Monday 3 April 2017

HUBUNGAN AL-HADITS TERHADAP AL-QUR’AN
Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan pedoman hidup yang tak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Disamping itu keduanya juga merupakan sumber hukum dalam Islam. Al-Qur’an sebagai hokum yang pertama dan utama banyak memuat ajaran yang bersifat umum dan global. Oleh karena itu Hadits yang menjadi sumber hukum Islam yang kedua menjadi penjelas (Bayan) terhadap isi kandungan Al-Qur’an yang masih bersifat umum tersebut. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an,

Surah Annahl ayat 44 yaitu :

بالبيــنت والـزبر. وانزلـــنا اليـك الـذ كر لتبــين للنـاس ما نـزل اليـهم ولعـلهم يتفـــكرون ( النحل : )

Artinya :
Keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab dan kami turunkan kepada mu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.

Allah SWT menurunkan Al-Qur’an kepada manusia untuk difahami dan diamalkan, karena itu agar maksud tersebut terwujud, maka Allah SWT memerintahkan kepada Rasullah Muhammad SAW untuk menjelaskannya melalui hadits Beliau.

Hadits sebagai penjelas atau bayan Al-Qur’an itu memiliki bermacam-macam fungsi. Imam Malik bin Anas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu sebagai bayan at-taqrir, bayan at-tafsir, bayan at-tafsil, bayan at-bast, bayan at-tasyri’. Sementara itu, Imam syafi’I menyebutkan lima fungsi, yaitu bayan at-tafsil, bayan at-takhsis, bayan at-ta’yin, bayan at-tasyri’, dan bayan an-nasakh.

Jika dirinci maka secara umum peranan (fungsi) Al-Hadits terhadap Al-Qur’an diantaranya adalah sebagai berikut :
Al-Hadits memperkuat (memperkokoh) isi kandungan Al-Qur’an.

Contoh :
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 185

شهر رمضــان الذى أنـزل فيه الـقران هدى للنـاس وبينت من الـهدى والفرقــان فمن شــهد منـكم الشـهر فليصـمه ومن كان مريـضا أو على سفـر فعــدة من أيام اخـر, يريـد الله بكم اليـسر ولا يريد بـكم العسـر ولتكمـلواالعـدة ولتكـبر الله على ما هــداكم ولعـلكم تشـكرون (البقرة : )

Artinya : (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembela (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur.

Untuk memperkuat ayat di atas rasullah SAW bersabda :

صوموا لرؤيـته وافـطروا لرؤيـته فإن غـم عليـكم فاقدروا لــه. ( رواه مسلم )

Artinya : Apabila kalian melihat (ruyah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah (H.R.Muslim)

b. AL-Hadits memberi rincian terhadap ayat-ayat yang masih bersifat umum (mujmal)
diantara ayat yang bersifat mujmal itu adalah ayat-ayat yang bercerita tentang shalat, zakat, puasa, syari’at jual beli, nikah dan sebagainya. Salah satu contohnya adalah perintah shalat yang ada dalam Al-Qur’an (Surah Al-Baqarah ayat : 43 ) berikut ini :

واقـيم الصـلوة واتو الزكوة واركـعوا مع الراكعين (البقرة : )

Artinya : 
Dan dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’

Ayat di atas hanya berbicara secara umum tentang shalat, sedangkan tata cara pelaksanaan shalat tidak dijelaskan di dalam ayat tersebut, maka hal ini dijelaskan oleh Rasullah SAW di dalam Hadits beliau, sebagaimana sabda Beliau yang berbunyi :

صَـلُّوْا كَمـَا رَاَيْتُمُـوْنِي اُصَلّي (رواه البخارى)

Artinya :
Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat (HR. Bukhori)

AL-Hadits menetapkan hukum sesuatu yang belum ada ketetapannya dalam Al-Qur’an atau bisa juga dikatakan bahwa hokum sesuatu itu hanya pokok-pokoknya saja yang ada dalam Al-Qur’an. 

