Monday, 13 March 2017

FIQH INDONESIA, PENGGAGAS DAN GAGASANNYA

FIQH INDONESIA, PENGGAGAS DAN GAGASANNYA
Alquran adalah suatu kitab yang sudah dikenal diturunkan kepada nabi Muhammad saw dengan cara berangsur-angsur.[1] Jika dilihat secara harfiah maka artinya adalah “bacaan yang sempurna”merupakan suatu nama pilihan Allah swt yang sungguh tepat, karena tiada suatu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi Alquran.[2]

Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umat manusia bagi kemashlahatan dan kepentingan mereka, khususnya umat mukminin yang percaya akan kebenarannya. Kemashlahatan itu dapat berbentuk mendatangkan manfaat atau keberuntungan , maupu dalam bentuk melepaskan manusia dari kemudharatan atau kecelakaan yang akan menimpanya.[3] 

Bahkan dalam hukum Islam kedudukan Alquran sebagai sumber hukum pertama mengandung pengertian bahwa Alquran menjadi sumber dari segala sumber hukum, penggunaan sumber lain harus sesuai harus sesuai dengan petunjuk Alquran dan tidak boleh menyalahi ketentuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, bila seseorang ingin menemukan sesuatu kejadian, maka tindakan pertama yang dilakukan adalah penelusuran dalam Alquran untuk mencari jawaban terhadap permasalahan, selama hukumnya dapat diselesaikan berdasarkan Alquran.[4]

Alquran merupakan sumber hukum Islam pertama dan utama memuat kaidah-kaidah hukum fundamental (asasi) yang perlu dikaji dengan teliti dan dikembangkan lebih lanjut.[5]Dan tujuan hukum Islam itu sendiri tidak terlepas dari tujuan hidup manusia itu sendiri, yaitu mengabdi kepada Allah. Hukum buat agama Islam hanya berfungsi mengatur kehidupan manusia, baik pribadi maupun dalam hubungan kemasyarakatan yang sesuai dengan kehendak Allah, untuk kebahagiaan hidup manusia dunia dan akhirat.[6]

Karena kedudukan sebagai sumber hukum utama dan pertama bagi penetapan hukum, maka bila seseorang ingin menemukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan pertama yang harus dilakukan adalah mencari jawaban penyelesaian dari Alquran. selama hukumnya dapat diselesaika dengan Alquran, maka tidak boleh mencari jawaban dari luar Alquran.

Selain itu, sesuai dengan kedudukan Alquran sebagai sumber utama dan pokok hukum Islam, berarti Alquran itu menjadi sumber dari segala sumber hukum. Oleh karena itu jika ingin menggunakan lain diluar Alquran, maka harus sesuai dengan petunjuk Alquran dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Alquran. hal ini berarti bahwasumber-sumber hukum selain Alquran tidak boleh menyalahi apa yang telah ditetapkan Alquran.[7]

Tujuan dirumuskannya hukum Islam adalah untuk merealisasikan kemashlahatan hamba di dunia dan di akhirat. Tujuan hukum Islam baik secara global maupun secara detail ialah mencegah keusakan pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka, mengarahkan mereka pada kebenaran, keadilan dan kebaikan, serta menerangkan jalan yang harus dilalui oleh manusia.[8] 

Oleh karena itu, perlu adanya penyublimasian antara potensi rasio dan agama agar menjadi suatu kekuatan yang integral yang dapat melahirkan insan paripurna sehingga pada gilirannya mampu merespon berbagai peroblematika sosial keagamaan saat ini.

Sosok yang mampu menyublimasikan potensi rasio dan agama, seperti tersebut diatas, salah satunya adalah Ibrahim Hosen. Kemampuannya dalam melakukan sublimasi dimaksud menjadikan ia mampu tampil sebagai salah seorang figur sentral yang mampu mereplesikan ide-ide pembaharuannya dengan semangat responsif dan antisipatif.

