Tuesday, 10 October 2017

Otoritas Gereja Katolik dan Protestan


Untuk video, pedoman studi dan bahan-bahan lainnya, silakan kunjungi Third Millennium Ministries di thirdmill.org. 

Membangun Teologi Anda
© 2012 by Third Millennium Ministries 
Semua Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak terbitan ini dalam bentuk apapun atau dengan cara apapun untuk diperjualbelikan, kecuali dalam bentuk kutipan-kutipan singkat untuk digunakan sebagai tinjauan, komentar, atau pendidikan akademis, tanpa izin tertulis dari penerbit, Third Millennium Ministries, Inc., P.O. Box 300769, Fern Park, Florida 32730-0769. 

Kecuali disebutkan, semua kutipan Alkitab diambil dari ALKITAB BAHASA INDONESIA TERJEMAHAN BARU, © 1974 LEMBAGA ALKITAB INDONESIA. 

tentang Third Millennium Ministries 
Didirikan pada tahun 1997, Third Millennium Ministries adalah sebuah organisasi nirlaba yang didedikasikan untuk menyediakan Pendidikan Alkitab. Bagi Dunia. Secara cuma-cuma. Dalam menyikapi kebutuhan global yang semakin berkembang akan pelatihan kepemimpinan Kristen yang benar dan berdasarkan Alkitab, kami membuat kurikulum seminari multimedia yang mudah digunakan dan didukung oleh donasi dalam lima bahasa (Inggris, Spanyol, Rusia, Mandarin, Arab) dan membagikannya secara cuma-cuma kepada mereka yang paling memerlukannya, terutama bagi pemimpin-pemimpin Kristen yang tidak memiliki akses untuk atau mengalami kendala finansial untuk dapat mengikuti pendidikan tradisional. Semua pelajaran ditulis, dirancang dan diproduksi oleh organisasi kami sendiri, serta memiliki kemiripan dalam gaya dan kualitas dengan pelajaran-pelajaran yang ada di History Channel©. Metode pelatihan yang tidak ada bandingannya dan hemat-biaya untuk para pemimpin Kristen ini telah terbukti sangat efektif di seluruh dunia. Kami telah memenangkan Telly Awards untuk produksi video yang sangat baik dalam Pendidikan dan Penggunaan Animasi, dan kurikulum kami ini baru-baru ini telah digunakan di lebih dari 150 negara. Materi Third Millennium ada dalam bentuk DVD, cetakan, streaming internet, pemancar televisi satelit, siaran radio serta televisi. 

Untuk informasi lebih lanjut mengenai pelayanan kami dan untuk mengetahui bagaimana Anda bisa mengambil bagian di dalamnya, silakan kunjungi http://thirdmill.org. 

Daftar Isi 
I. Introduksi........................................................................................................... 1 

II. Gereja Katolik Roma Zaman Pertengahan..................................................... 1 
A. Otoritas Alkitab 2 
1. Inspirasi 2 
2. Makna 3 
3. Ketidakjelasan 4 
B. Otoritas Gereja 4 
1. Otoritas di Masa Lampau 5 
2. Otoritas Kontemporer Zaman Pertengahan 6 

III. Protestantisme Mula-Mula................................................................................ 6 
A. Otoritas Alkitab 7 
1. Inspirasi 7 
2. Makna 8 
3. Kejelasan 10 
B. Otoritas Gereja 11 
1. Otoritas Masa Lampau 11 
2. Otoritas Protestan Kontemporer 14 

IV. Protestantisme Kontemporer............................................................................ 15 
A. Otoritas Alkitab 15 
1. Inspirasi 15 
2. Makna 16 
3. Kejelasan 18 
B. Otoritas Gereja 20 
1. Otoritas Masa Lampau 20 
2. Otoritas Protestan Kontemporer 22 
V. Kesimpulan ........................................................................................................ 24 

INTRODUKSI 
Pernahkah Anda memperhatikan berapa banyak masa hidup kita yang kita gunakan untuk mencari dan mengikuti otoritas? Saya tahu hal ini terdengar aneh di dalam dunia modern, tetapi ini memang benar. Ketika mobil kita rusak, kita mencari orang yang dapat memperbaikinya. Ketika kita sakit, kita mencari orang yang berotoritas dalam dunia medis. Dalam hampir semua wilayah kehidupan, jika kita bijaksana, kita mencari orang-orang yang berotoritas dan dengan saksama mendengarkan mereka, dan dalam derajat tertentu kita mengikuti arahan mereka. 

Hal serupa juga berlaku di dalam teologi Kristen. Jika kita bijaksana, kita juga akan mendengarkan orang-orang yang berotoritas di dalam teologi. Kita mencari bimbingan untuk memimpin kita ke arah yang benar dan kita mendengarkan mereka dengan saksama. Secara sekilas, bisa terkesan bahwa pertanyaan tentang otoritas dalam teologi Kristen adalah masalah sederhana. Akan tetapi, ketika orang Kristen mencari bimbingan dalam teologi selama beberapa milenium, mereka telah menemukan munculnya sejumlah isu praktis yang sangat penting. Jenis otoritas apa yang kita perlukan untuk teologi Kristen? Di mana kita bisa menemukannya?

Pelajaran keempat dalam seri Membangun Teologi Anda ini diberi judul “Otoritas dalam Teologi,” sebab kita akan menelusuri beberapa isu sentral yang terlibat di dalam menemukan dan mengikuti otoritas ketika kita membangun teologi kita. 

Kita akan memusatkan perhatian kita pada cara-cara orang Kristen menangani hal ini dalam tiga periode sejarah gereja yang berbeda. Pertama, kita akan merangkum pandangan-pandangan tentang otoritas teologis dalam Gereja Katolik Roma Zaman Pertengahan (medieval); kedua, kita akan memeriksa bagaimana kaum Protestan mula-mula memahami otoritas teologis; dan ketiga, kita akan menelusuri bagaimana kaum Protestan pada masa kini harus menangani hal-hal ini. Mari kita mulai dengan memperhatikan pandangan Katolik Roma Zaman Pertengahan tentang otoritas dalam teologi Kristen. 

GEREJA KATOLIK ROMA ZAMAN PERTENGAHAN 
Di sepanjang seri pelajaran ini, kita terutama telah memusatkan perhatian pada teologi Reformed atau Protestan, tetapi seringkali akan bermanfaat jika kita mulai dengan Gereja Katolik Roma Zaman Pertengahan sebagai latar belakang bagi pandangan-pandangan Protestan. Seperti yang akan kita lihat, pandangan Reformed tentang otoritas dalam teologi dibangun terutama sebagai respons terhadap kesalahan-kesalahan gereja di Zaman Pertengahan. 

Ketika kita menelusuri gereja Zaman Pertengahan, kita akan menyinggung dua topik: pertama, doktrin Zaman Pertengahan tentang otoritas Alkitab; kedua, pandangan yang dihasilkan tentang otoritas gerejawi. Mari kita perhatikan terlebih dulu otoritas Alkitab di dalam Gereja Katolik Roma Zaman Pertengahan. 

Otoritas Alkitab
Sebelum Reformasi, Alkitab diperlakukan secara berbeda oleh orang-orang yang berbeda dan ordo-ordo yang berbeda di dalam gereja. Meskipun begitu, cukup adil untuk mengatakan bahwa mayoritas yang sangat luas dari teolog Zaman Pertengahan mempercayai otoritas Alkitab, setidaknya secara teori. Akan tetapi, dalam praktiknya, gereja Zaman Pertengahan mengambil sikap terhadap Alkitab yang membuatnya hampir mustahil untuk menindaklanjuti komitmen kepada otoritas Alkitab ini. 

Ketika kita menyelidiki masalah ini, kita akan menyinggung tiga hal: pertama, pandangan ekstrim tentang inspirasi Alkitab pada Zaman Pertengahan; kedua, pandangan yang berlebihan tentang makna Alkitab; dan ketiga, klaim yang berlebihan tentang ketidakjelasan Alkitab. Pertama mari kita pikirkan terlebih dulu tentang pandangan Zaman Pertengahan tentang inspirasi Alkitab.

Inspirasi
Secara keseluruhan, para teolog Katolik Zaman Pertengahan mengakui bahwa Alkitab sepenuhnya diinspirasikan oleh Allah dan diberikan melalui instrumen-instrumen manusiawi. Sayangnya, selama periode sejarah gereja ini, banyak teolog menjadi terlalu ekstrim dalam cara mereka mengerti inspirasi. Mereka menekankan asal-usul ilahi Alkitab dengan mengabaikan asal-usul manusiawi dan historisnya. Zaman Pertengahan menekankan asal-usul ilahi Alkitab secara berlebihan karena sejumlah alasan. 

Sebagai contoh, para teolog Zaman Pertengahan sangat bergantung pada filsafat Yunani, seperti neo-Platonisme dan Aristotelianisme, dan dalam banyak cara filsafat-filsafat ini mengarahkan kategori-kategori dan prioritas-prioritas teologi Kristen. Karena filsafat-filsafat ini lebih menghargai realitas kekal ketimbang realitas sementara dan historis, para teolog Kristen belajar untuk berpikir bahwa asal-usul surgawi Alkitab jauh lebih esensial bagi karakter Alkitab ketimbang asal-usul historis dan manusiawinya. 

Selain hal ini, para sarjana biblika Zaman Pertengahan sedikit sekali mengetahui sejarah kuno zaman Alkitab sehingga mereka tidak dapat memanfaatkan latar belakang historis Alkitab secara praktis. Jadi, mereka menekankan apa yang mereka ketahui – yaitu bahwa Alkitab mengandung kebenaran abadi yang telah diwahyukan oleh Allah surgawi yang kekal – dan mereka banyak meremehkan pertimbangan-pertimbangan lainnya. 

Penekanan gereja Zaman Pertengahan pada asal-usul ilahi Alkitab juga membawa kepada suatu kepercayaan yang merugikan tentang makna Alkitab. Secara luas diasumsikan bahwa asal-usul surgawi Alkitab mengimplikasikan bahwa Alkitab tidak menyampaikan makna dengan cara yang sama seperti kitab-kitab lain. Sebaliknya, karena Allah yang menginspirasikannya, Alkitab melimpah dengan makna. Banyak teolog abad pertengahan mengikuti Agustinus dalam meyakini bahwa salah satu bukti untuk inspirasi Alkitab adalah bahwa teks Alkitab memiliki makna majemuk. 

