Monday 20 March 2017

Konsep dan Dinamika Pelayanan Publik

Konsep dan Dinamika Pelayanan Publik
Pelayanan publik merupakan produk birokrasi publik yang diterima oleh warga pengguna maupun masyarakat secara luas. Karena itu menurut pelayanan publik dapat didefinisikan sebagai serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan warga pengguna. Pengguna yang dimaksud disini adalah warga negara yang membutuhkan pelayanan publik, seperti pembuatan KTP, IMB, akte kelahiran, sertifikat tanah dan lain sebagainya.

Berbeda dengan produk pelayanan berupa barang yang mudah dinilai kualitasnya, produk pelayanan berupa jasa tidak mudah untuk dinilai kualitasnya. Pelayanan jasa tidak berwujud sehingga tidak nampak (intangible). Namun demikian proses penyelenggaraannya bisa diamati dan dirasakan. Demikian pula halnya dengan pelayanan publik, yang merupakan sebuah produk pelayanan jasa yang diselenggarakan oleh birokrasi pemerintah. Pelayanan publik merupakan pelayanan yang diselenggarakan oleh birokrasi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat penggunanya (warga negara).

Masyarakat setiap waktu selalu menuntut pelayanan publik yang berkualitas dari birokrasi pemerintah, meskipun tuntutan tersebut sering tidak sesuai dengan harapan mereka, karena secara empiris pelayanan publik yang terjadi selama ini masih terkesan berbelit-belit, lambat, mahal dan melelahkan. Kecenderungan seperti itu terjadi karena masyarakat masih diposisikan sebagai pihak yang “melayani”, bukan yang “dilayani”. Oleh sebab itu pada saat ini kebutuhan mendesak yang perlu dilakukan oleh birokrasi pemerintah adalah melakukan reformasi pelayanan publik dengan mengembalikan dan mendudukkan “pelayan” dan yang “dilayani” ke pengertian yang sesungguhnya.

Osborne & Plastrik (1997) mencirikan pemerintahan (birokrasi) sebagaimana diharapkan di atas adalah pemerintahan milik masyarakat, yakni pemerintahan (birokrasi) yang mengalihkan wewenang kontrol yang dimilikinya kepada masyarakat. Masyarakat diberdayakan sehingga mampu mengontrol pelayanan yang diberikan oleh birokrasi. Dengan adanya kontrol dari masyarakat pelayanan publik akan lebih baik, karena mereka akan memiliki komitmen yang lebih baik, lebih peduli dan lebih kreatif dalam memecahkan masalah. Pelayanan yang diberikan oleh birokrat ditafsirkan sebagai kewajiban, bukan hak karena mereka diangkat oleh pemerintah untuk melayani masyarakat, oleh karena itu harus dibangun komitmen yang kuat untuk melayani sehingga pelayanan akan dapat menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan dapat merancang model pelayanan yang lebih kreatif serta lebih efisien.

Sementara itu dalam konteks desentralisasi (otonomi daerah), Mohamad (2003) mengatakan bahwa pelayanan publik seharusnya menjadi lebih responsif terhadap kepentingan publik. Paradigma pelayanan publik berkembang dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan (customer-driven government) dengan ciri-ciri:
  • lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan yang memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan kepada masyarakat,
  • lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama,
  • menerapkan sistem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas,
  • terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil (outcomes) sesuai dengan masukan yang digunakan,
  • lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat,
  • pada hal tertentu pemerintah juga berperan untuk memperoleh pendapat dari masyarakat dari pelayanan yang dilaksanakan,
  • lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan,
  • lebih mengutamakan desetralisasi dalam pelaksanaan pelayanan, dan
  • menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan.
Pada dasarnya pemerintah telah melakukan berbagai upaya agar menghasilkan pelayanan yang lebih cepat, tepat, manusiawi, murah, tidak diskriminatif, dan transparan. Namun, upaya-upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah nampaknya belum optimal. Salah satu indikator yang dapat dilihat dari fenomena ini adalah pada fungsi pelayanan publik yang banyak dikenal dengan sifat birokratis dan banyak mendapat keluhan dari masyarakat karena masih belum memperhatikan kepentingan masyarakat penggunanya. Kemudian, pengelola pelayanan publik cenderung lebih bersifat direktif yang hanya memperhatikan/ mengutamakan kepentingan pimpinan/organisasinya saja. Masyarakat sebagai pengguna seperti tidak memiliki kemampuan apapun untuk berkreasi, suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus tunduk kepada pengelolanya. Seharusnya, pelayanan publik dikelola dengan paradigma yang bersifat supportif di mana lebih memfokuskan diri kepada kepentingan masyarakatnya, pengelola pelayanan harus mampu bersikap menjadi pelayan yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani.

Hasil survey UGM pada tahun 2002, secara umum stakeholders menilai bahwa kualitas pelayanan publik mengalami perbaikan setelah diberlakukannya otonomi daerah; namun dilihat dari sisi efisiensi dan efektivitas, responsivitas, kesamaan perlakuan (tidak diskriminatif) masih jauh dari yang diharapkan dan masih memiliki berbagai kelemahan.

Sementara itu, dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien (Mohamad, 2003).

No comments:

Post a Comment