Saturday 25 March 2017

STRUKTUR OPERASI STANDAR PENDIDIKAN INKLUSIF

PROSEDUR OPERASI STANDAR PENDIDIKAN INKLUSIF
KATA PENGANTAR
Dalam rangka mensukseskan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan perwujudan hak azasi manusia, layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus perlu lebih ditingkatkan. 

Selama ini pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus lebih banyak di selenggarakan secara segregasi di Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Sementara itu lokasi SLB dan SDLB pada umumnya berada di ibu kota kabupaten, padahal anak-anak berkebutuhan khusus banyak tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa). Akibatnya sebagian anak berkebutuhan khusus tersebut tidak bersekolah karena lokasi SLB dan SDLB yang ada jauh dari tempat tinggalnya, sedangkan sekolah umum belum memiliki kesiapan untuk menerima anak berkebutuhan khusus karena merasa tidak mampu untuk memberikan pelayanan kepada ABK di sekolahnya.

Untuk itu perlu dilakukan terobosan dengan memberikan kesempatan dan peluang kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK), yang disebut “Pendidikan Inklusif”. Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam implementasi pendidikan inklusif, maka pemerintah melalui Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa menyusun naskah Prosedur Operasi Standar Pendidikan Inklusif. Selanjutnya, dari naskah ini dikembangkan ke dalam beberapa pedoman, yaitu:
1. Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif 
2. Pedoman Khusus Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, yaitu:
  • Pedoman Khusus Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus.
  • Pedoman Khusus Pengembangan Kurikulum.
  • Pedoman Khusus Kegiatan Pembelajaran.
  • Pedoman Khusus Penilaian.
  • Pedoman Khusus Manajemen Sekolah.
  • Pedoman Khusus Pengadaan dan Pembinaan Tenaga Pendidik.
  • Pedoman Khusus Pemberdayaan Sarana dan Prasarana 
  • Pedoman Khusus Pemberdayaan Masyarakat.
  • Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling
3. Suplemen Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, yaitu:
  • Model Program Pembelajaran Individual
  • Model Modifikasi Bahan Ajar
  • Model Rencana Program Pembelajran
  • Model Media Pembelajaran
  • Model Program Tahunan
  • Model Laporan Hasil Belajar (Raport) 
KATA SAMBUTAN
Kebijakan pemerintah dalam penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun disemangati oleh seruan Internasional Education For All (EFA) yang dikumandangkan UNESCO sebagai kesepakatan global hasil World Education Forum di Dakar, Sinegal Tahun 2000, penuntasan EFA diharapkan tercapai pada Tahun 2015.

Seruan ini senafas dengan semangat dan jiwa Pasal 31 UUD 1945 tentang hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan dan Pasal 32 UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur mengenai pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus.

Sedang pemerataan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus dilandasi pernyataan Salamanca Tahun 1994. Pernyataan Salamanca ini merupakan perluasan tujuan Education Fol All dengan mempertimbangkan pergeseran kebijakan mendasar yang diperlukan untuk menggalakkan pendekatan pendidikan inklusi. Melalui pendidikan inklusif ini diharapkan sekolah–sekolah reguler dapat melayani semua anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus. Di Indonesia melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986 telah dirintis pengembangan sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusif yang melayani Penuntasan Wajib Belajar bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus.

Pendidikan terpadu yang ada pada saat ini diarahkan untuk menuju pendidikan inklusif sebagai wadah yang ideal yang diharapkan dapat mengakomodasikan pendidikan bagi semua, terutama anak-anak yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus selama ini masih belum terpenuhi haknya untuk memperoleh pendidikan layaknya seperti anak-anak lain. Sebagai wadah yang ideal, pendidikan inklusif memiliki empat karakteristik makna yaitu:
  1. Pendidikan Inklusif adalah proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara merespon keragaman individu anak,
  2. Pendidikan inklusif berarti memperoleh cara-cara untuk mengatasi hambatan-hambatan anak dalam belajar,
  3. Pendidikan inklusif membawa makna bahwa anak mendapat kesempatan untuk hadir (di sekolah), berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya, dan
  4. Pendidikan inklusif diperuntukkan bagi anak-anak yang tergolong marginal, esklusif dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar.
Akses pendidikan dengan memperhatikan kriteria yang terkandung dalam makna inklusif masih sangat sulit dipenuhi. Oleh karena itu kebijakan pemerintah dalam melaksanakan usaha pemerataan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus baru merupakan rintisan awal menuju pendidikan inklusi. Sistem pendekatan pendidikan inklusif diharapkan dapat menjangkau semua anak yang tersebar di seluruh nusantara.

