GEREJA KATOLIK ROMA ZAMAN PERTENGAHAN
Di sepanjang seri pelajaran ini, kita terutama telah memusatkan perhatian pada teologi Reformed atau Protestan, tetapi seringkali akan bermanfaat jika kita mulai dengan Gereja Katolik Roma Zaman Pertengahan sebagai latar belakang bagi pandangan-pandangan Protestan. Seperti yang akan kita lihat, pandangan Reformed tentang otoritas dalam teologi dibangun terutama sebagai respons terhadap kesalahan-kesalahan gereja di Zaman Pertengahan.
Ketika kita menelusuri gereja Zaman Pertengahan, kita akan menyinggung dua topik: pertama, doktrin Zaman Pertengahan tentang otoritas Alkitab; kedua, pandangan yang dihasilkan tentang otoritas gerejawi. Mari kita perhatikan terlebih dulu otoritas Alkitab di dalam Gereja Katolik Roma Zaman Pertengahan.
Otoritas Alkitab
Sebelum Reformasi, Alkitab diperlakukan secara berbeda oleh orang-orang yang berbeda dan ordo-ordo yang berbeda di dalam gereja. Meskipun begitu, cukup adil untuk mengatakan bahwa mayoritas yang sangat luas dari teolog Zaman Pertengahan mempercayai otoritas Alkitab, setidaknya secara teori. Akan tetapi, dalam praktiknya, gereja Zaman Pertengahan mengambil sikap terhadap Alkitab yang membuatnya hampir mustahil untuk menindaklanjuti komitmen kepada otoritas Alkitab ini.
Ketika kita menyelidiki masalah ini, kita akan menyinggung tiga hal: pertama, pandangan ekstrim tentang inspirasi Alkitab pada Zaman Pertengahan; kedua, pandangan yang berlebihan tentang makna Alkitab; dan ketiga, klaim yang berlebihan tentang ketidakjelasan Alkitab. Pertama mari kita pikirkan terlebih dulu tentang pandangan Zaman Pertengahan tentang inspirasi Alkitab.
Inspirasi
Secara keseluruhan, para teolog Katolik Zaman Pertengahan mengakui bahwa Alkitab sepenuhnya diinspirasikan oleh Allah dan diberikan melalui instrumen-instrumen manusiawi. Sayangnya, selama periode sejarah gereja ini, banyak teolog menjadi terlalu ekstrim dalam cara mereka mengerti inspirasi. Mereka menekankan asal-usul ilahi Alkitab dengan mengabaikan asal-usul manusiawi dan historisnya. Zaman Pertengahan menekankan asal-usul ilahi Alkitab secara berlebihan karena sejumlah alasan.
Sebagai contoh, para teolog Zaman Pertengahan sangat bergantung pada filsafat Yunani, seperti neo-Platonisme dan Aristotelianisme, dan dalam banyak cara filsafat-filsafat ini mengarahkan kategori-kategori dan prioritas-prioritas teologi Kristen. Karena filsafat-filsafat ini lebih menghargai realitas kekal ketimbang realitas sementara dan historis, para teolog Kristen belajar untuk berpikir bahwa asal-usul surgawi Alkitab jauh lebih esensial bagi karakter Alkitab ketimbang asal-usul historis dan manusiawinya.
Selain hal ini, para sarjana biblika Zaman Pertengahan sedikit sekali mengetahui sejarah kuno zaman Alkitab sehingga mereka tidak dapat memanfaatkan latar belakang historis Alkitab secara praktis. Jadi, mereka menekankan apa yang mereka ketahui – yaitu bahwa Alkitab mengandung kebenaran abadi yang telah diwahyukan oleh Allah surgawi yang kekal – dan mereka banyak meremehkan pertimbangan-pertimbangan lainnya.
Penekanan gereja Zaman Pertengahan pada asal-usul ilahi Alkitab juga membawa kepada suatu kepercayaan yang merugikan tentang makna Alkitab. Secara luas diasumsikan bahwa asal-usul surgawi Alkitab mengimplikasikan bahwa Alkitab tidak menyampaikan makna dengan cara yang sama seperti kitab-kitab lain. Sebaliknya, karena Allah yang menginspirasikannya, Alkitab melimpah dengan makna. Banyak teolog abad pertengahan mengikuti Agustinus dalam meyakini bahwa salah satu bukti untuk inspirasi Alkitab adalah bahwa teks Alkitab memiliki makna majemuk.
