Friday 31 March 2017

Keruntuhan Kerajaan Medang Kamulan (peristiwa Mahapralaya)

Keruntuhan Kerajaan Medang Kamulan (peristiwa Mahapralaya)
Mahapralaya adalah peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur berdasarkan berita dalam prasasti Pucangan. Tahun terjadinya peristiwa tersebut tidak dapat dibaca dengan jelas sehingga muncul dua versi pendapat. Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006, sedangkan yang lainnya menyebut tahun 1016.

Raja terakhir Medang adalah Dharmawangsa Teguh, cicit Mpu Sindok. Kronik Cina dari Dinasti Sung mencatat telah beberapa kali Dharmawangsa mengirim pasukan untuk menggempur ibu kota Sriwijaya sejak ia naik takhta tahun 991. Permusuhan antara Jawa dan Sumatra semakin memanas saat itu.

Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.

Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah campuran Jawa–Bali yang lolos dari Mahapralaya tampil membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan Kerajaan Medang. Pangeran itu bernama Airlangga yang mengaku bahwa ibunya adalah keturunan Mpu Sindok. Kerajaan yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan Kahuripan.

Kehidupan Ekonomi
Raja Mpu Sindok mendirikan ibu kota kerajaannya di tepi Sungai Brantas, dengan tujuan menjadi pusat pelayaran dan perdagangan di daerah Jawa Timur. Bahkan pada masa pemerintahan Dharmawangsa, aktifitas perdagangan bukan saja di Jawa Timur, tetapi berkembang ke luar wilayah jawa Timur.

Di bawah pemerintahan Raja Dharmawangsa, Kerajaan Medang Kamulan menjadi pusat aktifitas pelayaran perdagangan di indonesia Timur. Namun akibat serangan dari Kerajaan Wurawari, segala perekonomian Kerajaan Medang Kamulan mengalami kehancuran.

KERAJAAN KEDIRI
Kerajaan Kediri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Isyana (Kerajaan Medang Kamulan). Pada akhir kekuasaan pemerintahan Raja Airlangga, wilayah kerajaannya dibagi dua, untuk menghindari terjadinya perang saudara. Maka muncullah Kerajaan Kediri dengan ibu kota Daha, diperintah Jayawarsa dan Kerajaan Jenggala dengan ibu kotanya Kahuripan diperintah oleh Jayanegara.

Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kadiri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha.

Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.

Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.

Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari pada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling wai tai ta (1178).

Masa-masa awal Kerajaan Panjalu atau Kadiri tidak banyak diketahui. Prasasti Turun Hyang II (1044) yang diterbitkan Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara kedua kerajaan sepeninggal Airlangga.

Sejarah Kerajaan Panjalu mulai diketahui dengan adanya prasasti Sirah Keting tahun 1104 atas nama Sri Jayawarsa. Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa hanya Sri Samarawijaya yang sudah diketahui, sedangkan urutan raja-raja sesudah Sri Jayawarsa sudah dapat diketahui dengan jelas berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan.

Kerajaan Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya berhasil menaklukkan Kerajaan Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, atau Panjalu Menang.

Pada masa pemerintahan Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.

Hal ini diperkuat kronik Cina berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Cina secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Panjalu, sedangkan Sumatra dikuasai Kerajaan Sriwijaya.

Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut.

1. Lokasi Kerajaan

Lokasi Kerajaan Kediri

2. Kehidupan Politik
Raja Jayawarsa
Masa pemerintahan Jayawarsa (1104 M) hanya dapat diketahui melalui Prasasti Sirah Keting. Dari prasasti itu diketahui bahwa Raja Jayawarsa sangat besar perhatiannya kepada rakyatnya dan berupaya meningkatkan kesejahteraan hidup rakyatnya.

Raja Bameswara
Pada masa pemerintahannya, Raja Bameswara (1117-1130 M) banyak meninggalkan prasasti-prasasti yang ditemukan di daerah Tulungagung dan Kertosono.

Raja Jayabaya
Raja Jayabaya (1135-1157 M) merupakan raja terkemuka dari Kerjaan Kediri, karena di bawah pemerintahannya Kerajaan Kediri mencapai masa kejayaannya. Kemenangan Kerajaan Kediri dalam perluasan wilayahnya mengilhami pujangga Empu Sedah dan Empu Panuluh untuk menulis Kitab Bharatayuda.

Raja Gandra
Masa pemerintahan Raja Gandra (1181 M) berhasil diketahui dari Prasasti Jaring, yaitu tentang penggunaan nama hewan dalam kepangkatan seperti nama Gajah, Kebo atau Tikus.

Raja Kameswara
Pada masa pemerintahan Raja Kameswara (1182-1185 M), seni sastra mengalami perkembangannya yang sangat pesat. Diantaranya Empu Dharmaja mengarang Kitab Smaradhana. Bahkan pada masa pemerintahannya juga dikenal cerita-cerita panji seperti Panji Semirang.

Raja Kertajaya
Raja Kertajaya (1190-1222 M) merupakan raja terakhir dari Kerajaan Kediri. Raja Kertajaya juga lebih dikenal dengan sebutan Dandang Gendis.

Selama pemerintahannya, keadaan Kediri menjadi tidak aman. Kestabilannya kerajaan menurun. Hal ini disebabkan Raja Kertajaya mempunyai maksud mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Hal ini ditentang oleh kaum Brahmana. Kedudukan kaum Brahmana di Kerajaan Kediri semakin tidak aman.

Kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel yang saat itu diperintah oleh Ken Arok. Raja Kertajaya yang mengetahui bahwa kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel, mempersiapkan pasukkannya untuk menyerang Tumapel. Sementara itu, Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana melakukan serang ke Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu bertemu di dekat Genter (1222 M). Dalam pertempuran itu pasukan Kediri berhasil dihancurkan. Raja Kertajaya berhasil meloloskan diri.

Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan kerajaan Kediri. Akhirnya kerajaan Kediri menjadi daerah bawahan Kerajaan Tumapel. Selanjutnya berdirilah Kerajaan Singasari dengan Ken Arok sebagai raja pertama.

Berikut Raja-raja kerajaan kediri :
  • Pada saat Daha menjadi ibu kota kerajaan yang masih utuh
  • Airlangga, merupakan pendiri kota Daha sebagai pindahan kota Kahuripan. Ketika ia turun takhta tahun 1042, wilayah kerajaan dibelah menjadi dua. Daha kemudian menjadi ibu kota kerajaan bagian barat, yaitu Panjalu. Menurut Nagarakretagama, kerajaan yang dipimpin Airlangga tersebut sebelum dibelah sudah bernama Panjalu
  • Pada saat Daha menjadi ibu kota Panjalu
  • Sri Samarawijaya, merupakan putra Airlangga yang namanya ditemukan dalam prasasti Pamwatan (1042).
  • Sri Jayawarsa, berdasarkan prasasti Sirah Keting (1104). Tidak diketahui dengan pasti apakah ia adalah pengganti langsung Sri Samarawijaya atau bukan.
  • Sri Bameswara, berdasarkan prasasti Padelegan I (1117), prasasti Panumbangan (1120), dan prasasti Tangkilan (1130).
  • Sri Jayabhaya, merupakan raja terbesar Panjalu, berdasarkan prasasti Ngantang (1135), prasasti Talan (1136), dan Kakawin Bharatayuddha (1157).
  • Sri Sarweswara, berdasarkan prasasti Padelegan II (1159) dan prasasti Kahyunan (1161).
  • Sri Aryeswara, berdasarkan prasasti Angin (1171).
  • Sri Gandra, berdasarkan prasasti Jaring (1181).
  • Sri Kameswara, berdasarkan prasasti Ceker (1182) dan Kakawin Smaradahana.
  • Kertajaya, berdasarkan prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton.
  • Pada saat Daha menjadi bawahan Singhasari
Kerajaan Panjalu runtuh tahun 1222 dan menjadi bawahan Singhasari. Berdasarkan prasasti Mula Malurung, diketahui raja-raja Daha zaman Singhasari, yaitu:
  • Mahisa Wunga Teleng putra Ken Arok
  • Guningbhaya adik Mahisa Wunga Teleng
  • Tohjaya kakak Guningbhaya
  • Kertanagara cucu Mahisa Wunga Teleng (dari pihak ibu), yang kemudian menjadi raja Singhasari
  • Pada saat Daha menjadi ibu kota Kadiri
Jayakatwang, adalah keturunan Kertajaya yang menjadi bupati Gelang-Gelang. Tahun 1292 ia memberontak hingga menyebabkan runtuhnya Kerajaan Singhasari. Jayakatwang kemudian membangun kembali Kerajaan Kadiri. Tapi pada tahun 1293 ia dikalahkan Raden Wijaya pendiri Majapahit.

Pada saat Daha menjadi bawahan Majapahit
Sejak tahun 1293 Daha menjadi negeri bawahan Majapahit yang paling utama. Raja yang memimpin bergelar Bhre Daha tapi hanya bersifat simbol, karena pemerintahan harian dilaksanakan oleh patih Daha. Para pemimpin Daha zaman Majapahit antara lain:
  • Jayanagara, tahun 1295-1309, didampingi Patih Lembu Sora.
  • Rajadewi, tahun 1309-1370-an, didampingi Patih Arya Tilam, kemudian Gajah Mada.

Setelah itu, nama-nama pejabat Bhre Daha tidak diketahui dengan pasti.

Pada saat Daha menjadi ibu kota Majapahit
Menurut Suma Oriental tulisan Tome Pires, pada tahun 1513 Daha menjadi ibu kota Majapahit yang dipimpin oleh Bhatara Wijaya. Nama raja ini identik dengan Dyah Ranawijaya yang dikalahkan oleh Sultan Trenggana raja Demak tahun 1527.

Sejak saat itu nama Kediri lebih terkenal dari pada Daha.

Karya Sastra Zaman Kadiri
Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhaya atas Janggala.

Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Ghatotkachasraya. Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara bernama Mpu Dharmaja yang menulis Kakawin Smaradahana. Kemudian pada zaman pemerintahan Kertajaya terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana.

Arca Buddha Vajrasattva zaman Kadiri, abad X/XI, koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.

Kerajaan Panjalu-Kadiri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya, dan dikisahkan dalam Pararaton dan Nagarakretagama.

Pada tahun 1222 Kertajaya sedang berselisih melawan kaum brahmana yang kemudian meminta perlindungan Ken Arok akuwu Tumapel. Kebetulan Ken Arok juga bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri.

Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi dekat desa Ganter. Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan pasukan Kertajaya. Dengan demikian berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang sejak saat itu kemudian menjadi bawahan Tumapel atau Singhasari.

KERAJAAN SINGASARI
Kerajaan Singasari
Sejarah Kerajaan Singasari berawal dari daerah Tumapel, yang dikuasai oleh seorang akuwu (bupati). Letaknya di daerah pegunungan yang subur di wilayah Malang, dengan pelabuhannya bernama Pasuruan. Berdasarkan prasasti Kudadu, nama resmi Kerajaan Singhasari yang sesungguhnya ialah Kerajaan Tumapel. Menurut Nagarakretagama, ketika pertama kali didirikan tahun 1222, ibu kota Kerajaan Tumapel bernama Kutaraja.

Pada tahun 1254, Raja Wisnuwardhana mengangkat putranya yang bernama Kertanagara sebagai yuwaraja dan mengganti nama ibu kota menjadi Singhasari. Nama Singhasari yang merupakan nama ibu kota kemudian justru lebih terkenal daripada nama Tumapel. Maka, Kerajaan Tumapel pun terkenal pula dengan nama Kerajaan Singhasari. Nama Tumapel juga muncul dalam kronik Cina dari Dinasti Yuan dengan ejaan Tu-ma-pan.

1. Awal Berdirinya
Menurut Pararaton, Tumapel semula hanya sebuah daerah bawahan Kerajaan Kadiri. Yang menjabat sebagai akuwu (setara camat) Tumapel saat itu adalah Tunggul Ametung. Ia mati dibunuh secara licik oleh pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok, yang kemudian menjadi akuwu baru. Tidak hanya itu, Ken Arok bahkan berniat melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kadiri.

Pada tahun 1222 terjadi perseteruan antara Kertajaya raja Kadiri melawan kaum brahmana. Para brahmana lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok yang mengangkat dirinya menjadi raja pertama Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Perang melawan Kadiri meletus di desa Ganter yang dimenangkan oleh pihak Tumapel.