Untuk itu, maka kebijakan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional dalam penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar bagi anak yang memerlukan layanan pendidikan khusus diakomodasi melalui pendekatan ”Pendidikan Inklusif”.

Melalui pendidikan ini, penuntasan Wajib Belajar dapat diakselerasikan dengan berpedoman pada azas pemerataan serta peningkatan kepedulian terhadap penanganan anak yang memerlukan layanan pendidikan khusus.

Sebagai embrio, pendidikan terpadu menuju pendidikan inklusi telah tumbuh diberbagai kalangan masyarakat. Ini berarti bahwa tanggungjawab penuntasan wajib belajar utamanya bagi anak yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus telah menjadi kepedulian dari berbagai pihak sehingga dapat membantu anak-anak yang berkebutuhan khusus dalam mengakses pendidikan melaluii ”belajar untuk hidup bersama dalam masyarakat yang inklusif”.

Agar dalam pelaksanaan program pendidikan inklusif dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan, maka Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah melalui Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa telah menyusun pedoman pendidikan inklusif.

Akhirnya, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan buku pedoman ini dan semoga buku ini dapat bermanfaat serta berguna bagi semua pihak.

B. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pemerintah Indonesia memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Hal tersebut sesuai dengan amanat Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang–Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jumlah anak berkebutuhan khusus usia sekolah menurut data BPS dan Depsos (2003) adalah 317.016 anak berkebutuhan khusus. Sampai saat ini 66.610 anak berkebutuhan khusus atau sekitar 21 % telah memperoleh layanan pendidikan pada Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Sekolah Terpadu. Ini berarti 79 % atau 250.442 ABK di Indonesia belum memperoleh layanan pendidikan.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka diperlukan alternatif sistem pendidikan lain yang lebih memberikan peluang bagi perluasan dan peningkatan mutu layanan pendidikan bagi ABK. Untuk mengantisipasi permasalahan ini, model pendidikan inklusif merupakan sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua anak untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu, humanis dan demokratis, sesuai dengan penjelasan pasal 15 dalam Undang-Undang Sisdiknas Tahun 2003, yang berbunyi: “Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.”

2. Landasan 
a. Landasan Filosofis
  1. Setiap anak mempunyai hak mendasar untuk memperoleh pendidikan,
  2. Setiap anak mempunyai potensi, karakteristik, minat, kemampuan dan kebutuhan belajar yang berbeda,
  3. Sistem pendidikan seyogyanya dirancang dan dilaksanakan dengan memperhatikan keanekaragaman karakteristik dan kebutuhan anak,
  4. Anak berkebutuhan khusus mempunyai hak untuk memperoleh akses pendidikan di sekolah umum.
  5. Sekolah umum dengan orientasi inklusi merupakan media untuk menghilangkan sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang inklusif dan mencapai pendidikan bagi semua.
b. Landasan Yuridis
  1. Undang Undang Dasar 1945, ps 31 (1) dan (2).
  2. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, ps 51.
  3. Undang Undang No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional: ps 3, ps 4 (1), ps 5 (1) (2) (3) (4) , ps 11 (1), ps. 12 (1.b) 
  4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang cacat.
  5. Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas No.380/G.06/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 tentang pendidikan inklusif.
d. Landasan Empiris
  1. Deklarasi Hak Asasi Manusia, (1948), Declaration of Human Rights, 
  2. Konvensi Hak Anak, (1989), Convention on the Rights of the Child, 
  3. Konferensi Dunia (1990), tentang Pendidikan untuk Semua, (World Conference on Education for All), 
  4. Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan (the standard rules on the equalization of opportunities for persons with disabilities)
  5. Pernyataan Salamanca (1994), tentang Pendidikan Inklusif, 
  6. Komitmen Dakar (2000) mengenai Pendidikan untuk Semua, 
  7. Deklarasi Bandung (2004) dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan inklusif”,
  8. Rekomendasi Bukittinggi (2005), tentang meningkatkan kualitas sistem pendidikan yang ramah bagi semua. 
3. Pengertian Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua anak belajar bersama-sama di sekolah umum dengan memperhatikan keragaman dan kebutuhan individual, sehingga potensi anak dapat berkembang secara optimal. 

