Tuesday 4 April 2017

Pandangan Sufistik Syekh Abdul Wahab

Beberapa pemikiran sufistik Syekh Abdul Wahab antara lain sebagai berikut:
1. Zuhud
Zuhud adalah suatu sikap memalingkan diri dari dunia atau melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Keberpalingan ini karena menganggap dunia hina atau menjauhinya karena dosa. Pada tingkat yang tinggi, seorang zahid akan memandang segala sesuatu kecuali Allah, tidak berharga. Karena itu ia akan menjaga hatinya dari segala yang dapat memalingkannya dari Allah. Sejalan dengan ini, Abu Usman menyatakan bahwa zuhud adalah engkau tinggalkan dunia, kemudian kamu tidak perduli siapapun yang mengambilnya.

Syekh Abdul Wahab mengingatkan murid-muridnya agar “jangan bermegah-megah dengan dunia dan kebesarannya…jangan mengumpulkan harta benda banyak-banyak dan jangan dibanyakkan memakai pakaian yang halus Harta yang banyak, melebihi kebutuhan yang diperlukan hanya akan mendatangkan kelalaian hati dari berzikir kepada Allah.

Kesenangan dunia ini hakikatnya hanyalah sebentar, sekejap mata. Tempat yang abadi itu adalah akhirat. Karena itu hendaklah kita banyak-banyak membawa bekal pulang ke akhirat, jangan sampai terpedaya dengan hawa nafsu yang mengajak pada keburukan dan kejahatan. Ingatlah kisah-kisah orang yang memperturutkan hawa nafsunya, akhirnya mereka rugi dunia dan akhirat Selagi masih hidup, lebih baik berbuat bakti kepada Tuhan dan kepada hamba-hamba-Nya. Hidup bukan sekedar mencari harta untuk pengisi peti (keranda jenazah).

Negeri akhirat tempat menanti
Baiklah kita berbuat bakti
Sementara hidup sebelum mati
Jangan mencari harta pengisi peti

Mengenai kezuhudan Syekh Abdul Wahab, H.A Fuad Said menceritakan, suatu kali Abdul Wahab berlayar menuju Siak Indra Pura, Riau. Di sini ia dan rombongan dijamu –sebagaimana adat Melayu- oleh Sultan Kasim Abdul Jalil Saifuddin Ba’alawi dengan tepak sirih yang terbuat dari emas. Ulama-Ulama lain yang berasal dari Hadhramaut dengan senang hati mencicipi sirih yang disuguhkan oleh Sultan. Lain halnya dengan Syekh Abdul Wahab. Ia dengan rendah hati menolak sambil mengatakan bahwa mereka (para ulama tersebut) mungkin sudah mendapatkan alasan dan dalil yang membolehkan, tetapi saya belum mendapatkannya. Ia baru mencicipi sirih tersebut setelah tepak diganti dengan tepak biasa yang terbuat dari kayu. Selanjutnya ia dengan penuh kesantunan memberikan nasehat –intinya tentang zuhud- kepada Sultan dan hadirin yang lain. Sultan Kasim Abdul Jalil sedikitpun tidak menyangkal apa yang disampaikan, bahkan membenarkannya, hanya menurutnya saat ini hal itu belum bisa ia lakukan, masih sibuk dan belum ada kelapangan waktu. Syekh Abdul Wahab dengan mengutip al-Quran Surat At-Takatsur kemudian menjelaskan bahwa harta yang banyak memang dapat melalaikan orang dari mengingat kematian dan alam kubur.

Syekh Abdul Wahab -dalam mempraktekkan kezuhudan ini- telah membuat peraturan untuk seluruh penduduk yang tinggal menetap di Babussalam saat itu. Seluruh penduduk dilarang merokok di tempat umum, tidak memakai tempat tidur yang terbuat dari besi dan tidak boleh mengutamakan kemewahan dunia karena semua harta ini akan ditinggalkan apabila ajal menjemput. Demikian pula kaum wanita dilarang memakai perhiasan yang mencolok dan dilarang bertindik (memakai perhiasan anting-anting di telinga). Ia sendiri, makan dalam piring kayu atau upih (daun yang berasal dari pohon pinang), serta minum dalam tempurung. Para pembesar dan Sultan yang datang mengunjunginya juga disuguhinya makanan dan minuman dalam wadah yang sama

Dalam hal tata busana, Syekh Abdul Wahab mengingatkan untuk berpakaian sederhana, tidak mencolok, yang penting bersih dan suci serta tidak merasa tinggi hati (takabbur) dengan pakaian yang dikenakan. Karena itu jika berpakaian lengkap, jangan lupa untuk mengenakan pakaian buruk (jelek) bersamanya.