Ibrahim Hosen adalah cendikiawan muslim Indonesia yang terkenal dengan kecemerlangan gagasan-gagasannya di bidang fiqhi. Kenyataan ini dapat dibuktikan melalui tulisannya antara lain menyongsong abad-21.[9]

Berdasarkan uraian diatas, sosok Ibrahim Hosen sebagai cendikiawan muslim Indonesia dan penggagas fiqhi di Indonesia merupaka tema sentra dari kajian makalah ini.

Ibrahim Hosen dan Gagasannya
Ibrahim Hosen lahir di Bengkulu pada tanggal 1 Januari 1917, ia adalah salah seorang cendekiawan muslim Indonesia yang memiliki wawasan intelektual luas. Karena itu, dapat dikategorikan sebagai figur sentral yang memiliki kapasitas kelimuan yang cukup representatif. Hal itu ditandai dengan sejumlah reputasi pengalaman yang pernah dijalaninya. Pengalaman-pengalamannya antara lain adalah sebagai seorang birokrat akademisi, ulama.

Ibrahim Hosen adalah seorang alumnus al-Azhar, Kairo-Mesir, pada Fakultas Syari'ah, pernah menjabat sebagai salah seorang staf pada Departemen Agama Republik Indonesia (Depag RI.) pada tahun 1961-1977, Rektor IAIN Raden Fatah (1964-1966), staf ahli Menteri Agama RI (1971-1982). Rektor PTIA (Perguruan Tinggi Ilmu Alquran) Jakarta (1971-1977) dan Ketua Komisi Farwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) 1986.[10]

Kemampuan atau ketidakmampuan pola pikir seseorang pada prinsipnya merupakan gambaran lahiriyah tentang jati diri orang tersebut yang sesungguhnya. Karena itu, ketika Ibrahim Hosen tampil dengan wawasan intelektualnya yang luas di bidang hukum Islam, maka hal itu sebenarnya telah mendeskripsikan bahwa Ibrahim Hosen adalah seorang cendikiawan muslim yang cukup prospektif pemikiran-pemikirannya di bidang fiqhi. Pemikirannya tersebut antara lain sebagai berikut.

Jika ada upaya untuk mengaplikasikan hukum Islam dalam kehidupan sosial, maka agenda mendesak yang harus disiapkan adalah visi dan misi yang jelas, dan untuk tujuan tersebut diperlukan adanya pemahaman maksimal tentang kedudukan syariah dan fiqh.

Menuruf Ibrahim Hosen, ayat-ayat Alquran itu ada yang jelas, tegas kepastian hukumnya dan tidak mengandung kemungkinan interpretasi maupun takwil. Kategori ayat-ayat seperti ini yang kemudian status hukumnya diistinbathkan dengan qath "iy al-dalalah (nash yang jelas dan pasti status hukumnya) dan ayat-ayat ini pula yang pengaplikasiannya dalam hukum Islam disebut syari'ah.

Sebaliknya, apabila ayat-ayat yang mengandung kemungkinan interpretasi atau pentakwilan, maka ayat-ayat seperti ini disebut dengan zanniy al-dalalah (nash yang tidak jelas status hukumnya).[11] Dengan demikian, ayat-ayat model inilah yang kemudian menghasilkan fiqhi. Karena itu, maka hukum-hukum fiqhipun senantiasa variatif-interpretatif.