Perhatikan bagaimana Agustinus menyatakan ini dalam buku ketiga dari On Christian Doctrine:

Ketika... dua atau lebih tafsiran diberikan terhadap kata-kata yang sama dalam Alkitab, meskipun makna yang dimaksudkan oleh penulisnya tetap tidak ditemukan, tidak ada bahaya... Sebab hal apakah yang lebih berlimpah dan lebih bermanfaat yang bisa Allah berikan sehubungan dengan Kitab Suci yang Sakral selain bahwa kata-kata yang sama dapat dipahami dengan beberapa pengertian? 

Dalam banyak hal, kita dapat mengagumi pandangan Agustinus yang meninggikan Alkitab. Alkitab bukanlah buku biasa, dan banyak kualitasnya yang luar biasa menunjuk kepada inspirasi ilahinya. Kita juga bisa menyetujui bahwa banyak aspek Alkitab hanya dapat dijelaskan dalam kerangka pengawasan adikodrati Allah dalam penulisannya. 

Makna
Akan tetapi, pandangan Agustinus diteruskan lebih jauh lagi. Ia percaya bahwa inspirasi ilahi menyebabkan bagian-bagian Alkitab disarati dengan berbagai makna. Ketimbang memusingkan tentang pemikiran-pemikiran yang ingin disampaikan oleh para penulis Alkitab, Agustinus percaya kita harus memusatkan perhatian pada banyak makna yang Allah maksudkan. Kita akan menyebut pandangannya, dan pandangan-pandangan lain yang berkaitan sebagai “pandangan polivalensi klasik,” yaitu kepercayaan bahwa teks alkitabiah memiliki banyak tingkatan makna atau nilai karena berasal dari Allah. 

Barangkali ekspresi yang paling dikenal luas dari polivalensi klasik ini adalah pendekatan untuk penafsiran yang dipopulerkan oleh John Cassian, yang dikenal sebagai Quadriga. Menurut pendekatan ini, setiap teks Alkitab harus dianggap memiliki empat makna yang berbeda. Pertama, makna harfiah adalah makna langsung atau biasa dari suatu teks. Kedua, makna alegoris menafsirkan teks sebagai kiasan untuk kebenaran doktrinal. Ketiga, makna tropologis atau moral menghasilkan pedoman etis untuk perilaku Kristen. Dan keempat, makna anagogis menunjukkan bagaimana teks tersebut berbicara tentang penggenapan masa depan dari janji-janji ilahi di dalam eskhaton, atau pada hari-hari terakhir.

Detail-detail Quadriga dan ekspresi-ekspresi lain dari polivalensi klasik tidak penting untuk tujuan kita, dan banyak penulis telah menjelaskannya dalam tulisan lain. Kita hanya ingin memahami bahwa pada masa Reformasi, kebanyakan teolog Katolik percaya bahwa makna teks alkitabiah jauh melampaui apa yang kini kita sebut sebagai makna normal atau biasa. Dan secara signifikan, mereka cenderung percaya bahwa makna-makna tambahan ini tidak berakar pada makna yang ingin disampaikan oleh para penulis Alkitab. Bahkan, makna harfiah atau tersurat dari suatu nas kerap dianggap terlalu sederhana bagi perenungan teologis yang serius. Sebaliknya, para teolog didorong untuk mementingkan lapisan-lapisan makna yang lebih dalam dan tersembunyi sebab hal-hal itu menyatakan kedalaman pikiran Allah bagi gereja. 

Ketidakjelasan
Pendekatan Zaman Pertengahan kepada inspirasi dan makna Alkitab mengarahkan kita kepada penekanan yang berlebihan pada karakteristik lain dari Alkitab: ketidakjelasannya. Alkitab akhirnya diperlakukan sebagai sebuah kitab yang sangat tidak jelas, kecuali bagi mereka yang telah menerima wawasan-wawasan supernatural yang khusus. 

Kita tidak perlu heran bahwa isi Alkitab terkesan tidak jelas bagi rata-rata orang Kristen sebelum Reformasi. Pertama-tama, Alkitab sangat langka sehingga orang hampir tidak memiliki akses untuk membacanya. Lagi pula, bahasa Latin adalah bahasa utama Alkitab dan teologi, dan hanya sedikit orang berpendidikan tinggi yang cukup menguasai bahasa Latin cukup untuk dapat menggunakannya. Maka, masuk akal bahwa Alkitab merupakan kitab yang tertutup bagi rata-rata orang Kristen pada zaman itu. 

Akan tetapi, Alkitab juga dianggap tidak jelas bahkan bagi mereka yang memiliki kemampuan dan kesempatan untuk membaca Alkitab. Allah telah menaruh banyak lapisan makna di dalam Alkitab yang tersembunyi dari pandangan mata. 

Bayangkan seseorang memperlihatkan sebuah foto dari peti harta yang tertutup kepada Anda, dan meminta Anda untuk memberitahukan jenis harta apa yang ada di dalamnya. Tentu saja, mustahil untuk mengetahui apa yang ada di dalam peti itu sebab harta di dalamnya tersembunyi. Hal yang sama juga berlaku pada Alkitab di dalam gereja Zaman Pertengahan. 

Pada masa Reformasi, kepercayaan tentang ketidakjelasan Alkitab mengakibatkan Alkitab hampir tidak mungkin memiliki otoritas praktis atau nyata bagi perkembangan teologi. Tentu saja, Alkitab secara teori tetap merupakan peti harta Allah yang diinspirasikan bagi teologi Kristen. Akan tetapi, pada intinya, Alkitab tetap tertutup; Alkitab begitu tidak jelas sehingga tidak sanggup menuntun para teolog dalam tugas mereka. 

Sambil mengingat pandangan Zaman Pertengahan tentang otoritas Alkitab, kita siap untuk beralih kepada pertimbangan kedua kita: otoritas gerejawi di dalam gereja Zaman Pertengahan. 

Otoritas Gereja
Pandangan Zaman Pertengahan tentang otoritas gereja berkembang sebagai obat penawar bagi masalah-masalah yang dimunculkan oleh doktrin Zaman Pertengahan tentang Alkitab. Karena Alkitab dianggap tidak jelas, maka Alkitab tidak dapat berfungsi sebagai otoritas atas teologi. Akibatnya, otoritas gerejawi atau gereja mulai memainkan peran yang sangat penting dalam teologi. 

Untuk mengerti peran khusus dari otoritas gerejawi ini, kita akan melihat ke dua arah: pertama, bagaimana para teolog Zaman Pertengahan memahami otoritas gereja di masa lalu mereka; dan kedua, bagaimana mereka memahami otoritas gerejawi di zaman mereka sendiri. Mari kita lihat terlebih dulu otoritas teologi gerejawi dari masa lampau. 

Otoritas di Masa Lampau
Pada masa Reformasi, Gereja Katolik telah mengembangkan pendekatan yang cukup rumit tentang otoritas gerejawi di masa lampau. Tentu saja, Alkitab itu sendiri dilihat sebagai bagian dari warisan gereja. Namun, sebagaimana telah kita lihat, pada Zaman Pertengahan, ajaran-ajaran Alkitab itu sendiri dianggap begitu tidak jelas sehingga diperlukan sumber panduan lainnya. Akibatnya, para teolog Zaman Pertengahan menyelidiki sejarah teologi gerejawi untuk menentukan apa yang harus mereka percayai. Dan mayoritas terbesar dari mereka melihat sejarah gereja sebagai sejarah tentang Allah yang memimpin dan menuntun umat-Nya di dalam jalan-jalan kebenaran. Karena alasan ini, apa yang gereja ajarkan di masa lampau menjadi perhatian vital bagi para teolog Zaman Pertengahan setidaknya dalam dua hal.

Di satu pihak, banyak perhatian diberikan kepada para bapa gereja mula-mula. Tulisan-tulisan dari orang-orang seperti Polikarpus, Ignatius, Irenaeus, Tertulianus dan Yustinus Martir, dan para bapa gereja yang kemudian seperti Agustinus, Athanasius dan Hieronimus – orang-orang ini sangat mempengaruhi kepercayaan dari berbagai ordo di dalam gereja. Memang lazimnya para bapa gereja ini tidak dianggap infallible, dan berbagai cabang gereja cenderung menghargai arus-arus tradisi bapa gereja yang berbeda. 

Namun, secara umum orang masih mengasumsikan bahwa Allah telah memberikan wawasan khusus kepada para teolog agung di masa lampau ini, dan bahwa gereja harus memberi perhatian khusus kepada ajaran mereka. Para teolog Zaman Pertengahan jarang membuat penegasan teologis tanpa sejenis dukungan dari para bapa gereja mula-mula. 

Di pihak lain, gereja Zaman Pertengahan bahkan lebih bergantung pada konsili-konsili ekumenis gereja: konsili Nicea, konsili Konstantinopel, konsili Chalcedon. Temuan-temuan dari konsili-konsili ini dan konsili-konsili lainnya ditanggapi dengan sangat serius. Pada intinya, para teolog Zaman Pertengahan menganggap semua itu sebagai rangkuman yang tidak diragukan lagi dari ajaran Alkitab. Tidak sepaham dengan semuanya itu sama saja dengan tidak sepaham dengan Alkitab dan Kristus. 

Setelah berabad-abad berlalu, banyak ajaran para bapa gereja dan temuan konsili ekumenis berkembang menjadi tradisi gerejawi yang resmi. Dan ketika semua tradisi ini menguat, hal-hal tersebut ikut membentuk dogma ekstensif yang dianut gereja. Dogma gerejawi ini tidak dianggap sebagai teologi manusia yang fallible, tetapi sebagai teologi yang menyandang otoritas yang sama dengan Alkitab. Bahkan, pada intinya, dogma gereja menggantikan Alkitab. Sebelum Reformasi, orang Kristen yang setia tidak diharapkan untuk bertanya, “Apa yang Alkitab katakan?” tetapi “Apa yang gereja katakan?”

Walaupun otoritas gerejawi masa lampau penting bagi gereja Zaman Pertengahan, doktrin Alkitab masa tersebut juga menciptakan kebutuhan akan otoritas teologis yang tinggi pada situasi kontemporer.