“Jika memakai pakaian yang lengkap, maka pakailah pakaian yang buruk di dalamnya, yang antaranya yang buruk itu sebelah atas.”

Zuhud yang merupakan sikap memalingkan diri dari dunia atau menghilangkan dunia dari dalam hati berarti menghilangkan kecintaan pada dunia dan segala perhiasannya. Cinta pada dunia (hubb ad-dunya) sesungguhnya adalah hijab yang menjauhkan seseorang dari Tuhan. Rasulullah Saw. bahkan menegaskan bahwa hubb ad-dunya adalah salah satu dari dua penyakit hat yang dapat melemahkan jiwa dan semangat umat untuk berjuang di jalan Allah. Penyakit ini tidak boleh didiamkan apalagi bersarang terlalu lama dalam diri seseorang. Agar tidak membawa pada kerusakan yang besar, harus segera dicari obat untuk kesembuhannya. Kesembuhan penyakit ini, menurut Syekh Abdul Wahab, memerlukan penanganan yang intensif dari seorang ‘arif bi Allah, “thabib yang maqbul doanya” agar penyakit ini dapat teratasi dan “sembuh dengan segeranya”.

Tipu dunia terlalu besarnya
Tiadalah ingat pula kenanya
Cari thabib yang maqbul doanya
Supaya sembuh dengan segeranya

Namun demikian, bagi Abdul Wahab, zuhud itu bukan berarti tidak mempunyai penghidupan di dunia. Mencari nafkah yang halal dengan usaha sendiri merupakan hal yang penting dan sangat dianjurkannya. Apabila sudah memiliki harta dan kemuliaan, diingatkan untuk berbagi dengan sesama.

“Hai sekalian orang yang kaya-kaya yang dapat pangkat dan kemuliaan. Hendaklah kuat beramal dan beribadah serta banyakkan bersedekah dan berwakaf supaya kekal kayanya itu dari dunia sampai ke akhirat.

Anjuran mencari nafkah penghidupan ditegaskannya dengan cara yang sangat lazim dilakukan saat itu yakni bertani, berladang dan menjadi ‘amil. Bahkan bagi yang ingin mendapatkan keuntungan yang lebih besar ia menganjurkan untuk berniaga (berdagang/berjualan) dengan melakukan syarikat (perkongsian/kerjasama) dengan orang lain.

“Jangan kamu berniaga sendiri, tetapi hendaklah bersyarikat. Dalam mencari nafkah hendaklah bertani, berladang, menjadi ‘amil dan sebagainya…”

Mencari harta benda bukanlah merupakan hal yang terlarang dalam agama, bahkan dianjurkan seperti yang dijelaskan Alquran dalam al-Qashash ayat 77.

“Carilah pada apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi. Dan berbuat ihsan-lah sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” 

Karena itu, mencari dan mendapatkan kekayaan dunia tidak dilarang oleh Syekh Abdul Wahab. Ia tetap mengingatkan agar kekhusyu’an hati dan amal ibadah tidak boleh terganggu hanya karena kemewahan duniawi. Mereka yang hidup dengan harta yang berlimpah sementara amal ibadah berkurang, sesungguhnya sedang mengikuti jalan syaitan dan iblis, jalan yang seharusnya ditinggalkan. Dengan nada setengah bertanya ia menasehatkan, “apa faedahnya harta bertambah sementara umur berkurang dan dekat kepada kematian”.

“Janganlah kamu suka dengan hartamu yang bertambah banyak sedangkan amal ibadahmu berkurang, karena itu kehendak syaitan dan iblis. Apa faedahnya harta bertambah, umur berkurang, dekat kepada mati.”