Semangat pendidikan inklusif adalah memberi akses yang seluas-luasnya kepada semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus, untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan memberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya.

4. Prinsip-prinsip Penyelenggaraan
a. Prinsip pemerataan dan peningkatan mutu.
Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menyusun strategi upaya pemerataan kesempatan memperoleh layanan pendidikan dan peningkatan mutu. Pendidikan inklusif merupakan salah satu strategi upaya pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, karena lembaga pendidikan inklusi bisa menampung semua anak yang belum terjangkau oleh layanan pendidikan lainnya. Pendidikan inklusif juga merupakan strategi peningkatan mutu, karena model pembelajaran inklusif menggunakan metodologi pembelajaran bervariasi yang bisa menyentuh pada semua anak dan menghargai perbedaan.

b. Prinsip kebutuhan individual
Setiap anak memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda-beda, oleh karena itu pendidikan harus diusahakan untuk menyesuaikan dengan kondisi anak.

c. Prinsip Kebermaknaan
Pendidikan inklusif harus menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang ramah, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan.

d. Prinsip keberlanjutan
Pendidikan inklusif diselenggarakan secara berkelanjutan pada semua jenjang pendidikan. 

e. Prinsip Keterlibatan 
Penyelenggaraan pendidikan inklusif harus melibatkan seluruh komponen pendidikan terkait. 

5. Tujuan 
  • Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk anak berkebutuhan khusus) untuk memperoleh pendidikan yang layak sesuai dengan kondisi anak.
  • Mempercepat penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar
  • Meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah
  • Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta pembelajaran yang ramah terhadap semua anak.
6. Sasaran
Sasaran pendidikan inklusif adalah semua anak usia sekolah termasuk anak berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus terdiri atas anak yang mengalami hambatan permanen, temporer maupun hambatan dalam perkembangan. Anak-anak dengan kebutuhan khusus yang dapat dilayani melalui pendidikan inklusif diantaranya, cacat fisik, intelektual, sosial, emosional, cerdas dan atau berbakat istimewa, anak yang tinggal di daerah terpencil/terbelakang, suku terasing, korban bencana alam/sosial, kemiskinan, warna kulit, gender, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, kelompok politik, anak kembar, yatim, yatim piatu, anak pedesaan, anak kota, anak terlantar, tuna wisma, anak terbuang, anak yang terlibat dalam sistem pengadilan remaja, anak terkena daerah konflik senjata, anak pengemis, anak terkena dampak narkoba HIV/AIDS (ODHA), anak gelandangan dan nomaden, dll sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.

C. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF
1. Kriteria Sekolah
Setiap satuan pendidikan formal, baik TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK, pada dasanya dapat menyelenggarakan pendidikan inklusif sesuai dengan sumber daya yang tersedia. Namun demikian untuk menghindari kemungkinan terjadinya implementasi penyelenggaraan pendidikan inklusif yang kurang sesuai, maka setiap satuan pendidikan yang akan menyelenggarakan pendidikan inklusif perlu memenuhi beberapa kriteria, di antaranya sebagai berikut:

a. Terdapat Peserta Didik Berkebutuhan Khusus
Melalui proses identifikasi dan asesmen terhadap semua peserta didik di sekolah yang bersangkutan, yang dilakukan oleh sekolah atau tenaga profesional lain, kita dapat menemukan ada atau tidak ada peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah tersebut.

Anak berkebutuhan khusus mungkin juga dapat diperoleh dari proses penjaringan terhadap anak usia sekolah yang belum bersekolah di lingkungan terdekat. Anak berkebutuhan khusus juga dapat diperoleh berdasarkan hasil rujukan dari Sekolah Luar Biasa/Institusi lain terdekat, baik karena proses mutasi sekolah ataupun melanjutkan sekolah.

Jika sekolah umum tersebut terdapat peserta didik berkebutuhan khusus, baik karena melalui proses identifikasi dan asesmen, penjaringan di lingkungan terdekat, maupun rujukan SLB/Institusi lain, maka secara otomatis sekolah tersebut dapat menyelenggarakan pendidikan inklusif.