Secara garis besar, fiqhi dan problematikanya dapat diklasiflkasikan menjadi beberapa bagian integral. Bagian-bagian tersebut sangat berpotensi untuk mempengaruhi substansial hukum-hukum fiqhi itu sendiri, bagian-bagian yang dimaksud antara lain adalah sebagai berikut:

1. Kebenaran temporer
Konsekuensi kebenaran fiqhi dari sebuah ijtihad adalah bersifat nisbi, sebab ia hanyalah sebagai hasil dari rekayasa pemikrian seorang mujathid dalann rangka menggali hukum-hukum yang terkandung dalam Alquran dan Hste Nabi saw. Karena itu, status kefiqhiannya adalah zanniy. Artinya, kebenaran yang dihasilkan kemungkinan terdapat kesalahan atau jika yang dihasilkan tidak salah maka ada kemungkinan benar. Dengan demikian, ijtihad tidak dibenarkan pada nash yang qath'/ fi jam! al-ahwal sedangkan nash qath'i fi ba'di al-ahwaJboleh dilakukan ijtihad padanya.[12]

2. Berbeda-beda hukumnya
Hukum fiqhi sebagai hasil pemikiran para mujtahid sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya, pola pikir dan kapasitas keilmuan mujtahid itu sendiri. Oleh karena itu, fiqhi yang dihasilkan oleh seorang mujathid kadang-kadang berbeda dengan mujtahid lainnya, karena latar belakang tersebut di atas.

Dengan demikian, upaya untuk mempersempit perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid atas fiqhi yang mereka hasilkan sangat diperlukan adanya penguasaan terhadap berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang integral dengan persoalan kefiqhian yang sedang dibicarakan, sehingga dengan kapasitas keilmuan yang dimilikinya itu, diharapkan pikiran-pikiran fiqhiyah yang dihasilkannya lebih maksimal tingkat kevaliditasnya. 

Meskipun sering kali terjadi perbedaan pendapat di kalangan mujtahid, namun ijtihad menurut Ibrahim Hosen[13] merupakan jalan efektif untuk melestarikan hukum Islam. Karena itu, perbedaan hasil ijtihad adalah hal yang dapat ditolelir.[14] 

3. Elastis dan tidak mengikat 
Hukum fiqhi sebagai hasil ijtihad seharusnya tidak statis atau kaku, sebab konsekuensi logis dari fiqhi adalah elastis dan dinamis. Oleh karena itu, pengaplikasiannya haruslah kondisional, sesuai dengan tuntutan zaman atau manusia sebagai masyarakat konsumennya. 

Di sinilah pentingnya ijtiha.d untuk memilih hukum fiqhi dalam mazhab mana yang lebih cocok, karena besar tingkat kemaslahatannya bagi masyarakatnya. Cara-cara seperti inilah yang pada prinsipnya merupakan langkah efektif bagi hukum Islam untuk selalu up to date, dalam arti dapat mengikuti perkembangan nnasyarakat.

Dengan demikian, sangat tidak rasionil dan agamis, jika harus terikat pada satu mazhab saja, karena fiqhi produk suatu mazhab pada zaman tertentu, tidak akan cocok dengan fiqhi produk zaman lain dan mazhah yang berbeda. Oleh karena itulah, maka para mujtahid melarang kira untuk mengikuti mereka.[15]

Berdasarkan problem-problem fiqh di atas, maka perlu sebuah sikap responsif yaitu dengan melakukan reaktualisasi terhadap produk-produk hukum oleh fuqaha masa lalu yang kemungkinan tidak relevan lagi dengan tunrutan zaman modern. Untuk itu dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut: 

a. Ijtihad
Ibrahim Hosen cenderung mengidentikkan ijtihad dengan istilah istinbath yang berarti mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya. Oleh karena itu, ijtihad atau istinbath sebagai upaya menggali hukum-hukum yang tersirat dalam nash Alquran dan Sunnah merupakan sebuah usaha yang perlu dilakukan, dengan ketentuan harus dipenuhi syarat-syaratnya. [16] 

Meskipun Ibrahim membolehkan dilakukannya ijtihad, namun bukan berarti dapat dilakukannya sekehendak hati. Dengan demikian perlu disadari bahwa meskipun pintu ijtihad tetap terbuka bagi kita, tetapi tentunya hanya bagi mereka yang memenuhi persyaratan. Oleh karena itu, bagi mereka yang tidak memenuhinya, tentu tertutup kemungkinan untuk membuka pintu ijtihad dengan segala macam bentuknya.[17]