Meskipun tidak dilarangnya orang mencari kekayaan yang banyak, namun Syekh Abdul Wahab mengingatkan bahwa orang yang memiliki harta kekayaan akan disenangi oleh pengintai yang ingin mengambil hartanya. Akibat dari semua ini, hidup akan merasa terbelenggu dengan kekayaan dan kemewahan karena waktu tersita untuk menjaga dan merawatnya. Kondisi ini sesungguhnya berawal dari diri yang tidak dapat mengendalikan keinginan hawa nafsu. Dingatkannya, jika tidak bersungguh-sungguh melawan dan menolak keinginan hawa nafsu, maka bersiaplah untuk “menyesal di kemudian harinya”.

Jikalau peti banyak isinya
Banyak pencuri ingin mengambilnya
Bersungguh-sungguh kita melawannya
Jangan menyesal kemudian harinya

Menurut Syekh Abdul Wahab, tidak mudah memalingkan diri dari kemewahan dunia apalagi bagi mereka yang tidak mengetahui apa dan bagaimana dunia itu sebenarnya. Namun bagi mereka yang telah mengikuti serta mengamalkan tarekat dengan benar, beribadah (suluk) dengan lurus, maka ia akan mengetahui bahaya dan kerugian dunia. Orang yang seperti ini akan tahu bahwa dunia “tidaklah boleh dibuat sahabat”.

Siapa orang ahli thariqat
Serta amalkan ibadahnya kuat
Tahulah dia dunia banyak mudharat
Tidaklah boleh dibuat sahabat

Zuhud yang dinyatakan oleh Syekh Abdul Wahab ini, tampaknya sejalan dengan apa yang disebutkan oleh Ibn Qudamah al-Maqdisi dalam kitab Mukhtashar Minhaj al-Qashidin. Menurutnya, zuhud adalah gambaran tentang menghindari dari mencintai sesuatu kepada sesuatu yang lebih baik darinya. Dengan kata lain, zuhud adalah menghindari dunia karena tahu akan kehinaannya bila dibandingkan dengan kehidupan akhirat]

Syekh Abdul Qadir al-Jailani, seperti yang dikutip oleh Said bin Musfir Al-Qahthani menegaskan “tidaklah sampai orang-orang yang telah sampai (kepada Allah) itu kecuali dengan ilmu dan kezuhudan terhadap dunia serta berpaling darinya dengan hati dan rasa.”

Seseorang yang telah “mengetahui rasanya”, membersihkan niat dan tujuannya dari kepentingan duniawi apapun maka akan berubahlah “segala thabi’at-nya” (kebiasaan-kebiasaan buruknya), sehingga seluruh gerak kehidupannya menjadi amal shalih dengan niat dan tujuan yang baik. 

Barangsiapa mengetahui rasanya
Niscaya berubah segala thabi’atnya
Sedikit tak mengambil akan dunianya
Ke akhirat juga banyak tuntutannya 

Seorang mukmin sesungguhnya mempunyai tujuan yang baik di semua perilakunya. Ia bekerja di dunia bukan untuk dunia, melainkan membangun dunia untuk akhirat. Jika ia melakukan yang lain, tujuannya adalah untuk keluarga, fakir miskin dan apa yang seharusnya ia perlukan dalam kehidupan. Dia melakukan semua itu supaya kelak diberikan ganjaran di akhirat. Dia tidak menuntut apapun di dunia, “ke akhirat juga banyak tuntutannya”.

2. Tarekat.
Tarekat (thariqah) memiliki hubungan yang erat dengan tasawuf. Jika tasawuf merupakan usaha untuk mendekatkan kepada Allah, maka tarekat adalah cara dan jalan yang ditempuh seseorang dalam usahanya mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan kata lain, tarekat sesungguhnya merupakan jalan yang harus ditempuh untuk dapat sedekat mungkin dengan Tuhan. Namun dalam perkembangannya, tarekat kemudian mengandung arti kelompok atau perkumpulan yang menjadi lembaga dan mengikat sejumlah pengikutnya dengan berbagai peraturan. Jadi, tarekat adalah tasawuf yang melembaga, dimana tiap tarekat mempunyai syekh, upacara ritual dan zikir tersendiri.