Kesiapan Sekolah
Untuk mendukung kelancaran dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, setiap satuan pendidikan harus memiliki kesiapan untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Kesiapan dimaksud meliputi:
  1. Adanya persepsi dan sikap yang positif dari semua komponen sekolah, termasuk orangtua anak pada umumnya, tentang pendidikan inklusif.
  2. Adanya kemauan yang kuat dari sekolah untuk meningkatkan pemerataan dan mutu pendidikan tanpa diskriminatif
  3. Adanya peluang untuk meningkatkan aksesibilitas anak berkebutuhan khusus dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif
Layanan dalam Pendidikan Inklusif
Layanan dalam pendidikan inklusif harus memperhatikan hasil identifikasi dan asesmen anak berkebutuhan khusus. Berdasakan hasil identifikasi dan asesmen tersebut dikembangkan berbagai kemungkinan alternatif program pelayanan sesuai dengan kebutuhannya.

Beberapa alternatif program pelayanan yang dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan peserta didik di antaranya adalah:
a. Layanan pendidikan penuh
Semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus belajar bersama di dalam komunitas kelas yang beragam di bawah bimbingan guru kelas, guru bidang studi atau guru lainnya. Sedangkan peran Guru Pendidikan Khusus (GPK) bertanggung jawab dalam pembuatan program, monitor pelaksanaan program dan mengevaluasi hasil pelaksanaan program.

b. Layanan pendidikan yang dimodifikasi
Anak berkebutuhan khusus mengikuti proses belajar bersama-sama anak pada umumnya dalam komunitas kelas yang beragam di bawah bimbingan guru kelas, guru bidang studi atau guru lainnya untuk mata pelajaran dan aktivitas yang dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus dengan baik. Sedangkan untuk GPK berperan dalam membimbing beberapa aktivitas tertentu yang tidak dapat diikuti anak berkebutuhan khusus dengan menggunakan Program Pembelajaran Individual (PPI).

c. Layanan pendidikan individualisasi 
Anak berkebutuhan khusus mengikuti proses belajar bersama-sama anak pada umumnya dalam komunitas kelas yang beragam di bawah bimbingan penuh GPK dalam melaksanakan PPI.

Untuk memperlancar pelaksanaan ketiga alternatif program layanan tersebut perlu didukung oleh unit khusus yang befungsi sebagai supporting program pendidikan inklusif. Supporting program dimaksud dapat berbentuk: layanan remedial, layanan bimbingan, layanan latihan dan pengembangan, layanan asesmen, dan layanan observasi.

Manajemen Sekolah
Upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah inklusif perlu didukung kemampuan manajerial kepala sekolah. Kepala sekolah hendaknya berupaya untuk mendayagunakan sumber-sumber daya, baik personal maupun sarana prasaran secara optimal guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah. Tidak kalah pentingnya sekolah harus mampu mengembangkan kurikulum sesuai dengan tingkat, perkembangan, dan karakteristik peserta didik agar lulusan memiliki kompetensi untuk bekal hidup (life skill).

Ruang lingkup manajemen sekolah dalam rangka pendidikan inklusif sekurang-kurangnya mencakup: 
  • Pengelolaan peserta didik
  • Pengelolaan kurikulum
  • Pengelolaan pembelajaran
  • Pengelolaan penilaian
  • Pengelolaan pendidik dan tenaga kependidikan
  • Pengelolaan sarana dan prasarana
  • Pengelolaan pembiayaan
  • Pengelolaan sumberdaya masyarakat
Penjelasan dari masing-masing lingkup manajemen pendidikan inklusif tersebut, akan dijabarkan di bagian lain dalam POS ini.

Secara diagramatis digambarkan sebagai berikut:
Implikasi dari perubahan fungsi sekolah umum menjadi sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, maka dimungkinkan adanya perubahan struktur oganisasi sekolah. Alternatif struktur organisasi sekolah penyelenggara pendidikan inklusif untuk satuan pendidikan SD/MI.

Contoh alternatif struktur organisasi sekolah penyelenggara pendidikan inklusif satuan pendidikan SMP/MTS, SMA/MA, SMK/MAK

Identifikasi dan Asesmen
Pada dasarnya setiap guru harus mengetahui latar belakang dan kebutuhan masing-masing peserta didik agar dapat memberikan pelayanan dan bantuannya dengan tepat. Setiap peserta didik memiliki kebutuhan yang berbeda baik karena faktor yang bersifat permanen seperti hambatan penglihatan, hambatan pendengaran, hambatan fisik, ataupun yang tidak permanen seperti, masalah sosial, bencana alam, dll. Oleh karena itu penting bagi guru memiliki kemampuan mengidentifikasi peserta didik atau calon peserta didik untuk mengetahui ada tidaknya anak berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhannya.

