FIQH INDONESIA, PENGGAGAS DAN GAGASANNYA
Alquran
adalah suatu kitab yang sudah dikenal diturunkan kepada nabi Muhammad
saw dengan cara berangsur-angsur.[1] Jika dilihat secara harfiah maka
artinya adalah “bacaan yang sempurna”merupakan suatu nama pilihan Allah
swt yang sungguh tepat, karena tiada suatu bacaan pun sejak manusia
mengenal tulis baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi
Alquran.[2]
Alquran
diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umat manusia
bagi kemashlahatan dan kepentingan mereka, khususnya umat mukminin yang
percaya akan kebenarannya. Kemashlahatan itu dapat berbentuk
mendatangkan manfaat atau keberuntungan , maupu dalam bentuk melepaskan
manusia dari kemudharatan atau kecelakaan yang akan menimpanya.[3]
Bahkan
dalam hukum Islam kedudukan Alquran sebagai sumber hukum pertama
mengandung pengertian bahwa Alquran menjadi sumber dari segala sumber
hukum, penggunaan sumber lain harus sesuai harus sesuai dengan petunjuk
Alquran dan tidak boleh menyalahi ketentuan yang telah ditetapkan. Oleh
karena itu, bila seseorang ingin menemukan sesuatu kejadian, maka
tindakan pertama yang dilakukan adalah penelusuran dalam Alquran untuk
mencari jawaban terhadap permasalahan, selama hukumnya dapat
diselesaikan berdasarkan Alquran.[4]
Alquran
merupakan sumber hukum Islam pertama dan utama memuat kaidah-kaidah
hukum fundamental (asasi) yang perlu dikaji dengan teliti dan
dikembangkan lebih lanjut.[5]Dan tujuan hukum Islam itu sendiri tidak
terlepas dari tujuan hidup manusia itu sendiri, yaitu mengabdi kepada
Allah. Hukum buat agama Islam hanya berfungsi mengatur kehidupan
manusia, baik pribadi maupun dalam hubungan kemasyarakatan yang sesuai
dengan kehendak Allah, untuk kebahagiaan hidup manusia dunia dan
akhirat.[6]
Karena
kedudukan sebagai sumber hukum utama dan pertama bagi penetapan hukum,
maka bila seseorang ingin menemukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan
pertama yang harus dilakukan adalah mencari jawaban penyelesaian dari
Alquran. selama hukumnya dapat diselesaika dengan Alquran, maka tidak
boleh mencari jawaban dari luar Alquran.
Selain
itu, sesuai dengan kedudukan Alquran sebagai sumber utama dan pokok
hukum Islam, berarti Alquran itu menjadi sumber dari segala sumber
hukum. Oleh karena itu jika ingin menggunakan lain diluar Alquran, maka
harus sesuai dengan petunjuk Alquran dan tidak boleh melakukan sesuatu
yang bertentangan dengan Alquran. hal ini berarti bahwasumber-sumber
hukum selain Alquran tidak boleh menyalahi apa yang telah ditetapkan
Alquran.[7]
Tujuan
dirumuskannya hukum Islam adalah untuk merealisasikan kemashlahatan
hamba di dunia dan di akhirat. Tujuan hukum Islam baik secara global
maupun secara detail ialah mencegah keusakan pada manusia dan
mendatangkan kemaslahatan bagi mereka, mengarahkan mereka pada
kebenaran, keadilan dan kebaikan, serta menerangkan jalan yang harus
dilalui oleh manusia.[8]
Oleh
karena itu, perlu adanya penyublimasian antara potensi rasio dan agama
agar menjadi suatu kekuatan yang integral yang dapat melahirkan insan
paripurna sehingga pada gilirannya mampu merespon berbagai peroblematika
sosial keagamaan saat ini.
Sosok
yang mampu menyublimasikan potensi rasio dan agama, seperti tersebut
diatas, salah satunya adalah Ibrahim Hosen. Kemampuannya dalam melakukan
sublimasi dimaksud menjadikan ia mampu tampil sebagai salah seorang
figur sentral yang mampu mereplesikan ide-ide pembaharuannya dengan
semangat responsif dan antisipatif.