Otoritas Kontemporer Zaman Pertengahan 
Yang pasti, gereja terus mengakui otoritas Alkitab dalam teori. Akan tetapi, Alkitab sendiri terlalu tidak jelas untuk memimpin gereja dalam isu-isu kontemporer yang belum diselesaikan di masa lampau. Jadi, bagaimana gereja mendapatkan panduan dalam menghadapi berbagai kontroversi teologis saat itu?

Sederhananya, para teolog abad pertengahan percaya bahwa Allah telah mendirikan suatu sistem otoritas hidup di dalam hierarki gereja, dan hierarki ini melengkapi tubuh Kristus dengan ajaran yang tidak perlu diragukan lagi. Otoritas untuk menyelesaikan kontroversi saat itu ada di tangan para imam, uskup, dan Paus yang oleh banyak pihak dianggap sebagai kepala gereja yang infallible. Ketika ada keputusan teologis yang harus ditetapkan, orang percaya tidak dianjurkan untuk bertanya, “Apa kata Alkitab?” Sebaliknya, mereka didorong untuk bertanya, “Apa yang dikatakan oleh hierarki gereja?”

Beberapa puluh tahun yang lalu saya melayani dalam proyek penginjilan untuk orang-orang jalanan di sebuah negara Eropa Timur, yang mayoritas penduduknya beragama Katolik. Pada satu kesempatan, saya menawarkan Alkitab kepada seorang pemuda. Ia berhenti dan berbicara dengan saya, tetapi menolak untuk menerima Alkitab itu. Ia berkata kepada saya, “Saya tidak bisa mengerti Alkitab. Imam saya harus memberitahukan artinya kepada saya.” “Tidak, Anda bisa memahaminya,” saya berkata kepadanya sambil membuka ke Yohanes 3:16, “Coba baca ayat ini dan beri tahu saya apa artinya.” Ia memperhatikan Yohanes 3:16, lalu dengan sangat tulus berkata, “Sudah saya katakan, saya tidak bisa memahami artinya; hanya imam saya yang dapat memberitahukan artinya untuk saya.” Meskipun pemuda itu hidup dalam dunia modern, pendekatannya kepada Alkitab sangat mirip dengan kebanyakan orang Kristen Barat dalam Zaman Pertengahan. 

Jika satu-satunya cara untuk mengerti kehendak Allah adalah melalui otoritas gerejawi, maka tidak ada alasan yang baik bagi orang Kristen biasa untuk memperhatikan Alkitab sama sekali. Jika demikian, yang berfungsi sebagai pembimbing yang infallible bagi teologi kontemporer adalah hierarki resmi gereja, dan bukan Alkitab. 

Dengan mengingat pandangan dari Zaman Pertengahan ini, kini kita siap untuk menghargai bagaimana kaum Protestan mula-mula memahami otoritas alkitabiah dan otoritas gerejawi. 

PROTESTANTISME MULA-MULA 
Dalam banyak hal, inti kontroversi di antara kaum Katolik dan Protestan tepatnya adalah dalam hal otoritas. Apakah Alkitab akan berfungsi sebagai panduan bagi gereja ataukah otoritas gerejawi di masa lampau dan masa kini yang akan mengarahkannya?

Pertama-tama, kita akan memperhatikan pandangan Protestan tentang otoritas Alkitab dan, kedua, pandangan Protestan tentang otoritas gerejawi. Mari kita lihat terlebih dulu pandangan Protestan tentang otoritas Alkitab. 

Otoritas Alkitab
Seperti yang kita lihat, pandangan Katolik Zaman Pertengahan tentang Alkitab bersifat ekstrim dalam beberapa cara yang signifikan. Dalam bagian ini, kita akan melihat bahwa kaum Protestan mula-mula menanggapi kesalahan-kesalahan ini dengan mengkalibrasi ulang doktrin inspirasi, makna, dan kejelasan dari Alkitab. Kita tinjau terlebih dulu doktrin inspirasi. 

Inspirasi
Sejak awal harus kita katakan bahwa seperti halnya para teolog Zaman Pertengahan, para Reformator mengerti bahwa Alkitab memiliki asal usul ilahi sekaligus manusiawi. Di satu pihak, mereka melihat Alkitab sebagai suatu kitab supernatural yang berasal dari Allah. Luther, Zwingli dan Calvin menyatakan secara tegas bahwa Alkitab diberikan kepada umat Allah melalui inspirasi ilahi. Mereka menganggap serius perkataan rasul Paulus di dalam 2 Timotius 3:16 bahwa: 

Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran (2 Timotius 3:16).

Sebagaimana diajarkan oleh nas ini, Alkitab terutama berasal dari Allah, dan dirancang untuk menyediakan bagi umat Allah wahyu khusus yang sepenuhnya dapat diandalkan. 

Para Reformator percaya bahwa tangan Allah melindungi Alkitab dari kesalahan. Allah secara supernatural memberikan kepada para penulis Alkitab informasi tentang masa kini, masa lampau dan masa yang akan datang, dan Ia membimbing mereka dalam proses penulisannya sehingga semua yang mereka tuliskan itu benar. Yang paling penting, inspirasi ilahi memberikan kepada Alkitab otoritas absolut yang tidak mungkin diragukan. 

Akan tetapi, para Reformator menghindari kesalahan gereja Zaman Pertengahan dengan mengakui juga bahwa para penulis manusia yang menulis Alkitab memberikan kontribusi-kontribusi yang signifikan terhadap isi dan makna Alkitab. Ketimbang memperlakukan Alkitab seakan-akan kitab itu telah jatuh dari langit, kaum Protestan mula-mula menekankan bahwa Alkitab datang melalui instrumen manusiawi, melalui proses-proses sejarah. Perhatian pada kepengarangan manusiawi ini sangat sesuai dengan cara Yesus dan para penulis Alkitab itu sendiri kerap memperlakukan Alkitab.

Sebagai contoh, di dalam Matius 22:41-44 kita membaca catatan ini:

Ketika orang-orang Farisi sedang berkumpul, Yesus bertanya kepada mereka, kata-Nya: “Apakah pendapatmu tentang Mesias? Anak siapakah Dia?” Kata mereka kepada-Nya: “Anak Daud.” Kata-Nya kepada mereka: “Jika demikian, bagaimanakah Daud oleh pimpinan Roh dapat menyebut Dia Tuannya, ketika ia berkata: Tuhan telah berfirman kepada Tuanku: duduklah di sebelah kanan-Ku, sampai musuh-musuh-Mu Kutaruh di bawah kaki-Mu” (Matius 22:41-44).

Dalam nas ini Yesus menggunakan Mazmur 110:1 untuk membingungkan orang Farisi dengan cara mengarahkan perhatian mereka secara eksplisit kepada Daud, penulis manusia dari nas ini. Baik Yesus maupun orang Farisi sepakat bahwa Mesias haruslah keturunan Daud. Akan tetapi, di Palestina abad pertama, Daud lazimnya tidak akan menyebut keturunannya “Tuhan.” 

Jadi, Yesus meminta orang-orang Farisi untuk menjelaskan mengapa Daud memberikan gelar ini kepada anaknya. Perhatikan bahwa argumen Yesus bergantung pada fakta bahwa makna Alkitab sebagian bergantung pada rincian kehidupan dari para pengarang manusianya. Ada banyak contoh-contoh semacam ini tentang para penulis dan tokoh Alkitab yang menyebut Musa, Yesaya, Yeremia, Daud, Paulus, dan orang-orang lainnya sebagai instrumen-instrumen dari Firman Allah. Instrumen manusiawi ini memberikan sejumlah kontribusi pribadi yang signifikan kepada Alkitab. 

Dari contoh ini dan contoh yang lainnya, para Reformator dengan tepat menyimpulkan bahwa Alkitab muncul dari situasi manusiawi yang nyata, dan ditulis oleh manusia untuk keadaan-keadaan historis tertentu. Agar orang Kristen dapat mengerti Alkitab dengan tepat, mereka tidak boleh hanya menekankan asal-usul ilahi dari Alkitab, tetapi juga asal-usul manusiawinya yang historis. 

Mementingkan sisi manusiawi dalam inspirasi Alkitab bukan sekadar teori bagi para Reformator; hal ini secara signifikan juga mempengaruhi cara mereka memahami makna Alkitab. 

Makna
Kita dapat merangkumkan hal ini demikian: Ketimbang mengikuti teladan dari aliran Katolik Roma Zaman Pertengahan dengan mencari makna-makna ilahi yang tersembunyi di dalam Alkitab, para Reformator berusaha untuk mendasarkan semua penafsiran mereka pada pengertian harfiah dari teks alkitabiah, makna yang ingin dikomunikasikan oleh para penulis manusianya kepada para pembaca aslinya. 

Memang kita harus menyadari bahwa kaum Protestan mula-mula tidak sepenuhnya meninggalkan pendekatan Zaman Pertengahan terhadap makna Alkitab. Kadang kala, sisa-sisa dari polivalensi klasik muncul dalam tulisan para Reformator. Sebagai contoh, tafsiran Luther tentang Mazmur memperlihatkan ketergantungan yang terus berlanjut pada metode penafsiran ini. Namun, dapat dikatakan bahwa para Reformator secara konsisten jauh lebih menekankan makna yang dimaksud oleh penulis manusia ketimbang kebanyakan penafsir Katolik. Dan secara umum, mereka mendasarkan banyak penerapan nas-nas Alkitab pada makna asli dari teks. Bagi orang Protestan, fokus historis ini sangat penting bagi penafsiran. 

Untuk memahami penekanan Reformasi pada makna harfiah atau tersurat dari teks Alkitab, akan membantu jika kita mengingat bahwa pendekatan hermeneutis ini telah berakar di Eropa Barat selama masa Renaisans di abad ke-15. 

Istilah Renaisans atau “kelahiran kembali” berasal dari munculnya kembali minat terhadap literatur dan kebudayaan Romawi klasik dan secara khusus Yunani yang terjadi di Eropa Barat sebelum terjadinya Reformasi. Sebelum Renaisans, biasanya para ahli hanya mengenal tulisan-tulisan kuno Yunani dalam bentuk terjemahannya, dan penafsirannya kebanyakan dilakukan di bawah pengawasan gereja. Pada saat-saat yang berbeda, gereja bisa dikatakan telah membaptis Plato, Aristoteles dan para penulis Yunani lainnya mereka ditafsirkan seolah-olah mendukung doktrin Kristen. Akan tetapi, selama Renaisans, banyak ahli menemukan patron yang mendukung keinginan mereka untuk memahami teks-teks kuno dari zaman klasik tanpa pengawasan gerejawi. Sebaliknya, mereka mulai menafsirkan tulisan-tulisan ini sesuai dengan maksud awal dari para penulisnya. Dan akibatnya, penafsiran terhadap sastra klasik yang sangat dihargai itu mulai berfokus pada makna historisnya, yang kerap memiliki kontras yang tajam dengan ajaran-ajaran gereja. 

