebagai kritikus, dan Frederick A. Pottle, yang mempelajari sejarah sastra. Teori, kritik, dan sejarah sastra tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketiganya saling berhubungan. Untuk mempelajarinya, kita harus memilah perbedaan sudut pandang yang mendasar. 

Kesusastraan dapat dilihat sebagai deretan karya yang sejajar, atau yang tersusun secara kronologis dan merupakan bagian dari proses sejarah. Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan kriteria, sedangkan kritik sastra dan sejarah sastra merupakan studi karya-karya kongkret. Ada yang berusaha memisahkan pemahaman dari teori, kritik, dan sejarah sastra. Bagaimana dapat disimpulkan bahwa ketiga hal itu dapat dikaji satu persatu sementara di dalam buku teori sastra saja sudah termasuk di dalamnya kritik dan sejarah sastra. Sehingga, tak mungkin dapat disusun teori sastra tanpa kritik sastra atau sejarah sastra, sejarah sastra tanpa kritik sastra dan teori sastra, dan kritik sastra tanpa teori sastra dan sejarah sastra. 

Teori sastra dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra dan itu secara otomatis perlu mengakaji sejarah serta kritik-kritik mengenai suatu pendapat tentang sastra. Sebaliknya, kritik sastra dan sejarah sastra tidak mungkin dikaji tanpa satu set pertanyaan, suatu sistem pemikiran, acuan dan generalisasi.

Mengenai kritik dan sejarah sastra, ada yang berusaha untuk memisahkannya. Berawal dari pendapat bahwa sejarah sastra mempunya kriteria dan standarnya sendiri, yaitu kriteria dan nilai zaman yang sudah lalu. Sehingga perlu menelusuri alam pikiran dan sikap orang-orang dari zaman yang dipelajari. Pandangan sejarah semacam ini menuntut kemampuan imajinasi, empati dengan masa silam dan selera masa silam mengenai rekonstruksi sikap hidup, kebudayaan dan sebagainya. Hal ini dapat diasumsikan bahwa pengarang bermaksud untuk menggambarkan keadaan zaman lampau. Sehingga maksud pengarang tersebut menjadikan tugas zaman dan karyanya tidak perlu diulas lagi dan kritik sastra pun sudah selesai. Jika hanya menjabarkan makna dan kehidupan zaman lampau yang digambarkan oleh pengarang berarti pembaca hanya bisa menoleh ke zaman pengarang tersebut. Tidak melihat ke masa kini. Sementara zaman lampau sangat berbeda dengan zaman sekarang. Pembaca tentu memiliki imajinasi dan interpretasi sendiri yang jauh berbeda dengan yang mengalami masa lampau itu. Contohnya drama Hamlet. Jika direkonstruksi oleh kritikus sekarang justru dapat menghilangkan makna drama tersebut. Sebaiknya sejarawan sastra bisa menyoroti karya sastra dengan sudut pandang zaman yang berbeda antara zaman pengaran dan kritikusnya atau melihat keseluruhan sejarah interpretasi dan kritik pada karya untuk memperoleh makna yang lebih menyeluruh. Jadi, sejarah sastra sangat penting untuk kritik sastra. Kalau seorang kritikus yang tidak peduli pada hubungan sejarah tentu penilaiannya akan meleset. Ia tidak akan tahu status karya itu asli atau palsu dan ia cenderung memberikan penilaian yang sembrono. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemisahan kritik sastra dan sejarah sastra sangat merugikan keduanya.

ARTI ALIRAN SASTRA DAN SEJARAH SASTRA

ALIRAN SASTRA
Supernaturalisme dan Naturalisme
Idealisme dan Materialisme
Istilah-istilah naturalis, materialis, dan idealis, adalah istilah-istilah yang digunakan di kalangan ilmu filsafat sebagai suatu paham, pandangan, atau falsafah hidup yang akhirnya di kalangan ilmu sastra merupakan aliran yang dianut seseorang dalam menghasilkan karyanya. Aliran dalam karya sastra biasanya terlihat pada periode tertentu. Setiap periode sastra biasanya ditandai oleh aliran yang dianut para pengarang pada masa itu. Bahkan unsur aliran yang menjadi mode pada periode tertentu merupakan ciri khas karya sastra yang berada pada masa tersebut. 

Masalah aliran sebagai pokok pandangan hidup, berangkat dari paham yang dikemukakan para filosof dalam menghadapi kehidupan alam semesta ini. Tafsiran yang mula-mula diberikan oleh manusia terhadap alam ini ada dua macam, yaitu supernatural dan natural. Penganut paham-paham tersebut dinamakan supernaturalisme dan naturalisme. Paham supernatural mengemukakan bahwa di dalam alam ini terdapat wujud-wujud yang bersifat gaib yang bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa daripada alam nyata yang mengatur kehidupan alam sehingga menjadi alam yang ditempati sekarang ini. Kepercayaan animisme dan dinamisme merupakan kepercayaan yang paling tua usianya dalam sejarah perkembangan kebudayaan manusia yang berpangkal pada paham supernaturalisme dan masih dianut oleh beberapa masyarakat di muka bumi ini. Sebagai lawan dari paham supernatural adalah naturalisme yang menolak paham supernatural. Paham ini mengemukakan bahwa gejala-gejala alam yang terlihat ini terjadi karena kekuatan yang terdapat di dalam alam itu sendiri yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat diketahui. Paham ini juga mengemukakan bahwa dunia sama sekali bergantung pada materi, kebendaan, dan gerak. Kenyataan pokok dalam kehidupan dan akhir kehidupan adalah materi, atau kebendaan. 

Pada bidang seni terdapat pula kedua aliran besar tersebut dengan karakteristik yang berbeda, yaitu aliran idealisme dan materialisme. Idealisme adalah aliran yang menilai tinggi angan-angan (idea) dan cita-cita (ideal) sebagai hasil perasaan daripada dunia nyata. Aliran ini pada awalnya dikemukakan oleh Socrates (469-399 sM.) yang dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Plato (427-347 sM.). Dalam bidang seni rupa pelukis yang beraliran idealisme cenderung lebih suka mewujudkan benda-benda sebaik mungkin daripada apa adanya. Dalam ilmu kesusilaan idealisme mengandung pandangan hidup di mana rohani mewujudkan kekuatan yang berkuasa dan menjelaskan bahwa semua benda di dalam alam dan pengalaman adalah perwujudan pikiran, pandangan yang nyata. 