Menyadari akan langkanya seorang faqih (ulama fiqhi) saat ini, maka ada dua hal yang bisa diijtihadi. Pertama, ijtihad di bida^jgjarjih^ (menyeleksi hasil ijtihad ulama dahulu) dan yang kedua adalah ijitihad terhadp kasusj<asus tertentu yang[helum pernah dibahas_danjiitetarjkan hukumnya oleh aimmat al-mujtahidin (para mujtahid) terdahulu.

Menurut Ibrahim, ijtihad dapat dilakukan secara perorangan maupun kelompok.[18] Namun apabila hasil ijtihad itu dikehendaki agar status hukumnya lebih kuat, maka alangkah baiknya bila ijtihad tersebut dilakukan secara kelompok. 

b. Taqlid
Menurut Ibrahim, bertaqlid buta bukarnlah_sikap yang baik. Karena itu usaha untuk memahami sesuatu dengan cara menalarnya merupakan sikap yang terpuji. Namun demikian, tidak semua orang bisa bernalar dan berijtihad. Oleh karena itu bagi mereka yang tidak mampu dibolehkan bertaqlid, dan dilarang berijtihad.

Sebaliknya orang yang memenuhi persyaratan sebagai mujtahid, wajib bagnya untuk berijtihad dan tidak dibenarkan bertaqlid kepada pendapat mujtahid yang lain. Atas dasar itulah, Ibrahim berpendapat bahwa tidak benar jika ada yang berpendapat bahwa ijtihad itu wajib dan taqlid itu haram.[19] 

c. Talfiq 
Ada dua pendapat tentang talfiq (berpindah atau tidaknya seseorang dari suatu mazhab). Menurut Ibrahim, belum pernah ditemukan nash Alquran maupun Sunnah yang mengindikasin larangan atau perintah untuk bermazhab_banyak atau satu. Namun demikian, menurutnya jika seseorang diwajibkan untuk terikat kepada salah satu mazhab tertentu, maka hal ini akan mempersulit umat dan tidak sejalan dengan prinsip umum pensyari'atan hukum Islam.[20] 

4. Kemungkinan Menfiqhikan Hukum Qath'iy
Ibrahim Hosen dalam mengklasifikasikan nash, mengakui bahwa hukum-hukum yang terkandung dalam nash-nash qath'i, sifatnya mutlak dan tidak boleh dipertanyakan. Hal ini menurutnya sejalan dengan kaidah: "/a ijtihad fi muqabalati al-nas al-qath'i' (tidak dibenarkan berijtihad tehadap nash qath'iy. Akan tetapi menurutnya, bila suatu hukum tidak bisa dirubah, maka hukum itu akan menjadi kaku.

Untuk mengantisipasi kekakuan hukum tersebut, maka Ibrahim Hosen membagi nash qath'i menjadi dua, yaitu: 1) Qath'i' fi jami al-ahwal (qath'i dalam semua keadaan) dan 2) Qath'i fi ba'di al-ahwal(Qath'i dalam sementara keadaan). Menurutnya, yang tidak dibenarkan untuk diijitihadi adalah nash yang qath'i fi jam!' al-ahwal. Sedangkan nash yang qath’i fi-ba 'di al-ahwal, bisa saja dilakukan ijtihad padanya.[21] 