Nagarakretagama juga menyebut tahun yang sama untuk pendirian Kerajaan Tumapel, namun tidak menyebutkan adanya nama Ken Arok. Dalam naskah itu, pendiri kerajaan Tumapel bernama Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra yang berhasil mengalahkan Kertajaya raja Kadiri. Prasasti Mula Malurung atas nama Kertanagara tahun 1255, menyebutkan kalau pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa. Mungkin nama ini adalah gelar anumerta dari Ranggah Rajasa, karena dalam Nagarakretagama arwah pendiri kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa. Selain itu, Pararaton juga menyebutkan bahwa, sebelum maju perang melawan Kadiri, Ken Arok lebih dulu menggunakan julukan Bhatara Siwa.

2. Lokasi Kerajaan
Lokasi pusat Kerajaan Singasari

3. Sumber Sejarah
Sumber-sumber sejarah Kerajaan Singasari berasal dari:
  • Kitab Pararaton, menceritakan tentang raja-raja Singasari.
  • Kitab Negara Kertagama, berisi silsilah raja-raja Majapahit yang memiliki hubungan erat dengan raja-raja Singasari.
  • Prasasti-prasasti sesudah tahun 1248 M.
  • Berita-berita asing (berita Cina), menyatakan bahwa Kaisar Khubilai Khan mengirim pasukkannya untuk menyerang Kerajaan Singasari.
  • Peninggalan-peninggalan purbakala berupa banguna-bangunan Candi yang menjadi makam dari raja-raja Singasari seperti Candi Kidal, Candi Jago, Candi Singasari dan lain-lain.
Kehidupan Politik
Kerajaan Singasari yang pernah mengalami kejayaan dalam perkembangan sejarah Hindu di Indonesia dan bahkan menjadi cikal bakal Kerajaan Majapahit, pernah diperintah oleh raja-raja sebagai berikut:

Ken Arok
Ken Arok sebagai raja Singasari pertama bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi dan dinastinya bernama Dinasti Girindrawangsa (Dinasti Keturunan Siwa). Raja Ken Arok memerintah antara tahun 1222-1227 M. Masa pemerintahan Ken Arok diakhiri secara tragis pada tahun 1227. Ia mati terbunuh oleh kaki tangan Anusapati, yang merupakan anak tirinya (anak Ken Dedes dari suami pertamanya Tunggul Ametung).

Raja Kertanegara
Raja Kertanegara (1268-1292 M) merupakan raja terkemuka dan raja terakhir dari Kerajaan Singasasri. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Singasari mencapai masa kejayaannya. Upaya yang ditempuh Raja Kertanegara dapat dilihat dari pelaksanaan politik dalam negeri dan luar negeri.

Berikut raja-raja Singasari :
Terdapat perbedaan antara Pararaton dan Nagarakretagama dalam menyebutkan urutan raja-raja Singhasari.

Raja-raja Tumapel versi Pararaton adalah:
1. Ken Arok alias Rajasa Sang Amurwabhumi (1222 - 1247)
2. Anusapati (1247 - 1249)
3. Tohjaya (1249 - 1250)
4. Ranggawuni alias Wisnuwardhana (1250 - 1272)
5. Kertanagara (1272 - 1292)

Raja-raja Tumapel versi Nagarakretagama adalah:
1. Rangga Rajasa Sang Girinathaputra (1222 - 1227)
2. Anusapati (1227 - 1248)
3. Wisnuwardhana (1248 - 1254)
4. Kertanagara (1254 - 1292)

Kisah suksesi raja-raja Tumapel versi Pararaton diwarnai pertumpahan darah yang dilatari balas dendam. Ken Arok mati dibunuh Anusapati (anak tirinya). Anusapati mati dibunuh Tohjaya (anak Ken Arok dari selir). Tohjaya mati akibat pemberontakan Ranggawuni (anak Anusapati). Hanya Ranggawuni yang digantikan Kertanagara (putranya) secara damai.

Sementara itu versi Nagarakretagama tidak menyebutkan adanya pembunuhan antara raja pengganti terhadap raja sebelumnya. Hal ini dapat dimaklumi karena Nagarakretagama adalah kitab pujian untuk Hayam Wuruk raja Majapahit. Peristiwa berdarah yang menimpa leluhur Hayam Wuruk tersebut dianggap sebagai aib.

Di antara para raja di atas hanya Wisnuwardhana dan Kertanagara saja yang didapati menerbitkan prasasti sebagai bukti kesejarahan mereka. Dalam Prasasti Mula Malurung (yang dikeluarkan Kertanagara atas perintah Wisnuwardhana) ternyata menyebut Tohjaya sebagai raja Kadiri, bukan raja Tumapel. Hal ini memperkuat kebenaran berita dalam Nagarakretagama.

Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Kertanagara tahun 1255 selaku raja bawahan di Kadiri. Jadi, pemberitaan kalau Kertanagara naik takhta tahun 1254 perlu dibetulkan. Yang benar adalah, Kertanagara menjadi raja muda di Kadiri dahulu. Baru pada tahun 1268, ia bertakhta di Singhasari.

a. Politik Dalam Negeri
Dalam rangka mewujudkan stabilisasi politik dalam negeri, Raja Kertanegara menempuh jalan sebagai berikut:
  • Mengadakan pergeseran pembantu-pembantunya
  • Berbuat baik terhadap lawan-lawan politiknya.
  • Memperkuat angkatan perang.
b. Politik Luar Negeri
Untuk mencapai cita-cita politiknya itu, Raja Kertanegara menempuh cara-cara sebagai berikut.
  • Melaksanakan Ekspedisi Pamalayu (1275 dan 1286 M) untuk menguasai Kerajaan Melayu serta melemahkan posisi Kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka.
  • Menguasai Bali (1284 M).
  • Menguasai Jawa Barat (1289 M).
  • Menguasai Pahang (Malaya) dan Tanjung Pura (Kalimantan).
  • Kertanegara membendung ekspansi Khu Bilai Khan dengan cara :

  1. Menjalin kerja sama dengan negeri Champa
  2. Memberantas setiap usaha pemberontakan
  3. Mengganti pejabat yang tidak mendukung gagasannya
  4. Berusaha menyatukan Nusantara di bawah Singosari
Pemerintahan Bersama
Pararaton dan Nagarakretagama menyebutkan adanya pemerintahan bersama antara Wisnuwardhana dan Narasingamurti. Dalam Pararaton disebutkan nama asli Narasingamurti adalah Mahisa Campaka.

Apabila kisah kudeta berdarah dalam Pararaton benar-benar terjadi, maka dapat dipahami maksud dari pemerintahan bersama ini adalah suatu upaya rekonsiliasi antara kedua kelompok yang bersaing. Wisnuwardhana merupakan cucu Tunggul Ametung sedangkan Narasingamurti adalah cucu Ken Arok.

Puncak Kejayaan
Kertanagara adalah raja terakhir dan raja terbesar dalam sejarah Singhasari (1268 - 1292). Ia adalah raja pertama yang mengalihkan wawasannya ke luar Jawa. Pada tahun 1275 ia mengirim pasukan Ekspedisi Pamalayu untuk menjadikan pulau Sumatra sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi ekspansi bangsaMongol. Saat itu penguasa pulau Sumatra adalah Kerajaan Dharmasraya (kelanjutan dari Kerajaan Malayu). Kerajaan ini akhirnya tunduk dengan ditemukannya bukti arca Amoghapasa yang dikirim Kertanagara sebagai tanda persahabatan kedua negara.

Pada tahun 1284, Kertanagara juga mengadakan ekspedisi menaklukkan Bali. Pada tahun 1289 Kaisar Kubilai Khan mengirim utusan ke Singhasari meminta agar Jawa mengakui kedaulatan Mongol. Namun permintaan itu ditolak tegas oleh Kertanagara

Nagarakretagama menyebutkan daerah-daerah bawahan Singhasari di luar Jawa pada masa Kertanagara antara lain, Melayu, Bali, Pahang, Gurun, dan Bakulapura.

Mandala Amoghapāśa dari masa Singhasari (abad ke-13), perunggu, 22.5 x 14 cm. Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.

Peristiwa Keruntuhan
Kerajaan Singhasari yang sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa akhirnya mengalami keropos di bagian dalam. Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang, yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanagara sendiri. Dalam serangan itu Kertanagara mati terbunuh.

Setelah runtuhnya Singhasari, Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibu kota baru di Kadiri. Riwayat Kerajaan Tumapel-Singhasari pun berakhir.

Hubungan dengan Majapahit
Pararaton, Nagarakretagama, dan prasasti Kudadu mengisahkan Raden Wijaya cucu Narasingamurti yang menjadi menantu Kertanagara lolos dari maut. Berkat bantuan Aria Wiraraja (penentang politik Kertanagara), ia kemudian diampuni oleh Jayakatwang dan diberi hak mendirikan desa Majapahit. Pada tahun 1293 datang pasukan Mongol dipimpin Ike Mese untuk menaklukkan Jawa. Mereka dimanfaatkan Raden Wijaya untuk mengalahkan Jayakatwang di Kadiri. Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya dengan siasat cerdik ganti mengusir tentara Mongol keluar dari tanah Jawa. Raden Wijaya kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit sebagai kelanjutan Singhasari, dan menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa, yaitu dinasti yang didirikan oleh Ken Arok.

KERAJAAN BALI
1. Sumber Sejarah
Seumber tertua mengenai adanya Kerajaan Bali adalah sebua prasasti yang berangka 804 Saka (882 M). Prasasti ini mengenai izin yang diberikan kepada para bhiksu untuk membuat tempat pertapaan di Bukit Cintamani. Namun, raja pembuat prasasti ini tidak disebutkan. Prasasti kedua yang ditemukan adalah prasasti yang berangka tahun 818 Saka (896 M). Isinya hamper sama dengan prasasti yang pertama. Satu hal yang menarik dari kedua prasasti ini adalah walaupun nama rajanya tidak disebut, tetapi nama istana raja disebut yaitu Singhamandaya. Kemudian ada lagi prasasti yang ditemukan di desa Blajong dekat Pantai Sanur. Angka tahun dari prasasti ini berupa candrasangkala yang berbunyi Khecara Wahmi-Murti yang artinya tahun 836 Saka (914 M). Dalam prasasti ini disebutkan nama rajanya yaitu Khesari Warmadewa yang istananya bernana Singhadwala. Tidak diketahui kapan raja ini memerintah dan kapan berakhirnya. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan huruf Pranagari dan huruf Bali Kuno. Sedangkan bahasa yang digunakan adalah Sansekerta.

Kerajaan Bali terletak pada sebuah Pulau kecil yang tidak jauh dari daerah Jawa Timur. Dalam perkembangan sejarahnya, Bali mempunyai hubungan erat dengan Pulau Jawa. Karena letak pulau itu berdekatan, maka sejak zaman dulu mempunyai hubungan yang erat. Bahkan ketika Kerajaan Majapahit runtuh, banyak rakyat Majapahit yang melarikan diri dan menetap di sana. Sampai sekarang ada kepercayaan bahwa sebagian dari masyarakat Bali dianggap pewaris tradisi Majapahit.

2. Kehidupan Politik
Dari prasasti-prasasti yang ditemukan itu dapat dipastikan bahwa yang mendirikan Kerajaan Bali itu adalah raja-raja dari dinasti Warmadewa. Sejak tahun 915 M yang memerintah di Bali adalah Raja Ugrasena. Dari prasasti-prasastinya dapat diketahui Raja Ugrasena memerintah hingga tahun 942. setelah itu yang memerintah adalah Haji Tabanendra Warmadewa. Ia memerintah bersama-sama dengan permaisurinya Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Dharmadewi yang memerintah dari tahun 877-889 Saka (955-967 M). Raja berikutnya adalah Jayasingha Warmadewa yang telah turut memerintah sejak tahun 960 M, sebagai raja muda. Pada masa pemerintahannya, ia membangun dua tempat pemandian di desa Manukraya (Manukkaya) dan sebuah lagi di Tirta Empul, Tirta Empul ini letaknya berdekatan dengan istana Tampak Siring. Pada tahun 975 ia meninggal.

Penggantinya adalah Raja Jayasadhu Warmadewa (975-983), Masa pemerintahannya tidak banyak diketahui. Pada tahun 983 yang memerintah adalah seseorang wanita yang bernama Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Mengenai asal raja wanita ini tidak diketahui dengan jelas. Ada sarjana yang berpendapat bahwa ia adalah seorang putri dari Sriwijaya, tetapi ada lagi yang berpendapat bahwa Sri Wijaya Mahadewi adalah putrid dari Raja Mpu Sindok.

