PROTESTANTISME KONTEMPORER
Kami akan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan pertama-tama membahas jenis-jenis pandangan yang kita harus miliki terhadap Alkitab, dan kedua dengan mengusulkan beberapa perspektif penting yang harus kita miliki terhadap otoritas gerejawi di zaman kita. Kita akan melihat terlebih dulu doktrin tentang Alkitab.
Otoritas Alkitab
Kita akan menelusuri pandangan-pandangan kontemporer tentang Alkitab dengan menyinggung tiga isu yang menjadi perhatian kita di sepanjang pelajaran ini: inspirasi Alkitab, makna Alkitab dan kejelasan Alkitab. Pada zaman kita ini, sejumlah pandangan berbeda tentang topik-topik ini mengklaim mengikuti tradisi Reformasi. Kita akan memperhatikan ketiga pandangan ini dan menilainya, dimulai dengan perspektif modern tentang inspirasi Alkitab.
Inspirasi
Semua orang yang secara sah mengaku sebagai orang Protestan pada masa kini akan mendukung kepercayaan tertentu bahwa Alkitab diinspirasikan oleh Allah. Namun, ada banyak kebingungan tentang bagaimana doktrin Reformed tentang inspirasi harus diformulasikan pada zaman kita.
Paling tidak ada tiga pandangan tentang inspirasi yang populer di antara kaum Protestan kontemporer. Di ujung salah satu spektrum terdapat pandangan yang kerap disebut sebagai “inspirasi romantis”; di ujung spektrum yang lain ada pandangan ekstrim lain yang disebut sebagai “inspirasi mekanis”. Dan di antara kedua pandangan yang ekstrim ini terdapat pandangan yang selama ini disebut “inspirasi organis”. Mari kita perhatikan secara singkat ketiganya.
Inspirasi romantis didukung secara luas oleh orang Protestan yang lebih liberal. Dalam pandangan ini, Alkitab diinspirasikan dalam pengertian romantis, hampir sama seperti ketika kita membicarakan Shakespeare, Rembrandt, atau Bach yang mendapatkan “inspirasi”. Allah memotivasi para penulis Alkitab, tetapi Ia tidak membimbing proses penulisan mereka. Dalam pandangan ini Alkitab hanyalah opini manusia. Karena itu, Alkitab dianggap fallible dan tidak memiliki otoritas absolut atas gereja. Tentu saja, pandangan tentang inspirasi ini harus ditolak oleh mereka yang ingin melanjutkan semangat Reformasi; pandangan ini meninggalkan komitmen sentral Protestan pada Sola Scriptura dengan menyangkali keandalan maupun otoritas tertinggi Alkitab.
Di ujung lain dari spektrum ini terdapat inspirasi mekanis, atau yang terkadang disebut “inspirasi dengan dikte.” Sampai batas tertentu, pandangan ini menegaskan bahwa para pengarang Alkitab relatif pasif ketika mereka menulis Alkitab. Dalam pandangan ini, pada hakikatnya Allah sendirilah yang mengarang Alkitab, sedangkan pengarang manusia bertindak sebagai juru tulis-Nya yang patuh. Secara keseluruhan, pandangan tentang inspirasi ini juga melenceng dari prinsip Reformasi Sola Scriptura karena menyangkali pentingnya konteks historis para penulis manusia serta makna aslinya. Seperti yang dengan teliti diamati oleh para Reformator, ketika nilai dari makna harfiah Alkitab ditolak, otoritas praktis Alkitab menjadi terhalangi. Makna Alkitab tidak lagi dapat dinilai dan diikuti. Kita dipaksa untuk memaknai Alkitab dengan ide-ide kita sendiri. Dan akibatnya, Alkitab itu sendiri tidak lagi berfungsi sebagai otoritas tertinggi kita dalam teologi.