Pada masa Renaisans, edisi-edisi baru Alkitab Ibrani dan Yunani juga diterbitkan dan ini juga mengakibatkan suatu pergeseran yang signifikan di dalam penafsiran Alkitab. Sebagaimana telah kita lihat, sebelum masa itu, ayat-ayat Alkitab kebanyakan ditafsirkan di bawah panduan gereja dan untuk mendukung dogma gereja. Akan tetapi, mengikuti prinsip Renaisans, banyak sarjana Alkitab, khususnya sarjana Protestan, mulai membaca Alkitab tanpa dikendalikan oleh gereja, dan mereka berusaha untuk mendasarkan tafsiran Alkitab mereka pada makna historis aslinya. 

Orientasi Protestan pada makna asli atau harfiah sebagai dasar untuk semua penafsiran bermuara pada suatu pergeseran yang signifikan dalam pengertian tentang makna Alkitab. Kaum Protestan berbicara tentang satu makna yang menyatu dan koheren bagi setiap nas Alkitab. Seperti yang dikatakan oleh Pengakuan Iman Westminster pasal I, bagian 9, 

Makna yang benar dan lengkap dari bagian Alkitab mana pun – tidak jamak, tetapi satu. 

Kita boleh menyebut pandangan ini sebagai pandangan tentang makna yang “univalen.”

Tentu saja, kaum Protestan menyadari bahwa seringkali ada jauh lebih banyak yang dikatakan oleh nas-nas Alkitab ketimbang yang mungkin diindikasikan oleh penilaian sederhana terhadap pengertian harfiahnya. Nas-nas Alkitab memiliki banyak implikasi dan kaitan dengan kebenaran-kebenaran Kristen yang melampaui apa yang mungkin dipahami oleh para penulis aslinya pada zaman mereka. Akan tetapi, semua dimensi ini merupakan bagian dari makna yang tunggal, benar dan lengkap karena dimensi-dimensi ini berkoordinasi dengan makna harfiah atau tersurat dari Alkitab.

Selain menekankan sisi manusiawi dari inspirasi, dan pentingnya makna harfiah yang menyatu dari Alkitab, kaum Protestan juga mengakui kejelasan atau kegamblangan dari Alkitab. 

Kejelasan 
Ketimbang melihat Alkitab sebagai kitab yang tidak jelas dan membutuhkan tafsiran gerejawi yang berotoritas, para Reformator berargumen bahwa Alkitab bisa dipahami. Sejumlah faktor berkontribusi secara signifikan bagi doktrin Protestan tentang kejelasan Alkitab. 

Pertama, penggunaan yang meluas dari mesin cetak yang hurufnya dapat digerakkan telah membuat Alkitab semakin banyak tersedia. Dan ketersediaan ini memungkinkan orang Kristen membaca sendiri Alkitab dan mengevaluasi apakah penilaian Gereja Katolik benar ketika mengatakan bahwa Alkitab tidak jelas. Kedua, para pionir yang berani telah mulai menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa rakyat jelata dan ini juga memungkinkan orang untuk menelaah sendiri kejelasan Alkitab. Ketiga, fokus Reformasi pada sensus literalis (makna harfiah) juga memampukan para teolog untuk mendasarkan penafsiran mereka pada sesuatu yang dapat ditelaah dan diuji. Mereka tidak lagi perlu untuk bersandar semata-mata pada otoritas gerejawi untuk memberitahukan makna Alkitab. Penelaahan Alkitab dengan cara-cara ini menghasilkan kesadaran yang meluas yang bertentangan dengan pandangan Katolik, bahwa Alkitab sangat jelas. 

Bahkan Erasmus, penganut Katolik Roma yang setia, yang menentang Luther dan Reformasi, menuliskan kata-kata ini:

… orang yang membajak sawah dapat memahami Alkitab.

Perkembangan-perkembangan ini membuka jalan bagi kaum Protestan untuk mengukuhkan kejelasan Alkitab dan memperkenalkan kembali Alkitab sebagai otoritas praktis bagi Kekristenan. Ketika orang Protestan membaca Alkitab sekali lagi di dalam lingkungan baru ini, menjadi jelas bahwa banyak nas yang amat penting yang dinyatakan tidak jelas oleh Gereja Katolik sesungguhnya relatif mudah untuk dipahami. Para penafsir Protestan menemukan bahwa ketika mereka makin banyak mempelajari bagian-bagian Alkitab, ada semakin banyak ajaran alkitabiah yang tampak luar biasa jelas. Selama dekade-dekade awal Reformasi, kaum Protestan sangat optimis tentang kejelasan Alkitab. Semuanya terkesan sebagai hal yang agak sederhana. Membaca Alkitab dan menyesuaikan teologi dengan wahyu Allah yang jelas di dalamnya.

Akan tetapi, saat gerakan Protestan terus-menerus menggali isi Alkitab, kaum Protestan sendiri menjadi lebih realistis terhadap Alkitab dan mereka berbicara tentang derajat-derajat kejelasan di dalam Alkitab. Mulai tampak jelas bahwa makna dari beberapa bagian Alkitab lebih jelas daripada bagian-bagian lainnya. 

Ketika terlihat jelas bahwa kaum Lutheran mempercayai satu hal, kaum Calvinis mempercayai hal lainnya, dan kaum Zwinglian mempercayai yang lainnya lagi, pandangan sebelumnya yang terlalu optimistis tentang kegamblangan Alkitab membuka jalan bagi suatu pandangan yang lebih berhati-hati. Sesungguhnya, pandangan Protestan yang lebih dewasa ini tidak seharusnya membuat kita terkejut. 

Bahkan rasul Petrus mengakui bahwa beberapa hal dalam Alkitab sukar untuk dipahami ketika ia menuliskan perkataan ini di dalam 2 Petrus 3:16:

Dalam surat-suratnya [Paulus] itu ada hal-hal yang sukar dipahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain (2 Petrus 3:16).

Perhatikan bagaimana Petrus merumuskannya: Ia tidak mengatakan bahwa semua tulisan Paulus mudah dipahami; juga tidak mengatakan bahwa semuanya sukar dipahami. Sebaliknya, ia berkata bahwa ada hal-hal tertentu dalam tulisan Paulus yang sulit dipahami. 

Jadi, berbeda dengan gereja Zaman Pertengahan, para Reformator Protestan meninggikan Alkitab melebihi otoritas gereja. Kaum Protestan mengerti bahwa mereka tidak terputus dari wahyu Allah di dalam Alkitab. Mereka mengukuhkan kejelasan Alkitab dan, sebagai akibatnya, Alkitab diperkenalkan kembali sebagai otoritas mutlak atas semua otoritas gerejawi. 

Sesudah kita melihat pandangan kaum Protestan awal tentang Alkitab, kini kita siap melihat bagaimana kaum Protestan mula-mula juga memandang otoritas gerejawi. 

Otoritas Gereja
Seperti yang sudah kita lihat, para Reformator mengandalkan pandangan mereka tentang inspirasi, makna dan kejelasan Alkitab untuk memperkenalkan kembali Alkitab sebagai satu-satunya kaidah teologi yang tidak dapat diragukan. Namun, kita juga harus menyadari fakta bahwa kaum Protestan mula-mula tidak sepenuhnya menolak otoritas teologi gerejawi. Sebaliknya, kaum Protestan percaya bahwa teologi gerejawi memiliki banyak otoritas, tetapi menegaskan bahwa otoritas ini sekunder dan tunduk kepada ajaran-ajaran Alkitab. 

Ada baiknya kita menelusuri pandangan Protestan tentang otoritas gerejawi dengan memperhatikan dua aspek: pertama, bagaimanakah orang Protestan mula-mula memahami otoritas gereja dari masa lampau; kedua, bagaimana mereka memahami otoritas gereja kontemporer? Kita perhatikan dulu pandangan Protestan mula-mula tentang otoritas gerejawi dari masa lampau.

Otoritas Masa Lampau
Meskipun sukar bagi kebanyakan kita untuk membayangkannya, kaum Protestan mula-mula mengakui banyak sekali otoritas pengajaran dari para bapa gereja dan konsili gereja mula-mula. Para Reformator memegang doktrin yang sehat dan kuat tentang gereja. Mereka sungguh percaya bahwa Roh Kudus telah memimpin gereja mula-mula ke dalam banyak kebenaran penting yang perlu diakui oleh orang-orang Kristen di zaman mereka. 

Sebagaimana yang kita lihat dalam pelajaran sebelumnya, para Reformator berbicara tentang otoritas Alkitab di bawah rubrik Sola Scriptura, “hanya [oleh] Alkitab.” Sayangnya, banyak orang injili masa kini memiliki kesalahpahaman yang serius tentang doktrin Sola Scriptura. 

Sekarang ini banyak orang injili percaya bahwa doktrin Sola Scriptura menyiratkan bahwa kita tidak boleh memiliki otoritas lain selain Alkitab. Akan tetapi, ini bukanlah posisi dari Reformasi, dan bukan implikasi yang benar dari doktrin Sola Scriptura. Para Reformator menekankan Sola Scriptura bukan karena mereka percaya bahwa Alkitab adalah satu-satunya otoritas bagi orang percaya; sebaliknya, yang mereka maksudkan adalah bahwa Alkitab adalah otoritas satu-satunya yang tidak mungkin diragukan bagi orang percaya. Meskipun terdengar asing, kaum Protestan dengan teguh membela doktrin Sola Scriptura bukan karena mereka menolak semua otoritas lain yang ada, tetapi justru karena mereka sangat menghormati otoritas-otoritas teologis lainnya. 

Demi memudahkan kita, ada baiknya kita mengacu kepada rangkuman tentang hal-hal ini di dalam Pengakuan Iman Westminster pasal I, paragraf 10:

Hakim Tertinggi, yang oleh-Nya semua kontroversi tentang agama harus diputuskan, dan segala ketetapan tentang konsili-konsili, opini-opini para penulis dari zaman dahulu, doktrin-doktrin manusia, dan pandangan-pandangan pribadi (private spirits), harus diperiksa, dan yang keputusan-Nya menjadi landasan kita, tidak lain adalah Roh Kudus, yang berfirman di dalam Kitab Suci. 