Kemudian hadits menunjukkan suatu kepastian hukum. Misalnya saja di dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa haram hukumnya memakan bangkai, bangkai disini hanya dijelaskan secara umum. Kemudian Al-hadits menetapkan hukum yang lebih tegas dengan mengatakan bahwa semua bangkai adalah haram kecuali bangkai ikan dan belalang. Contoh lain adalah hadits tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara dalam satu ikatan pernikahan semisal istri dan bibinya atau wanita yang merupakan saudara kandung.

Al-Hadits sebagai penentu di antara dua atau tiga perkara yang dimaksud dalam Al-Qur’an 
Banyak ayat atau lafaz Al-Qur’an yang memiliki berbagai kemungkinan arti atau makna, sehingga terjadilah perbedaan tafsir oleh keterangan lain, kemungkinan pemahaman terhadap ayat tesebut akan berlainan dengan tujuan yang dikehendaki dan tentu daja akan menjadi sulit untuk dilaksanakan. Contohnya ayat tentang masa ‘iddah tiga kali quru’ bagi perempuan yang diceraikan suaminya. Lafal quru’ dalam ayat tersebut berarti haid dan suci. Tidak jelas apakah ayat tersebut berbicara tentang ‘iddah perempuan yang dithalaq itu tiga kali suci atau tiga kali haid. Oleh karena itu, muncul haidts yang menjelaskan atau menentukan (ta’yin) dari dua masalah tesebut.

Al-Hadits sebagai bayan An-nasakh
Para ulama berbeda pendapat tentang fungsi hadist yang satu ini, hal ini terjadi karena adanya Perbedaan pendapat dalam menta’rifkan pengertiannya. Sehingga ada yang menerima dan mengakui fungsi hadist sebagai nasikh terhadap sebagian hukum Al-Qur’an tetapi ada juga yang menolaknya.

Menurut ‘Ulama Mutaqaddimin terjadinya nasakh dikarenakan adanya dalil syara’ yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, sebab masa berlakunya telah berakhir dan tidak bisa diamalkan lagi. Akhirnya syari’ (pembuat syari’at) menyatakan bahwa ayat tersebut tidak berlaku untuk selamanya ataupun temporal.

Maka ketentuan yang dating kemudian dapat menghapus ketentuan yang sebelumnya. Itu berarti, hadist dapat menghapus ketentuan dan kandungan isi Al-Qur’an. Ketidak berlakuan suatu hukum harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, terutama syarat adanya nasakh dan mansukh.

Kelompok yang membolehkan adanya nasakh ini adalah golongan Mu’tazilah, Hanafiah dan mazhab Ibnu Hazm Adh-Dhahiri. Mu’tazilah membatasi, Hanafiah dan mazhab Ibnu Hazm pada hadits yang mutawatir (mutawatir lafzhi). Sementara golongan hanafiah tidak mensyaratkan hadits yang mutawatir, yang masyhur (hadits ahad) pun bisa menasakhkan hukum ayat Al-Qur’an. Dam mazhab Ibnu HAzm Adh-Dhahiri menyatakan adanya nasakh meskipun dengan hadits ahad.

Salah satu contoh dari fungsi hadits sebagai bayan annasakh ini adalah firman Allah surah Al-Baqarah ayat 180, tentang wasiat bagi ahli waris, yaitu :

كتب عليكم اذا حضر عليكم الموت ان ترك خيران الوصية للوالدين والأقربين بالمعروف حقا على المتقين (البقرة : )

Artinya :
Diwajibkan atas kamu apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.

Ayat di atas disanadkan dengan hadits yang berbunyi :

لا وصية لرارث (رواه البخارى)

Artinya :
Tidak ada wasiat bagi ahli waris (HR. Bukhori)

Kelompok yang menolak nasakh ini adalah Imam Syafi’I, mazhab Zhahiriah dan Khawarij.

No comments:

Post a Comment