Lawan aliran idealisme adalah aliran materialisme. Aliran ini mengemukakan bahwa dunia sama sekali bergantung pada materi dan gerak. Ajaran ini sudah dikemukakan oleh Democrates pada abad ke-4 sM, yang mengatakan bahwa semua kejadian yang gaib, dan ajaib di alam ini digerakkan oleh atom dan keluasan geraknya. Tidak ada kekuatan gaib yang bersifat supernatural yang mengatur kehidupan ini. Di dalam bidang seni, seni rupa dan seni pahat, aliran materialisme atau naturalisme ini disebut juga dengan aliran realisme, yaitu bentuk lukisan yang diciptakan menurut keadaan alam yang sebenarnya yang berdasarkan atas faktor-faktor perspektif, proporsi, warna, sinar, dan bayangan. Sedangkan di dalam seni sastra aliran materialisme atau naturalisme ini merupakan kelanjutan dari aliran realisme.

Idealisme dan Aliran Lainnya dalam Karya Sastra
Aliran-aliran yang terdapat di dalam karya sastra tidak dapat di- “cap”-kan sepenuhnya kepada seorang pengarang. Sutan Takdir Alisyahbana, misalnya dalam karyanya ia idealis tetapi juga romantis, sehingga ia juga dikenal sebagai seorang yang beraliran romantis-idealis. Dalam aliran idealisme terdapat aliran romantisme, simbolisme, ekspresionisme, mistisisme, dan surealisme. Sedangkan yang termasuk ke dalam aliran materialisme ialah aliran realisme, naturalisme, impresionisme, serta determinisme. Aliran lain yang berpandangan ke arah manusia sebagai pribadi yang unik dikenal sebagai aliran eksistensialisme. 

Aliran idealisme adalah aliran di dalam filsafat yang mengemukakan bahwa dunia ide,dunia cita-cita, dunia harapan adalah dunia utama yang dituju dalam pemikiran manusia. Dalam dunia sastra, idealisme berarti aliran yang menggambarkan dunia yang dicita-citakan, dunia yang diangan-angankan, dan dunia harapan yang masih abstrak yang jauh jangka waktu pencapaiannya. Di dalamnya digambarkan keindahan hidup yang ideal, yang menyenangkan, penuh kedamaian, kebahagiaan, ketenteraman, adil makmur dan segala sesuatu yang menggambarkan dunia harapan yang sesuai dengan tuntutan batin yang menyenangkan yang tidak lagi adanya keganasan, kecemasan, kemiskinan, penindasan, ketidakadilan, keterbelakangan, yang menyusahkan dan menyengsarakan batin. Sastrawan Indonesia yang dikenal sebagai seorang yang idealis baik di dalam novel maupun puisinya ialah Sutan Takdir Alisyahbana. 

Aliran romantisme ini menekankan kepada ungkapan perasaan sebagai dasar perwujudan pemikiran pengarang sehingga pembaca tersentuh emosinya setelah membaca ungkapan perasaannya. Untuk mewujudkan pemikirannya, pengarang menggunakan bentuk pengungkapan yang seindah-indahnya dan sesempurnasempurnanya. Aliran romantisme biasanya dikaitkan dengan masalah cinta karena masalah cinta memang membangkitkan emosi. Tetapi anggapan demikian tidaklah selamanya benar. 

Simbolisme adalah aliran kesusastraan yang penyajian tokoh-tokohnya bukan manusia melainkan binatang, atau benda-benda lainnya seperti tumbuh-tumbuhan yang disimbolkan sebagai perilaku manusia. Binatang-binatang atau tumbuh-tumbuhan diperlakukan sebagai manusia yang dapat bertindak, berbicara, berkomunikasi, berpikir, berpendapat sebagaimana halnya manusia. Kehadiran karya sastra yang beraliran simbolisme ini biasanya ditentukan oleh situasi yang tidak mendukung pencerita atau pengarang berbicara. Pada masyarakat lama, misalnya di mana kebebasan berbicara dibatasi oleh aturan etika moral yang mengikat kebersamaan dalam kelompok masyarakat, pandangan dan pendapat mereka disalurkan melalui bentuk-bentuk peribahasa atau fabel.

Aliran ekspresionisme adalah aliran dalam karya seni, yang mementingkan curahan batin atau curahan jiwa dan tidak mementingkan peristiwa-peristiwa atau kejadiankejadian yang nyata. Ekspresi batin yang keras dan meledak-ledak. biasa dianggap sebagai pernyataan atau sikap pengarang. Aliran ini mula-mula berkembang di Jerman sebelum Perang Dunia I, Pengarang Indonesia yang dianggap ekspresionis ialah Chairil Anwar. 

Mistisisme adalah aliran dalam kesusastraan yang mengacu pada pemikiran mistik, yaitu pemikiran yang berdasarkan kepercayaan kepada Zat Tuhan Yang Maha Esa, yang meliputi segala hal di alam ini. Karya sastra yang beraliran mistisisme ini memperlihatkan karya yang mencari penyatuan diri dengan Zat Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Tuhan Semesta Alam. Pada masa kesusastraan Klasik dikenal Raja Ali Haji dengan Gurindam Dua Belas-nya yang sarat dengan ajaran mistik. Pada karya-karya sastra sekarang ini yang memperlihatkan aliran mistik, misalnya Abdul Hadi W.M., Danarto, dan Rifai Ali. 

Surealisme adalah aliran di dalam kesusastraan yang banyak melukiskan kehidupan dan pembicaraan alam bawah sadar, alam mimpi. Segala peristiwa yang dilukiskan terjadi dalam waktu yang bersamaan dan serentak. Aliran ini dipengaruhi oleh Sigmund Freud (1856-1939) ahli psikiatri Austria yang dikenal dengan psikoanalisisnya terhadap gejala histeria yang dialami manusia. Dia berpendapat bahwa gejala histeria traumatik yang dialami seseorang dapat disembuhkan melalui analisis kejiwaan yang dilakukan dengan kondisi kesadaran pasien, bukan dengan cara menghipnotis sebagaimana yang dilakukan oleh rekannya Breuer. Menurut Freud emosi yang terpendam itu bersifat seksual. Perbuatan manusia digerakkan oleh libido, nafsu seksual yang asli. Dengan menggali bawah sadar manusia, ia akan dapat dikembalikan kepada kondisinya semula.