Untuk mencermati lebih jauh tentang latar belakang, potensi, dan kondisi khusus pada siswa, sekolah perlu mengadakan asesmen. Ada dua jenis asesmen yang biasa dilakukan, yaitu:

1. Asesmen Fungsional
Asesmen dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dan hambatan yang dialami peserta didik dalam melakukan aktivitas tertentu. Asesmen ini dapat dilakukan oleh guru di sekolah.

2. Asesmen Klinis.
Asesmen klinis dilakukan oleh tenaga profesional sesuai dengan kebutuhannya. Contohnya, asesmen untuk mengetahui seberapa besar kemampuan melihat seorang anak yang memiliki hambatan visual, sehingga dapat menentukan alat bantu visual apa yang sesuai dengan anak tersebut agar dapat dimanfaatkan dalam melakukan tugas sehari-hari, baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.

Kurikulum yang digunakan
Kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif pada dasarnya menggunakan kurikulum yang berlaku di sekolah umum. Namun bagi anak berkebutuhan khusus, kurikulumnya perlu disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, karena hambatan dan kemampuan yang dimilikinya bervariasi.

Penyesuaian kurikulum ini diimplementasikan dalam bentuk Program Pembelajaran Individualisasi (PPI). PPI merupakan program pembelajaran yang disusun sesuai kebutuhan individu dengan bobot materi berbeda dari kelompok dalam kelas dan dilaksanakan dalam seting klasikal.

Penyesuaian kurikulum dilakukan oleh tim pengembang kurikulum di sekolah yang terdiri dari: kepala sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru pendidikan khusus, orang tua, dan ahli lain sesuai kebutuhan.

Implikasi dari penyesuaian kurikulum bagi anak berkebutuhan khusus pada sekolah inklusif ini, maka secara operasional model kurikulum yang digunakan ada 3 (tiga) jenis, yaitu: (1) Kurikulum umum (reguler), untuk siswa biasa dan anak berkebutuhan khusus yang dapat mengikuti kurikulum umum; (2) Kurikulum modifikasi, yaitu perpaduan antara kurikulum umum dengan kurikulum PPI, untuk anak berkebutuhan khusus yang tidak dapat mengikuti kurikulum umum secara penuh; dan (3) Kurikulum yang diindividualisasikan, untuk anak berkebutuhan khusus yang sama sekali tidak dapat mengikuti kurikulum umum. 
Sistem Penilaian

a. Sistem penilaian yang digunakan
Penilaian dalam setting pendidikan inklusif mengacu pada model pengembangan kurikulum yang dipergunakan, yaitu:
  1. Apabila anak berkebutuhan khusus mengikuti kurikulum umum yang berlaku untuk peserta didik pada umumnya di sekolah, maka penilaiannya menggunakan sistem penilaian yang berlaku pada sekolah tersebut.
  2. Apabila anak berkebutuhan khusus mengikuti kurikulum modifikasi, maka menggunakan sistem penilaian yang dimodifikasi sesuai dengan kurikulum yang dipergunakan.
  3. Apabila anak berkebutuhan khusus mengikuti kurikulum program pembelajaran individualisasi (PPI), maka penilaiannya bersifat individual dan didasarkan pada kemampuan dasar awal (baseline).
b. Sistem Kenaikan kelas
  1. Peserta didik yang menggunakan model kurikulum umum, maka sistem kenaikan kelas menggunakan acuan yang berlaku pada sekolah umum.
  2. Peserta didik yang menggunakan model kurikulum modifikasi, maka sistem kenaikan kelas menggunakan model kenaikan kelas yang didasarkan pada usia kronologis dan atau model kenaikan kelas umum.
  3. Peserta didik yang menggunakan model PPI, sistem kenaikan kelas didasarkan pada usia kronologis (kenaikan kelas otomatis).
c. Sistem Laporan Hasil Belajar
  1. Peserta didik yang menggunakan kurikulum umum, maka model laporan hasil belajar (raport) menggunakan model raport umum yang berlaku.
  2. Peserta didik yang menggunakan kurikulum modifikasi, maka model raport yang dipergunakan adalah raport umum yang dilengkapi dengan diskripsi (narasi) dan portofolio yang menggambarkan kualitas kemajuan belajar.
  3. Peserta didik yang menggunakan PPI, maka model raport yang digunakan adalah raport khusus yang dilengkapi dengan diskripsi (narasi) dan portofolio. Penentuan nilai kuantitatif didasarkan pada kemampuan dasar awal (baseline).
Bimbingan dan Konseling
Bimbingan konseling dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif diperlukan sesuai dengan kemampuan sekolah. Untuk satuan pendidikan SD/MI, pelaksanaan fungsi bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh guru kelas, guru bidang studi dan guru pendidikan khusus. Sedangkan untuk satuan pendidikan SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK, tugas dan fungsi bimbingan konseling di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dilakukan oleh petugas khusus yaitu tenaga pembimbing/konselor dan guru pendidikan khusus (GPK).