Ibrahim
Hosen adalah cendikiawan muslim Indonesia yang terkenal dengan
kecemerlangan gagasan-gagasannya di bidang fiqhi. Kenyataan ini dapat
dibuktikan melalui tulisannya antara lain menyongsong abad-21.[9]
Berdasarkan
uraian diatas, sosok Ibrahim Hosen sebagai cendikiawan muslim Indonesia
dan penggagas fiqhi di Indonesia merupaka tema sentra dari kajian
makalah ini.
Ibrahim Hosen dan Gagasannya
Ibrahim
Hosen lahir di Bengkulu pada tanggal 1 Januari 1917, ia adalah salah
seorang cendekiawan muslim Indonesia yang memiliki wawasan intelektual
luas. Karena itu, dapat dikategorikan sebagai figur sentral yang
memiliki kapasitas kelimuan yang cukup representatif. Hal itu ditandai
dengan sejumlah reputasi pengalaman yang pernah dijalaninya.
Pengalaman-pengalamannya antara lain adalah sebagai seorang birokrat
akademisi, ulama.
Ibrahim
Hosen adalah seorang alumnus al-Azhar, Kairo-Mesir, pada Fakultas
Syari'ah, pernah menjabat sebagai salah seorang staf pada Departemen
Agama Republik Indonesia (Depag RI.) pada tahun 1961-1977, Rektor IAIN
Raden Fatah (1964-1966), staf ahli Menteri Agama RI (1971-1982). Rektor
PTIA (Perguruan Tinggi Ilmu Alquran) Jakarta (1971-1977) dan Ketua
Komisi Farwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) 1986.[10]
Kemampuan
atau ketidakmampuan pola pikir seseorang pada prinsipnya merupakan
gambaran lahiriyah tentang jati diri orang tersebut yang sesungguhnya.
Karena itu, ketika Ibrahim Hosen tampil dengan wawasan intelektualnya
yang luas di bidang hukum Islam, maka hal itu sebenarnya telah
mendeskripsikan bahwa Ibrahim Hosen adalah seorang cendikiawan muslim
yang cukup prospektif pemikiran-pemikirannya di bidang fiqhi.
Pemikirannya tersebut antara lain sebagai berikut.
Jika
ada upaya untuk mengaplikasikan hukum Islam dalam kehidupan sosial,
maka agenda mendesak yang harus disiapkan adalah visi dan misi yang
jelas, dan untuk tujuan tersebut diperlukan adanya pemahaman maksimal
tentang kedudukan syariah dan fiqh.
Menuruf
Ibrahim Hosen, ayat-ayat Alquran itu ada yang jelas, tegas kepastian
hukumnya dan tidak mengandung kemungkinan interpretasi maupun takwil.
Kategori ayat-ayat seperti ini yang kemudian status hukumnya
diistinbathkan dengan qath "iy al-dalalah (nash yang jelas dan pasti
status hukumnya) dan ayat-ayat ini pula yang pengaplikasiannya dalam
hukum Islam disebut syari'ah.
Sebaliknya,
apabila ayat-ayat yang mengandung kemungkinan interpretasi atau
pentakwilan, maka ayat-ayat seperti ini disebut dengan zanniy al-dalalah
(nash yang tidak jelas status hukumnya).[11] Dengan demikian, ayat-ayat
model inilah yang kemudian menghasilkan fiqhi. Karena itu, maka
hukum-hukum fiqhipun senantiasa variatif-interpretatif.