Nash yang bersifat qath’i fi ba 'di al-ahwal. dalam hal penerapannya harus dibagi menjadi dua bagian/kategori, yaitu: 1) Hukum dasar atau menurut makna tekstual dan 2) Hukum kedua ataua menurt makna kontekstual. Untuk menguatkan argumennya tersebut, beliau mengemuka-kan contoh bahwa memakan babi adalah haram menurut hukum semula, yakni dalam keadaan masih ada pilihan lain. Akan tetapi dalam keadaan terpaksa (darurat), maka berlaku hukum kedua, dalam arti dibolehkan makan daging babi. Selanjutnya, beliau mengetengahkan kaidah: "al-daruratu tubihu al-madhzurat (Keadaan terpaksa membolehkan apa yang terlarang). Dalam kaitannya dengan qath'i fi jami' al-ahwal , beliau memberik^n_conto^ dalam hal jumlah rakaat dalam shalat dan bilangan tawaf, yang mana hal ini berlaku untuk sepanjang masa, dan tidak pernah berubah. Artinya, tidak mengenal hukum pertama dan hukum kedua. Inilah bentuk hukum yang tidak bisa dirubah dan berlaku sepanjang masa.[22]

5. Hukum Nasional
Dalam menanggapi masalah hukum nasional yang berlaku dalam negara Republik Indonesia belaiu mengatakan bahwa berdasarkan Alquran surah al-Nisa(4): 59 bahwa segala peraturan perundang-undangan dan keputusan pemerintah wajib ditaati selama tidak bertentangan dengan agama. Hal ini sejalan dengan ketentuan "la ta 'ata makhluqin fi ma'ziyati al-khaliq" (tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam mendurhakai Allah).

Menurutnya, hukum nasional jika dilihat dari segi pembuat, sumber dan cara penerapannya tidak dapat dikategorikan sebaqai hukum yanq Islami.(Tetapi meskipun demikian, hukum tersebut wajib ditaati. sekalipun secara eksplisit tidak terdapat dalam Alquran atau sunnah. Bahkan, meskipun secara harfiyah bertentangan dengan Alquran dan Sunnah, dengan catatan bahwa dari segi semangat dan jiwanya tidak bertentangan dengan semangat Alquran.[23]

Dalam hal hukum nasional, beliau mengatakan bahwa fiqhi merupakan produk ijtihad yang bersifat tidak mengikat. Setiap muslim bebas memilih pendapat mana yang sesuai dengan kondisi dan kemaslahatan. Hanya saja dalam rangka menjaga keseragaman dalam amaliah terutama hal-hal yang menyangkut kemasyarakatan, maka watak fiqhi menghendaki campur tangan pemerintah sebagai sebuah kekuatan yang mempu mempersatukan masyarakat. Hal tersebut menurutnya adalah untuk menghindari timbulnya percekcokan dan kesimpangsiuran. Statemen ini didasarkan pada kaidah yang mengatakan bahwa "keputusan pemerintah mengikat dan menghilangkan perselisihan"[24]

DAFTAR PUSTAKA
  • Ali, Daud, Muhammad, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, (Cet. X; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
  • Ahmad, Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Huku Nasional:Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH ( Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1996) 
  • Arifin, Busthanul , Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejara Hambatan, dan Prosfeknya (Cet. I; Jakarta: Gema Insani press, 1996)
  • Bik, Hudhari , Tarjamah Tarikh Al-tasyri’ Al-Islami (sejarah pebinaan hukum Islam) alih bahasa : Muhammad Zuhri ( T.tp. Darul Ikhya, T.th ) 
  • Ahmad, Basyir, Ahmad A zhar. dkk., Ijtihad Dalam Sorotan. Get. IV; Bandung:Mizan, 1996.
  • Hosen, Ibrahim. Beberapa Catatan tentang Reaktualisasi Hukum Islam dalam Tim Penulis Buku 70 Tahun Munawir Sjadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam. Get. I; Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995.
  • ____. Menyongsong Abad Ke-21: Dapatkah Hukum Direaktualisasikan, ' dalam Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Mimbar Hukum, No. 12, Tahun V, Pebruari 1994.
  • ____. Permasalahan Hukum Baru dalam Jalaluddin Rahmat.
  • ____. Taqlid dan Ijtihad: Beberapa Pengertian Dasar, dalam Budy Munawar Rahman, Kontekstualisasi Islam dalam Sejarah. Get. II; Jakarta: Yayasan Paramadina, 1995.
  • Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut quran dan hadis (ct.II;Jakarta; Tintamas,1982) 
  • Munawir, Syadzali, Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa Ini. Jakarta: Paramadina. 1995.
  • Shihab, Quraish , Wawasan Alquran ( Cet. III; Bandung : Mizan, 1996) 
  • Syarifuddin, Amir Amir, Ushul Fiqh (Cet. I; Jakarta; Logos wacana Ilmu, Jilid I, 1997)
  • Syah, Muhammad, Ismail, Filsafat Hukum Islam ( Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992) 