Pendidik dan Tenaga Kependidikan 
a. Pengertian dan ruang lingkup
Pendidik adalah tenaga profesional di bidang pendidikan yang mempunyai tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada satuan pendidikan tertentu yang melaksanakan program pendidikan inklusif. Pendidik meliputi: guru kelas (untuk SD/MI), guru mata pelajaran, guru pembimbing/konselor (untuk sekolah menengah), dan guru pendidikan khusus (GPK).

Di samping pendidik, sekolah penyelenggara pendidikan inklusif juga memerlukan dukungan tenaga kependidikan yang relevan, seperti terapis, tenaga medis, dokter, psikolog, laboran, dan lain-lain.

Pengadaan guru pendidikan khusus (GPK) pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, dapat dilakukan dengan cara:
  • Sekolah yang memungkinkan mengangkat guru pendidikan khusus (GPK) sesuai kebutuhan
  • Sekolah meminta bantuan GPK melalui kerjasama dengan SLB terdekat atau Institusi lainnya (LSM, Klinik, RS)
  • Pemerintah mengangkat Guru Pendidikan Khusus (GPK) yang ditempatkan di sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
  • Pemerintah mengangkat GPK yang ditempatkan pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif inti/basis dan melaksanakan tugas di sekolah imbas.
  • Pemerintah mengangkat GPK yang ditempatkan pada SLB/SDLB dan melaksanakan tugas di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif.
  • Pemerintah dan atau Sekolah baik secara sendiri maupun bersama-sama, menyelenggarakan inservice training bagi guru-guru umum tentang pendidikan inklusif
b. Tugas Pendidik
1). Tugas Guru Kelas antara lain:
  • Menciptakan iklim belajar yang kondusif sehingga anak-anak merasa nyaman belajar di kelas/sekolah.
  • Menyusun dan melaksanakan asesmen pada semua anak untuk mengetahui kemampuan dan kebutuhannya
  • Menyusun program pembelajaran individualisasi (PPI) bersama-sama dengan guru pendidikan khusus.
  • Melaksanakan kegiatan belajar-mengajar dan penilaian.
  • Memberikan program pengajaran remedi, repetisi, pengayaan, dan atau percepatan bagi peserta didik yang membutuhkan.
  • Melaksanakan administrasi kelas sesuai dengan bidang tugasnya.
2) Tugas guru mata pelajaran antara lain:
  • Menciptakan iklim belajar yang kondusif sehingga anak-anak merasa nyaman belajar di kelas/sekolah.
  • Menyusun dan melaksanakan asesmen pada semua anak untuk mengetahui kemampuan dan kebutuhannya
  • Menyusun program pembelajaran individualisasi (PPI) bersama-sama dengan guru pendidikan khusus.
  • Melaksanakan kegiatan pembelajaran dan penilaian yang menjadi tanggung jawabnya.
  • Memberikan program pengajaran remedi, repetisi, pengayaan, dan atau percepatan bagi peserta didik yang membutuhkan.
3). Tugas Guru Pendidikan Khusus antara lain:
  • Menyusun instrumen dan melaksanakan asesmen pendidikan bersama-sama dengan guru kelas dan guru mata pelajaran serta tenaga profesional lain
  • Menjalin kerjasama antara guru, sekolah dan orang tua peserta didik dalam perencanaan, pelaksanaan dan penilaian kemajuan belajar
  • Melaksanakan pendampingan anak berkebutuhan khusus pada kegiatan pembelajaran bersama-sama dengan guru kelas maupun guru mata pelajaran.
  • Memberikan bantuan layanan khusus bagi anak-anak yang mengalami hambatan.
  • Memberikan bimbingan secara berkesinambungan dan membuat catatan khusus bagi anak-anak yang menjadi bimbingannya selama mengikuti kegiatan pembelajaran yang dapat dipahami jika terjadi pergantian guru.
  • Memberikan bantuan (berbagi pengalaman) pada guru kelas dan/atau guru mata pelajaran agar mereka dapat memberikan pelayanan pendidikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus.
Sarana dan Prasarana Penunjang
Sarana dan prasarana pendidikan inklusif adalah perangkat keras maupun perangkat lunak yang dipergunakan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusif pada satuan pendidikan tertentu.