Tarekat pada tataran praktis, adalah suatu metode untuk menuntun (membimbing) seorang murid secara berencana dengan jalan pikiran, perasaan dan tindakan, terkendali terus menerus kepada suatu rangkaian dari tingkatan-tingkatan (maqamat) untuk dapat merasakan hakikat yang sebenarnya

Memasuki dunia tarekat yang demikian penting, Syekh Abdul Wahab mengingatkan bahwa sebelum mempelajarinya, seseorang harus terlebih dahulu mendalami Alquran dan Hadis. Ia menyatakan “hendaklah kamu bersungguh-sungguh menuntut ilmu Alquran dan kitab-kitab kepada Guru-Guru yang Mursyid...”. Sejalan dengan ini, Syekh Abdul Qadir Jailani menasehatkan agar melihat diri dengan pandangan yang penuh kasih dan cinta. Jadikan al-Kitab dan Sunnah di depan mata, lihatlah keduanya lalu amalkan. Jangan menentang sehingga tidak melaksanakan apa yang dibawanya. Ia menambahkan “ambillah nasehat dari Alquran dengan mengamalkannya, bukan dengan jalan menentangnya. Keyakinan adalah kata yang pendek, tetapi jika dilakukan ia menjadi panjang. Berimanlah pada Alquran, percayalah dengan hati, serta amalkan dengan anggota tubuh.” Syekh

Abdul Wahab mengingatkan agar kuat-kuat berguru Quran, hilangkan rasa malas, tekun dan bersungguh-sungguh dalam mempelajarinya serta “melancar (mengulang kembali pelajaran sambil terus memahaminya dengan baik) itu janganlah segan”.

Wahai anak muda bangsawan
Kuat-kuat engkau berguru Quran
Melancar itu janganlah segan
Supaya menjadi Qari pilihan

Amal ibadah manusia sesungguhnya tergantung pada pemahamannya terhadap pekerjaan yang sedang dilakukannya yakni ia harus benar-benar mengerti apa yang ia amalkan karena ilmu merupakan dasar utama suatu amal. Tanpa ilmu dan pemahaman yang benar, dikhawatirkan seseorang akan cenderung pada kesesatan dan hawa nafsu. Karena itu, ilmu-ilmu syariat yang lain seperti ilmu fiqh, ushul al-fiqh, bahasa Arab, nahwu dan sharf harus tetap dipelajari. Ilmu-ilmu akan menjadi dasar berpijak serta menjadi syarat untuk memasuki dunia tarekat.

Apabila sempurna kaji Quran
Ushul dan fiqh pula dipelajarkan
Serta ibadat berhari-harian
Faqih dan Qari orang panggilkan

Menurut Syekh Abdul Wahab, mempelajari Alquran dan Hadis berarti juga mempelajari syariat secara utuh, termasuk persoalan halal-haram, dosa dan fahala. Persoalan rukun, syarat dan adab dalam ibadah syariat tidaklah dapat dipisahkan untuk mencapai kesempurnaan. Kelak jika semua ini dapat dilakukan, bersamaan dengan perjalanan spiritual dalam tarekat, “baharulah (barulah) ikhlas amal ibadatnya”. 

Dalil dan Hadis diperbaikinya
Halal dan haram dosa fahalanya
Apabila sempurna adab syaratnya
Baharulah ikhlas amal ibadatnya

Setelah ilmu-ilmu tersebut dipelajari dengan baik, Syekh Abdul Wahab kemudian memperkenankan seseorang untuk mempelajari tarekat dan berguru “kepada khalifah yang tinggi pangkat”, guru yang mursyid, mereka yang benar-benar faham tentang perjalanan ruhani supaya “ilmu yang jauh menjadi rapat”.

Ambillah pula ilmu thariqat
Kepada khalifah yang tinggi pangkat
Ilmu yang jauh menjadi rapat
Tetapi ratib hendaklah kuat 

Meskipun demikian, Syekh Abdul Wahab hanya membatasi tarekat pada dua pilihan yakni tarekat Syaziliyah dan Naqsyabandiyah. Pembatasan ini tampaknya karena ia sendiri sudah sangat mendalami kedua tarekat tersebut. “Apabila kamu sudah baligh berakal hendaklah menerima Thariqat Syazaliyah atau Thariqat Naqsyabandiyah supaya sejalan kamu dengan aku”.