Perhatikan bagaimana Agustinus menyatakan ini dalam buku ketiga dari On Christian Doctrine:
Ketika... dua atau lebih tafsiran diberikan terhadap kata-kata yang sama dalam Alkitab, meskipun makna yang dimaksudkan oleh penulisnya tetap tidak ditemukan, tidak ada bahaya... Sebab hal apakah yang lebih berlimpah dan lebih bermanfaat yang bisa Allah berikan sehubungan dengan Kitab Suci yang Sakral selain bahwa kata-kata yang sama dapat dipahami dengan beberapa pengertian?
Dalam banyak hal, kita dapat mengagumi pandangan Agustinus yang meninggikan Alkitab. Alkitab bukanlah buku biasa, dan banyak kualitasnya yang luar biasa menunjuk kepada inspirasi ilahinya. Kita juga bisa menyetujui bahwa banyak aspek Alkitab hanya dapat dijelaskan dalam kerangka pengawasan adikodrati Allah dalam penulisannya.
Makna
Akan tetapi, pandangan Agustinus diteruskan lebih jauh lagi. Ia percaya bahwa inspirasi ilahi menyebabkan bagian-bagian Alkitab disarati dengan berbagai makna. Ketimbang memusingkan tentang pemikiran-pemikiran yang ingin disampaikan oleh para penulis Alkitab, Agustinus percaya kita harus memusatkan perhatian pada banyak makna yang Allah maksudkan. Kita akan menyebut pandangannya, dan pandangan-pandangan lain yang berkaitan sebagai “pandangan polivalensi klasik,” yaitu kepercayaan bahwa teks alkitabiah memiliki banyak tingkatan makna atau nilai karena berasal dari Allah.
Barangkali ekspresi yang paling dikenal luas dari polivalensi klasik ini adalah pendekatan untuk penafsiran yang dipopulerkan oleh John Cassian, yang dikenal sebagai Quadriga. Menurut pendekatan ini, setiap teks Alkitab harus dianggap memiliki empat makna yang berbeda. Pertama, makna harfiah adalah makna langsung atau biasa dari suatu teks. Kedua, makna alegoris menafsirkan teks sebagai kiasan untuk kebenaran doktrinal. Ketiga, makna tropologis atau moral menghasilkan pedoman etis untuk perilaku Kristen. Dan keempat, makna anagogis menunjukkan bagaimana teks tersebut berbicara tentang penggenapan masa depan dari janji-janji ilahi di dalam eskhaton, atau pada hari-hari terakhir.
Detail-detail Quadriga dan ekspresi-ekspresi lain dari polivalensi klasik tidak penting untuk tujuan kita, dan banyak penulis telah menjelaskannya dalam tulisan lain. Kita hanya ingin memahami bahwa pada masa Reformasi, kebanyakan teolog Katolik percaya bahwa makna teks alkitabiah jauh melampaui apa yang kini kita sebut sebagai makna normal atau biasa. Dan secara signifikan, mereka cenderung percaya bahwa makna-makna tambahan ini tidak berakar pada makna yang ingin disampaikan oleh para penulis Alkitab. Bahkan, makna harfiah atau tersurat dari suatu nas kerap dianggap terlalu sederhana bagi perenungan teologis yang serius. Sebaliknya, para teolog didorong untuk mementingkan lapisan-lapisan makna yang lebih dalam dan tersembunyi sebab hal-hal itu menyatakan kedalaman pikiran Allah bagi gereja.
Ketidakjelasan
Pendekatan Zaman Pertengahan kepada inspirasi dan makna Alkitab mengarahkan kita kepada penekanan yang berlebihan pada karakteristik lain dari Alkitab: ketidakjelasannya. Alkitab akhirnya diperlakukan sebagai sebuah kitab yang sangat tidak jelas, kecuali bagi mereka yang telah menerima wawasan-wawasan supernatural yang khusus.
Kita tidak perlu heran bahwa isi Alkitab terkesan tidak jelas bagi rata-rata orang Kristen sebelum Reformasi. Pertama-tama, Alkitab sangat langka sehingga orang hampir tidak memiliki akses untuk membacanya. Lagi pula, bahasa Latin adalah bahasa utama Alkitab dan teologi, dan hanya sedikit orang berpendidikan tinggi yang cukup menguasai bahasa Latin cukup untuk dapat menggunakannya. Maka, masuk akal bahwa Alkitab merupakan kitab yang tertutup bagi rata-rata orang Kristen pada zaman itu.