Realisme dan Aliran Lainnya dalam Karya Sastra
Realisme adalah aliran dalam karya sastra yang berusaha melukiskan suatu objek seperti apa adanya Pengarang berperan secara objektif. Dalam keobjektifanlah ia melihat keindahan objek yang dibidiknya dan dihasilkan di dalam karya sastra. Pengarang tidak memasukkan ide, pikiran, tanggapan dalam menghadapi objeknya. Gustaf Flaubert seorang pengarang realisme Perancis mengemukakan bahwa objektivitas pengarang sangat diperlukan dalam menghasilkan karyanya. Objek yang dibidik pengarang sebagai objek ceritanya tidak hanya manusia dengan beragam karakternya, ia juga dapat berupa binatang, alam, tumbuh-tumbuhan, dan objek lainnya yang berkesan bagi pengarang sebagai sumber inspirasinya. Impresionisme berarti aliran dalam bidang seni sastra, seni lukis, seni musik yang lebih mengutamakan kesan tentang suatu objek yang diamati dari pada wujud objek itu sendiri. Di bidang seni lukis, aliran ini bermula di Perancis pada akhir abad ke-l9. Di dalam seni sastra aliran impresionisme tidak berbeda dengan aliran realisme, hanya pada impresionisme yang dipentingkan adalah kesan yang diperoleh tentang objek yang diamati penulis. Selanjutnya, kesan awal yang diperoleh pengarang diolah dan dideskripsikan menjadi visi pengarang yang sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu. 

Karya sastra yang beraliran impresionisme pada umumnya terdapat pada masa angkatan Pujangga Baru, masa Jepang, yang pada masa itu kebebasan berekspresi tentang cita-cita, harapan, ide belum dapat disalurkan secara terbuka. Semua idealisme disalurkan melalui bentuk yang halus yang maknanya terselubung. 

Pengarang Indonesia yang karyanya bersifat impresif antara lain ialah Sanusi Pane, dengan puisi-puisinya Candi, Teratai, Sungai, Abdul Hadi W.M., dan W.S Rendra. Aliran naturalisme adalah aliran yang mengemukakan bahwa fenomena alam yang nyata ini terjadi karena kekuatan alam itu sendiri yang berinteraksi sesamanya. Kebenaran penciptaan alam ini bersumber pada kekuatan alam (natura). Di dalam seni lukis aliran naturalisme ini dimaksudkan sebagai karya seni yang menampilkan keadaan alam apa adanya, berdasarkan faktor perspektif, proporsi sinar, dan bayangan. Di dalam karya sastra aliran naturalisme adalah aliran yang juga menampilkan peristiwa sebagaimana adanya. Karena itu ia tidak jauh berbeda dengan realisme. Hanya saja, kalau realisme menampilkan objek apa adanya yang mengarah kepada kesan positif, kesan yang menyenangkan, sedangkan naturalisme sebaliknya. 

Dalam kesusastraan Barat, yang dikenal sebagai tokoh naturalis ialah Emil Zola (1840- 1902) pengarang Perancis. Dalam karyanya gambaran kemesuman, pornografi digambarkan apa adanya. Aliran seni untuk seni (l’art pour art’) melatarbelakangi pandangannya dalam berkarya. Di Indonesia pengarang yang karyanya cenderung beraliran naturalisme adalah Armijn Pane dengan novel Belenggu-nya, Motinggo Busye pada awal-awal novelnya tahun 60-an dan 70-an bahkan memperlihatkan novel yang dikategorikan pornografis. Novel Saman (l998) karya Ayu Utami juga memperlihatkan kecenderungan ke arah naturalis. 

Determinisme ialah aliran dalam kesusastraan yang merupakan cabang dari naturalisme yang menekankan kepada takdir sebagai bagian dari kehidupan manusia yang ditentukan oleh unsur biologis dan lingkungan. Takdir yang dialami manusia bukanlah takdir yang ditentukan oleh yang Mahakuasa melainkan takdir yang datang menimpa nasib seseorang karena faktor keturunan dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya.

Eksistensialisme dalam Karya Sastra
Di samping aliran-aliran yang telah dibicarakan sebelumnya, terdapat pula aliran kesusastraan yang berkembang akhir-akhir ini, yaitu aliran eksistensialisme. Aliran ini adalah aliran di dalam filsafat yang muncul dari rasa ketidakpuasan terhadap dikotomi aliran idealisme dan aliran materialisme dalam memaknai kehidupan ini. Aliran idealisme yang hanya mementingkan ide sebagai sumber kebenaran kehidupan dan materialisme yang menganggap materi sebagai sumber kebenaran kehidupan, mengabaikan manusia sebagai makhluk hidup yang mempunyai keberadaan sendiri yang tidak sama dengan makhluk lainnya. Idealisme melihat manusia hanya sebagai subjek, hanya sebagai kesadaran, sedangkan materialisme melihat manusia hanya sebagai objek. Materialisme lupa bahwa sesuatu di dunia ini disebut objek karena adanya subjek. Eksistensialisme ingin mencari jalan ke luar dari kedua pemikiran yang dianggap ekstrem itu yang berpikiran bahwa manusia di samping ia sebagai subjek ia pun juga sekaligus sebagai objek dalam kehidupan ini (Ahmad Tafsir,1994 hal 193). 