Paragraf ini secara tegas mengukuhkan bahwa Roh Kudus yang berbicara dalam Alkitab adalah “Hakim Tertinggi, yang oleh-Nya semua kontroversi tentang agama harus diputuskan.” Dengan kata lain, semua keputusan gereja harus dibuat menurut standar Alkitab. Akan tetapi, perhatikan bahasanya di sini. Roh Kudus, yang berbicara di dalam Alkitab, adalah “Hakim Tertinggi.” Jika ada hakim tertinggi, berarti ada hakim-hakim lain yang bukan hakim tertinggi. Sesungguhnya, Pengakuan Iman tersebut menyebutkan sejumlah otoritas lain ini dalam bagian ini. Berdasarkan urutan kepentingannya, pernyataan ini menyebutkan konsili-konsili, para penulis dari zaman dahulu (atau para bapa gereja); doktrin-doktrin manusia, yang mengacu kepada ajaran dari para pengajar lainnya di dalam gereja di masa lampau dan di zaman itu; serta pandangan-pandangan pribadi, yaitu pengertian atau keyakinan di dalam hati tentang hal spesifik. Pengakuan Iman Westminster mengakui semua otoritas ini, tetapi memberinya kedudukan sekunder, yaitu sebagai otoritas di bawah otoritas mutlak Alkitab. 

Para teolog Katolik kerap menuduh para Reformator menolak otoritas gerejawi, tetapi para Reformator berhati-hati untuk tidak menolak masa lampau ketika mereka mempertahankan doktrin Sola Scriptura. 

Yang pertama, kaum Protestan mula-mula kerap mendukung pandangan mereka dengan rujukan kepada para bapa gereja mula-mula. Bahkan, ketika tulisan Calvin Institutes of the Christian Religion direvisi 20 kali, kita menemukan bahwa Calvin terus memperbanyak interaksi dengan para bapa gereja mula-mula. Yang kedua, satu bagian di dalam Institutes of the Christian Religion dengan jelas menyatakan pandangannya tentang otoritas konsili gereja. 

Perhatikan ucapan Calvin dalam buku keempat Institutes. 
Saya tidak berargumen bahwa semua konsili harus disalahkan atau semua keputusannya harus dinyatakan tidak berlaku, dan (seperti kata orang) harus dibatalkan sekaligus. “Akan tetapi,” Anda akan berkata, “ Engkau merendahkan semuanya, sehingga semua orang memiliki hak untuk menerima atau menolak keputusan konsili.” Sama sekali tidak! Namun, setiap kali suatu ketetapan dari konsili apa pun dikemukakan, saya berharap orang dengan rajin terlebih dulu merenungkan kapan keputusan itu diberikan, tentang isu apa, dengan maksud apa, dan orang seperti apa yang hadir; lalu memeriksa apa yang dibahas oleh keputusan itu dengan standar Alkitab – dan melakukan hal ini dengan begitu rupa sehingga definisi dari konsili itu dapat memiliki bobotnya dan menjadi semacam keputusan sementara. Namun, jangan menghalangi pemeriksaan yang telah saya sebutkan. 

Ada beberapa ide penting yang menonjol di dalam perkataan Calvin ini: Pertama, ia menegaskan bahwa konsili-konsili gereja perlu dipahami secara historis. Konsili bukanlah penyataan langsung yang abadi dari Allah sendiri. Metode-metode penafsiran Renaisans – yaitu fokus pada makna harfiahnya – harus diterapkan pula kepada konsili gereja. Orang percaya harus “merenungkan pada saat kapan keputusan itu diadakan, tentang isu apa, dengan maksud apa, dan orang macam apa yang menghadirinya.”

Kedua, tidak mengherankan jika kita melihat doktrin Sola Scriptura mengarahkan Calvin untuk menegaskan bahwa ajaran gereja akhirnya harus dievaluasi di dalam terang Alkitab. Seperti yang ia katakan di sini, “standar Alkitab" harus diterapkan. 

Namun, yang ketiga, dan yang paling penting untuk tujuan kita di sini, Calvin mengklaim bahwa doktrin-doktrin dari masa lampau harus diterima “sebagai keputusan sementara.” Artinya, temuan-temuan gereja dari zaman dahulu yang telah lama ada harus kita terima sebagai keputusan sementara atau pendahuluan; kita harus menerima ajaran mereka sampai bobot eksegesis alkitabiah yang teliti membuktikan kesalahan dari hal-hal itu. 

Strategi Calvin mencerminkan hikmat yang membimbing semua orang Protestan pada zamannya kecuali mereka yang paling radikal. Mayoritas yang amat besar dari kaum Protestan memahami otoritas yang tinggi dari para bapa gereja mula-mula, dan juga dari pengakuan-pengakuan iman gereja yang harus diakui. Mereka memperlakukan otoritas gerejawi di masa lampau dengan penerimaan sementara, yang dibarengi dengan komitmen pada keutamaan Alkitab. 

Sesudah memperhatikan pandangan Protestan mula-mula tentang otoritas gerejawi masa lampau, kita harus beralih kepada bagaimana kaum Protestan memahami otoritas dari karya-karya kontemporer mereka sendiri. Otoritas macam apakah yang mereka akui bagi diri mereka dan orang lain, sementara mereka untuk menjawab isu-isu hal teologis pada saat itu?

Otoritas Protestan Kontemporer
Seperti yang Anda ingat, Gereja Katolik Zaman Pertengahan mengembangkan suatu sistem yang kompleks yaitu otoritas teologis yang masih hidup, dengan paus yang infallible sebagai puncaknya. Reformasi Protestan terutama merupakan penolakan terhadap otoritas gerejawi ini. Hanya otoritas Alkitab yang harus diterima sebagai otoritas yang tidak mungkin diragukan. Paus, konsili-konsili gereja, dan otoritas gerejawi lainnya merupakan otoritas yang fallible dan bisa keliru. 

Penting untuk kita pahami bahwa kaum Protestan mula-mula sangat menjunjung tinggi otoritas para guru yang ditahbiskan secara tepat di dalam gereja. Seorang ahli ataupun doktor di dalam gereja patut menerima penghargaan yang tinggi saat mereka mengembangkan teologi Reformasi lebih jauh. Bahkan, kaum Protestan mula-mula dalam hampir semua denominasi merumuskan sejumlah pengakuan iman, katekismus dan kredo mereka sendiri yang diakui sebagai otoritas sekunder di dalam gereja. 

Kaum Protestan mula-mula begitu menjunjung tinggi para teolog kontemporer yang ditahbiskan secara tepat sebab mereka percaya bahwa Alkitab mengajar para pengikut Kristus untuk menghormati otoritas-otoritas yang Allah tempatkan di dalam gereja. 

Banyak nas Alkitab menyinggung soal ini, tetapi sebagai contoh kita ambil instruksi Paulus kepada Titus di dalam Titus 2:1, 15. Di sana kita membaca kata-kata berikut: 

Tetapi engkau, beritakanlah apa yang sesuai dengan ajaran yang sehat:… Beritakanlah semuanya itu, nasihatilah dan yakinkanlah orang dengan segala kewibawaanmu. Janganlah ada orang yang menganggap engkau rendah (Titus 2:1, 15).

Kaum Protestan mula-mula sadar bahwa ada banyak nas Alkitab seperti ini yang mengajar para pengikut Kristus untuk sebanyak mungkin tunduk kepada para pemimpin gereja yang ditahbiskan secara tepat. Membangun teologi Kristen bukanlah tugas bagi perorangan atau kelompok-kelompok yang terpisah dari struktur-struktur otoritas seperti ini. 

Keseimbangan di antara otoritas alkitabiah dan otoritas gerejawi ini bisa disimpulkan dengan satu slogan kuno yang sering diulangi di kalangan Reformed. “Gereja Reformed selalu mengalami reformasi,” atau yang sering disingkat dalam frasa Latin semper reformanda: “selalu mereformasi diri.” Slogan ini menyatakan bahwa gereja dari cabang Reformed sepenuhnya mengakui bahwa sepenting apa pun otoritas gerejawi, semuanya itu harus selalu tunduk kepada pemeriksaan yang saksama dari Alkitab. 

Sesudah kita melihat gereja di Zaman Pertengahan dan di awal Reformasi, kini kita siap mempertimbangkan topik ketiga dari pelajaran ini: bagaimanakah seharusnya kaum Protestan kontemporer memandang hal ini? Apa yang harus kita percayai tentang otoritas Alkitab dan otoritas gereja pada zaman kita sendiri? 

PROTESTANTISME KONTEMPORER 
Kami akan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan pertama-tama membahas jenis-jenis pandangan yang kita harus miliki terhadap Alkitab, dan kedua dengan mengusulkan beberapa perspektif penting yang harus kita miliki terhadap otoritas gerejawi di zaman kita. Kita akan melihat terlebih dulu doktrin tentang Alkitab. 

Otoritas Alkitab
Kita akan menelusuri pandangan-pandangan kontemporer tentang Alkitab dengan menyinggung tiga isu yang menjadi perhatian kita di sepanjang pelajaran ini: inspirasi Alkitab, makna Alkitab dan kejelasan Alkitab. Pada zaman kita ini, sejumlah pandangan berbeda tentang topik-topik ini mengklaim mengikuti tradisi Reformasi. Kita akan memperhatikan ketiga pandangan ini dan menilainya, dimulai dengan perspektif modern tentang inspirasi Alkitab.

Inspirasi
Semua orang yang secara sah mengaku sebagai orang Protestan pada masa kini akan mendukung kepercayaan tertentu bahwa Alkitab diinspirasikan oleh Allah. Namun, ada banyak kebingungan tentang bagaimana doktrin Reformed tentang inspirasi harus diformulasikan pada zaman kita. 

Paling tidak ada tiga pandangan tentang inspirasi yang populer di antara kaum Protestan kontemporer. Di ujung salah satu spektrum terdapat pandangan yang kerap disebut sebagai “inspirasi romantis”; di ujung spektrum yang lain ada pandangan ekstrim lain yang disebut sebagai “inspirasi mekanis”. Dan di antara kedua pandangan yang ekstrim ini terdapat pandangan yang selama ini disebut “inspirasi organis”. Mari kita perhatikan secara singkat ketiganya.