CATATAN KAKI ARTIKEL DI ATAS
[1]Hudhari Bik, Tarjamah Tarikh Al-tasyri’ Al-Islami (sejarah pebinaan hukum Islam) alih bahasa : Muhammad Zuhri ( T.tp. Darul Ikhya, T.th ), h.5 
[2]Quraish Shihab, Wawasan Alquran ( Cet. III; Bandung : Mizan, 1996), h. 3 
[3]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Cet. I; Jakarta; Logos wacana Ilmu, Jilid I, 1997),h. 53 
[4]Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam ( Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 4. 
[5]Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, (Cet. X; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 72
[6]Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan, dan Prosfeknya (Cet. I; Jakarta: Gema Insani press, 1996), h. 45.
[7] Amir Syarifuddin, Op,Cit,. h. 73 
[8] Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH ( Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1996) h. 103 
[9] Lihat Ibrahim Hosen, Menyongsong Abad-21: Dapatkah Hukum Direaktualisasikan, Dalam Direktotar Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Mimbar Hukum, No. 12 Pebruari 1992, h. 1 
[10]Ahmad A zhar Basyir dkk., Ijtihad dalam Sorotan (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996), h. 7."Ibrahim Hosen, op. cit., h. 3.
[12] Munawir Syadzali, Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa Ini (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 57-58.
[13] 'Definisi ijtihad menurut Ibrahim Hosen cenderung diidentikkan dengan istinbath dalam arti mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya atau menggali hukum yang terkandung dalam Alquran dan Sunnah. Menurut Ibrahim Hosen bahwa ijtihad hanya berlaku pada persoalan fiqhi dan bukan akidah. Karena itu, jika ada yang berijtihad dalam persoalan akidah, hal itu menunjukkan katidaktahuan atau ketidakdisiplinan dalam tatakrama keilmuan. Lihat Ibrahim Hosen, Permasalahan \ X Hukum Baru dalam Jalaluddin Rahmat, h. 27-29
[14] Ibid, h. 30. Lihat pula Ibrahim Hosen, Taqlid dan Ijtihad: Beberapa Pengertian Dasar. dalam Budy Munawar Rahman, Kontekstualisasi Islam dalam Sejarah (Get. II; Jakarta: Yayasan Paramadina, 1995), h. 322.
[15]lbrahim Hosen, "Menyonsong Abad ke-21, op. cit, h. 5 
[16] Ibrahim Hosen, 'Taqlid dan Ijtihad". op. cit, h. 324. 
[17] Ibid, h. 329
[18] Ibid
[19] 'Ibrahim Hosen, "Menyongsong Abad 21", op. cit, h. 333.
[20] Ibid.
[21]Lihat Munawir Syadzali, loc. cit 
[22]Lihat Ibrahim Hosen, Beberapa Catatan tentang Reaktualisasi Hukum Islam dalam Tim Penulis Buku 70 Tahun Munawir Sjadzali. Kontekstuahsasi Ajaran Islam (Get. I; Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), h. 273-274.
[23]Ibrahim Hosen, "Menyongsong...",Op. C it, h. 13-14.
[24]Ibid., h. 7.

No comments:

Post a Comment