Seseorang yang sudah mempelajari tarekat, khususnya Naqsyabandiyah, harus melepaskan diri dari hawa nafsu dan ikatan-ikatan keduniawian seperti status sosial yang dapat membawa pada kebanggaan. Hawa nafsu dan ikatan duniawi adalah hijab yang harus dilepaskan agar tercapai keseimbangan dan kesempurnaan ruhani. Syekh Abdul Wahab menggambarkan status sosial dan ikatan duniawi ini dengan kata “tengkuluk” yakni topi yang dipakai para bangsawan dalam pakaian adat Melayu karena ia merupakan gambaran dari kebesaran seseorang.

Disamping itu, seorang murid harus meninggalkan semua perbuatan maksiat baik lahir maupun batin yang pernah dilakukannya selama ini sebab maksiat akan menjauhkan dirinya dari Tuhan. Melepaskan diri dari maksiat berarti berupaya terus menerus untuk mengekalkan ingat kepada Allah.

Apabila dipakai thariqat Naqsyabandiyah
Dibuang tengkuluk dipakai kopiah
Perbuatan yang haram ditinggalkanlah
Dikekalkan ingat kepada Allah

Kaum sufi termasuk Syekh Abdul Wahab, meyakini bahwa sisi batiniah dari syariat Islam adalah tarekat yang merupakan jalan menuju kebenaran hakiki (haqiqah) yakni tauhid, mengesakan Allah. Karena itu mereka mempercayai tiga hal yang mempunyai hubungan antara satu dengan yang lain yaitu syariat, tarekat dan hakikat. Syariat adalah sarana untuk mencapai tarekat dan tarekat merupakan sarana untuk mencapai hakikat. Dari sinilah akan terjadi pengenalan yang baik dan benar tentang Tuhan (ma’rifah).

Jikalau tuan memalai ilmu thariqat
Dibetul dahulu bicara i’tiqat
Serta dikenal dalil haqiqat
Baharulah sempurna pula makrifat

Murid yang meniti jalan tarekat di bawah bimbingan khalifah mumpuni, beribadah dengan tekun, akan mengetahui bahwa dunia ini penuh dengan hal yang dapat mendatangkan mudharat. Karena itu, dunia “tidaklah boleh dibuat sahabat”

Siapa orang ahli thariqat
Serta amalkan ibadahnya kuat
Tahulah dia dunia banyak mudharat
Tidaklah boleh dibuat sahabat

Setelah berusaha melepaskan diri dari hawa nafsu dan keakuan diri, maka perjalanan menuju Allah (suluk) dilanjutkan dibawah bimbingan guru yang mursyid. Perjalanan ini pada puncaknya akan sampai pada titik pengenalan kepada kepada Allah (ma’rifah). Namun seperti halnya al-Ghazali, Syekh Abdul Wahab menjelaskan bahwa puncak ma’rifah bukanlah bersatu dengan Tuhan (ittihad), melainkan justru mengetahui dengan nyata perbedaan yang jelas antara makhluk dengan Sang Khaliq.

Apabila sempurna thariqatmu tuan
Shalawat dan suluk pula kerjakan
Barulah putus makrifatmu tuan
Membezakan hamba dengannya Tuhan

3. Suluk
Suluk mempunyai keterkaitan yang erat dengan tarekat. Orang yang melaksanakan tarekat disebut salik dan perbuatannya di sebut suluk yang berarti perjalanan seseorang menuju Allah. Simuh, dengan bahasa yang sedikit panjang menjelaskan bahwa kaum sufi yang sedang merasakan kerinduan kepada Tuhan kemudian berusaha mencari dan mendekatiNya menyebut dirinya sebagai pengembara (salik). Mereka melangkah maju dari satu tingkat (maqam) ke tingkat yang lebih tinggi. Jalan yang mereka tempuh ini dinamakan tarekat sedangkan tujuan akhir perjalanannya adalah mencapai penghayatan fana fi Allah yakni kesadaran leburnya diri dalam samudera kemahabesaran Ilahi. Jalan tasawuf ini sering dinamakan suluk. 