Secara
garis besar, fiqhi dan problematikanya dapat diklasiflkasikan menjadi
beberapa bagian integral. Bagian-bagian tersebut sangat berpotensi untuk
mempengaruhi substansial hukum-hukum fiqhi itu sendiri, bagian-bagian
yang dimaksud antara lain adalah sebagai berikut:
1. Kebenaran temporer
Konsekuensi
kebenaran fiqhi dari sebuah ijtihad adalah bersifat nisbi, sebab ia
hanyalah sebagai hasil dari rekayasa pemikrian seorang mujathid dalann
rangka menggali hukum-hukum yang terkandung dalam Alquran dan Hste Nabi
saw. Karena itu, status kefiqhiannya adalah zanniy. Artinya, kebenaran
yang dihasilkan kemungkinan terdapat kesalahan atau jika yang dihasilkan
tidak salah maka ada kemungkinan benar. Dengan demikian, ijtihad tidak
dibenarkan pada nash yang qath'/ fi jam! al-ahwal sedangkan nash qath'i
fi ba'di al-ahwaJboleh dilakukan ijtihad padanya.[12]
2. Berbeda-beda hukumnya
Hukum
fiqhi sebagai hasil pemikiran para mujtahid sangat dipengaruhi oleh
latar belakang budaya, pola pikir dan kapasitas keilmuan mujtahid itu
sendiri. Oleh karena itu, fiqhi yang dihasilkan oleh seorang mujathid
kadang-kadang berbeda dengan mujtahid lainnya, karena latar belakang
tersebut di atas.
Dengan
demikian, upaya untuk mempersempit perbedaan pendapat di kalangan para
mujtahid atas fiqhi yang mereka hasilkan sangat diperlukan adanya
penguasaan terhadap berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang integral
dengan persoalan kefiqhian yang sedang dibicarakan, sehingga dengan
kapasitas keilmuan yang dimilikinya itu, diharapkan pikiran-pikiran
fiqhiyah yang dihasilkannya lebih maksimal tingkat kevaliditasnya.
Meskipun
sering kali terjadi perbedaan pendapat di kalangan mujtahid, namun
ijtihad menurut Ibrahim Hosen[13] merupakan jalan efektif untuk
melestarikan hukum Islam. Karena itu, perbedaan hasil ijtihad adalah hal
yang dapat ditolelir.[14]
3. Elastis dan tidak mengikat
Hukum
fiqhi sebagai hasil ijtihad seharusnya tidak statis atau kaku, sebab
konsekuensi logis dari fiqhi adalah elastis dan dinamis. Oleh karena
itu, pengaplikasiannya haruslah kondisional, sesuai dengan tuntutan
zaman atau manusia sebagai masyarakat konsumennya.
Di
sinilah pentingnya ijtiha.d untuk memilih hukum fiqhi dalam mazhab mana
yang lebih cocok, karena besar tingkat kemaslahatannya bagi
masyarakatnya. Cara-cara seperti inilah yang pada prinsipnya merupakan
langkah efektif bagi hukum Islam untuk selalu up to date, dalam arti
dapat mengikuti perkembangan nnasyarakat.
Dengan
demikian, sangat tidak rasionil dan agamis, jika harus terikat pada
satu mazhab saja, karena fiqhi produk suatu mazhab pada zaman tertentu,
tidak akan cocok dengan fiqhi produk zaman lain dan mazhah yang berbeda.
Oleh karena itulah, maka para mujtahid melarang kira untuk mengikuti
mereka.[15]
Berdasarkan
problem-problem fiqh di atas, maka perlu sebuah sikap responsif yaitu
dengan melakukan reaktualisasi terhadap produk-produk hukum oleh fuqaha
masa lalu yang kemungkinan tidak relevan lagi dengan tunrutan zaman
modern. Untuk itu dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Ijtihad
Ibrahim
Hosen cenderung mengidentikkan ijtihad dengan istilah istinbath yang
berarti mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya. Oleh karena itu,
ijtihad atau istinbath sebagai upaya menggali hukum-hukum yang tersirat
dalam nash Alquran dan Sunnah merupakan sebuah usaha yang perlu
dilakukan, dengan ketentuan harus dipenuhi syarat-syaratnya. [16]
Meskipun
Ibrahim membolehkan dilakukannya ijtihad, namun bukan berarti dapat
dilakukannya sekehendak hati. Dengan demikian perlu disadari bahwa
meskipun pintu ijtihad tetap terbuka bagi kita, tetapi tentunya hanya
bagi mereka yang memenuhi persyaratan. Oleh karena itu, bagi mereka yang
tidak memenuhinya, tentu tertutup kemungkinan untuk membuka pintu
ijtihad dengan segala macam bentuknya.[17]
Menyadari
akan langkanya seorang faqih (ulama fiqhi) saat ini, maka ada dua hal
yang bisa diijtihadi. Pertama, ijtihad di bida^jgjarjih^ (menyeleksi
hasil ijtihad ulama dahulu) dan yang kedua adalah ijitihad terhadp
kasusj<asus tertentu yang[helum pernah dibahas_danjiitetarjkan
hukumnya oleh aimmat al-mujtahidin (para mujtahid) terdahulu.