Akan tetapi, Alkitab juga dianggap tidak jelas bahkan bagi mereka yang memiliki kemampuan dan kesempatan untuk membaca Alkitab. Allah telah menaruh banyak lapisan makna di dalam Alkitab yang tersembunyi dari pandangan mata.
Bayangkan seseorang memperlihatkan sebuah foto dari peti harta yang tertutup kepada Anda, dan meminta Anda untuk memberitahukan jenis harta apa yang ada di dalamnya. Tentu saja, mustahil untuk mengetahui apa yang ada di dalam peti itu sebab harta di dalamnya tersembunyi. Hal yang sama juga berlaku pada Alkitab di dalam gereja Zaman Pertengahan.
Pada masa Reformasi, kepercayaan tentang ketidakjelasan Alkitab mengakibatkan Alkitab hampir tidak mungkin memiliki otoritas praktis atau nyata bagi perkembangan teologi. Tentu saja, Alkitab secara teori tetap merupakan peti harta Allah yang diinspirasikan bagi teologi Kristen. Akan tetapi, pada intinya, Alkitab tetap tertutup; Alkitab begitu tidak jelas sehingga tidak sanggup menuntun para teolog dalam tugas mereka.
Sambil mengingat pandangan Zaman Pertengahan tentang otoritas Alkitab, kita siap untuk beralih kepada pertimbangan kedua kita: otoritas gerejawi di dalam gereja Zaman Pertengahan.
Otoritas Gereja
Pandangan Zaman Pertengahan tentang otoritas gereja berkembang sebagai obat penawar bagi masalah-masalah yang dimunculkan oleh doktrin Zaman Pertengahan tentang Alkitab. Karena Alkitab dianggap tidak jelas, maka Alkitab tidak dapat berfungsi sebagai otoritas atas teologi. Akibatnya, otoritas gerejawi atau gereja mulai memainkan peran yang sangat penting dalam teologi.
Untuk mengerti peran khusus dari otoritas gerejawi ini, kita akan melihat ke dua arah: pertama, bagaimana para teolog Zaman Pertengahan memahami otoritas gereja di masa lalu mereka; dan kedua, bagaimana mereka memahami otoritas gerejawi di zaman mereka sendiri. Mari kita lihat terlebih dulu otoritas teologi gerejawi dari masa lampau.
Otoritas di Masa Lampau
Pada masa Reformasi, Gereja Katolik telah mengembangkan pendekatan yang cukup rumit tentang otoritas gerejawi di masa lampau. Tentu saja, Alkitab itu sendiri dilihat sebagai bagian dari warisan gereja. Namun, sebagaimana telah kita lihat, pada Zaman Pertengahan, ajaran-ajaran Alkitab itu sendiri dianggap begitu tidak jelas sehingga diperlukan sumber panduan lainnya. Akibatnya, para teolog Zaman Pertengahan menyelidiki sejarah teologi gerejawi untuk menentukan apa yang harus mereka percayai. Dan mayoritas terbesar dari mereka melihat sejarah gereja sebagai sejarah tentang Allah yang memimpin dan menuntun umat-Nya di dalam jalan-jalan kebenaran. Karena alasan ini, apa yang gereja ajarkan di masa lampau menjadi perhatian vital bagi para teolog Zaman Pertengahan setidaknya dalam dua hal.
Di satu pihak, banyak perhatian diberikan kepada para bapa gereja mula-mula. Tulisan-tulisan dari orang-orang seperti Polikarpus, Ignatius, Irenaeus, Tertulianus dan Yustinus Martir, dan para bapa gereja yang kemudian seperti Agustinus, Athanasius dan Hieronimus – orang-orang ini sangat mempengaruhi kepercayaan dari berbagai ordo di dalam gereja. Memang lazimnya para bapa gereja ini tidak dianggap infallible, dan berbagai cabang gereja cenderung menghargai arus-arus tradisi bapa gereja yang berbeda.
Namun, secara umum orang masih mengasumsikan bahwa Allah telah memberikan wawasan khusus kepada para teolog agung di masa lampau ini, dan bahwa gereja harus memberi perhatian khusus kepada ajaran mereka. Para teolog Zaman Pertengahan jarang membuat penegasan teologis tanpa sejenis dukungan dari para bapa gereja mula-mula.