Inspirasi romantis didukung secara luas oleh orang Protestan yang lebih liberal. Dalam pandangan ini, Alkitab diinspirasikan dalam pengertian romantis, hampir sama seperti ketika kita membicarakan Shakespeare, Rembrandt, atau Bach yang mendapatkan “inspirasi”. Allah memotivasi para penulis Alkitab, tetapi Ia tidak membimbing proses penulisan mereka. Dalam pandangan ini Alkitab hanyalah opini manusia. Karena itu, Alkitab dianggap fallible dan tidak memiliki otoritas absolut atas gereja. Tentu saja, pandangan tentang inspirasi ini harus ditolak oleh mereka yang ingin melanjutkan semangat Reformasi; pandangan ini meninggalkan komitmen sentral Protestan pada Sola Scriptura dengan menyangkali keandalan maupun otoritas tertinggi Alkitab. 

Di ujung lain dari spektrum ini terdapat inspirasi mekanis, atau yang terkadang disebut “inspirasi dengan dikte.” Sampai batas tertentu, pandangan ini menegaskan bahwa para pengarang Alkitab relatif pasif ketika mereka menulis Alkitab. Dalam pandangan ini, pada hakikatnya Allah sendirilah yang mengarang Alkitab, sedangkan pengarang manusia bertindak sebagai juru tulis-Nya yang patuh. Secara keseluruhan, pandangan tentang inspirasi ini juga melenceng dari prinsip Reformasi Sola Scriptura karena menyangkali pentingnya konteks historis para penulis manusia serta makna aslinya. Seperti yang dengan teliti diamati oleh para Reformator, ketika nilai dari makna harfiah Alkitab ditolak, otoritas praktis Alkitab menjadi terhalangi. Makna Alkitab tidak lagi dapat dinilai dan diikuti. Kita dipaksa untuk memaknai Alkitab dengan ide-ide kita sendiri. Dan akibatnya, Alkitab itu sendiri tidak lagi berfungsi sebagai otoritas tertinggi kita dalam teologi. 

Teologi Reformed masa kini harus menghindari pandangan ekstrim inspirasi romantis maupun inspirasi mekanis dengan menegaskan kembali natur inspirasi yang sepenuhnya organis: Allah menggerakkan para penulis untuk menulis, dan membimbing mereka dalam menulis sehingga mereka menulis dengan infallible dan dengan otoritas. Akan tetapi, Ia tidak menyingkirkan pemikiran pribadi, motivasi, perasaan atau teologi mereka. Sebaliknya, dimensi manusiawi dan dimensi ilahi dari inspirasi sama sekali tidak bertolak belakang. Sebaliknya, seluruh Alkitab menyajikan kebenaran Allah yang abadi, tetapi dalam teks yang sangat manusiawi dan terkondisi oleh budaya. Seluruh ajaran Alkitab adalah normatif untuk segala waktu, tetapi ajarannya terikat kepada konteks keadaan-keadaan tertentu. Pandangan Reformed tentang inspirasi organis menekankan kualitas manusiawi maupun ilahi, dan kualitas historis maupun transenden dari seluruh Alkitab. Dan dengan sarana ini, doktrin Reformed Sola Scriptura dapat dipertahankan. 

Tentu saja, dari ketiga cara utama kaum Protestan memandang inspirasi Alkitab, mereka yang ingin meneruskan Reformasi di zaman kita akan melihat bahwa doktrin inspirasi organis paling serasi dengan prinsip-prinsip yang memunculkan dan mengarahkan Reformasi Protestan. 

Selain menekankan natur organis dari inspirasi, para teolog modern yang mengikuti tradisi Reformasi juga harus secara benar menilai natur dari makna Alkitab.

Makna
Sekali lagi, suatu spektrum yang terdiri dari berbagai posisi telah diusulkan untuk mewakili pemikiran Reformed dalam bidang ini, tetapi tidak semua pilihan tersebut memajukan ideal dari Reformasi. Di satu ujung kontinum terdapat pandangan yang dapat disebut sebagai “polivalensi kontemporer,” sementara di ujung yang lainnya terdapat pandangan yang disebut sebagai “univalensi simplistis,” dan di tengah-tengahnya terdapat pandangan yang bisa disebut sebagai “univalensi multifaset.” Mari kita bahas terlebih dulu polivalensi kontemporer. 

Selama beberapa dekade terakhir, beberapa teolog Reformed telah membicarakan polivalensi teks alkitabiah, dan percaya bahwa Alkitab memiliki banyak makna yang berbeda. Akan tetapi, apabila “polivalensi klasik” mengakui adanya makna yang beragam karena asal usul ilahi Alkitab, “polivalensi kontemporer” biasanya didasarkan pada ambiguitas bahasa manusia. 

Akibatnya, “polivalensi kontemporer” mengajarkan bahwa bagian-bagian Alkitab adalah wadah kosong untuk pengisian makna oleh para penafsir. Yang pasti, sebagaimana satu wadah memiliki bentuk tertentu, tata bahasa teks alkitabiah mengatur beberapa parameter dasar bagi makna. Walaupun begitu, di dalam parameter-parameter ini, makna spesifiknya diberikan oleh para penafsir Alkitab. 

Atas dasar ini, diajukan argumen bahwa kita harus menolak penekanan Reformasi pada standar sensus literalis yang tetap berlaku. Sebaliknya, demikian argumennya, kita harus menuangkan penafsiran kita sendiri ke dalam nas-nas Alkitab, dan cukup memberi sedikit perhatian pada, atau tidak perlu memperhatikan, makna asli atau harfiah dari teks itu. Akan tetapi, kita harus menolak pengertian polivalensi ini karena konsep ini menjadikan otoritas Alkitab tidak berlaku. Konsep ini memberi hak kepada para penafsir manusia untuk menuangkan ide-ide mereka sendiri ke dalam Alkitab. 

Di ujung lain dari spektrum ini hadir pandangan yang kita sebut sebagai “univalensi simplistis.” Pandangan ini dengan tepat mendukung pengertian bahwa semua bagian Alkitab hanya memiliki satu makna, tetapi secara keliru menyangkal bahwa makna tunggal itu bisa saja kompleks. Ambillah sebagai contoh Yohanes 3:16: 

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16).

Seorang Kristen yang meyakini univalensi simplistis bisa berkata seperti ini: “Ayat ini sangat sederhana; Yohanes 3:16 memberitahu kita bahwa kita harus percaya kepada Kristus.” 

Rangkuman ini memang benar meskipun terbatas, tetapi ada lebih banyak lagi yang dinyatakan oleh ayat ini. Ayat ini juga berbicara secara eksplisit tentang kasih Allah; tentang inkarnasi, kematian dan kebangkitan Kristus; dan tentang dunia, hukuman kekal, dan hidup kekal. Dan, karena doktrin-doktrin Alkitab membentuk jejaring beberapa relasi timbal balik, ayat ini juga berbicara secara implisit tentang segala jenis topik yang dibahas secara lebih langsung oleh bagian-bagian Alkitab lainnya. Jadi, dalam pengertian ini, Yohanes 3:16, hanya memiliki satu makna, tetapi makna itu melampaui rangkuman apapun yang bisa kita rumuskan darinya. 

Apabila kita gagal melihat bahwa makna Alkitab sedemikian kompleks sehingga makna itu selalu melampaui penafsiran kita, kita menghadapi suatu risiko yang serius – risiko hampir menganggap penafsiran kita terhadap Alkitab sebagai Alkitab itu sendiri. Penafsiran kita mengambil otoritas Alkitab itu sendiri dan kita menolak Sola Scriptura, yaitu kepercayaan bahwa Alkitab selalu berdiri di atas penafsiran kita. 

Di pusat spektrum ini terdapat “univalensi kompleks,” yang selaras dengan pandangan Reformasi mula-mula. Pengakuan Iman Westminster memaparkan “univalensi kompleks”dalam pasal I, paragraf 9, di mana dikatakan: 

Ketika ada pertanyaan tentang makna yang benar dan penuh (yang tidak jamak, tetapi satu) dari bagian Alkitab mana pun, makna itu harus diselidiki dan diketahui melalui nas-nas lain yang membicarakan hal itu dengan lebih jelas. 

Dalam pandangan ini, masing-masing bagian memiliki satu makna, tetapi makna yang satu ini kompleks dan multifaset, dinyatakan oleh jejaring beberapa relasi timbal balik yang diatur oleh keseluruhan ajaran Alkitab. 

Kita harus mengukuhkan pengertian Reformasi tentang univalensi kompleks ini di masa kini karena pengertian ini mengukuhkan bahwa Alkitab menyajikan makna yang berotoritas ketimbang menunggu kita untuk menyediakannya. Akan tetapi, pandangan ini juga mencegah kita dari merendahkan Alkitab ke level rangkuman kita tentang Alkitab. Setiap teks Alkitab memiliki otoritas yang melampaui usaha terbaik kita untuk menafsirkan teks tersebut. Pandangan “univalensi multifaset” ini menyediakan jalan untuk memahami makna Alkitab yang akan memampukan kita untuk meneruskan teologi Reformasi di zaman kita. 

Kini kita siap untuk berbicara tentang pandangan Reformed mengenai kejelasan Alkitab. 

Kejelasan
Akan bermanfaat jika kita kembali berpikir tentang tiga titik di sepanjang spektrum. Di ujung yang satu, kita menghadapi kecenderungan kontemporer ke arah ketidakjelasan total; di ujung lainnya kita menghadapi kecenderungan kontemporer ke arah kejelasan total; tetapi di tengahnya terdapat doktrin Reformasi tentang tingkat-tingkat kejelasan. 

Tidaklah sukar untuk menemukan orang Protestan masa kini yang memperlakukan Alkitab sebagai kitab yang hampir sepenuhnya tidak jelas atau tersembunyi bagi kita. Sering kali, dalam semangat dekonstruksi dan hermeneutika post-modern, mereka menganggap Alkitab tidak jelas sebab mereka percaya Alkitab berkontradiksi dengan dirinya (self-contradictory) dan menggagalkan rancangannya sendiri (self-defeating), persis seperti pandangan mereka tentang literatur lainnya. Dalam pandangan mereka, sejarah penafsiran Alkitab telah menyingkapkan begitu banyak kesulitan eksegetis sehingga hampir mustahil untuk menentukan bagaimana kita harus memahami Alkitab pada masa kini.