Menurut
Ibrahim, ijtihad dapat dilakukan secara perorangan maupun kelompok.[18]
Namun apabila hasil ijtihad itu dikehendaki agar status hukumnya lebih
kuat, maka alangkah baiknya bila ijtihad tersebut dilakukan secara
kelompok.
b. Taqlid
Menurut
Ibrahim, bertaqlid buta bukarnlah_sikap yang baik. Karena itu usaha
untuk memahami sesuatu dengan cara menalarnya merupakan sikap yang
terpuji. Namun demikian, tidak semua orang bisa bernalar dan berijtihad.
Oleh karena itu bagi mereka yang tidak mampu dibolehkan bertaqlid, dan
dilarang berijtihad.
Sebaliknya
orang yang memenuhi persyaratan sebagai mujtahid, wajib bagnya untuk
berijtihad dan tidak dibenarkan bertaqlid kepada pendapat mujtahid yang
lain. Atas dasar itulah, Ibrahim berpendapat bahwa tidak benar jika ada
yang berpendapat bahwa ijtihad itu wajib dan taqlid itu haram.[19]
c. Talfiq
Ada
dua pendapat tentang talfiq (berpindah atau tidaknya seseorang dari
suatu mazhab). Menurut Ibrahim, belum pernah ditemukan nash Alquran
maupun Sunnah yang mengindikasin larangan atau perintah untuk
bermazhab_banyak atau satu. Namun demikian, menurutnya jika seseorang
diwajibkan untuk terikat kepada salah satu mazhab tertentu, maka hal ini
akan mempersulit umat dan tidak sejalan dengan prinsip umum
pensyari'atan hukum Islam.[20]
4. Kemungkinan Menfiqhikan Hukum Qath'iy
Ibrahim
Hosen dalam mengklasifikasikan nash, mengakui bahwa hukum-hukum yang
terkandung dalam nash-nash qath'i, sifatnya mutlak dan tidak boleh
dipertanyakan. Hal ini menurutnya sejalan dengan kaidah: "/a ijtihad fi
muqabalati al-nas al-qath'i' (tidak dibenarkan berijtihad tehadap nash
qath'iy. Akan tetapi menurutnya, bila suatu hukum tidak bisa dirubah,
maka hukum itu akan menjadi kaku.
Untuk
mengantisipasi kekakuan hukum tersebut, maka Ibrahim Hosen membagi nash
qath'i menjadi dua, yaitu: 1) Qath'i' fi jami al-ahwal (qath'i dalam
semua keadaan) dan 2) Qath'i fi ba'di al-ahwal(Qath'i dalam sementara
keadaan). Menurutnya, yang tidak dibenarkan untuk diijitihadi adalah
nash yang qath'i fi jam!' al-ahwal. Sedangkan nash yang qath’i fi-ba 'di
al-ahwal, bisa saja dilakukan ijtihad padanya.[21]
Nash
yang bersifat qath’i fi ba 'di al-ahwal. dalam hal penerapannya harus
dibagi menjadi dua bagian/kategori, yaitu: 1) Hukum dasar atau menurut
makna tekstual dan 2) Hukum kedua ataua menurt makna kontekstual. Untuk
menguatkan argumennya tersebut, beliau mengemuka-kan contoh bahwa
memakan babi adalah haram menurut hukum semula, yakni dalam keadaan
masih ada pilihan lain. Akan tetapi dalam keadaan terpaksa (darurat),
maka berlaku hukum kedua, dalam arti dibolehkan makan daging babi.