Setelah masa pemerintahannya berakhir, ia digantikan oleh Dharmodhayana Warmadewa yang naik takhta pada tahun 989. ia memerintah bersama permaisurinya yang bernama Gunapriyadharmapatni atau Mahendradatha, putrid dari Makutawangsa wardhana. Mereka memerintah hingga tahun 1001. mahendradatha meninggal dan dicandikan di Burwan (desa Burwan) yang terletak di sebelah tenggara Bedudu. Arca perwujudannya berupa Durga yang ditemukan di Kutri (Gianyar). Dharmodhayana Warmadewa masih tetap emmerintah sepeninggal istrinya hingga tahun 1011 M. Ia meninggal pada tahun itu dan dicandikan di Banu Wka yang letaknya sampai saat ini belum diketahui.

Dari perkawinan antara Dharmodhayana dan Mahendradatha lahir tiga orang putra yang masing-masing bernama Airlangga yang kemudian kawin dengan seorang putri Dharmawangsa dan menjadi raja di Pulau Jawa, Marakata dan Anak Wungsu. Marakata sebagai pengganti ayahnya bergelar Dharmodhayana Wangsawardhana Marakata Panjakasthana Uttggadewa (1011 – 1022). Masa pemerintahannya sezaman dengan Airlangga di Jawa Timur.

Perhatiannya yang sangat besar untuk kesejahteraan rakyatnya, menyebabkan dirinya sangat dihormati dan dicintai rakyatnya. Ia bahkan dianggap sebagai penjelmaan dari kebenaran hokum. Sebagai bukti bahwa ia sangat memperhatikan kepentingan rakyatnya yaitu dibangunnya sebuah tempat pertapaan (prasada) di Gunung Kawi yang berdekatan dengan istana Tampak Siring. Tempat pertapaan ini memiliki keunikan yakni dipahat di batu gunung, kira-kira enam meter tingginya berbentuk candi-candi dan bagian bawah (dasarnya) dibuatkan gua-gua pertapaan yang masing-masing terdiri dari ruangan-ruangan, sampai saat ini tempat pertapaan itu tetap terpelihara dengan baik dan merupakan salah satu objek wisata yang ramai dikunjungi para wisatawan.

Pengganti Marakata adalah Anak Wungsu (1049-1077). Ia adalah raja yang paling banyak meninggalkan prasasti. Sebanyak 28 buah prasasti dibuat selama 28 tahun masa pemerintahannya. Anak wungsu tidak mempunyai keturunan, karena itu permaisurinya dikenal dengan sebutan Batari Mandul. Pada tahun 1077, anak wungsu meninggal dan didharmakan di Gunung Kawi. Penggantinya adalah Sri Maharaja Walaprabhu. Setelah Walaprabhu yang memerintah adalah seorang ratu dengan nama Sri Maharaja Sakalendukiranan Isanna Gunadharma Laksmidhara Wijayottunggadewi. Tidak banyak yang diketahui tentang pemerintahan ratu ini, ia kemudian digantikan oleh Sri Suradhipa (1115-1119). Pengganti raja ini adalah Sri Jayasakti yang memerintah hingga tahun 1150. penggantinya adalah Ragajaya. Setelah raja ini, Kerajaan Bali mengalami kekosongan pemerintahan selama beberapa tahun. Baru pada tahun 1170 yang memerintah adalah Raja Jayapangus. Ia memerintah bersama dua orang istrinya, yaitu Indujaketana sebagai permaisuri dan Sasangkajahcina sebagai mahadewi.

Setelah Jayapangus meninggal, ia digantikan oleh Sri Maharaja Haji Ekajayalancana. Raja ini memerintah bersama-sama dengan ibunya yang bernama Sri Maharaja Sri Arya dengjaya (1200). Empat tahun setelah masa pemerintahan Ekajayalancana yang memerintah adalah Bhatara Guru Sri Adikunti. Selain itu, di dalam prasastinya disebutkan pula nama anaknya Bhatara Parameswara Sri Wirama Sri Dhanaadhiraja dan seorang ratu bernama Bhatari Sri Dhanadewi. Setelah pemerintah Bhatara Sri Adikunti tidak diperoleh sedikit pun berita mengenai Kerajaan Bali. Baru pada tahun 1260, muncul seseorang raja bernama Paduka Bhatara Parameswara Sri Hyang Ning Hyang Adidewa. Setelah pemerintahan raja ini rupanya terjadi lagi kekosongan pemerintahan hingga tahun 1334.

Pada tahun 1334, kertanegara dari Singasari berhasil menaklukan Kerajaan Bali yang saat itu diperintah oleh Paduka Bharata Guru. Hal itu dapat diketahui dari prasastinya yang juga mencantumkan nama anaknya Paduka Sri Tarunajaya. Pada tahun berikutnya yang memerintah adalah Paduka Sri Maharaja Bhatara Mahaguru Dharmottungga Warmadewa. Setelah meinggal ia digantikan oleh Paduka Bhatara Sri Walajaya Kertaningrat yang memerintah bersama-sama ibunya. Raja Sri Walajaya kemudian diganti lagi oleh Paduka Bhatara Sri Astasrua Ratna Bumi Banten. Tidak diketahui dengan jelas kapan berakhirnya kekuasaan Sri Astasura, namun yang jelas pada tahun 1430, Kerajaan Bali jatuh ke tangan Gajah Mada dari Majapahit. Kerajaan Bali kemudian diperintah oleh raja-raja dari jawa.

3. Kehidupan Sosial dan Ekonomi
Hubungan antara raja-raja yang pernah memerintah di Bali dengan rakyatnya sangat baik. Raja diharomati dan dipuja sesuai dengan pengaruh agama dan budaha Hindu. Raja sebagai penguasa memperhatikan kepentingan rakyatnya dengan membangun berbagai sarana di antaranya tempat-tempat peribadatan, dan irigasi. Untuk agama-agama lain pun raja-raja Bali memerlihatkan sikap toleransinya yang tinggi. Sebagai contohnya raja memberikan izin bagi para pendeta Buddha (bhiksu) untuk mendirikan tempat pertapaan Sikap raja-raja Bali yang demikian memperlihatkan adanya system social kemasyarakatan yang sudah berlangsung dan tertata baik.

Rakyat Bali umumnya hidup makmur. Selain pertanian, mereka memperoleh penghasilan dari berbagai bidang usaha, antara lain perdagangan, peternakan, dan pelayaran. Dari berbagai sector usaha ini perekonomian rakyat Bali cukup mantap, sehingga mereka dapat pula membangun bangunan-bangunan besar, seperti candi, tempat-tempat pertapaan misalnya Gunung Kawi dan masih banyak lagi yang lainnya.

4. Kehidupan Budaya
Dalam bidang kebudayaan, masyarakat Bali banyak menyerap unsur-unsur budaya Hindu sejak abad ke-18 M. sampai saat ini budaya masyarakat Bali memiliki cirri khas, sebagai contohnya adalah tradisi pembakaran mayat (ngaben) yang dahulu selalu diiringi dengan sute, yaitu kebiasaan para wanita Bali turut terbakar bersama jenazah suami yang sangat dicintainya. Bidang seni lukis, seni tari, seni pahat yang merupakan unsur-unsur dari kebudayaan mengalami perkembangan yang pesat dan beraneka ragam. Bidang kesenian ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan, baik dari dalam maupun luar negeri. Bali menjadi sangat terkenal di berbagai pelosok dunia bukan hanya keindahannya, tetapi juga karena keunikan budayanya.

KERAJAAN PAJAJARAN
1. Sumber Sejarah
Sejarah kerajaan ini tidak dapat terlepas dari kerajaan-kerajaan pendahulunya di daerah Jawa Barat, yaitu Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, dan Kawali. Hal ini karena pemerintahan Kerajaan Pajajaran merupakan kelanjutan dari kerajaan-kerajaan tersebut. Dari catatan-catatan sejarah yang ada, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini; antara lain mengenai ibukota Pajajaran yaitu Pakuan. Mengenai raja-raja Kerajaan Pajajaran, terdapat perbedaan urutan antara naskah-naskah Babad Pajajaran, Carita Parahiangan, dan Carita Waruga Guru.

Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan sejumlah jejak peninggalan dari masa lalu, seperti:
  • Prasasti Batu Tulis, Bogor
  • Prasasti Sanghyang Tapak, Sukabumi
  • Prasasti Kawali, Ciamis
  • Tugu Perjanjian Portugis (padraõ), Kampung Tugu, Jakarta
  • Taman perburuan, yang sekarang menjadi Kebun Raya Bogor.
  • Prasasti Rakryan Juru Pangambat (923 M).
  • Prasasti Horren (berasal dari Kerajaan Majapahit)
  • Prasasti Citasih (1030 M).
  • Prasasti Astanagede (di Kawali, Ciamis).
Kitab Carita
  • Kitab Carita Kidung Sundayana. Kitab ini menceritakan kekalahan pasukan Pajajaran dalam pertempuran di Bubat (Majapahit) dan tewasnya Raja Sri Baduga beserta putrinya.
  • Kitab Carita Parahyangan. Kitab ini menceritakan bahwa pengganti Raja Sri Baduga setelah Perang Bubat bernama Hyang Wuni Sora.
2. Kehidupan Politik
Berikut adalah raja-raja Pajajaran :
1. Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521)
2. Surawisesa (1521 – 1535)
3. Ratu Dewata (1535 – 1543)
4. Ratu Sakti (1543 – 1551)
5. Raga Mulya (1567 – 1579)
3. Keruntuhan Pajajaran

Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu Kesultanan Banten. Berakhirnya jaman Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.

Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf adalah penerus kekuasaan Pajajaran yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja. Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Orang Banten menyebutnya Watu Gigilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.

Saat itu diperkirakan terdapat sejumlah punggawa istana yang meninggalkan kraton lalu menetap di daerah Lebak. Mereka menerapkan tata cara kehidupan lama yang ketat, dan sekarang mereka dikenal sebagai orang Baduy.

KERAJAAN MAJAPAHIT
Kerajaan Majapahit merupakan suatu kerajaan besar yang disegani oleh banyak negara asing dan membawa keharuman nama Indonesia sampai jauh ke luar wilayah Indonesia, Majapahit adalah suatu kerajaan yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M dan berpusat di pulau Jawa bagian timur. Kerajaan ini pernah menguasai sebagian besar pulau Jawa, Madura, Bali, dan banyak wilayah lain di Nusantara. Majapahit dapat dikatakan sebagai kerajaan terbesar di antara kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara dan termasuk yang terakhir sebelum berkembang kerajaan-kerajaan bercorak Islam di Nusantara.

1. Berdirinya Majapahit

Arca Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran Kertarajasa. Berlokasi semula di Candi Simping, Blitar, kini menjadi koleksi Museum Nasional Republik Indonesia.

Sesudah Singhasari mengusir Sriwijaya dari Jawa secara keseluruhan pada tahun 1290, kekuasaan Singhasari yang naik menjadi perhatian Kubilai Khan di China dan dia mengirim duta yang menuntut upeti. Kertanagara penguasa kerajaan Singhasari menolak untuk membayar upeti dan Khan memberangkatkan ekspedisi menghukum yang tiba di pantai Jawa tahun 1293. Ketika itu, seorang pemberontak dari Kediri bernama Jayakatwang sudah membunuh Kertanagara. Kertarajasa atau Raden Wijaya, yaitu anak menantu Kertanegara, kemudian bersekutu dengan orang Mongol untuk melawan Jayakatwang. Setelah Jayakatwang dikalahkan, Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara kalang-kabut.

Pada tahun 1293 itu pula Raden Wijaya membangun daerah kekuasaannya di tanah perdikan daerah Tarik, Sidoarjo, dengan pusatnya yang diberi nama Majapahit. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawarddhana.

2. Lokasi Kerajaan
Lokasi Pusat Kerajaan Majapahit

3. Sumber Sejarah
Sumber informasi mengenai berdiri dan berkembangnya Kerajaan Majapahit berasal dari berbagai sumber yakni:
  • Prasasti Butak (1294 M). Prasasti ini dikeluarkan oleh Raden Wijaya setelah ia berhasil naik tahta kerajaan. Prasasti ini memuat peristiwa keruntuhan Kerajaan Singasari dan perjuangan Raden Wijaya untuk mendirikan Kerajaan.
  • Kidung Harsawijaya dan Kidung Panji Wijayakrama. Kedua kidung ini menceritakan Raden Wijaya ketika menghadapi musuh dari Kediri dan tahun-tahun awal perkembangan Majapahit.
  • Kitab Pararaton, menceritakan tentang pemerintahan raja-raja Singasari dan Majapahit.
  • Kitab Negarakertagama, menceritakan tentang perjalanan Raja Hayam Wuruk ke Jawa Timur.
4. Aspek Kehidupan Politik

Raja Kertarajasa Jayawardhana
Raja Kertanegara wafat pada tahun 1291 M, ketika Keraton Singasari saat itu diserbu secara mendadak oleh Jayakatwang (keturunan Raja Kediri). Dalam serangan itu Raden Wijaya, menantu Kertanegara, berhasil meloloskan diri dan lari ke Madura untuk meminta perlindungan dari Bupati Arya Wiraraja. Atas bantuan dari Arya Wiraraja ini, Raden Wijaya diterima dan diampuni oleh Jayakatwang dan diberikan sebidang tanah di Tarik. Daerah itu kemudian dibangun kembali menjadi sebuah perkampungan dan digunakan oleh Raden Wijaya untuk mempersiapkan diri dan menyusun kekuatan untuk sewaktu-waktu mengadakan serangan balasan terhadap Kediri.