Kata eksistensi berasal dari kata exist, bahasa Latin yang diturunkan dari kata ex yang berarti ke luar dan sistere berarti berdiri. Jadi eksistensi berarti berdiri dengan ke luar dari diri sendiri. Pikiran seperti ini dalam bahasa Jerman dikenal dengan dasei. Dengan ia ke luar dari dirinya, manusia menyadari keberadaan dirinya, ia berada sebagai aku atau sebagai pribadi yang menghadapi dunia dan mengerti apa yang dihadapinya dan bagaimana menghadapinya. Dalam menyadari keberadaannya, manusia selalu memperbaiki, atau membangun dirinya, ia tidak pernah selesai dalam membangun dirinya. Filsuf yang pertama mengemukakan eksistensi manusia ialah Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) dari Denmark, kemudian Jean Paul Satre (1905-1980) filsuf Perancis yang menyebabkan eksistensialisme menjadi terkenal. Menurut Satre karena manusia menyadari bahwa dia ada, yang berarti manusia menyadari pula bahwa ia menghadapi masa depan. Karenanya manusia sebagai individu mempunyai tanggung jawab terhadap masa depan dirinya sendiri dan tanggung jawab terhadap manusia secara keseluruhan. Akibatnya, orang eksistensialisme berpendapat bahwa salah satu watak keberadaan manusia adalah rasa takut yang datang dari kesadaran tentang wujudnya di dunia ini. Sebagai manusia yang mempunyai tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap manusia lainnya di dunia ini, mereka bebas menentukan, bebas memutuskan dan sendiri pula memikul akibat keputusannya tanpa ada orang lain atau sesuatu yang bersamanya. Dari konsepnya ini timbul pemikiran bahwa nasib manusia ditentukan oleh dirinya sendiri dengan tidak bantuan sedikit pun dari yang lain. Akibatnya, manusia selalu hidup dalam rasa sunyi, cemas, putus asa, dan takut serta selalu dipenuhi bayangan harapan yang tak pernah terwujud dan berakhir.

Karena dasar eksistensialisme ini adalah ide tentang keberadaan manusia, maka aliran ini tidak mementingkan gaya bahasa yang khas yang mencerminkan aliran tertentu, melainkan menekankan kepada pandangan pengarang terhadap kehidupan dan keberadaan manusia. Dalam perkembangannya, aliran eksistensialisme berkembang menjadi dua jalur, yaitu eksistensialisme yang ateistis dan eksistensialisme yang theistis. Eksistensialisme yang ateistis dikembangkan oleh Jean Paul Sartre dan eksistensialisme yang theistis dikembangkan oleh Gabriel Marcel. Dia menyatakan dengan tegas bahwa semua eksistensi adalah kenyataan karena adanya Tuhan. Manusia tidak mungkin ada kalau tidak ada Tuhan yang menciptakannya, dan konkretisasi alam dunia ini merupakan bukti nyata dari keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, keberadaan manusia di alam ini harus kembali ke jalan Tuhan dan mewujudkan pujian kepada Tuhan.

Di dalam kesusastraan Indonesia, eksistensialisme ini terlihat pada novel-novel karya Iwan Simatupang, seperti Ziarah, Merahnya Merah, dan Kering, Dalam karyanya, Iwan Simatupang memperlihatkan manusia sebagai tamu di dunia ini. Sebagai tamu, ia datang, dan pergi lagi. Manusia gelisah, tidak punya rumah, selalu berada dalam perjalanan dan berlangitkan relativisme-relativisme.

TEORI, KRITIK, dan SEJARAH SASTRA
Dalam studi sastra, perlu dipahami antara teori, kritik dan sejarah sastra. Setiap teori, kritik, dan sejarah sastra sudah banyak ilmuwan yang menggeluti ilmu tersebut. Seperti Aristoteles selaku teoretikus sastra, Sainte-Beuve yang menonjol sebagai kritikus, dan Frederick A. Pottle, yang mempelajari sejarah sastra. Teori, kritik, dan sejarah sastra tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketiganya saling berhubungan. Untuk mempelajarinya, kita harus memilah perbedaan sudut pandang yang mendasar. 

Kesusastraan dapat dilihat sebagai deretan karya yang sejajar, atau yang tersusun secara kronologis dan merupakan bagian dari proses sejarah. Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan kriteria, sedangkan kritik sastra dan sejarah sastra merupakan studi karya-karya kongkret. Ada yang berusaha memisahkan pemahaman dari teori, kritik, dan sejarah sastra. Bagaimana dapat disimpulkan bahwa ketiga hal itu dapat dikaji satu persatu sementara di dalam buku teori sastra saja sudah termasuk di dalamnya kritik dan sejarah sastra. Sehingga, tak mungkin dapat disusun teori sastra tanpa kritik sastra atau sejarah sastra, sejarah sastra tanpa kritik sastra dan teori sastra, dan kritik sastra tanpa teori sastra dan sejarah sastra. 

Teori sastra dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra dan itu secara otomatis perlu mengakaji sejarah serta kritik-kritik mengenai suatu pendapat tentang sastra. Sebaliknya, kritik sastra dan sejarah sastra tidak mungkin dikaji tanpa satu set pertanyaan, suatu sistem pemikiran, acuan dan generalisasi.

Mengenai kritik dan sejarah sastra, ada yang berusaha untuk memisahkannya. Berawal dari pendapat bahwa sejarah sastra mempunya kriteria dan standarnya sendiri, yaitu kriteria dan nilai zaman yang sudah lalu. Sehingga perlu menelusuri alam pikiran dan sikap orang-orang dari zaman yang dipelajari. Pandangan sejarah semacam ini menuntut kemampuan imajinasi, empati dengan masa silam dan selera masa silam mengenai rekonstruksi sikap hidup, kebudayaan dan sebagainya. Hal ini dapat diasumsikan bahwa pengarang bermaksud untuk menggambarkan keadaan zaman lampau. Sehingga maksud pengarang tersebut menjadikan tugas zaman dan karyanya tidak perlu diulas lagi dan kritik sastra pun sudah selesai. Jika hanya menjabarkan makna dan kehidupan zaman lampau yang digambarkan oleh pengarang berarti pembaca hanya bisa menoleh ke zaman pengarang tersebut. Tidak melihat ke masa kini. Sementara zaman lampau sangat berbeda dengan zaman sekarang. Pembaca tentu memiliki imajinasi dan interpretasi sendiri yang jauh berbeda dengan yang mengalami masa lampau itu. Contohnya drama Hamlet. Jika direkonstruksi oleh kritikus sekarang justru dapat menghilangkan makna drama tersebut. Sebaiknya sejarawan sastra bisa menyoroti karya sastra dengan sudut pandang zaman yang berbeda antara zaman pengaran dan kritikusnya atau melihat keseluruhan sejarah interpretasi dan kritik pada karya untuk memperoleh makna yang lebih menyeluruh. Jadi, sejarah sastra sangat penting untuk kritik sastra. Kalau seorang kritikus yang tidak peduli pada hubungan sejarah tentu penilaiannya akan meleset. Ia tidak akan tahu status karya itu asli atau palsu dan ia cenderung memberikan penilaian yang sembrono. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemisahan kritik sastra dan sejarah sastra sangat merugikan keduanya.