Selanjutnya, beliau mengetengahkan kaidah: "al-daruratu tubihu
al-madhzurat (Keadaan terpaksa membolehkan apa yang terlarang). Dalam
kaitannya dengan qath'i fi jami' al-ahwal , beliau memberik^n_conto^
dalam hal jumlah rakaat dalam shalat dan bilangan tawaf, yang mana hal
ini berlaku untuk sepanjang masa, dan tidak pernah berubah. Artinya,
tidak mengenal hukum pertama dan hukum kedua. Inilah bentuk hukum yang
tidak bisa dirubah dan berlaku sepanjang masa.[22]
5. Hukum Nasional
Dalam
menanggapi masalah hukum nasional yang berlaku dalam negara Republik
Indonesia belaiu mengatakan bahwa berdasarkan Alquran surah al-Nisa(4):
59 bahwa segala peraturan perundang-undangan dan keputusan pemerintah
wajib ditaati selama tidak bertentangan dengan agama. Hal ini sejalan
dengan ketentuan "la ta 'ata makhluqin fi ma'ziyati al-khaliq" (tidak
ada kewajiban taat kepada makhluk dalam mendurhakai Allah).
Menurutnya,
hukum nasional jika dilihat dari segi pembuat, sumber dan cara
penerapannya tidak dapat dikategorikan sebaqai hukum yanq Islami.(Tetapi
meskipun demikian, hukum tersebut wajib ditaati. sekalipun secara
eksplisit tidak terdapat dalam Alquran atau sunnah. Bahkan, meskipun
secara harfiyah bertentangan dengan Alquran dan Sunnah, dengan catatan
bahwa dari segi semangat dan jiwanya tidak bertentangan dengan semangat
Alquran.[23]
Dalam
hal hukum nasional, beliau mengatakan bahwa fiqhi merupakan produk
ijtihad yang bersifat tidak mengikat. Setiap muslim bebas memilih
pendapat mana yang sesuai dengan kondisi dan kemaslahatan. Hanya saja
dalam rangka menjaga keseragaman dalam amaliah terutama hal-hal yang
menyangkut kemasyarakatan, maka watak fiqhi menghendaki campur tangan
pemerintah sebagai sebuah kekuatan yang mempu mempersatukan masyarakat.
Hal tersebut menurutnya adalah untuk menghindari timbulnya percekcokan
dan kesimpangsiuran. Statemen ini didasarkan pada kaidah yang mengatakan
bahwa "keputusan pemerintah mengikat dan menghilangkan
perselisihan"[24]
DAFTAR PUSTAKA
- Ali, Daud, Muhammad, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, (Cet. X; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
- Ahmad, Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Huku Nasional:Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH ( Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1996)
- Arifin, Busthanul , Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejara Hambatan, dan Prosfeknya (Cet. I; Jakarta: Gema Insani press, 1996)
- Bik, Hudhari , Tarjamah Tarikh Al-tasyri’ Al-Islami (sejarah pebinaan hukum Islam) alih bahasa : Muhammad Zuhri ( T.tp. Darul Ikhya, T.th )
- Ahmad, Basyir, Ahmad A zhar. dkk., Ijtihad Dalam Sorotan. Get. IV; Bandung:Mizan, 1996.
- Hosen, Ibrahim. Beberapa Catatan tentang Reaktualisasi Hukum Islam dalam Tim Penulis Buku 70 Tahun Munawir Sjadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam. Get. I; Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995.
- ____. Menyongsong Abad Ke-21: Dapatkah Hukum Direaktualisasikan, ' dalam Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Mimbar Hukum, No. 12, Tahun V, Pebruari 1994.
- ____. Permasalahan Hukum Baru dalam Jalaluddin Rahmat.