Kedatangan serangan Cina-Mongol yang ingin menaklukan Kertanegara, tidak disia-siakan oleh Raden Wijaya untuk menyerang Raja Jayakatwang (Raja Kediri). Raden Wijaya berhasil menipu pasukan-pasukan Cina, sehingga tentara Cina rela bergabung dengan pasukan Raden Wijaya dan menyerang Raja Jayakatwang. Raja Jayakatwang dapat dikalahkan dan Kerajaan Kediri dapat dihancurkan. Kemenangan dari serangan ini membuat tentara Cina-Mongol bergembira dan merayakan pesta kemenangannya. Namun, bagi Raden Wijaya kemenangan ini harus berada di pihaknya. Raden Wijaya kemudian memutuskan untuk menyerang balik tentara-tentara Cina-Mongol yang sedang pesta pora. Serangan yang tiba-tiba dan tak diduga yang dilakukan oleh pasukan Raden Wijaya ini membuat tentara Cina-Mongol menjadi kalang kabut. Banyak yang terbunuh. Yang selamat melarikan diri dan kembali ke daratan Cina. Akhirnya, di Jawa hanya tinggal satu kekuatan, yaitu kekuatan dari pasukan Raden Wijaya.

Dengan lenyapnya pasukan Cina-Mongol, pada tahun 1292 M Kerajaan Majapahit sudah dapat dianggap berdiri, walaupun secara resmi sistem pemerintahan Kerajaan majapahit baru berjalan setahun kemudian, yaitu ketika Raden Wijaya menjadi Raja Majapahit yang pertama dengan gelar Sri Kertajasa Jayawardhana. Raden Wijaya memerintah Kerajaan Majapahit dari tahun 1293-1309 M. raden Wijaya sempat memperistri keempat putri Kertanegara, yaitu Tribhuwana, Narendraduhita, Prajnaparamita, dan Gayatri. Pada awal pemerintahannya pernah terjadi pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh teman-teman seperjuangan Raden Wijaya seperti Sora, Ranggalawe, dan Nambi. Pemberontakan-pemberontakan itu diakibatkan karena rasa tidak puas atas jabatan-jabatan yang diberikan oleh raja. Akan tetapi, pemberontakan-pemberontakan itu akhirnya dapat dipadamkan.

Raden Wijaya wafat tahun 1309 M dan dimakamkan dalam dua tempat, yaitu dalam bentuk Jina (Budha) di Antapura dan dalam bentuk Wisnu dan Siwa di Candi Simping (dekat Blitar).

Raja Jayanegara
Raja Raden Wijaya wafat meninggalkan seorang putra yang bernama Kala Gemet. Putra ini diangkat menjadi

Raja Majapahit dengan gelar Sri Jayanegara pada tahun 1309 M.
Jayanegara memerintah Majapahit dari tahun 1309-1328 M. Masa pemerintahan Jayanegara penuh dengan pemberontakan dan juga dikenal sebagai suatumasa yang suram di dalam sejarah Kerajaan Majapahit. Pemberontakan-pemberontakan itu datang dari Juru Demung (1313 M), Gajah Biru (1314 M), Nambi (1316 M), dan Kuti (1319 M).

Pemberontakan Kuti merupakan pemberontakan yang paling berbahaya dan hampir meruntuhkan Kerajaan Majapahit. Raja Jayanegara terpaksa mengungsi ke desa Bedander yang diikuti oleh sejumlah pasukan bayangkara (pengawal pribadi raja) di bawah pimpinan Gajah Mada. Setelah beberapa hari menetap di desa Bedander maka Gajah Mada kembali ke Majapahit untuk meninjau suasana.

Setelah diketahui keadaan rakyat dan para bangsawan istana tidak setuju dan bahkan sangat benci kepada Kuti, Gajah Mada akhirnya merencanakan suatu siasat untuk melakukan serangan terhadap Kuti. Berkat ketangkasan dan siasat yang jitu dari Gajah Mada, Kuti dan kawan-kawannya dapat dilenyapkan.

Raja Jayanegara dapat kembali lagi ke Istana dan menduduki tahta Kerajaan Majapahit. Sebagai penghargaan atas jasa Gajah Mada, maka ia langsung diangkat menjadi patih di kahuripan (1319-1321), tidak lama kemudian diangkat menjadi patih di Kediri (1322-1330).

Ratu Tribhuwanatunggadewi
Raja Jayanegara meninggal dengan tidak meninggalkan seorang putra mahkota. Tahta Kerajaan Majapahit jatuh ke tangan Gayatri, putri Raja Kertanegara yang masih hidup. Namun, karena ia sudah menjadi seorang pertapa, tahta kerajaan diserahkan kepada putrinya yang bernama Tribhuwanatunggadewi. ia menjadi ratu atas nama atau mewakili ibunya, Gayatri. Tribhuwanatunggadewi memerintah Kerajaan Majapahit dari tahun 1328-1350 M. pada masa pemerintahannya, meletus pemberontakan Sadeng (1331 M). pimpinan pemberontak tidak diketahui. Nama Sadeng sendiri adalah nama sebuah daerah yang terletak di Jawa Timur. Pemberontakan Sadeng dapat dipadamkan oleh Gajah Mada dan Adityawarman. Karena jasa dan kecakapannya, Gajah Mada diangkat menjadi Patih Mangkubhumi Majapahit menggantikan Arya Tadah. Sejak saat itu, Gajah Mada menjadi pejabat pemerintahan tertinggi sesudah raja. Ia mempunyai wewenang untuk menetapkan politik pemerintahan Majapahit.

Raja Hayam Wuruk
Raja Hayam Wuruk yang terlahir dari perkawinan Tribhuwanatunggadewi dengan Cakradara (Kertawardhana) adalah seorang raja yang mempunyai pandangan luas. Kebijakan politik Hayam Wuruk banyak mengalami kesamaan dengan politik Gajah Mada, yaitu mencita-citakan persatuan Nusantara berada di bawah panji Kerajaan Majapahit. Hayam Wuruk memerintah Kerajaan Majapahit dari tahun 1350-1389 M. Pada masa pemerintahannya, Gajah Mada tetap merupakan salah satu tiang utama Kerajaan majapahit dalam mencapai kejayaannya. Bahkan Kerajaan Majapahit dapat disebut sebagai kerajaan nasional setelah Kerajaan Sriwijaya.

Selama hidupnya, patih Gajah Mada menjalankan Politik Persatuan Nusantara. Cita-citanya dijalankan dengan begitu tegas, sehingga menimbulkan peristiwa pahit yang dikenal dengan Peristiwa Sunda (Peristiwa Bubat). Peristiwa Sunda terjadi tahun 1351 M, berawal dari usaha Raja Hayam Wuruk untuk meminang putri dari Pajajaran, Dyah Pitaloka. Lamaran itu diterima oleh Sri Baduga. Raja Sri Baduga beserta putri dan pengikutnya pergi ke Majapahit, dan beristirahat di lapangan Bubat dekat pintu gerbang Majapahit. Selanjutnya timbul perselisihan paham antara Gajah Mada dan pimpinan Laskar Pajajaran, karena Gajah Mada ingin menggunakan kesempatan ini agar Pajajaran mau mengakui kedaulatan Majapahit, yakni dengan menjadikan putri Dyah Pitaloka sebagai selir Raja Hayam Wuruk dan bukan sebagai permaisuri. Hal ini tidak dapat diterima oleh Pajajaran karena dianggap merendahkan derajat. Akhirnya pecah pertempuran yang mengakibatkan terbunuhnya Sri baduga dengan putrinya dan seluruh pengikutnya di Lapangan Bubat.

kibat peristiwa itu, politik Gajah Mada mengalami kegagalan, karena dengan adanya peristiwa Bubat belum berarti Pajajaran sudah menjadi wilayah Kerajaan Majapahit. Bahkan Kerajaan Pajajaran terus berkembang secara terpisah dari Kerajaan Majapahit. Ketika Gajah Mada wafat tahun 1364 M, Raja Hayam Wuruk kehilangan pegangan dan orang yang sangat diandalkan di dalam memerintah kerajaan. Wafatnya Gajah Mada dapat dikatakan sebagai detik-detik awal dari keruntuhan Kerajaan Majapahit. Setelah Gajah Mada wafat, Raja Hayam Wuruk mengadakan sidang Dewan Sapta Prabu untuk memutuskan pengganti Patih Gajah Mada. Namun, tidak satu orang pun yang sanggup menggantikan Patih Gajah Mada. Kemudian diangkatlah empat orang menteri di bawah pimpinan Punala Tanding. Hal itu tidak berlangsung lama. Keempat orang menteri tersebut digantikan oleh dua orang menteri, yaitu Gajah Enggon dan Gajah Manguri. Akhirnya Hayam Wuruk memutuskan untuk mengangkat Gajah Enggon sebagai patih mangkubumi menggantikan posisi Gajah Mada.

Keadaan Kerajaan Majapahit seakan-akan semakin bertambah suram, sehubungan dengan wafatnya Tribhuwanatunggadewi (ibunda Raja Hayam Wuruk) tahun 1379 M. Kerajaan Majapahit semakin kehilangan pembantu-pembantu yang cakap. Kemunduran Kerajaan Majapahit semakin jelas setelah wafatnya Raja Hayam Wuruk tahun 1389 M. Berakhirlah masa kejayaan Majapahit.

Sumpah Palapa
Pada masa pemerintahan Ratu Tribhuwanatunggadewi terjadi pemberontakan yang dikenal dengan nama pemberontakan Sadeng. Pada waktu itu yang menjadi perdana menteri adalah Arya Tadah. Karena terganggu kesehatannya, Arya Tadah mengusulkan agar Gajah Mada diangkat menjadi Panglima Majapahit.

Usul Arya Tadah itu diterima oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi dan selanjutnya Gajah Mada diangkat menjadi pemimpin pasukan Kerajaan Majapahit untuk memadamkan pemberontakan Sadeng. Namun ketika Gajah Mada sedang membicarakan siasat perang ia mendapat rintangan dari seorang menteri kerajaan yang bernama Ra Kembar (pihak golongan Dharmaputra). Gajah Mada tidak menghiraukan rintangan itu dan atas bantuan dari pasukan Melayu yang dipimpin oleh Adityawarman, pemberontakan sadeng dapat dipadamkan. Sebagai penghargaan atas jasanya itu, pada tahun 1331 M Gajah Mada diangkat menjadi Mangkubumi Majapahit. Ia menggantikan kedudukan Arya Tadah.

Saat upacara pelantikan, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya dengan nama Sumpah Palapa (lengkapnya Tan Amukti Palapa) yang menyatakan Gajah Mada tidak akan hidup mewah sebelum Nusantara berhasil dipersatukan di bawah panji Kerajaan Majapahit. Untuk mencapai Persatuan Nusantara, berbagai macam cara dilakukan Gajah Mada. Bahkan selama hidupnya, Gajah Mada selalu mencurahkan segala kemampuan yang dimilikinya untuk mencapai tujuannya itu. Cita-cita yang dijalankannya begitu tegas itu menimbulkan peristiwa yang sangat pahit, yaitu Peristiwa Bubat atau Peristiwa Sunda. Gajah Mada wafat tahun 1364 M. Dengan wafatnya Gajah Mada, Kerajaan Majapahit kehilangan seorang yang sangat diandalkan dan sulit dicarikan gantinya

Raja-raja Majapahit
Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok
1. Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 - 1309)
2. Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 - 1328)
3. Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 - 1350)
4. Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 - 1389)
5. Wikramawardhana (1389 - 1429)
6. Suhita (1429 - 1447)
7. Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 - 1451)
8. Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 - 1453)
9. Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 - 1466)
10. Pandanalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 - 1468)
11. Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 - 1478)
12. Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 - 1498)
13. Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)

5. Kejayaan Majapahit
Penguasa Majapahit paling utama ialah Hayam Wuruk, yang memerintah dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya, keraton Majapahit diperkirakan telah dipindahkan ke Trowulan (sekarang masuk wilayah Mojokerto).