Thursday 22 December 2016

Teori Perkembangan Anak Usia Dini Menurut Ahli

1. Teori Perkembangan
Memunculkan prinsip teoritis dalam naskah akademik ini sangat penting untuk membangun kesepaham sebagai usaha memberikan pelayanan pendidikan yang baik terhadap pendidikan anak usia dini. Berbagai teori klasik yang ada hingga teori-teori kekinian yang ada merupakan sebuah perjalanan panjang bagaimana dunia pendidikan selalu berubah memberikan solusi terbaik dalam rangka membangun manusia yang mulia cerdas dan baik (good and smart). Beberapa teori yang akan diungkapkan secara ringkas antara lain : 
Teori Perkembangan Kognitif oleh Piaget 
Ada beberapa tahap perkembangan kognitif yang digagas Piaget :
  • Tahap Sensomotoris ( usia 0 hingga 18 bulan )
  • Tahap Praoperasional ( usia 1 bulan hingga 6 atau 7 tahun )
  • Tahap Konkrit Operasional ( usia 8 tahun hingga 12 tahun )
  • Tahap Formal Operasional ( usia 12 tahun hingga usia dewasa )
Anak usia dini yang berusia 4 hingga 6 tahun berada pada tahapan ini. Di mana anak mampu berfikir tentang obyek benda, kejadian, atau orang lain. Anak sudah mulai mengenal symbol berupa kata-kata, angka, gambar dan gerak tubuh. Namun cara berfikir ini masih tergantung pada obyek konkrit dan rentang waktu kekinian, sserta tempat di mana ia berada. Mereka belum mampu berfikir abstrak sehingga symbol-simbol yang konkrit sangat dibutuhkan untuk dapat dipahami mereka. Misalnya dalam mengenalkan angka mesti diiringi dengan obyek nyata berupa gambar atau benda-benda lainnya yang jumlahnya sesuai dengan angka tersebut. Selain itu anak juga belum mampu mengaitkan waktu sekarang dengan waktu lampau. 
Teori Perkembangan Psikososial oleh Erik Erikson 

Erikson (1902-1994) membagi tahapan perkembangan psikososial ini ke dalam delapan rentang perkembangan, yang dalam rentang usia 3 hingga 6 tahunan tengah berada dalam tahapan Inisiatif. Menurut Erikson rentang inisiatif ini berada dalam perkembangan emosi. Peran guru sebagai penidik mesti mampu menghadirkan emosi positif dalam mengringi proses pendidikan. Hal ini akan membantu anak dalam mengelola konflik-konflik yang terjadi akibat benturan emosi positif dan emosi negative dalam pergaulan sehari-hari mereka yang berhubungan antarmanusia dan lingkungannya. Seorang anak dengan perkembangan emosi yang baik pada tahap sebelumnya akan berpotensi berkembang kea rah yang positif. Mereka kreatif, antisius melakukan sesuatu, suka bereksperimen, berimajinasi, berani mengambil risiko dan senang bergaul dengan sesame teman. Namun semua ini tergantung pada kondisi yang disiapkan pendidik kepada mereka. Jika anak-anak suka dipuji dan hasil karyanya dihargai tentu saja akan menumbuhkan eosi positif yang berguna menguatkan perkembangan kepribadiannya. Sebaliknya jika ia suka dikritik, dilabel sebagai anak nakal tentu saja akan muncul emosi negative yang akan menumbuhkan rasa bersalah pada diri mereka sebagai anak. Pada saat tertentu rasa bersalah mesti dihadirkan yang membantu membangun rasa tanggung jawab yang dalam kepatutan akan mendukung tumbuhnya karakter baik pada diri anak. Semakin rasa tanggung jawab tumbuh dalam diri anak maka rasa inisiatif akan semakin berkembang dalam diri mereka.

Teori Sosio-Kultural oleh Vygotsky
Vygotsky (1896-1934) sangat setuju dengan adanya pesan budaya dalam proses pembelajaran di sekolah. Ia mengatakan bahwa kontribusi budaya, interaksi social, dan sejarah dalam pengembangan mental individual sangat berpengaruh, khususnya dalam perkembangan bahasa, membaca dan menulis pada anak. Pembelajaran yang berbasis pada budaya dan interaksi sosial mengacu pada perkembangan fungsi mental tinggi, yang terkait dengan aspek sosio-historis-kultural. Ketiga hal ini akan sangat berdampak terhadap persepsi, memori dan berpikir anak. Ia menganjurkan pentingnya melakukan interaksi sosiokultural yang menjadi sarana atau tools di dalam proses pembelajaran di sekolah. Pengalaman-pengalaman anak yang mempertemukannya dengan budaya dibutuhkannya untuk dapat meraih “Zone of Proximal Development.” Untuk itu dibutuhkan suatu pendekatan pembelajaran yang dapat mengaitkan berbagai aspek pembelajaran yang ada dalam kurikulum dengan pengalaman nyata yang dijalani anak dalam kehidupan mereka sehari-hari. Metodologi yang efektif terkait dengan pengajaran dalam kelompok besar yang utuh, pengajaran melalui objek nyata, beragam gaya belajar, pengajaran adaptif dan individual, pembelajaran tuntas, pembelajaran kooperatif, pengajaran langsung, penemuan, konstruktif, melalui tutor sebaya sangat dibutuhkan anak agar ia dapat mengarahkan dirinya sendiri untuk belajar.

Khusus terhadap pendidikan anak usia dini teori konstruktivisme modern oleh Vygotksy dibagi dalam tiga tahap yaitu:
1) Tahap Zona Perkembangan (Zone of Proximal Development (ZPD))
Suatu ide bahwa anak usia dini belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam zona perkembangan terdekat mereka. Artinya, suatu jarak antara keterampilan yang sudah dimiliki oleh anak dengan keterampilan baru yang diperoleh dengan bantuan dari orang dewasa (adult/caregiver/orang tua/guru) atau orang yang terlebih dahulu menguasai keterampilan tersebut (knowledgeable person/peer/siblings). Zone of Proximal Development dihadirkan di tengah lingkungan dengan fitur yang sekaya mungkin sehingga memberikan kesempatan melimpah bagi anak untuk membangun konsep dan internalisasi pemahaman dalam dirinya tentang berbagai hal sehingga anak memperoleh rangsangan yang kuat untuk mempelajari suatu konsep bagi pemahamannya dengan cara terbaik.