- ____. Taqlid dan Ijtihad: Beberapa Pengertian Dasar, dalam Budy Munawar Rahman, Kontekstualisasi Islam dalam Sejarah. Get. II; Jakarta: Yayasan Paramadina, 1995.
- Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut quran dan hadis (ct.II;Jakarta; Tintamas,1982)
- Munawir, Syadzali, Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa Ini. Jakarta: Paramadina. 1995.
- Shihab, Quraish , Wawasan Alquran ( Cet. III; Bandung : Mizan, 1996)
- Syarifuddin, Amir Amir, Ushul Fiqh (Cet. I; Jakarta; Logos wacana Ilmu, Jilid I, 1997)
- Syah, Muhammad, Ismail, Filsafat Hukum Islam ( Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992)
CATATAN KAKI ARTIKEL DI ATAS
[1]Hudhari
Bik, Tarjamah Tarikh Al-tasyri’ Al-Islami (sejarah pebinaan hukum
Islam) alih bahasa : Muhammad Zuhri ( T.tp. Darul Ikhya, T.th ), h.5
[2]Quraish Shihab, Wawasan Alquran ( Cet. III; Bandung : Mizan, 1996), h. 3
[3]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Cet. I; Jakarta; Logos wacana Ilmu, Jilid I, 1997),h. 53
[4]Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam ( Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 4.
[5]Muhammad
Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia,
(Cet. X; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 72
[6]Busthanul
Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan,
dan Prosfeknya (Cet. I; Jakarta: Gema Insani press, 1996), h. 45.
[7] Amir Syarifuddin, Op,Cit,. h. 73
[8]
Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional:
Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH ( Cet. I; Jakarta:
Gema Insani Press, 1996) h. 103
[9]
Lihat Ibrahim Hosen, Menyongsong Abad-21: Dapatkah Hukum
Direaktualisasikan, Dalam Direktotar Pembinaan Badan Peradilan Agama
Islam, Mimbar Hukum, No. 12 Pebruari 1992, h. 1
[10]Ahmad A zhar Basyir dkk., Ijtihad dalam Sorotan (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996), h. 7."Ibrahim Hosen, op. cit., h. 3.
[12] Munawir Syadzali, Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa Ini (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 57-58.
[13]
'Definisi ijtihad menurut Ibrahim Hosen cenderung diidentikkan dengan
istinbath dalam arti mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya atau
menggali hukum yang terkandung dalam Alquran dan Sunnah. Menurut Ibrahim
Hosen bahwa ijtihad hanya berlaku pada persoalan fiqhi dan bukan
akidah. Karena itu, jika ada yang berijtihad dalam persoalan akidah, hal
itu menunjukkan katidaktahuan atau ketidakdisiplinan dalam tatakrama
keilmuan. Lihat Ibrahim Hosen, Permasalahan \ X Hukum Baru dalam
Jalaluddin Rahmat, h. 27-29
[14]
Ibid, h. 30. Lihat pula Ibrahim Hosen, Taqlid dan Ijtihad: Beberapa
Pengertian Dasar. dalam Budy Munawar Rahman, Kontekstualisasi Islam
dalam Sejarah (Get. II; Jakarta: Yayasan Paramadina, 1995), h. 322.
[15]lbrahim Hosen, "Menyonsong Abad ke-21, op. cit, h. 5
[16] Ibrahim Hosen, 'Taqlid dan Ijtihad". op. cit, h. 324.
[17] Ibid, h. 329
[18] Ibid
[19] 'Ibrahim Hosen, "Menyongsong Abad 21", op. cit, h. 333.
[20] Ibid.
[21]Lihat Munawir Syadzali, loc. cit
[22]Lihat
Ibrahim Hosen, Beberapa Catatan tentang Reaktualisasi Hukum Islam dalam
Tim Penulis Buku 70 Tahun Munawir Sjadzali. Kontekstuahsasi Ajaran
Islam (Get. I; Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), h. 273-274.
[23]Ibrahim Hosen, "Menyongsong...",Op. C it, h. 13-14.
[24]Ibid., h. 7.
No comments:
Post a Comment