Gajah Mada, seorang patih dan bupati Majapahit dari 1331 ke 1364, memperluas kekuasaan kekaisaran ke pulau sekitarnya. Pada tahun 1377, yaitu beberapa tahun sesudah kematian Gajah Mada, angkatan laut Majapahit menduduki Palembang[4], menaklukkan daerah terakhir kerajaan Sriwijaya.

Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi hampir seluas wilayah Indonesia modern, termasuk daerah-daerah Sumatra di bagian barat dan di bagian timur Maluku serta sebagian Papua (Wanin), dan beberapa negara Asia Tenggara[5]. Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja[4]. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke China

6. Kemunduran Kerajaan Majapahit
Setelah pemerintahan Raja Hayam Wuruk, keadaan Kerajaan Majapahit mengalami masa kemunduran. Pengganti Hayam Wuruk adalah menantunya yang bernama Wikrama Wardhana (1389-1429 M) suami dari Kusumawardhani (putri yang terlahir dari permaisuri). Namun, Hayam Wuruk juga mempunyai seorang anak laki-laki yang dilahirkan dari selir, bernama Wirabhumi. Ia diberi daerah kekuasaan di ujung timur Pulau Jawa yang bernama daerah Blambangan. Pada mulanya hubungan antara Wikrama Wardhana dan Wirabhumi berjalan dengan baik. Wirabhumi tetap mengakui kekuasaan pemerintahan pusat. Sekitar tahun 1400 M hubungan itu mulai retak sehingga mengakibatkan Perang Paregreg (1401-1406 M).

Meletusnya Perang Paregreg disebabkan Wirabhumi tidak puas dengan pengangkatan Suhita menjadi raja menggantikan Wikrama Wardhana. Dalam perang Paregreg itu, Wirabhumi berhasil dikalahkan (peristiwa ini menjadi dasar cerita Damarwulan-Minakjinggo).

7. Kehidupan Ekonomi
Majapahit selalu menjalankan politik bertetangga yang baik dengan kerajaan asing, seperti Kerajaan Cina, Ayodya (Siam), Champa, dan Kamboja. Hal itu terbukti sekitar tahun 1370-1381 Majapahit telah beberapa kali mengirim utusan persahabatan ke Cina. Hal itu diketahui dari berita kronik Cina dari Dinasti Ming.

Hubungan persahabatan yang dijalin dengan negara tetangga itu sangat penting artinya bagi Kerajaan Majapahit. Khususnya dalam bidang perekonomian (pelayaran dan perdagangan) karena wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit terdiri atas pulau dan daerah kepulauan serta sebagai sumber barang dagangan yang sangat laku di pasaran pada saat itu. Barang dagangan yang dipasarkan antara lain beras, lada, gading, timah, besi, intan, ikan, cengkeh, pala, kapas dan kayu cendana.

Dalam dunia perdagangan Kerajaan Majapahit memegang dua peranan yang sangat penting, yaitu sebagai kerajaan produsen dan sebagai kerajaan perantara.

8. Kehidupan Budaya

Gapura Bajangratu, diduga kuat menjadi gerbang masuk keraton Majapahit. Bangunan ini masih tegak berdiri di kompleks Trowulan.

Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha, Siwa, maupun Wisnu. Nagarakertagama tidak menyebut keberadaan Islam, namun tampaknya ada anggota keluarga istana yang beragama Islam pada waktu itu.

Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah yang paling ahli menggunakannya. Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris dengan memanfaatkan getah pohon anggur dan gula merah sebagai perekat batu bata. Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Candi Bajangratu di Trowulan, Mojokerto

Bukti-bukti perkembangan kebudayaan di Kerajaan Majapahit dapat diketahui melalui peninggalan-peninggalan berikut.

Candi
Antara lain Candi Panataran (Blitar), Candi Tegalwangi dan Surawana (Pare, Kediri), Candi Sawentar (Blitar), Candi Sumberjati (blitar), Candi Tikus (Trowulan), dan bangunan-bangunan purba lainnya yang terdapat di daerah Trowulan.

Sastra
Hasil sastra zaman Majapahit awal di antaranya:
  • Kitab Negarakertagama, karangan Mpu Prapanca (tahun 1365).
  • Kitab Sutasoma, karangan Mpu Tantular.
  • Kitab Arjunawiwaha, karangan Mpu Tantular.
  • Kitab Kunjarakarna, tidak diketahui pengarangnya.
  • Kitab Parthayajna, tidak diketahui pengarangnya

Arca

Arca pertapa Hindu dari masa Majapahit akhir. Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman

9. Struktur pemerintahan
Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah selama perkembangan sejarahnya[12]. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang otoritas politik tertinggi

Aparat birokrasi
Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:
  • Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja 
  • Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan 
  • Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan 
  • Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan 
Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.

Pembagian wilayah
Di bawah raja Majapahit terdapat pula sejumlah raja daerah, yang disebut Paduka Bhattara. Mereka biasanya merupakan saudara atau kerabat dekat raja dan bertugas dalam mengumpulkan penghasilan kerajaan, penyerahan upeti, dan pertahanan kerajaan di wilayahnya masing-masing. Dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre. Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:
1. Daha 
2. Jagaraga 
3. Kabalan
4. Kahuripan 
5. Keling 
6. Kelinggapura
7. Kembang Jenar 
8. Matahun 
9. Pajang
10. Singhapura 
11. Tanjungpura 
12. Tumapel
13. Wengker 

Konsep Dasar dan Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia

Konsep Dasar dan Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia
1. Konsep Dasar Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.10 Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut. Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable). Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapapun bengisnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki hak-hak tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insani.

Asal-usul gagasan mengenai hak asasi manusia seperti dipaparkan di atas bersumber dari teori hak kodrati (natural rights theory). Teori kodrati mengenai hak itu bermula dari teori hukum kodrati (natural law theory), yang terakhir ini dapat dirunut kembali sampai jauh ke belakang hingga ke zaman kuno dengan filsafat Stoika hingga ke zaman modern melalui tulisantulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas.11 Hugo de Groot seorang ahli hukum Belanda yang dinobatkan sebagai “bapak hukum internasional”, atau yang lebih dikenal dengan nama Latinnya, Grotius, mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrati Aquinas dengan memutus asal-usulnya yang teistik dan membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang rasional. Dengan landasan inilah kemudian, pada perkembangan selanjutnya, salah seorang kaum terpelajar pasca-Renaisans, John Locke, mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi munculnya revolusi hak dalam revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18.

Dalam bukunya yang telah menjadi klasik, “The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration” Locke mengajukan sebuah postulasi pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh negara.12 Melalui suatu ‘kontrak sosial’ (social contract), perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut ini diserahkan kepada negara. Tetapi, menurut Locke, apabila penguasa negara mengabaikan kontrak sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat di negara itu bebas menurunkan sang penguasa dan menggantikannya dengan suatu pemerintah yang bersedia menghormati hak-hak tersebut. Melalui teori hak-hak kodrati ini, maka eksistensi hak-hak individu yang pra-positif mendapat pengakuan kuat.

Gagasan hak asasi manusia yang berbasis pada pandangan hukum kodrati itu mendapat tantangan serius pada abad 19. Edmund Burke, orang Irlandia yang resah dengan Revolusi Perancis, adalah salah satu di antara penentang teori hak-hak kodrati. Burke menuduh para penyusun “Declaration of the Rights of Man and of the Citizen” mempropagandakan “rekaan yang menakutkan mengenai persamaan manusia”. Deklarasi yang dihasilkan dari Revolusi Perancis itu baginya merupakan “ide-ide yang tidak benar dan harapan-harapan yang sia-sia pada manusia yang sudah ditakdirkan menjalani hidup yang tidak jelas dengan susah payah.” Tetapi penentang teori hak kodrati yang paling terkenal adalah Jeremy Bentham, seorang filsuf utilitarian dari Inggris. Kritik Bentham yang mendasar terhadap teori tersebut adalah bahwa teori hak-hak kodrati itu tidak bisa dikonfirmasi dan diverifikasi kebenarannya. Bagaimana mungkin mengetahui dari mana asal hak-hak kodrati itu, apa sajakah hak itu dan apa isinya?

Bentham dengan sinis menertawakan teori hak-hak kodrati itu dengan mengatakan: “Bagi saya, hak sebagai kata benda (berlawanan dengan kata sifat), adalah anak kandung hukum: dari hukum riil lahir pula hak-hak riil; namun dari hukum imajiner; hukum kodrati yang dikhayal dan direka para penyair, ahli-ahli pidato dan saudagar dalam rupa racun moral dan intelektual lahirlah hak-hak rekaan ... Hak-hak kodrati adalah omong kosong yang dungu: hak yang kodrati dan tidak bisa dicabut adalah omong kosong yang retorik, atau puncak dari omong kosong yang berbahaya!”. Lebih lanjut, dalam sebuah risalahnya yang lain, Bentham mengulang kembali cercaan sinisnya pada teori hak-hak kodrati. Ia menulis, “Bagi saya hak dan hukum merupakan hal yang sama, karena saya tidak mengenal hak yang lain. Hak bagi saya adalah anak kandung hukum: dari berbagai fungsi hukum lahirlah beragam jenis hak. Hak kodrati adalah seorang anak yang tidak pernah punya seorang ayah”. Serangan dan penolakan kalangan utilitarian itu kemudian diperkuat oleh mazhab positivisme, yang dikembangkan belakangan dengan lebih sistematis oleh John Austin. Kaum positivis berpendapat bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan dari hukum negara. Satu-satunya hukum yang sahih adalah perintah dari yang berdaulat. Ia tidak datang dari “alam” atau “moral”.

Dari sinilah dimulai internasionalisasi gagasan hak asasi manusia. Sejak saat itulah masyarakat internasional bersepakat menjadikan hak asasi manusia sebagai “suatu tolok ukur pencapaian bersama bagi semua rakyat dan semua bangsa” (“a commond standard of achievement for all peoples and all nations”). Hal ini ditandai dengan diterimanya oleh masyarakat internasional suatu rezim hukum hak asasi manusia internasional yang disiapkan oleh PBB atau apa yang kemudian lebih dikenal dengan “International Bill of Human Rights”.

Dari paparan di atas cukup jelas bahwa teori hak-hak kodrati telah berjasa dalam menyiapkan landasan bagi suatu sistem hukum yang dianggap superior ketimbang hukum nasional suatu negara, yaitu norma hak asasi manusia internasional. Namun demikian, kemunculannya sebagai norma internasional yang berlaku di setiap negara membuatnya tidak sepenuhnya lagi sama dengan konsep awalnya sebagai hak-hak kodrati. Substansi hak-hak yang terkandung di dalamnya juga telah jauh melampaui substansi hak-hak yang terkandung dalam hak kodrati (sebagaimana yang diajukan John Locke). Kandungan hak dalam gagasan hak asasi manusia sekarang bukan hanya terbatas pada hak-hak sipil dan politik, tetapi juga mencakup hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan belakangan ini substansinya bertambah dengan munculnya hak-hak “baru”, yang disebut “hak-hak solidaritas”. Dalam konteks keseluruhan inilah seharusnya makna hak asasi manusia dipahami dewasa ini.

2. Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia
Karel Vasak, seorang ahli hukum dari Perancis, membantu kita untuk memahami dengan lebih baik perkembangan substansi hak-hak yang terkandung dalam konsep hak asasi manusia. Vasak menggunakan istilah “generasi” untuk menunjuk pada substansi dan ruang lingkup hak-hak yang diprioritaskan pada satu kurun waktu tertentu. Ahli hukum dari Perancis itu membuat kategori generasi berdasarkan slogan Revolusi Perancis yang terkenal itu, yaitu: “kebebasan, persamaan, dan persaudaraan”. Menurut Vasak, masing-masing kata dari slogan itu, sedikit banyak mencerminkan perkembangan dari kategori-kategori atau generasi-generasi hak yang berbeda.

Penggunaan istilah “generasi” dalam melihat perkembangan hak asasi manusia memang bisa menyesatkan. Tetapi model Vasak tentu saja tidak dimaksudkan sebagai representasi dari kehidupan yang riil, model ini tak lebih dari sekedar suatu ekspresi dari suatu perkembangan yang sangat rumit. Bagaimana persisnya generasi-generasi hak yang dimaksud oleh Vasak? Di bawah ini garis-garis besarnya dielaborasi lebih lanjut.