Di pihak lain, gereja Zaman Pertengahan bahkan lebih bergantung pada konsili-konsili ekumenis gereja: konsili Nicea, konsili Konstantinopel, konsili Chalcedon. Temuan-temuan dari konsili-konsili ini dan konsili-konsili lainnya ditanggapi dengan sangat serius. Pada intinya, para teolog Zaman Pertengahan menganggap semua itu sebagai rangkuman yang tidak diragukan lagi dari ajaran Alkitab. Tidak sepaham dengan semuanya itu sama saja dengan tidak sepaham dengan Alkitab dan Kristus.
Setelah berabad-abad berlalu, banyak ajaran para bapa gereja dan temuan konsili ekumenis berkembang menjadi tradisi gerejawi yang resmi. Dan ketika semua tradisi ini menguat, hal-hal tersebut ikut membentuk dogma ekstensif yang dianut gereja. Dogma gerejawi ini tidak dianggap sebagai teologi manusia yang fallible, tetapi sebagai teologi yang menyandang otoritas yang sama dengan Alkitab. Bahkan, pada intinya, dogma gereja menggantikan Alkitab. Sebelum Reformasi, orang Kristen yang setia tidak diharapkan untuk bertanya, “Apa yang Alkitab katakan?” tetapi “Apa yang gereja katakan?”
Walaupun otoritas gerejawi masa lampau penting bagi gereja Zaman Pertengahan, doktrin Alkitab masa tersebut juga menciptakan kebutuhan akan otoritas teologis yang tinggi pada situasi kontemporer.
Otoritas Kontemporer Zaman Pertengahan
Yang pasti, gereja terus mengakui otoritas Alkitab dalam teori. Akan tetapi, Alkitab sendiri terlalu tidak jelas untuk memimpin gereja dalam isu-isu kontemporer yang belum diselesaikan di masa lampau. Jadi, bagaimana gereja mendapatkan panduan dalam menghadapi berbagai kontroversi teologis saat itu?
Sederhananya, para teolog abad pertengahan percaya bahwa Allah telah mendirikan suatu sistem otoritas hidup di dalam hierarki gereja, dan hierarki ini melengkapi tubuh Kristus dengan ajaran yang tidak perlu diragukan lagi. Otoritas untuk menyelesaikan kontroversi saat itu ada di tangan para imam, uskup, dan Paus yang oleh banyak pihak dianggap sebagai kepala gereja yang infallible. Ketika ada keputusan teologis yang harus ditetapkan, orang percaya tidak dianjurkan untuk bertanya, “Apa kata Alkitab?” Sebaliknya, mereka didorong untuk bertanya, “Apa yang dikatakan oleh hierarki gereja?”
Beberapa puluh tahun yang lalu saya melayani dalam proyek penginjilan untuk orang-orang jalanan di sebuah negara Eropa Timur, yang mayoritas penduduknya beragama Katolik. Pada satu kesempatan, saya menawarkan Alkitab kepada seorang pemuda. Ia berhenti dan berbicara dengan saya, tetapi menolak untuk menerima Alkitab itu. Ia berkata kepada saya, “Saya tidak bisa mengerti Alkitab. Imam saya harus memberitahukan artinya kepada saya.” “Tidak, Anda bisa memahaminya,” saya berkata kepadanya sambil membuka ke Yohanes 3:16, “Coba baca ayat ini dan beri tahu saya apa artinya.” Ia memperhatikan Yohanes 3:16, lalu dengan sangat tulus berkata, “Sudah saya katakan, saya tidak bisa memahami artinya; hanya imam saya yang dapat memberitahukan artinya untuk saya.” Meskipun pemuda itu hidup dalam dunia modern, pendekatannya kepada Alkitab sangat mirip dengan kebanyakan orang Kristen Barat dalam Zaman Pertengahan.
Jika satu-satunya cara untuk mengerti kehendak Allah adalah melalui otoritas gerejawi, maka tidak ada alasan yang baik bagi orang Kristen biasa untuk memperhatikan Alkitab sama sekali. Jika demikian, yang berfungsi sebagai pembimbing yang infallible bagi teologi kontemporer adalah hierarki resmi gereja, dan bukan Alkitab.
Dengan mengingat pandangan dari Zaman Pertengahan ini, kini kita siap untuk menghargai bagaimana kaum Protestan mula-mula memahami otoritas alkitabiah dan otoritas gerejawi.
No comments:
Post a Comment