2) Tahap Pemagangan Kognitif atau cognitive apprenticeship.
Adalah suatu istilah untuk proses pembelajaran di mana guru menyediakan dukungan kepada anak usia dini dalam bentuk scaffold hingga anak usia dini berhasil membentuk pemahaman kognitifnya. Pemagangan kognitif atau cognitive apprenticeship juga merupakan suatu budaya belajar dari dan di antara teman sebaya melalui interaksi satu sama lain sehingga membentuk suatu konsep tentang sesuatu pengalaman umum dan kemudian membagikan pengalaman membentuk konsep tersebut di antara teman sebayanya (Collins, Brown, and Newman1989). Wilson and Cole (1994) mendeskripsikan ciri khas pemagangan kognitif yaitu “ heuristic content, situated learning, pemodelan, coaching, articulation, refleksi, eksplorasi, dan ”order in increasing complexity”.

3) Scaffolding atau mediated learning,
Yaitu dukungan tahap demi tahap untuk belajar dan pemecahan masalah sebagai suatu hal yang penting dalam pemikiran konstruktivis memodern. Scaffolding is adjusting the support offered during a teaching session to fit the child’s current level of performance ” .Scaffolding sebagian besar ditemukan dilakukan oleh orang dewasa (adult/care giver/parent/teacher) atau orangyang lebih dahulu tahu (knowledgeable person/siblings/peer) tentang suatu keterampilan yang seharusnya dicapai oleh anak usia dini.

Teori Perkembangan Moral oleh Kohlberg dan Thomas Lickona.
Kohlberg sebagai pakar perkembangan moral, bertumpu pada teori Piaget yang menyatakan bahwa perkembangan afektif (affective development) terjadi pada anak usia 1 hingga 5 tahun. Saat itu anak berada pada ”self oriented Morality”. Sebagai tahapan awal dari perkembangan moral kondisi ini merupakan “the Golden Rule” karena pada tahapan ini mulai tumbuh “mutual respect” pada diri anak. Kepada mereka mulai dapat dikenalkan sopan santun, dan perbuatan baik lainnya, walau terkadang mendapat pertentangan karena mereka sulit diatur dan berada pada masa egosentris. Berbenturannya antara berfikir egosentris dengan mutual respek merupakan arena yang mengasyikkan bagi tumbuhnya transformasi nilai-nilai pada diri anak. Kebajikan akan tumbuh melalui serangkaian proses panjang yang melibatkan dan mengasah logika serta emosi saling berbenturan. Namun dari kondisi inilah akan muncul kecerdasan emosi yang akan menjaga pertumbuhan moral anak dapat berjalan semestinya. Thomas Lickona, bapak karakter dari Cortland University menyatakan bahwa pada usia 4 hingga 6 tahun anak tengah berada pada tahap ”PATUH TANPA SYARAT” (Authority Oriented Morality). Pada fase ini anak meperlihatkan sikap penurut, mudah diajak kerjasama, dan mau mengerjakan perintah orang tua dan guru. Namun terkadang juga muncul sifat egosentrisnya sebagai bentuk bahwa perkembangan moral pada diri mereka tengah mencari bentuk. Ada beberapa karakteristik perkembangan moral pada fase ini, yakni:
  • Menganggap orang dewasa sebagai makhluk serba tahu
  • Dapat menerima pandangan orang lain
  • Mudah terpengaruh dengan kenakalan sebayanya
  • Suka mengadu jika dinakali teman
  • Terkadang cenderung melanggar aturan
  • Menghormati kehadiran guru dan orang tua
Teori Ekologi dan Kontekstual oleh Bronfenbrenner 
Bronfenbrenner mengembangkan teori perkembangan anak yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang mencakup kehidupan manusia. Ringkasnya teori ini mengatakan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh konteks mikrosistem (keluarga, sekolah dan teman sebaya), konteks mesosistem (hubungan keluarga dan sekolah, sekolah dengan sebaya, dan sebaya dengan individu), konteks ekosistem (latar sosial orang tua dan kebijakan pemerintah), dan konteks makrosistem (pengaruh lingkungan budaya, norma, agama, dan lingkungan sosial di mana anak dibesarkan.

Teori Bronfenbrenner ini membantu memberikan penjelasan kepada para pendidik untuk memahami berbagai risiko yang dapat mempengaruhi proses perkembangan anak secara negatif misalnya masalah kemiskinan, kekerasan pada anak, dan konflik dalam keluarga. Seorang guru akan menjalin hubungan dengan anak yang memiliki latar negatif dengan memberikan perhatian khusus yang tidak didapatkan anak dari lingkungannya.

2. Mendeteksi Perkembangan Anak Sejak Usia Dini
Di lapangan sering ditemukan kasus-kasus yang berakibat sudah terlalu jauh, sehingga bantuan yang diperlukan untuk me“normal“kan kembali perkembangan anak memakan waktu yang tentunya lebih lama pula. Perlu ditekankan disini bantuan yang harus diberikan bagi anak-anak yang mengalami keterlambatan perkembangan merupakan satu „proses belajar“, dimana kita harus mengetahui tahapan-tahapan yang harus dilalui anak sesuai dengan pada saat perkembangan itu mulai berhenti atau mengalami gangguan. Oleh karena itu program yang dibutuhkanpun menjadi berbeda-beda pula dari satu anak ke anak yang lain, karena kemampuan mereka juga berbeda. 

Jadi kita sebagai Orangtua/pendidik yang akan melatih anak tsb harus mengetahui dengan tepat tahapan dimana dan kapan perkembangan itu berjalan ditempat. Kalau perlu juga melalui kerjasama dengan lembaga terapi atau ahli perkembangan anak. Mengenai istilah untuk jenis bantuan tsb, seperti misalnya „sensori integrasi (SI) atau sering disebut juga “basic stimulation“ dll tidak perlu dipermasalahkan, yang penting disini adalah Taman Bermain tempat anak di sekolahkan memiliki orang-orang yang ahli untuk mengobservasi anak ,sehingga gangguan-gangguan perkembangan anak dapat terdeteksi sejak dini. Orang-orang ini harus betul-betul mengerti masalah perkembangan anak secara „holistik“ dan dapat membuat program pelatihan yang tepat bagi setiap anak yang membutuhkan, sehingga target untuk me“normalkan“ kembali perkembangan anak itu bisa tercapai sesuai harapan. 