(a) Generasi Pertama Hak Asasi Manusia
“Kebebasan” atau “hak-hak generasi pertama” sering dirujuk untuk mewakili hak-hak sipil dan politik, yakni hak-hak asasi manusia yang “klasik”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan untuk melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan absolutisme negara dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya -sebagaimana yang muncul dalam revolusi hak yang bergelora di Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18. Karena itulah hak-hak generasi pertama itu dikatakan sebagai hak-hak klasik. Hak-hak tersebut pada hakikatnya hendak melindungi kehidupan pribadi manusia atau menghormati otonomi setiap orang atas dirinya sendiri (kedaulatan individu). Termasuk dalam generasi pertama ini adalah hak hidup, keutuhan jasmani, hak kebebasan bergerak, hak suaka dari penindasan, perlindungan terhadap hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan untuk berkumpul dan menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari hukum yang berlaku surut, dan hak mendapatkan proses peradilan yang adil.

Hak-hak generasi pertama itu sering pula disebut sebagai “hak-hak negatif”. Artinya tidak terkait dengan nilai-nilai buruk, melainkan merujuk pada tiadanya campur tangan terhadap hak-hak dan kebebasan individual. Hak-hak ini menjamin suatu ruang kebebasan di mana individu sendirilah yang berhak menentukan dirinya sendiri. Hak-hak generasi pertama ini dengan demikian menuntut ketiadaan intervensi oleh pihak-pihak luar (baik negara maupun kekuatan-kekuatan sosial lainnya) terhadap kedaulatan individu. Dengan kata lain, pemenuhan hak-hak yang dikelompokkan dalam generasi pertama ini sangat tergantung pada absen atau minusnya tindakan negara terhadap hakhak tersebut. Jadi negara tidak boleh berperan aktif (positif) terhadapnya, karena akan mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan tersebut. Inilah yang membedakannya dengan hak-hak generasi kedua, yang sebaliknya justru menuntut peran aktif negara. Hampir semua negara telah memasukkan hak-hak ini ke dalam konstitusi mereka.

(b) Generasi Kedua Hak Asasi Manusia
“Persamaan” atau “hak-hak generasi kedua” diwakili oleh perlindungan bagi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang, mulai dari makan sampai pada kesehatan. Negara dengan demikian dituntut-bertindak lebih aktif, agar hak-hak tersebut dapat terpenuhi atau tersedia. Karena itu hak-hak generasi kedua ini dirumuskan dalam bahasa yang positif: “hak atas” (“right to”), bukan dalam bahasa negatif: “bebas dari” (“freedom from”). Inilah yang membedakannya dengan hak-hak generasi pertama. Termasuk dalam generasi kedua ini adalah hak atas pekerjaan dan upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan yang sehat, dan hak atas perlindungan hasil karya ilmiah, kesusasteraan, dan kesenian.

Hak-hak generasi kedua pada dasarnya adalah tuntutan akan persamaan sosial. Hak-hak ini sering pula dikatakan sebagai “hak-hak positif”. Yang dimaksud dengan positif di sini adalah bahwa pemenuhan hak-hak tersebut sangat membutuhkan peran aktif negara. Keterlibatan negara di sini harus menunjukkan tanda plus (positif), tidak boleh menunjukkan tanda minus (negatif). Jadi untuk memenuhi hak-hak yang dikelompokkan ke dalam generasi kedua ini, negara diwajibkan untuk menyusun dan menjalankan programprogram bagi pemenuhan hak-hak tersebut. Contohnya, untuk memenuhi hak atas pekerjaan bagi setiap orang, negara harus membuat kebijakan ekonomi yang dapat membuka lapangan kerja. Sering pula hak-hak generasi kedua ini diasosiasikan dengan paham sosialis, atau sering pula dianggap sebagai “hak derivatif” yang karena itu dianggap bukan hak yang “riil”. Namun demikian, sejumlah negara (seperti Jerman dan Meksiko) telah memasukkan hak-hak ini dalam konstitusi mereka.

(c) Generasi Ketiga Hak Asasi Manusia
“Persaudaraan” atau “hak-hak generasi ketiga” diwakili oleh tuntutan atas “hak solidaritas” atau “hak bersama”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih negara-negara berkembang atau Dunia Ketiga atas tatanan internasional yang adil. Melalui tuntutan atas hak solidaritas itu, negara-negara berkembang menginginkan terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif bagi terjaminnya hak-hak berikut:
  1. Hak atas pembangunan;
  2. Hak atas perdamaian;
  3. Hak atas sumber daya alam sendiri;
  4. Hak atas lingkungan hidup yang baik; dan
  5. Hak atas warisan budaya sendiri.
Inilah isi generasi ketiga hak asasi manusia itu. Hak-hak generasi ketiga ini sebetulnya hanya mengkonseptualisasi kembali tuntutan-tuntutan nilai berkaitan dengan kedua generasi hak asasi manusia terdahulu.

Di antara hak-hak generasi ketiga yang sangat diperjuangkan oleh negara-negara berkembang itu, terdapat beberapa hak yang di mata negara-negara barat agak kontroversial.26 Hak-hak itu dianggap kurang pas dirumuskan sebagai “hak asasi”. Klaim atas hak-hak tersebut sebagai “hak” baru dianggap sahih apabila terjawab dengan memuaskan pertanyaanpertanyaan berikut: siapa pemegang hak tersebut, individu atau negara?; siapa yang bertanggungjawab melaksanakannya, individu, kelompok atau negara? Bagaimana mekanisme pelaksanaannya? Pembahasan terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar ini telah melahirkan keraguan dan optimisme di kalangan para ahli dalam menyambut hak-hak generasi ketika itu. Tetapi dari tuntutannya jelas bahwa pelaksanaan hak-hak semacam itu jika memang bisa disebut sebagai “hak” akan bergantung pada kerjasama internasional, dan bukan sekedar tanggungjawab suatu negara.

(d) Keberkaitan (Indivisibility) dan Kesalingtergantungan (Interdependence)
Antonio Cassese pernah mengatakan bahwa Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia merupakan buah dari beberapa ideologi, suatu titik temu antara berbagai konsep mengenai manusia dan lingkungannya. Dengan demikian, apa yang ada dalam Deklarasi tersebut tidak lain adalah kompromi.

Negara Barat mungkin memang telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi pendekatan internasional terhadap hak asasi manusia. Kontribusi-kontribusi tersebut tidak diragukan lagi telah membantu pengembangan teori modern hak asasi manusia. Menurut catatan sejarah, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia merupakan produk suatu era yang didominasi oleh “Negara Barat”, dan sedikitnya merefleksikan suatu konsep barat tentang hak asasi manusia. Terdapat pengaruh faham liberal-Barat dalam draft pertama Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang dianggap sebagai “suatu standar bersama yang merupakan sebuah pencapaian bagi seluruh umat manusia dan seluruh bangsa.” Tetapi juga dapat dilihat di dalamnya kontribusi kaum Sosialis, terutama mengenai apa yang kemudian disebut Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Adalah Karl Marx, yang melalui kritiknya atas konsep “kebebasan”, yang memberi kontribusi sangat penting bagi pandangan universal terhadap hak asasi manusia. Pemikirannya kemudian berkembang ke suatu ide untuk saling menyeimbangkan antara konsep liberal kebebasan individu dan konsep hak warga negara. Di kemudian hari, negara-negara dunia ketiga juga memberikan kontribusi penting dalam menegaskan eksistensi hak asasi manusia. Dekolonisasi dan munculnya sejumlah negara-negara merdeka baru sedikit banyak merefleksikan kemenangan hak asasi manusia, terutama hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) dalam forum internasional. Kondisi inilah yang di kemudian hari berujung pada pengakuan terhadap hak kolektif atau hak kelompok.

Dengan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa semua pihak yang berperan dalam apa yang kita kenal sekarang sebagai dunia modern telah turut memberi kontribusi penting dalam konteks pengakuan universal terhadap hak asasi manusia. Ini berarti bahwa dalam konteks historis, konsep hak asasi manusia telah diakui secara universal.

Terlepas dari inkosistensi dan multi-interpretasi prinsip-prinsip hak asasi manusia, terutama dalam hal intervensi kemanusiaan atau prinsip non-intervensi, negara-negara anggota PBB tetap mencapai kemajuan dalam menegakkan hak asasi manusia. Perbedaan pandangan antara negara-negara maju/Barat, yang lebih menekankan pentingnya hak-hak individu, sipil dan politik, dengan negara-negara berkembang/Timur, yang lebih menekankan pentingnya hak-hak kelompok, ekonomi dan sosial, berujung pada penciptaan suatu kesepakatan bahwa hak asasi manusia harus diperhitungkan sebagai satu kesatuan yang menyeluruh. Artinya, hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya saling berkaitan (indivisible) dan saling membutuhkan (interdependence), dan harus diterapkan secara adil baik terhadap individu maupun kelompok. Hubungan antara berbagai hak yang berbeda sangatlah kompleks dan dalam prakteknya tidak selalu saling menguatkan atau saling mendukung. Sebagai contoh, hak politik, seperti hak untuk menjadi pejabat publik, tidak dapat dicapai tanpa terlebih dahulu terpenuhinya kepentingan sosial dan budaya, seperti tersedianya sarana pendidikan yang layak.

(3) Universalisme dan Relativisme Budaya
Sejauh ini pembahasan telah menguraikan asal-usul munculnya hak asasi manusia sebagai norma internasional yang berciri universal serta perkembangannya dalam ilustrasi generasi-generasi hak.

Salah satu wacana yang paling hangat dalam masa dua dekade terakhir adalah konflik antara dua “ideologi” yang berbeda dalam penerapan hak asasi manusia dalam skala nasional, yaitu universalisme (universalism) dan relativisme budaya (cultural relativism). Di satu sisi, universalisme menyatakan bahwa akan semakin banyak budaya “primitif” yang pada akhirnya berkembang untuk kemudian memiliki sistem hukum dan hak yang sama dengan budaya Barat. Relativisme budaya, di sisi lain, menyatakan sebaliknya, yaitu bahwa suatu budaya tradisional tidak dapat diubah. Berikut ini adalah pembahasan lebih lanjut tentang dua ‘ideologi’ tersebut.

(a) Teori Universalis (Universalist Theory)
Hak Asasi Manusia Doktrin kontemporer hak asasi manusia merupakan salah satu dari sejumlah perspektif moral universalis. Asal muasal dan perkembangan hak asasi manusia tidak dapat terpisahkan dari perkembangan universalisme nilai moral. Sejarah perkembangan filosofis hak asasi manusia dapat dijelaskan dalam sejumlah doktrin moral khusus yang, meskipun tidak mengekspresikan hak asasi manusia secara menyeluruh, tetap menjadi prasyarat filosofis bagi doktrin kontemporer. Hal tersebut mencakup suatu pandangan moral dan keadilan yang berasal dari sejumlah domain pra-sosial, yang menyajikan dasar untuk membedakan antara prinsip dan kepercayaan yang “benar” dan yang “konvensional”. Prasyarat yang penting bagi pembelaan hak asasi manusia di antaranya adalah konsep individu sebagai pemikul hak “alamiah” tertentu dan beberapa pandangan umum mengenai nilai moral yang melekat dan adil bagi setiap individu secara rasional.

Hak asasi manusia berangkat dari konsep universalisme moral dan kepercayaan akan keberadaan kode-kode moral universal yang melekat pada seluruh umat manusia. Universalisme moral meletakkan keberadaan kebenaran moral yang bersifat lintas budaya dan lintas sejarah yang dapat diidentifikasi secara rasional. Asal muasal universalisme moral di Eropa terkait dengan tulisan-tulisan Aristoteles. Dalam karyanya Nicomachean Ethics, Aristoteles secara detail menguraikan suatu argumentasi yang mendukung keberadaan ketertiban moral yang bersifat alamiah. Ketertiban alam ini harus menjadi dasar bagi seluruh sistem keadilan rasional. Kebutuhan atas suatu ketertiban alam kemudian diturunkan dalam serangkaian kriteria universal yang komprehensif untuk menguji legitimasi dari sistem hukum yang sebenarnya “buatan manusia”. Oleh karenanya, kriteria untuk menentukan suatu sistem keadilan yang benarbenar rasional harus menjadi dasar dari segala konvensi-konvensi sosial dalam sejarah manusia. “Hukum alam” ini sudah ada sejak sebelum menusia mengenal konfigurasi sosial dan politik. Sarana untuk menentukan bentuk dan isi dari keadilan yang alamiah ada pada “reason”, yang terbebas dari pertimbangan dampak dan praduga.