Pada hakekatnya semua sarana dan prasarana pendidikan pada satuan pendidikan tertentu dapat dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, tetapi untuk mengoptimalkan proses pembelajaran perlu dilengkapi aksesibilitas bagi kelancaran mobilisasi anak berkebutuhan khusus, selanjutnya untuk memenuhi sarana prasarana yang dibutuhkan dalam pelayanan pendidikan inklusif dijabarkan dalam buku Pedoman Kebutuhan dan Pengelolaan Sarana dan Prasarana Pendidikan.

10. Pembiayaan
Pembiayaan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat diperoleh dari pemerintah, pemerintah daerah, swasta, NGO, masyarakat (orangtua peserta didik dan lembaga-swadaya masyarakat), dan/atau sumber dana dari luar negeri. Selanjutnya mekanisme pengelolaan dana dijabarkan dalam buku Pedoman Pengelolaan Dana.

11. Pemberdayaan Masyarakat
Dalam rangka optimalisasi sumber daya masyarakat untuk kelancaran penyelenggaraan pendidikan inklusif, diperlukan upaya sistematis dan sistemik peran serta masyarakat. 

Peran serta masyarakat dapat berbentuk:
  • Peran langsung, seperti bantuan tenaga/keahlian, dukungan pembiayaan, dukungan sarana prasarana, penyaluran lulusan, keterlibatan dalam tim pengelola
  • Peran tidak langsung, seperti bantuan pemikiran untuk pengambilan kebijakan, bantuan akses dan jaringan, pengembangan kurikulum, pengawasan, dll.
12. Mekanisme Penyelenggaraan
Untuk keperluan administrasi dan pembinaan, serta kelancaran dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, perlu mengikuti prosedur sebagai berikut:
  • Sekolah yang akan menerima anak berkebutuhan khusus mengajukan proposal penyelenggaraan pendidikan inklusif kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Sedangkan sekolah yang telah memiliki peserta didik berkebutuhan khusus melaporkan penyelenggaraan pendidikan inklusif kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
  • Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota menindaklanjuti proposal/laporan dari sekolah yang bersangkutan kepada Dinas Pendidikan Provinsi.
  • Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan Provinsi melakukan visitasi ke sekolah yang bersangkutan.
  • Dinas Pendidikan Provinsi menetapkan sekolah yang bersangkutan sebagai penyelenggara pendidikan inklusif dengan menerbitkan surat penetapannya, dengan tembusan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, dan Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.
Mekanisme Penetapan Sekolah Inklusif

D. STRATEGI IMPLEMENTASI
1. Sosialisasi dan Koordinasi
Sosialisasi dan koordinasi program pendidikan inklusif dilakukan oleh Direktorat PSLB kepada Dinas/instansi terkait, sekolah dan masyarakat. Sedangkan koordinasi dilakukan antara Direktorat PSLB dengan perguruan tinggi, Dinas/Instansi terkait dan sekolah. 

2. Penerimaan Peserta Didik Berkebutuhan Khusus
Penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus dilakukan melalui sistem: 
  • Penerimaan murid baru; 
  • Rujukan dari tenaga ahli yang relevan; 
  • Rujukan dari lembaga lain
  • Mutasi atau melanjutkan dari sekolah lain
  • Program retrievel (pengembalian anak ke sekolah karena drop out)
3. Rekrutmen Pendidik dan Tenaga Kependidikan
  • Rekrutmen pendidik dan tenaga kependidikan baru (negeri/swasta) 
  • Mutasi pendidik dan tenaga kependidikan
  • Pemberdayaan masyarakat 
  • Bantuan pendidik dan tenaga kependidikan dari sekolah/lembaga lain
4. Pembelajaran
a. Perencanaan Pembelajaran
Perencanaan pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dan mengacu pada kurikulum yang berlaku. Perencanaan disusun sesuai dengan buku Pedoman pembelajaran.