Memang benar bahwa seperti halnya semua komunikasi manusia yang memadai, selalu ada ketidakjelasan di batas luar atau margin dari wahyu alkitabiah, tetapi tetap tidak dapat dikatakan bahwa Alkitab tidak jelas tentang segala sesuatu. Ada banyak hal di dalam Alkitab yang cukup jelas. Pandangan ini tidak mencerminkan kepercayaan Reformasi tentang kejelasan Alkitab. Jika kita ingin mempertahankan semangat Reformasi pada masa kini, kita harus menolak anggapan yang dibesar-besarkan ini tentang ketidakjelasan Alkitab. 

Di ujung lain dari spektrum itu, sebagian kaum Protestan percaya bahwa hampir seluruh Alkitab begitu jelas sehingga mereka dapat memahaminya dengan cepat dan mudah. Yang lebih sering terjadi, para pembela pandangan semacam ini mampu memegang pandangan sederhana tentang kejelasan Alkitab ini karena mereka langsung menolak semua penafsiran yang tidak berasal dari komunitas Kristen mereka sendiri yang sangat sempit. 

Melebih-lebihkan kejelasan Alkitab adalah pencobaan besar bagi banyak teolog di dalam tradisi Reformed masa kini. Kita mati-matian ingin menjauhkan Alkitab dari jerat skeptisisme dan sinisisme modern. Akan tetapi, terlalu menyederhanakan kejelasan Alkitab seperti ini tidak mewakili pandangan Reformasi tentang kejelasan Alkitab. Seperti yang telah kita lihat, para Reformator mula-mula mengakui bahwa sebagian isi Alkitab itu sukar, jika bukan mustahil, untuk dipahami. 

Di bagian tengah spektrum tentang kejelasan Alkitab ini terdapat posisi yang mengakui beberapa tingkat kejelasan. Inilah posisi yang diambil oleh Pengakuan Iman Westminster pasal I, paragraf 7: 

Tidak semua hal di dalam Alkitab itu jelas pada dirinya, dan tidak semua hal itu jelas bagi semua orang: tetapi hal-hal yang harus diketahui, dipercayai, dan ditaati untuk keselamatan dikemukakan dan disingkapkan dengan begitu jelas di dalam bagian tertentu dari Alkitab atau di bagian lainnya, sehingga bukan hanya orang yang berpendidikan, melainkan juga orang yang tidak berpendidikan, dapat memperoleh pengertian yang memadai tentangnya.

Perhatikan bagaimana Pengakuan Iman ini memahami bahwa apa yang merupakan keharusan bagi keselamatan itu jelas di satu bagian atau bagian lainnya, tetapi juga mengakui bahwa tidak semua hal lainnya di dalam Alkitab sama jelasnya. Dengan kata lain, Alkitab bukan sepenuhnya tidak jelas atau sepenuhnya jelas. 

Anda ingat bahwa di dalam pelajaran terdahulu kita telah membedakan berbagai tingkat keyakinan yang kita miliki tentang doktrin-doktrin Kristen yang berbeda. Kita memakai model yang kita sebut “kerucut kepastian.” Di dekat dasar kerucut kepastian, kita menemukan kepercayaan yang kita pegang secara longgar karena kita memiliki tingkat keyakinan yang rendah tentangnya. Di bagian puncak, kita menemukan kepercayaan-kepercayaan inti yang kita pegang dengan teguh; melepaskannya berarti melepaskan iman Kristen. Dan di antara kedua ekstrim ini kita menemukan segala hal lain yang kita percayai dengan derajat keyakinan yang berbeda-beda. 

Dalam banyak hal, akan bermanfaat jika kita memikirkan kejelasan Alkitab dalam cara yang sama. Pertama, banyak aspek ajaran Alkitab, termasuk pengetahuan tentang apa yang dituntut bagi keselamatan, bisa dipahami dengan sedikit atau tanpa upaya ilmiah sama sekali. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Pengakuan Iman Westminster, “orang yang terpelajar“ dan “orang yang tidak terpelajar“ sama-sama bisa mengerti hal-hal ini. Informasi Alkitab lainnya juga cocok dengan kategori ini. Bahkan, bagian yang amat besar dari Alkitab cukup mudah untuk dipahami. 

Sebagai contoh, tidak sukar untuk melihat bahwa Allah menciptakan dunia, atau bahwa ada orang bernama Abraham, Musa, dan Daud, atau bahwa Israel pergi ke Mesir dan kemudian ke pembuangan. Perjanjian Baru dengan jelas mengajarkan bahwa Yesus dibesarkan di Nazaret dan bahwa ada sejumlah rasul. Hal-hal ini dan fitur lainnya yang tidak terhitung banyaknya di dalam Alkitab begitu jelas sehingga tidak seorang pun perlu mengerahkan upaya ilmiah atau akademis agar bisa mengetahuinya. 

Kedua, beberapa aspek Alkitab hanya dikenal oleh orang-orang yang serius mempelajarinya, yang mempelajari topik-topik seperti sejarah kuno, atau kritik teks, atau bahasa-bahasa Alkitab, metode penafsiran, dan teologi. Di antara semua topik ini, kita bisa memasukkan hal-hal seperti eskatologi Paulus, atau tujuan historis dari kitab Kejadian. Hal-hal ini serta aspek-aspek lain dari Alkitab menuntut lebih banyak perhatian akademis. Akan tetapi, dengan usaha akademis yang memadai, banyak hal yang semula terkesan kabur menjadi lebih jelas bagi kita.

Akhirnya, beberapa bagian Alkitab seolah tetap tidak jelas, tidak peduli sebesar apapun usaha yang kita kerahkan. Beberapa contoh yang lebih jelas tentang dimensi-dimensi ini di dalam Alkitab muncul ketika kita berusaha menyelaraskan bagian-bagian Alkitab yang paralel seperti Samuel, Raja-raja, dan Tawarikh, atau Kitab-Kitab Injil dalam Perjanjian Baru. Walaupun telah ada sejumlah kemajuan besar dalam wilayah ini, ada banyak masalah yang tampaknya tidak terpecahkan. 

Jadi, saat kita mempelajari Alkitab, kita harus selalu ingat bahwa beberapa dimensi Alkitab lebih jelas daripada yang lainnya. Hanya jika kita menghadapi kenyataan inilah kita dapat menangani otoritas Alkitab secara bertanggung jawab. Meskipun setiap bagian Alkitab memiliki otoritas yang tidak mungkin diragukan, pada tingkat praktis kita mampu memahami dan mengikuti tuntutannya yang berotoritas dengan derajat yang bervariasi, tergantung dari kejelasan relatif dari berbagai bagian yang berbeda dalam Alkitab. Jadi kita melihat bahwa untuk mewakili tradisi Reformed di zaman kita, kita harus menghindari ekstrim kontemporer tentang kejelasan Alkitab dan mengukuhkan bahwa terdapat tingkatan dalam pemahaman Alkitab. 

Sambil mengingat perspektif tentang otoritas Alkitab ini, kita harus mengalihkan perhatian kita kepada otoritas gerejawi di dalam teologi Reformed kontemporer. 

Otoritas Gereja
Kita kembali akan berfokus kepada dua aspek: pertama, kita akan memperhatikan bagaimana seharusnya para teolog Reformed kontemporer memandang otoritas gerejawi dari masa lampau; dan kedua, kita akan membahas bagaimana para teolog Reformed kontemporer seharusnya memandang otoritas gerejawi di masa kini. Kita mulai dengan memperhatikan masa lampau.

Otoritas Masa Lampau
Seperti yang telah kita lihat, kaum Protestan mula-mula mengerti bahwa Roh Kudus telah mengajarkan banyak kebenaran kepada gereja di masa lampau. Mereka berusaha memberikan penghargaan yang layak dan tunduk kepada pengajaran para bapa gereja, pengakuan-pengakuan iman serta tradisi-tradisi gereja yang telah lama dipegang dengan menerimanya sebagai keputusan sementara. Namun, kaum Protestan mula-mula juga menyeimbangkan praktik ini dengan pengakuan yang tegas akan keutamaan Alkitab atas ajaran-ajaran gereja di masa lampau. Mereka mengandalkan masa lampau, tetapi mereka juga berusaha mengevaluasi semua ajaran gereja berdasarkan standar Alkitab. 

Sayangnya, para teolog Reformed masa kini sering mengalami kesulitan untuk memegang teguh kedua sisi dari posisi Protestan mula-mula ini. Akan membantu jika kita melihat tiga arah yang bisa kita tempuh: tradisionalisme di ujung yang satu, biblisisme di ujung lainnya, dan praktik Reformed semper reformanda yang hadir di antara kedua ekstrim ini.

Di satu pihak, para teolog Reformed masa kini kerap jatuh ke dalam perangkap “tradisionalisme.” Yang kita maksudkan dengan tradisionalisme adalah bahwa mereka menyimpang kepada praktik-praktik yang sangat mirip dengan tradisionalisme Katolik Roma Zaman Pertengahan. Memang para teolog Reformed mengakui otoritas Alkitab dan tentu saja mereka menolak tradisi-tradisi aliran Katolik. Akan tetapi, sering kali, kaum tradisionalis Reformed begitu menjunjung tinggi ekspresi-ekspresi masa lampau dari iman Reformed sehingga secara praktis, mereka gagal untuk mencermati masa lampau secara memadai. 

Jika Anda banyak berinteraksi dengan para teolog Reformed masa kini, barangkali Anda telah melihat kecenderungan ini. Sering kali para teolog Reformed menerima posisi dan praktik doktrinal dari masa lampau sampai menjadikan tradisi-tradisi ini dianggap sebagai fondasi-fondasi yang tidak mungkin dipertanyakan bagi perenungan dan praktik masa kini. Terlalu sering, para teolog Reformed yang bermaksud baik ini cenderung menjawab pertanyaan-pertanyaan teologis hanya dengan menanyakan, “Apa yang dikatakan oleh pengakuan iman Reformed?” ketimbang bertanya, “Apa yang Alkitab katakan?”