Dasar dari doktrin hukum alam adalah kepercayaan akan eksistensi suatu kode moral alami yang didasarkan pada identifikasi terhadap kepentingan kemanusiaan tertentu yang bersifat fundamental. Penikmatan kita atas kepentingan mendasar tersebut dijamin oleh hak-hak alamiah yang kita miliki. Hukum alam ini seharusnya menjadi dasar dari sistem sosial dan politik yang dibentuk kemudian. Oleh sebab itu hak alamiah diperlakukan sebagai sesuatu yang serupa dengan hak yang dimiliki individu terlepas dari nilai-nilai masyarakat maupun negara. Dengan demikian hak alamiah adalah valid tanpa perlu pengakuan dari pejabat politis atau dewan manapun. Pendukung pendapat ini adalah filsuf abad ke 17, John Locke, yang menyampaikan argumennya dalam karyanya, Two Treaties of Government (1688). Intisari pandangan Locke adalah pengakuan bahwa seorang individu memiliki hak-hak alamiah yang terpisah dari pengakuan politis yang diberikan negara pada mereka. Hak-hak alamiah ini dimiliki secara terpisah dan dimiliki lebih dahulu dari pembentukan komunitas politik manapun. Locke melanjutkan argumentasinya dengan menyatakan bahwa tujuan utama pelantikan pejabat politis di suatu negara berdaulat seharusnya adalah untuk melindungi hak-hak alamiah mendasar individu. Bagi Locke, perlindungan dan dukungan bagi hak alamiah individu merupakan justifikasi tunggal dalam pembentukan pemerintahan. Hak alamiah untuk hidup, kebebasan dan hak milik menegaskan batasan bagi kewenangan dan jurisdiksi negara. Negara hadir untuk melayani kepentingan dan hak-hak alamiah masyarakatnya, bukan untuk melayani monarki atau sistem.

Dalam universalisme, individu adalah sebuah unit sosial yang memiliki hak-hak yang tidak dapat dipungkiri, dan diarahkan pada pemenuhan kepentingan pribadi. Dalam model relativisme budaya, suatu komunitas adalah sebuah unit sosial. Dalam hal ini tidak dikenal konsep seperti individualisme, kebebasan memilih dan persamaan. Yang diakui adalah bahwa kepentingan komunitas menjadi prioritas utama. Doktrin ini telah diterapkan di berbagai negara yang menentang setiap penerapan konsep hak dari Barat dan menganggapnya sebagai imperialisme budaya. Namun demikian, negaranegara tersebut mengacuhkan fakta bahwa mereka telah mengadopsi konsep nation-state dari Barat dan tujuan modernisasi sebenarnya juga mencakup kemakmuran secara ekonomi.

(b) Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativism Theory)
Isu relativisme budaya (cultural relativism) baru muncul menjelang berakhirnya Perang Dingin sebagai respon terhadap klaim universal dari gagasan hak asasi manusia internasional. Gagasan tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa kebudayaan merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral. Karena itu hak asasi manusia dianggap perlu dipahami dari konteks kebudayaan masing-masing negara. Semua kebudayaan mempunyai hak hidup serta martabat yang sama yang harus dihormati. Berdasarkan dalil ini, para pembela gagasan relativisme budaya menolak universalisasi hak asasi manusia, apalagi bila ia didominasi oleh satu budaya tertentu. Gagasan bahwa hak asasi manusia terikat dengan konteks budaya umumnya diusung oleh negara-negara berkembang dan negara-negara Islam.

Gagasan ini begitu mengemuka pada dasawarsa 1990-an terutama menjelang Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia di Wina, disuarakan dengan lantang oleh para pemimpin dan cendikiawan (yang biasanya merepresentasikan kepentingan status quo) di negara-negara tersebut. Para pemimpin negaranegara di kawasan Lembah Pasifik Barat, misalnya, mengajukan klaim bahwa apa yang mereka sebut sebagai “nilai-nilai Asia” (Asian Values) lebih relevan untuk kemajuan di kawasan ini, ketimbang “nilai-nilai Barat” (seperti hak asasi manusia dan demokrasi) yang dinilai tidak begitu urgen bagi bangsa-bangsa Asia. Yang paling terkenal dalam mengadvokasi “nilai-nilai Asia” itu adalah Lee Kwan Yew, Menteri Senior Singapura, dan Mahathir Mohammad, mantan Perdana Menteri Malaysia.

“Di Asia Tenggara yang dicari itu tidak begitu berkaitan dengan demokrasi, melainkan dengan pemerintahan yang bertanggungjawab, yakni suatu kepemimpinan yang transparan dan tidak korup”, ujar Lee Kwan Yew dalam sebuah ceramahnya di Jepang. Menurut Lee, yang terlebih dahulu dicari oleh bangsa-bangsa di Asia adalah pembangunan ekonomi yang ditopang dengan kepemimpinan yang kuat, bukan memberikan kebebasan dan hak asasi manusia. Yang terakhir itu akan diberikan apabila negara-negara di kawasan ini mampu menstabilkan pertumbuhan ekonomi dan memberi kesejahteraan kepada rakyat mereka. Dalam nada yang hampir sama Mahathir Mohammad berpendapat, “saat kemiskinan dan tidak tersedianya pangan yang memadai masih merajalela, dan kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat tidak terjamin, maka prioritas mesti diberikan kepada pembangunan ekonomi”. Atas dasar ini Mahathir menolak pemaksaan standar-standar hak asasi manusia dari satu negara ke negara lain. “Asia tampaknya tidak memiliki hak apapun untuk menetapkan nilai-nilainya sendiri tentang hak asasi manusia,” kecam Mahathir terhadap upaya-upaya internasionalisasi hak asasi manusia. Singkatnya, baik bagi Lee maupun Mahathir, ide hak asasi manusia tidak urgen bagi bangsa-bangsa Asia.

Apa sebetulnya yang ingin dikemukakan oleh elit yang memerintah di Asia dengan bertameng di balik “nilai-nilai Asia” itu? Apakah memang untuk tujuan memajukan hak asasi manusia?, atau ada kepentingan lain di luar hak asasi manusia yang diinginkan oleh mereka? Perdebatan mengenai isu ini dengan gamblang menunjukkan pada kita bahwa di balik gagasan “nilai-nilai Asia” para pemimpin di kawasan ini ingin mengemukakan pembenaran bagi penyimpangan-penyimpangan substansial dari tafsiran internasional yang baku tentang kaidah-kaidah hak asasi manusia. Dengan mengajukan “nilainilai Asia” mereka menolak dijadikannya hak asasi manusia sebagai parameter dalam kerja sama pembangunan internasional. Lebih jauh sebetulnya di balik gagasan “nilai-nilai Asia” para pemimpin di kawasan itu gamang dengan diterapkannya “conditionality” dalam kerja sama pembangunan. “Conditionality” yang dimaksud adalah menjadikan catatan hak asasi manusia sebagai persyaratan dapat-tidaknya kerja sama pembangunan dilakukan. Singkatnya, ada kepentingan tersembunyi (vested interest) para penguasa di kawasan itu dalam upaya advokasi “nilai-nilai Asia” sehebat-hebatnya.

Relativisme budaya (cultural relativism), dengan demikian, merupakan suatu ide yang sedikit banyak dipaksakan, karena ragam budaya yang ada menyebabkan jarang sekali adanya kesatuan dalam sudut pandang mereka dalam berbagai hal, selalu ada kondisi di mana “mereka yang memegang kekuasaan yang tidak setuju”. Ketika suatu kelompok menolak hak kelompok lain, seringkali itu terjadi demi kepentingan kelompok itu sendiri. Oleh karena itu hak asasi manusia tidak dapat secara utuh bersifat universal kecuali apabila hak asasi manusia tidak tunduk pada ketetapan budaya yang seringkali dibuat tidak dengan suara bulat, dan dengan demikian tidak dapat mewakili setiap individu.

Sebagai contoh, dalam pandangan liberal Barat, setiap sistem selain sistem liberal dominan tidak akan kondusif untuk menegakkan hak asasi manusia. Penganut faham liberal berpendapat bahwa setiap sistem politik selain liberal tidak dapat melindungi dan memajukan hak asasi manusia. Oleh karenanya, menurut mereka, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia hanya dapat dicapai dengan mengubah sistem politik itu sendiri. Di sisi lain, mereka mengatakan bahwa hanya sistem liberal yang dapat menjamin pencapaian hak asasi manusia. Jika pendapat ini dianggap absolut, maka hak asasi manusia hanya akan menjadi ajang pertempuran ideologi dengan satu tujuan, yaitu untuk menegakkan rezim liberal di seluruh dunia. Ini hanya akan menciptakan suatu lingkaran perdebatan dan konfrontasi mengenai interpretasi dan implementasi hak asasi manusia.

Terdapat perbedaan dalam konsep filosofis hak asasi manusia. Negaranegara Barat selalu membela prioritas mereka mengenai hak asasi manusia. Bagi mereka, hak asasi manusia telah secara alamiah dimiliki oleh seorang individu dan harus diakui secara penuh dan dihormati oleh pemerintah. Bagi negara-negara Timur dan non-liberal, hak asasi manusia dianggap ada hanya dalam suatu masyarakat dan dalam suatu negara. Hak asasi manusia tidak ada sebelum adanya negara, melainkan diberikan oleh negara. Dengan demikian, negara dapat membatasi hak asasi manusia jika diperlukan.

Perbedaan lain muncul pada tingkat implementasi dalam memajukan dan menegakkan hak asasi manusia. Bagi negara-negara Barat, konsep “keseimbangan” antara kepentingan untuk menghormati urusan dalam negeri negara asing dan keperluan untuk melakukan apapun yang mungkin bagi penghormatan terhadap hak asasi manusia seorang individu adalah sebagai berikut: dalam kasus di mana pelanggaran yang dilakukan di negara lain telah menjadi semakin serius, sistematis dan skalanya meluas, negara lain atau organisasi internasional diperbolehkan untuk campur tangan, bahkan apabila hal tersebut berpotensi menimbulkan perdebatan, ketegangan dan konflik. Sementara dalam pandangan negara-negara Timur, intervensi terhadap pelanggaran yang terjadi di negara lain dan kemudian menuduh pemerintah negara tersebut telah gagal menegakkan hak asasi manusia adalah suatu tindakan yang tidak logis dan tidak layak.

Contoh lebih jauh adalah anggapan adanya “dominasi kultural” yang dilakukan oleh Barat terhadap perspektif Timur. Dominasi kultural berarti bahwa mereka yang berasal dari kelompok dominan berpendapat bahwa apa yang baik bagi mereka juga pasti baik bagi seluruh isi planet. Sebagai analogi, sistem nasional atau regional yang dominan memiliki kecenderungan untuk menganggap dirinya sebagai universal bagi yang lainnya. Dalam hal hak asasi manusia, kecenderungan tersebut sampai pada titik di mana ada tekanan politik untuk mengakui satu generasi atas generasi lainnya. Hasilnya adalah suatu faham hak asasi manusia yang ideologis dan interpretasi yang bersifat politis terhadap hak-hak tersebut.

Harus diingat bahwa gagasan tentang “dominasi kultural” Barat merupakan salah satu kritik terkuat dari negara-negara Timur, terutama negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara. Mereka menyatakan bahwa konsep hak di Barat yang bersifat destruktif dan sangat individualis tidak sesuai dengan nilai-nilai dan budaya Asia, di mana komunitas harus diutamakan atas individu. Para pemimpin Asia menentang apa yang mereka sebut sebagai “imperialisme budaya” nilai-nilai barat, dan menuduh Barat telah mencoba untuk memelihara budaya kolonial dengan memaksakan suatu konsep hak yang tidak mencerminkan budaya Asia.

(c) Memadukan Universalisme dengan Pluralisme
Telah diakui secara umum bahwa dalam prakteknya hak asasi manusia dikondisikan oleh konteks sejarah, tradisi, budaya, agama, dan politik-ekonomi yang sangat beragam. Tetapi dengan segala keberagaman tersebut, tetap terdapat nilai-nilai universal yang berpengaruh. Martabat manusia, kebebasan, persamaan dan keadilan merupakan sebagian nilai yang mengesampingkan perbedaan dan merupakan milik kemanusiaan secara utuh. Lepas dari adanya berbagai perdebatan, universalitas dan keterkaitan (indivisibility) hak asasi manusia merupakan bagian dari warisan kemanusiaan yang dinikmati umat manusia di masa sekarang

Tidaklah mudah untuk memaksakan konsep universalitas hak asasi manusia kepada beragam tradisi, budaya dan agama. Oleh karena itu penting untuk menggali kesamaan konsep yang prinsipil, yaitu martabat umat manusia. Seluruh agama, sistem moral dan filosofi telah mengakui martabat manusia sebagai individu dengan berbagai ragam cara dan sistem. Tidak dapat disangkal bahwa hak untuk mendapatkan kehidupan, misalnya, mendapatkan pengakuan universal sebagai suatu “hak”. Di sisi lain perbudakan atau ketiadaan kebebasan, misalnya, sangat bertentangan secara alamiah dengan martabat manusia.