Siapakah yang mampu mendeteksi anak yang mengalami hambatan perkembangan? Jawabannya adalah seorang ahli tumbuh kembang anak yang mengerti permasalahan anak secara “holistik“ artinya yang benar-benar mengerti secara keseluruhan perkembangan anak dan hambatan-hambatannya dan yang memahami bahwa tidak ada bagian dari perkembangan anak yang dapat berkembang dengan sendirinya tanpa mendapatkan „input“ , rangsangan/stimulasi dari luar. 

Bila kita memperhatikan perkembangan anak dengan cermat, maka kita akan melihat dengan jelas adanya satu proses pergantian perkembangan antara motorik, persepsi, psikis, kemampuan berbicara dan berpikir. Selain itu kita juga akan melihat perkembangan biologisnya yang menyangkut gizi dan perkembangan ini juga sama pentingnya, namun tema ini tidak disinggung disini, karena terlalu khusus dan memerlukan keahlian tentang gizi. Seorang ahli perkembangan anak harus mengetahui permasalahan perkembangan anak sampai sekecil-sekecilnya, agar dia mudah mengerti dan memahami tahap-tahap stimulasi yang dibutuhkan masing-masing anak. Sehingga perkembangan anak dapat berjalan semakin lancar dan bagian-bagian yang mengalami hambatan dapat dipulihkan, dan dengan itu membuat perkembangan anak secara keseluruhan yang tadinya berjalan ditempat bisa berkembang „normal“ kembali sesuai usianya.

Melalui kerjasama antara pendidik di sekolah, terapis/shadow teacher dan orangtua di rumah, tidak berarti harus mengerjakan program yang identis/sama, melainkan hanya memberikan stimulus/rangsangan yang serupa dan boleh dengan tema yang berbeda, hambatan/kesulitan dalam perkembangan anak dapat diatasi dengan baik. 

C. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan. Periode ini adalah tahun-tahun berharga bagi seorang anak untuk mengenali berbagai macam fakta di lingkungannya sebagai stimulans terhadap perkembangan kepribadian, psikomotor, kognitif maupun sosialnya. Berdasarkan hasil penelitian, sekitar 50% kapabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berumur 4 tahun, 80% telah terjadi ketika berumur 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi ketika anak berumur sekitar 18 tahun (Direktorat PAUD, 2004). Hal ini berarti bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya. Sehingga periode emas ini merupakan periode kritis bagi anak, dimana perkembangan yang diperoleh pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan periode berikutnya hingga masa dewasa. Sementara masa emas ini hanya datang sekali, sehingga apabila terlewat berarti habislah peluangnya. Untuk itu pendidikan untuk usia dini dalam bentuk pemberian rangsangan-rangsangan (stimulasi) dari lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak.

Pemerintah Indonesia telah memperkenalkan panduan stimulasi dalam program Bina Keluarga Balita (BKB) sejak tahun 1980, namun implementasinya belum memasyarakat. Hasil penelitian Herawati (2002) di Bogor menemukan bahwa dari 265 keluarga yang diteliti, hanya terdapat 15% yang mengetahui program BKB. Faktor penentu lain dari kurang memasyarakatnya program BKB adalah rendahnya tingkat partisipasi orang tua. Kemudian pada tahun 2001, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda mengeluarkan program PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Namun keberadaan program tersebut sampai saat ini belum menjangkau tingkat pedesaan secara merata, sehingga belum dapat diakses langsung oleh masyarakat.

Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan yang sangat mendasar dan strategis dalam pembangunan sumberdaya manusia. Tidak mengherankan apabila banyak negara menaruh perhatian yang sangat besar terhadap penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Di Indonesia sesuai pasal 28 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan anak usia telah ditempatkan sejajar dengan pendidikan lainnya. Bahkan pada puncak acara peringatan Hari Anak Nasional tanggal 23 Juli 2003, Presiden Republik Indonesia telah mencanangkan pelaksanaan pendidikan anak usia dini di seluruh Indonesia demi kepentingan terbaik anak Indonesia (Direktorat PAUD, 2004).

1. PAUD Berbasis Aqidah Islam
Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk generasi berkualitas pemimpin, yakni 
  1. berkepribadian Islam,
  2. menguasai tsaqofah Islam, dan 
  3. menguasai ilmu kehidupan (sains dan teknologi) yang memadai. 
Apabila ke tiga tujuan ini tercapai, maka akan terwujudlah generasi pemimpin yang individunya memiliki ciri sebagai insan yang sholeh/sholehah, sehat, cerdas dan peduli bangsa.

Setiap orang harus siap untuk menjadi pemimpin. Karena kepemimpinan itu sebuah sunatullah dan merupakan amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT kelak. Sebagaimana ditegaskan didalam sabda Rasulullah SAW: “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya... (HR. Bukhori, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dari Ibnu Umar).

Upaya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam ini sangat erat kaitannya dengan sistem hidup Islam. Sebagai bagian yang menyatu (integral) dari sistem kehidupan Islam, pendidikan memperoleh masukan dari supra sistem, yakni keluarga dan masyarakat atau lingkungan, dan memberikan hasil/keluaran bagi suprasistem tersebut. Sementara sub-sub sistem yang membentuk sistem pendidikan antara lain adalah tujuan pendidikan itu sendiri, anak didik (pelajar/mahasiswa), manajemen, struktur dan jadwal waktu, materi, tenaga pendidik/pengajar dan pelaksana, alat bantu belajar, teknologi, fasilitas, kendali mutu, penelitian dan biaya pendidikan.

Interaksi fungsional antar subsistem pendidikan dikenal sebagai proses pendidikan. Proses pendidikan dapat terjadi di mana saja, sehingga berdasarkan pengorganisasian serta struktur dan tempat terjadinya proses tersebut dikenal adanya pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Melalui proses ini diperoleh hasil pendidikan yang mengacu pada tujuan pendidikan yang telah ditentukan.