Di pihak lain, para teolog Reformed modern juga melangkah kepada ekstrim yang sebaliknya ketika mereka menghadapi otoritas gerejawi dari masa lampau. Di dalam modernisme Zaman Pencerahan versi Kristen, mereka jatuh ke dalam apa yang bisa kita sebut sebagai “biblisisme.” Para teolog ini bertindak seakan-akan setiap orang harus datang kepada Alkitab dan memutuskan semua isu teologis tanpa bantuan tradisi Protestan masa lampau.

Dari waktu ke waktu, para teolog yang mengidentikkan diri mereka dengan gereja cabang Reformed, bereaksi terhadap tradisionalisme Reformed dengan mengutarakan hal-hal seperti, “Tidak penting apa yang telah dikatakan oleh gereja. Yang penting bagi saya hanyalah apa yang Alkitab katakan.” Retorika seperti ini melangkah terlalu jauh dalam menyatakan ketundukan kepada Alkitab sebagai otoritas final kita. Ini juga mengabaikan hikmat yang telah dikaruniakan Roh Allah kepada gereja, dan sekaligus membatasi keputusan teologis hanya kepada perorangan atau kelompok yang sekarang ini ada. 

Untuk mempertahankan semangat Reformasi pada masa kini, kita harus meneguhkan kembali prinsip semper reformanda. Kita harus berjuang untuk mengukuhkan keutamaan Alkitab tanpa mengabaikan pentingnya tradisi Reformasi. 

Di satu pihak, semper reformanda masa kini menuntut kita menerima sebagai keputusan sementara tidak saja para bapa gereja mula-mula dan konsili-konsili, tetapi juga pengakuan-pengakuan iman dan tradisi-tradisi Reformed yang kita miliki. Kita memiliki Pengakuan Iman Westminster, Katekismus Besar dan Katekismus Kecil Westminster, Katekismus Heidelberg, Belgic Confession, serta Kanon Dort. Selain itu kita memiliki sejumlah tulisan yang tidak terlalu formal dari para pemimpin dan para teolog di masa lampau. Akan tetapi, di pihak lain, otoritas-otoritas dari masa lampau ini harus selalu tunduk kepada ajaran Alkitab yang tidak mungkin diragukan. Demi mempertahankan Reformasi di masa kini, kita perlu mempelajari cara untuk menentukan bobot yang sesuai dari otoritas-otoritas gerejawi dari masa lampau di bawah otoritas Alkitab. 

Sesudah melihat bagaimana teolog Reformed masa kini seharusnya berelasi dengan masa lampau, kita harus beralih ke hal yang sama pentingnya: Bagaimana seharusnya para teolog Reformed menilai otoritas gerejawi kontemporer. Bagaimana seharusnya kita mengerti otoritas dari formulasi teologis yang sedang berkembang di zaman kita?

Otoritas Protestan Kontemporer
Kita telah melihat bahwa kaum Protestan mula-mula mengakui pentingnya teologi yang dikembangkan oleh para pemimpin gereja yang ditahbiskan secara tepat di dalam gereja, tetapi mereka berhati-hati untuk tidak meninggikan otoritas kontemporer di dalam gereja melebihi ajaran Alkitab. Sayangnya, sekali lagi para teolog Reformed kontemporer sering mengalami kesulitan untuk mengikuti pandangan Protestan mula-mula ini. Mereka cenderung bersikap ekstrim dalam cara-cara mereka memahami para teolog Reformed yang hidup di zaman mereka sendiri.

Di satu pihak teolog Reformed cenderung bersikap skeptis terhadap formulasi doktrinal masa kini. Di sisi lain, ada banyak yang menganut dogmatisme tentang formulasi doktrinal di zaman kita. Akan tetapi, jalan yang mestinya ditempuh oleh teologi Reformasi yang otentik adalah berjuang untuk “setia dalam formulasi doktrinal kontemporer.”

Ketimbang menganut skeptisisme atau dogmatisme yang sangat kaku dalam teologi Reformed kontemporer, pandangan ini bermaksud menciptakan “formulasi yang setia.” Mari kita jabarkan apa yang dimaksud dengan formulasi yang setia ini. Untuk mengerti apa yang kami maksudkan, ada baiknya kita memeriksa bagaimana kita memahami kebenaran dari pernyataan-pernyataan teologis.

Skeptisisme dan dogmatisme yang kaku yang kita hadapi dalam zaman kita hadir salah satunya karena pernyataan-pernyataan doktrinal kerap dievaluasi dalam pengertian biner sederhana. Seperti tabel kebenaran logika abstrak tradisional, pernyataan doktrinal sering hanya dianggap benar atau salah. Akan tetapi, dalam kenyataannya, akan menolong jika kita meninggalkan model biner abstrak ini. Jauh lebih berguna jika kita memikirkan nilai kebenaran dari pernyataan-pernyataan doktrinal dengan pengertian analog, yaitu sebagai suatu kisaran kemungkinan-kemungkinan di sepanjang kontinum di antara kebenaran dan kesalahan. Semua pernyataan teologis itu entah lebih atau kurang benar atau salah, bergantung pada sejauh mana ajaran itu mencerminkan ajaran Alkitab yang infallible.

Di satu sisi dari kontinum ini, kita menemukan bahwa beberapa posisi teologis memaparkan ajaran Alkitab dengan cukup baik sehingga kita dengan hati nurani yang bersih dapat menyebutnya benar. Pernyataan-pernyataan ini tentunya tidak sempurna, tetapi cukup dekat untuk dianggap benar, kecuali muncul beberapa kualifikasi yang menyatakan bahwa pernyataan itu tidak memadai. Di sisi lain dari kontinum itu, posisi teologis lainnya sedemikian jauh dari ajaran Alkitab sehingga kita dengan benar bisa menganggapnya salah, kecuali beberapa kualifikasi memperlihatkan bahwa pernyataan itu dapat diterima.

Ambillah contoh, pernyataan “Allah berdaulat atas segala sesuatu.” Pernyataan ini cukup dekat dengan apa yang Alkitab ajarkan sehingga sewajarnya kita tidak memiliki masalah untuk mengatakan bahwa pernyataan ini benar meskipun terbatas. Alkitab memang mengajarkan bahwa Allah berdaulat atas segala sesuatu dalam ciptaan-Nya. Namun, karena pernyataan ini masih dapat diperbaiki, maka dalam arti tertentu kalimat ini tidak sempurna. Sebagai contoh, jika kita sedang membedakan iman alkitabiah dari deisme atau fatalisme, pernyataan ini sesungguhnya bisa memberi kesan yang salah. Bahkan pernyataan ini sesungguhnya dapat menyesatkan, kecuali kita membatasinya dengan memasukkan realitas tentang pemeliharaan ilahi bahwa Allah berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa historis.

Dalam cara sama, pernyataan “Yesus adalah Allah” cukup dekat dengan Alkitab sehingga bisa dianggap benar dalam kebanyakan situasi. Kita bisa puas bahwa kalimat ini mewakili ajaran Alkitab, meskipun terbatas. Akan tetapi, kita sadar bahwa dalam konteks tertentu, seperti ketika kita berhadapan dengan bidat Kristen, pernyataan ini malah bisa mengaburkan kebenaran; atau menyesatkan. Alkitab juga mengajarkan bahwa Kristus sepenuhnya manusia. Dan, dalam keadaan tertentu, kita harus membatasinya bahwa pernyataan “Yesus adalah Allah“ juga mencakup kemanusiaan Kristus sebelum kita bisa puas bahwa pernyataan itu mengungkapkan kebenaran dengan cukup baik.

Akhirnya, kita dapat mengatakan hal berikut ini tentang formulasi teologis kontemporer. Beberapa pernyataan teologis cukup dekat dengan Alkitab sehingga bisa dinyatakan benar. Yang lainnya cukup jauh dari Alkitab sehingga bisa dinyatakan salah. Ada satu hal yang berlaku bagi semua formulasi teologis: semua formulasi itu dapat diperbaiki. Ini tidak lain adalah semboyan Reformed mula-mula: semper reformanda, “selalu mereformasi diri.” Atau mengikuti ungkapan yang saya sukai, “Formulasi teologis yang final hanya menunjukkan kurangnya imajinasi.”

Inilah yang dimaksud ketika dikatakan bahwa tujuan teologi Reformed kontemporer adalah menghasilkan formulasi teologis yang setia. Di satu sisi, kita tidak skeptis dengan teologi gerejawi kontemporer; kita tidak menolak semua pengertian tentang otoritas atau perlunya ketundukan kepada apa yang dikatakan oleh gereja masa kini. Di pihak lain, kita tidak sepenuhnya dogmatis; kita tidak bersikeras bahwa formulasi-formulasi kontemporer itu sempurna. Sebaliknya, dengan rendah hati dan bertanggung jawab kita menggunakan semua sumber daya yang telah Allah berikan – eksegesis Alkitab, interaksi dalam komunitas, dan kehidupan Kristen – untuk mengembangkan formulasi-formulasi doktrin yang setia.

Kita sebisa mungkin berusaha menyesuaikan ajaran kita dengan ajaran Alkitab. Semakin dekat doktrin-doktrin kita kepada Alkitab, semakin besar otoritas yang dimilikinya. Semakin jauh doktrin-doktrin itu dari Alkitab, semakin berkurang pula otoritasnya. Akan tetapi, di dalam semuanya itu, teologi gereja harus selalu dipegang dengan ketundukan kepada Alkitab. Sasaran kita adalah untuk menghasilkan formulasi-formulasi teologis yang setia.

KESIMPULAN
Di dalam pelajaran ini kita telah menelusuri relasi di antara otoritas alkitabiah dan otoritas gerejawi. Kita telah melihat sejumlah pandangan yang dikembangkan pada periode Zaman Pertengahan. Kita juga telah melihat bagaimana Reformasi mula-mula mengoreksi pandangan ini. Dan akhirnya, kita telah menelusuri kebutuhan untuk menerapkan pandangan Reformasi kepada otoritas alkitabiah dan otoritas gerejawi di zaman kita ini. 

Membangun teologi Kristen menuntut penilaian yang cermat terhadap otoritas alkitabiah dan gerejawi. Dengan tetap mengingat prinsip-prinsip yang telah kita lihat di dalam pelajaran, kita akan mampu untuk menghindari banyak masalah yang telah mewabah dalam teologi gereja di masa lampau dan banyak masalah yang masih mengganggu kita kini. Kita akan mampu membangun teologi yang akan melayani gereja dan membawa kemuliaan bagi Allah.

No comments:

Post a Comment