b. Pelaksanaan Pembelajaran
Proses pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan karakteristik belajar peserta didik. Sistem pelaksanaannya mengacu pada buku Pedoman pembelajaran. 

c. Penilaian Hasil Pembelajaran
  • Memahami kompetensi dasar dan bentuk penilaian yang sesuai untuk mengukur Kompetensi dasar tersebut
  • Menyusun kisi-kisi soal
  • Menyusun soal (bentuk penilaian) sesuai dengan kaidah
  • Menelaah dan merevisi soal 
  • Melaksanakan penilaian dengan menggunakan soal yang telah dikembangkan
  • Menggunakan hasil penilaian untuk umpan balik
  • Menggunakan hasil penilaian untuk keperluan administrasi, dan pelaporan
d. Pengawasan Pembelajaran
Pengawasan pelaksanaan pembelajaran dilakukan oleh pengawas, kepala sekolah, komite sekolah, orangtua peserta didik, dan pemangku kepentingan (stake holder). Pengawasan dilakukan dalam hal sebagai berikut:
  • Perencanaan pembelajaran
  • Pelaksanaan proses pembelajaran di kelas
  • Pelaksanaan penilaian
  • Penyusunan laporan pembelajaran
5. Supervisi 
Supervisi yang dimaksud adalah pembinaan yang dilakukan oleh Pejabat, Kepala Sekolah, Pengawas dan atau profesional terkait

Aspek-aspeknya adalah:
  • Penyusunan silabus
  • Pembelajaran (RPP dan proses pembelajaran)
  • Penilaian
  • Program remediasi dan bimbingan/pengayaan
6. Sertifikasi
Peserta didik yang telah menyelesaikan program pembelajaran pendidikan inklusif di setiap satuan pendidikan diberi ijazah (sertifikat). Sedangkan peserta didik yang sudah lulus ujian kompetensi tertentu diberi sertifikat kompetensi.

7. Monitoring dan evaluasi

  • Monitoring dan evaluasi pendidikan inklusif dilaksanakan oleh: (1) Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Cq. Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa; (2) Dinas Pendidikan Provinsi (Sub Dinas yang menangani PLB); (3) Dinas Pendidikan Kabupaten/kota sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
  • Aspek monitoring dan evaluasi meliputi: persiapan penyelenggaraan, peserta didik, ketenagaan, sarana-prasarana, pendanaan, manajemen, pemberdayaan masyarakat, dan aspek lain yang relevan. 
  • Waktu pelaksanaan monitoring dan evaluasi dilaksanakan secara periodik dan dikoordinasikan dengan institusi terkait.
  • Instrumen monitoring dan evaluasi disiapkan oleh masing-masing institusi sesuai dengan kebutuhan.
  • Hasil monitoring dan evaluasi dipergunakan sebagai bahan untuk penyusunan program, penyempurnaan strategi pelaksanaan program dan memformulasikan kebijakan di masa yang akan datang dalam upaya peningkatan mutu pendidikan inklusif.
8. Administrasi dan Pelaporan
a. Administrasi
Administrasi penyelenggaraan pendidikan inklusif secara umum tidak berbeda dengan sekolah umum, tetapi secara khusus diperlukan data administrasi sebagai berikut: guru pendidikan khusus, peserta didik berkebutuhan khusus, hasil asesmen, hasil pembahasan kasus, program pembelajaran individual, hasil belajar, program layanan rehabilitasi/habilitasi, dan lainnya.

b. Pelaporan
Penyelenggaraan pendidikan inklusif dilaporkan setiap triwulan secara tertulis sekurang-kurangnya memuat tentang:

  1. peserta didik;
  2. kurikulum yang digunakan;
  3. sarana prasarana;
  4. tenaga pendidik dan kependidikan;
  5. proses pembelajaran;
  6. hasil evaluasi,
  7. permasalahan dan upaya pemecahannya
Laporan disampaikan kepada institusi pembina langsung dengan tembusan kepada Dinas Pendidikan Provinsi dan Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Ditjen Mandikdasmen. Format laporan dapat dikembangkan oleh masing-masing sekolah.

No comments:

Post a Comment