Suluk atau khalwat (dalam bahasa Parsi disebut cilla yang berarti empat puluh) merupakan kegiatan mengasingkan diri ke sebuah tempat tertentu (rumah suluk) dari kesibukan duniawi untuk sementara waktu di bawah pimpinan seorang mursyid agar dapat beribadah lebih khusyu’ dan sempurna. Dalam prakteknya, suluk dapat dilakukan selama 3, 7, 10, 20 dan 40 hari. Jumlah yang terakhir ini adalah masa yang terbaik dalam pelaksanaan suluk. Meskipun demikian, suluk ini tidak diwajibkan, namun dalam tarekat Naqsyabandiyah khususnya di daerah Sumatera dan sebagian Jawa, hal ini sangat dianjurkan.

Mengerjakan suluk janganlah jemu
Dari kecil sampai besarmu
Pengajaran ini daripada hamba
Kepada adik dan kakak bersama-sama

Sebelum membangun Babussalam, Syekh Abdul Wahab lebih dahulu membangun rumah suluk di daerah Batubara (Kabupaten Asahan Sumatera Utara). Disinilah ia mengajar murid-muridnya selama beberapa waktu sampai datangnya permintaan untuk ‘mengaji’ dari Sultan Musa al-Muazzamsyah, Raja Langkat di Tanjung Pura.

Mendirikan suluk di Batubara
Karena berhajat sanak saudara
Datanglah faqir dengannya segera
Dari negeri Langkat si Tanjung Pura

Suluk, pada hakikatnya adalah mengosongkan diri dari sifat-sifat buruk (as-shifat al-madzmumat) dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji (as-shifat al-mahmudah).] Ia merupakan perjalanan hati menuju kelurusan akhlak dan keimanan serta pen-tahqiq-an peringkat keyakinan kepada-Nya. Perjalanan hati ini harus mendaki dari satu maqam ke maqam yang lain yang lebih tinggi secara terus menerus tanpa henti. Inilah perjalanan batin di atas perjalanan batin. Jadi, suluk merupakan usaha seorang hamba untuk dapat menemukan hakikat iman yang tidak dapat dicapai kecuali dengan membersihkan hati, yang merupakan tempat iman dan tempat penilaian Tuhan terhadap amal hambaNya. FirmanNya dalam QS an-Nahl 69:

“Maka berjalanlah diatas jalan-jalan Tuhanmu dengan patuh”.

Pelaksanaan suluk akan mendatangkan banyak manfaat bagi salik antara lain mendapatkan nikmat dunia dan akhirat serta memperoleh limpahan kurnia dan cahaya Nur Ilahi. Suluk akan mengangkat derajat seseorang kepada tingkatan yang lebih tinggi apabila memenuhi berbagai persyaratan yang telah telah ditentukan antara lain niat yang ikhlas hanya karena Allah dan taubat dari segala maksiat lahir dan batin. Disamping itu, suluk harus di bawah bimbingan seorang guru yang mursyid yang ahli ma’rifah, “thabib yang pandai obat” agar tidak menyimpang dari jalan menuju Tuhan sehingga mendatangkan mudharat / kerusakan atau kehancuran.

Maka bersuluk karena derajat
Karena jalan mengampuni taubat
Dicarilah thabib yang pandai obat
Supaya jangan menjadi mudharat

Dalam menjalankan suluk, diperlukan sikap aktif seorang salik serta penolakan terhadap apa saja yang dapat menghambat aktifitas suluk. Sikap-sikap ini akan menumbuhkan semangat yang kuat sekaligus menghilangkan kemalasan dan keengganan dalam bersuluk agar tasbih yang dipegang, tidak dilepaskan.

Jikalau tiada kuat bertanya
Mana yang dapat segera hilangnya
Datanglah segan mengerjakannya
Tasbih dipegang dilepaskannya

Rasa malas, segan dan lelah dapat mendera seorang salik dalam perjalanan spiritualnya menuju kedekatan kepada Allah (taqarrub). Karena itu Syekh Abdul Wahab memberikan tiga resep kunci yakni, memperbanyak zikir kepada Allah, sabar atas cobaan yang diberikan-Nya serta men-dawam-kan istighfar, memohon ampunan kepada-Nya.