Untuk menjaga kesinambungan proses pendidikan dalam menjabarkan pencapaian tujuan pendidikan, maka keberadaan kurikulum pendidikan yang integral menjadi suatu kebutuhan yang tak terelakkan. Kurikulum pendidikan integral sangatlah khas dan unik. Kurikulum ini memiliki ciri- ciri yang sangat menonjol pada arah, azas, dan tujuan pendidikan, unsur-unsur pelaksana pendidikan serta pada struktur kurikulumnya.

Azas pendidikan Islam adalah aqidah Islam. Azas ini berpengaruh dalam penyusunan kurikulum pendidikan, sistem belajar mengajar, kualifikasi guru, budaya yang dikembangkan dan interaksi diantara semua komponen penyelenggara pendidikan. Yang dimaksud dengan menjadikan aqidah Islam sebagai azas atau dasar dari ilmu pengetahuan adalah menjadikan aqidah Islam sebagai standar penilaian. Dengan istilah lain, aqidah Islam difungsikan sebagai kaidah atau tolak ukur pemikiran dan perbuatan. Oleh sebab itu, implementasi pendidikan anak usia dini adalah PAUD BAI.

2. Pihak-Pihak yang Berperan dalam PAUD
Pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan anak usia dini adalah pemerintah (negara), masyarakat dan keluarga. Keluarga adalah institusi pertama yang melakukan pendidikan dan pembinaan terhadap anak (generasi). Disanalah pertama kali dasar?dasar kepribadian anak dibangun. Anak dibimbing bagaimana ia mengenal Penciptanya agar kelak ia hanya mengabdi kepada Sang Pencipta Allah SWT. Demikian pula dengan pengajaran perilaku dan budi pekerti anak yang didapatkan dari sikap keseharian orangtua ketika bergaul dengan mereka. Bagaimana ia diajarkan untuk memilih kalimat?kalimat yang baik, sikap sopan santun, kasih sayang terhadap saudara dan orang lain. Mereka diajarkan untuk memilih cara yang benar ketika memenuhi kebutuhan hidup dan memilih barang halal yang akan mereka gunakan. Kesimpulannya, potensi dasar untuk membentuk generasi berkualitas dipersiapkan oleh keluarga.

Masyarakat yang menjadi lingkungan anak menjalani aktivitas sosialnya mempunyai peran yang besar dalam mempengaruhi baik buruknya proses pendidikan, karena anak satu bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Interaksi dalam lingkungan ini sangat diperlukan dan berpengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, baik secara fisik maupun biologis. Oleh sebab itu masalah?masalah yang akan dihadapi anak ketika berinteraksi dalam masyarakat harus difahami agar kita dapat mengupayakan solusinya. Masyarakat yang terdiri dari sekumpulan orang yang mempunyai pemikiran dan perasaan yang sama serta interaksi mereka diatur dengan aturan yang sama, tatkala masing?masing memandang betapa pentingnya menjaga suasana kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan generasi maka semua orang akan sepakat memandang mana perkara-perkara yang akan membawa pengaruh positif dan mana yang membawa pengaruh negatif bagi pendidikan generasi. Sedapat mungkin perkara negatif yang akan menjerumuskan anak akan dicegah bersama. Disinilah peran masyarakat sebagai kontrol sosial untuk terwujudnya generasi ideal. Masyarakat yang menjadi lingkungan hidup generasi tidak saja para tetangganya tetapi juga termasuk sekolah dan masyarakat dalam satu negara. Karena itu para tetangga, para pendidik dan juga pemerintah sebagai penyelenggara urusan negara bertanggung jawab dalam proses pendidikan generasi.

Selain keluarga dan sekolah, partai dan organisasi masyarakat seperti majelis ta’lim, mempunyai peran dalam melahirkan generasi berkualitas pemimpin. Disanalah generasi akan dibina untuk menjadi politikus yang ulung dan tangguh. Oleh sebab itu, partai dan ormas ini juga berperan dalam membina para ibu agar ibu dapat mendidik generasi secara baik dan benar. Dari seluruh pihak yang mempunyai tanggungjawab dalam mendidik generasi cerdas, generasi peduli bangsa, tentu negaralah yang mempunyai peran terbesar dan terpenting dalam menjamin berlangsungnya proses pendidikan generasi.

Negara bertanggung jawab mengatur suguhan yang ditayangkan dalam media elektronik dan juga mengatur dan mengawasi penerbitan seluruh media cetak. Negara berkewajiban menindak perilaku penyimpangan yang berdampak buruk pada masyarakat dll. Negara sebagai penyelenggara pendidikan generasi yang utama, wajib mencukupi segala sarana untuk memenuhi kebutuhan pendidikan umat secara layak. Atas dasar ini negara wajib menyempurnakan pendidikan bebas biaya bagi seluruh rakyatnya. Kebijakan pendidikan bebas biaya akan membuka peluang yang sebesar?besarnya bagi setiap individu rakyat untuk mengenyam pendidikan, sehingga pendidikan tidak hanya menyentuh kalangan tertentu (yang mampu) saja, dan tidak lagi dijadikan ajang bisnis yang bisa mengurangi mutu pendidikan itu sendiri. Padahal mutu pendidikan sangat mempengaruhi corak generasi yang dihasilkannya.

Negara wajib menyediakan tenaga-tenaga pendidik yang handal. Mereka yang memiliki kepribadian Islam yang luhur, punya semangat pengabdian yang tinggi dan mengerti filosofi pendidikan generasi serta cara?cara yang harus dilakukannya, karena mereka adalah tauladan bagi anak didiknya. Kelemahan sifat pada pendidik berpengaruh besar terhadap pola pendidikan generasi. Seorang guru tidak hanya menjadi penyampai ilmu pada muridnya tetapi ia seorang pendidik dan pembina generasi. Agar para pendidik bersemangat dalam menjalankan tugasnya tentu saja negara harus menjamin kehidupan materi mereka. Ini dapat memberi motivasi lebih pada mereka meski tugas mereka tidak ditujukan semata untuk memperoleh materi, tetapi merupakan ibadah yang mempunyai nilai tersendiri di sisi Allah SWT. Betapa besar jasa para pendidik yang hingga ada ungkapan: "Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa". Tentu saja pengabdian mereka harus mendapat penghargaan, dan ini merupakan tanggungjawab negara.

DAFTAR PUSTAKA:
www.google.com