Bertrand Ramcharan, seorang profesor hukum di Universitas Columbia, mendefinisikan konsep universalitas hak asasi manusia melalui pertanyaanpertanyaan sederhana. Apakah manusia ingin hidup atau mati? Apakah manusia mau disiksa? Apakah manusia mau hidup bebas atau hidup dalam penjara? Apakah manusia mau diperbudak? Apakah manusia mau menyatakan pendapat khususnya mengenai bagaimana warga negara diatur dalam suatu pemerintahan? Tidak dibutuhkan suatu proses pemikiran yang rumit bagi seorang individu untuk menentukan pilihan untuk hidup atau mati, bebas atau terpenjara. “Ujian demokratis” universalitas ini merupakan dasar bagi afirmasi mengenai apa yang dianggap sebagai hak asasi manusia universal. 

Berangkat dari hal tersebut, dapat ditarik nilai dan kriteria yang diterima secara universal oleh seluruh negara. Secara praktis seluruh negara di dunia sependapat bahwa apa yang mereka akui sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia adalah: genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Ini berarti bahwa seluruh negara setuju mengenai setidaknya beberapa nilai yang mendasar. Secara prinsipil perjanjian ini kemudian berkembang menjadi setidaknya suatu inti penting dari hak asasi manusia di seluruh negara di dunia, atau setidaknya sebagian besar dari negara-negara tersebut. Hal ini juga yang menjadi landasan bahwa kesepakatan dapat dicapai untuk bentuk-bentuk hak asasi yang lainnya.

(4) Hak Perempuan sebagai Hak Asasi Manusia
Para pejuang hak-hak perempuan di berbagai wilayah dunia melontarkan kritik bahwa hukum dan sistem hak asasi manusia itu adalah sistem yang sangat maskulin dan patriarki, yang dibangun dengan cara berfikir dan dalam dunia laki-laki yang lebih memperhatikan dan kemudian menguntungkan laki-laki dan melegitimasi situasi yang tidak menguntungkan perempuan. Hal tersebut dilihat dari beberapa hal pertama, pendikotomian antara wilayah publik dan privat; kedua, konsepsi pelanggaran hak asasi manusia sebagai pelanggaran yang dilakukan oleh negara; ketiga, pendekatan ‘kesamaan’ (sameness) dan ‘perbedaan’ (differences) yang dipakai oleh beberapa instrumen pokok hak asasi manusia; keempat, pemilahan dan prioritas hak sipil dan politik, ketimbang hak ekonomi, sosial dan budaya.

Hak asasi manusia khususnya pendekatan hak asasi manusia yang konvensional lebih menekankan pengakuan jaminan terhadap hak-hak dalam lingkup publik sementara wilayah domestik tidak dijangkau demi alasan melindungi hak privasi seseorang. Pemilahan antara wilayah lingkup dan publik dan prioritas perlindungan hak pada wilayah publik sangat dilematis dalam konteks penegakan hak asasi manusia terhadap manusia yang berjenis kelamin perempuan.

Sementara perempuan yang tidak menjadi “ibu” dan banyak perempuan yang tidak pula berperan sebagai “ibu” berada pada posisi yang lemah dan tidak beruntung karena relasi timpang dan dampak dari ketertindasan tidak dijamin perlindungannya, diperlakukan sama dengan pihak (laki-laki) yang memiliki situasi yang lebih beruntung. Perlakuan sama menyebabkan situasi yang lebih senjang untuk tujuan atau hasil pencapaian keadilan. Perlakuan yang sama tidak akan menjamin perempuan dan laki-laki bisa secara sama mengakses pendidikan dan fasilitas kesehatan jika tidak ada jaminan atau landasan untuk tersedianya langkah-langkah strategis dan khusus untuk menghapus atau menghilangkan hambatan perempuan untuk mengakses secara sama terhadap pendidikan atau akses lainnya.

Selain itu, pendekatan hak asasi manusia klasik memprioritaskan dan sekaligus memilah-milah hak sipil dan politik dan meninggalkan hak ekonomi, sosial dan budaya. Penekanan tentang hak hidup, misalnya, banyak dilakukan terkait dengan hak untuk bebas dari hukuman mati. Tidak untuk menyatakan bahwa hak itu tidak penting, namun pemilihan wilayah yang diprioritaskan berdampak pada banyaknya kasus-kasus yang terkait dengan hak hidup lainnya dari aspek sosial dan budaya tidak diperlakukan setara. Misalnya, banyak perempuan yang mati pada saat melahirkan akibat layanan dan fasilitas kesehatan yang tidak memadai, perempuan migran yang mati akibat perlakuan sewenang-wenang majikan dan tidak adanya perlindungan hukum bagi mereka, bukan jadi area yang dianggap penting dalam konteks hak hidup. Padahal peristiwa ini adalah peristiwa yang sangat dekat dengan keseharian hidup perempuan.

Berbagai kritik dan advokasi yang dilontarkan atas kelemahan sistem hak asasi manusia dari perspektif pengalaman perempuan berdampak pada adanya perkembangan pemikiran baru tentang konsep hak asasi manusia.

Pemikiran para pejuang perempuan diakomodir dan diadopsi dalam hukum hak asasi manusia sejak dirumuskannya instrumen internasional yang spesifik untuk menghadapi persoalan diskriminasi terhadap perempuan, yaitu Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada tahun 1976 dan mulai berlaku pada tahun 1979. Konvensi ini meletakkan pemikiran dasar bahwa diskriminasi terhadap perempuan sebagai hasil dari relasi yang timpang di dalam masyarakat yang dilegitimasi oleh struktur politik dan termasuk hukum yang ada. Konvensi meletakkan pula strategi/ langkah-langkah khusus sementara yang perlu dilakukan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi ini menjadi salah satu kerangka kerja internasional untuk perwujudan hak-hak perempuan.

Konvensi ini dianggap sebuah lompatan yang cepat terhadap realitas masyarakat internasional yang masih bergumul dengan pandangan yang sempit dalam melihat realitas perempuan. Oleh karena itu, dalam jangka waktu yang cukup lama sejak pemberlakuannya, konvensi ini sempat tidak banyak berdampak dalam perubahan cara pandang arus besar. Dengan pandangan patriarkis yang masih kuat, pengadaan konvensi yang spesifik ini malah dianggap sebagai upaya untuk ‘mengistimewakan’ perempuan sehingga membuat hak antara laki-laki dan perempuan tidak setara, di sisi lain justru dianggap merupakan penyempitan terhadap pemaknaan hak perempuan yang seolah-olah hak perempuan hanyalah hak yang diatur dalam Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Hal ini disadari banyak pejuang hak perempuan, yang kemudian pada saat yang sama juga dilakukan segala upaya pengakuan internasional tentang persoalan diskriminasi yang sudah akut dan upaya untuk mempengaruhi cara pandang publik.

Upaya ini dimulai dengan diselenggarakannya Konferensi Internasional Tahunan Perempuan dan Tribunal Internasional Tahunan Perempuan di Mexico City pada tahun 1975 yang dilanjuti dengan Konferensi Dunia tentang Perempuan dan Forum LSM di Copenhagen 1980 dan kemudian Konferensi yang sama pun dilanjutkan pada tahun 1985 di Nairobi dan kemudian pada tahun 1990. Aktivitas ini berdampak pada kelompok-kelompok hak asasi manusia internasional di PBB.

Keberadaan Deklarasi Wina dan Kerangka Aksi (Vienne Declaration and Platform for Action) 1993 sebagai hasil dari Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia merupakan momentum baru perkembangan konsep hak asasi manusia yang melihat hak asasi manusia secara universal, integral dan saling terkait satu dengan lainnya. Tak kalah pentingnya, Deklarasi ini menegaskan konsepsi tentang hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia yang universal:

“The human rights of women and of the girl-child are an inalienable, integral and indivisible part of universal human rights. The full and equal participation of women in political, civil, economic, social and cultural life, at the national, regional and international levels, and the eradication of all forms of discrimination on grounds of sex are priority objectives of the international community”.

Beberapa Mekanisme HAM PBB yang berbasis pada perjanjian kemudian melakukan adopsi dengan mengeluarkan Komentar Umum/Rekomendasi Umum untuk mengkaji ulang persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.

1) Komite HAM untuk Hak Sipil dan Politik mengeluarkan Komentar Umum No. 28 tahun 2000 tentang Persamaan Hak antara Laki-laki dan Perempuan (pasal 3) (General Comment No. 28: Equality of rights between men and women (article 3) tahun 2000). Pada Komentar Umum tersebut komite menegaskan bahwa setiap negara yang sudah meratifikasi konvensi hak sipil dan politik, tidak saja harus mengadopsi langkah-langkah perlindungan tapi juga langkah-langkah positif di seluruh area untuk mencapai pemberdayaan perempuan yang setara dan efektif. Langkah ini termasuk pula penjaminan bahwa praktek-praktek tradisi, sejarah, agama dan budaya tidak digunakan untuk menjustifikasi pelanggaran hak perempuan. Dengan adanya Komentar Umum ini Komite ingin memastikan bahwa negara pihak dalam membuat laporan terkait hak-hak sipil dan politik harus menyediakan informasi tentang bagaimana pengalaman perempuan yang banyak dilanggar haknya dalam setiap hak yang dicantumkan dalam Konvensi.

2) Komite tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan meletakkan pula kerangka langkah-langkah khusus sementara (temporary special measures) untuk penghapusan diskriminasi langsung dan tidak langsung (direct and indirect discrimination) yang terjadi terhadap perempuan yang sangat mempengaruhi penikmatan hak asasi perempuan dalam Rekomendasi Umum No. 25 (2004).51 Dirasa penting membedakan adanya situasi khas perempuan secara biologis dan situasi yang tidak menguntungkan akibat dari proses penindasan dan situasi yang tidak setara yang cukup lama hadir. Komite menekankan bahwa posisi perempuan yang tidak beruntung tersebut perlu disikapi dengan pendekatan persamaan hasil (equality of result) sebagai tujuan dari persamaan secara substantif (subtantive equality) atau de facto tidak saja persamaan secara formal (formal equality).

3) Komite tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya mengeluarkan Komentar Umum No. 16 (2005) tentang Persamaan Hak antara Lakilaki dan Perempuan dalam menikmati seluruh hak ekonomi, sosial dan budaya (Pasal 3) (The equal right of men and women to the enjoyment of all economic, social and cultural rights (art. 3 of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights). Komite menegaskan bahwa perempuan seringkali diabaikan haknya untuk menikmati hak-hak asasi mereka karena status yang dinomorduakan oleh tradisi dan praktek budaya dan berdampak pada posisi perempuan yang tidak beruntung.

“ Many women experience distinct forms of discrimination due to the intersection of sex with such factors as race, colour, language, religion, political and other opinion, national or social origin, property, birth, or other status, such as age, ethnicity, disability, marital, refugee or migrant status, resulting in compounded disadvantage.” 

Komite mencatat ada banyak pengalaman perempuan yang tidak dapat menikmati haknya sebagaimana tercakup dalam Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya seperti hak atas perumahan yang layak, hak atas makanan yang layak, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, dan hak atas standart kesehatan yang layak dan hak atas air. Dengan rekomendasi ini, Komite meletakkan kerangka tentang persamaan (equality), non-diskriminasi (non discrimination) dan langkah-langkah sementara (temporare measures) yang menjadi acuan bagi para negara yang terikat dengan Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Perkembangan pemikiran dan konsep hak asasi manusia sebagai pemikiran yang dinamis dan senantiasa kontekstual masih akan terus berlanjut, termasuk dalam konteks hak asasi perempuan. Beberapa kritik para pejuang hak asasi manusia telah disikapi namun masih ada banyak isu yang belum selesai. Harus disadari bahwa proses membongkar cara pandang hak asasi manusia konvensional dengan pendekatan hak asasi manusia yang baru bukan proses yang mudah. Namun, upaya untuk mengefektifkan penikmatan hak secara adil adalah agenda yang tidak pernah berhenti.