Jikalau datang segan dan lelah
Dibanyakkan ingatan kepada Allah
Datang cobaan disabarkanlah
Meminta ampun barang yang salah

Dalam pelaksanaan suluk, seorang murid berada di bawah bimbingan guru yang mursyid secara penuh untuk sampai kepada Allah. Mursyid akan memberikan petunjuk dan aturan yang harus dijalankan. Murid tidak boleh menyembunyikan dari mursyid sesuatu yang dirasakannya, seperti getaran kalbu, lintasan hati, peristiwa-peristiwa ajaib, maupun tersingkapnya hijab. Apabila seorang murid memperoleh keajaiban dalam amalannya, hendaklah diberitahukan kepada mursyid dengan sebenarnya. Seluruh perjalanan yang dilihat dan dirasakan harus disampaikannya kepada mursyid secara utuh. Murid dalam hal ini, tidak boleh menyembunyikan sedikitpun atau sebaliknya, menambahi penglihatan atau perasaannya .

Jikalau guru datang bertanya
Hendaklah dikhabarkan dengan sebenarnya
Jangan dikurangi jangan dilebihinya
Sebanyak yang dilihat dikhabarkannya 

Bagi seorang murid, mursyid merupakan wasilah untuk sampai kepada Tuhan. Ia tidak hanya sekedar memerlukan bimbingan mursyid-nya tapi lebih dari itu membutuhkan campur tangan aktifnya sebagai pembimbing spiritual dan para pendahulu sang pembimbing termasuk yang paling utama, Rasulullah Saw. Silsilah ini menunjukkan rantai bersambung yang menghubungkan seseorang dengan Nabi dan melalui ia sampai kepada Tuhan. Pemahaman terhadap silsilah ini dalam tarekat Naqsyabandiyah, membawa pada teknik rabithah mursyid yang berarti mengadakan hubungan batin dengan sang pembimbing sebagai pendahuluan zikir dalam suluk. Rabithah ini dilakukan melalui penghadiran mursyid, membayangkan hubungan yang sedang dijalin yang seringkali dalam bentuk seberkas cahaya yang memancar dari sang mursyid.

Barangsiapa banyak was-wasnya
Dihadirkan rabithah rupa gurunya
Jikalau tidak sempurna hadirnya
Tiadalah faedah menolaknya

Me-rabithah yakni menghadirkan wajah (rupa/gambar) mursyid bagi seorang murid sangat dianjurkan terutama bagi mereka yang selalu dihinggapi was-was (keragu-raguan yang selalu muncul di dalam hati) dalam perjalanan suluknya. Dalam imajinasi murid, hatinya dan hati mursyid saling berhadapan. Murid harus membayangkan bahwa hati sang mursyid bagaikan samudera karunia spiritual yang akan melimpah ke hatinya sehingga membawa pada pencerahan. Apabila murid membiasakan fana pada mursyid yang menjadi rabithah-nya, maka ia akan sampai pada tingkatan muqobalah yaitu taraf ruhani dimana seorang salik berhadap-hadapan dengan Sang Khaliq yang wajib al-wujud.

Menghadirkan rabithah itu banyak faedah
Ialah membawa kepada limpah
Melazimkan fana kepada rabithah
Itulah membawa kepada muqobalah

Orang yang senantiasa menjalankan suluk akan memperoleh manfaat. Pertama, mempunyai pengalaman yang banyak dan pandangan yang jauh. Kedua, mempunyai pemahaman yang mendasar dan akhlak yang baik. Ketiga, mempunyai jiwa yang rela dan akal yang bersih.

Ayuhal ikhwan hendaklah tilik
Inilah kesudahan perjalanan suluk
Perjalanan laju tidak bertuluk
Karena Allah Tuhan yang Kholiq

Akhir perjalanan suluk adalah penyaksian akan kebesaran dan kekuasaan Allah yang Maha Agung dan Sempurna yang merupakan pemberian (mauhibah) dari DIA sendiri. Hati yang putih bersih dan dipenuhi dengan cahaya Ilahy akan merasakan musyahadah yakni melihat dan menyaksikan Allah dengan mata hari (sir) tanpa terhalang dengan apapun. Musyahadah ini dapat terjadi dalam waktu yang sebentar namun dapat pula berkepanjangan secara terus menerus sepanjang hayat. Inilah yang menjadi idaman dari seorang salik.

Kurnia Allah Tuhan yang baqi
Kepada hamba-Nya yang putih hati
Tafakur musyahadah tiada berhenti
Daripada hidup sampai ke mati

No comments:

Post a Comment