Teologi Reformed masa kini harus menghindari pandangan ekstrim inspirasi romantis maupun inspirasi mekanis dengan menegaskan kembali natur inspirasi yang sepenuhnya organis: Allah menggerakkan para penulis untuk menulis, dan membimbing mereka dalam menulis sehingga mereka menulis dengan infallible dan dengan otoritas. Akan tetapi, Ia tidak menyingkirkan pemikiran pribadi, motivasi, perasaan atau teologi mereka. Sebaliknya, dimensi manusiawi dan dimensi ilahi dari inspirasi sama sekali tidak bertolak belakang. Sebaliknya, seluruh Alkitab menyajikan kebenaran Allah yang abadi, tetapi dalam teks yang sangat manusiawi dan terkondisi oleh budaya. Seluruh ajaran Alkitab adalah normatif untuk segala waktu, tetapi ajarannya terikat kepada konteks keadaan-keadaan tertentu. Pandangan Reformed tentang inspirasi organis menekankan kualitas manusiawi maupun ilahi, dan kualitas historis maupun transenden dari seluruh Alkitab. Dan dengan sarana ini, doktrin Reformed Sola Scriptura dapat dipertahankan.
Tentu saja, dari ketiga cara utama kaum Protestan memandang inspirasi Alkitab, mereka yang ingin meneruskan Reformasi di zaman kita akan melihat bahwa doktrin inspirasi organis paling serasi dengan prinsip-prinsip yang memunculkan dan mengarahkan Reformasi Protestan.
Selain menekankan natur organis dari inspirasi, para teolog modern yang mengikuti tradisi Reformasi juga harus secara benar menilai natur dari makna Alkitab.
Makna
Sekali lagi, suatu spektrum yang terdiri dari berbagai posisi telah diusulkan untuk mewakili pemikiran Reformed dalam bidang ini, tetapi tidak semua pilihan tersebut memajukan ideal dari Reformasi. Di satu ujung kontinum terdapat pandangan yang dapat disebut sebagai “polivalensi kontemporer,” sementara di ujung yang lainnya terdapat pandangan yang disebut sebagai “univalensi simplistis,” dan di tengah-tengahnya terdapat pandangan yang bisa disebut sebagai “univalensi multifaset.” Mari kita bahas terlebih dulu polivalensi kontemporer.
Selama beberapa dekade terakhir, beberapa teolog Reformed telah membicarakan polivalensi teks alkitabiah, dan percaya bahwa Alkitab memiliki banyak makna yang berbeda. Akan tetapi, apabila “polivalensi klasik” mengakui adanya makna yang beragam karena asal usul ilahi Alkitab, “polivalensi kontemporer” biasanya didasarkan pada ambiguitas bahasa manusia.
Akibatnya, “polivalensi kontemporer” mengajarkan bahwa bagian-bagian Alkitab adalah wadah kosong untuk pengisian makna oleh para penafsir. Yang pasti, sebagaimana satu wadah memiliki bentuk tertentu, tata bahasa teks alkitabiah mengatur beberapa parameter dasar bagi makna. Walaupun begitu, di dalam parameter-parameter ini, makna spesifiknya diberikan oleh para penafsir Alkitab.
Atas dasar ini, diajukan argumen bahwa kita harus menolak penekanan Reformasi pada standar sensus literalis yang tetap berlaku. Sebaliknya, demikian argumennya, kita harus menuangkan penafsiran kita sendiri ke dalam nas-nas Alkitab, dan cukup memberi sedikit perhatian pada, atau tidak perlu memperhatikan, makna asli atau harfiah dari teks itu. Akan tetapi, kita harus menolak pengertian polivalensi ini karena konsep ini menjadikan otoritas Alkitab tidak berlaku. Konsep ini memberi hak kepada para penafsir manusia untuk menuangkan ide-ide mereka sendiri ke dalam Alkitab.
Di ujung lain dari spektrum ini hadir pandangan yang kita sebut sebagai “univalensi simplistis.” Pandangan ini dengan tepat mendukung pengertian bahwa semua bagian Alkitab hanya memiliki satu makna, tetapi secara keliru menyangkal bahwa makna tunggal itu bisa saja kompleks. Ambillah sebagai contoh Yohanes 3:16:
Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16).
Seorang Kristen yang meyakini univalensi simplistis bisa berkata seperti ini: “Ayat ini sangat sederhana; Yohanes 3:16 memberitahu kita bahwa kita harus percaya kepada Kristus.”
Rangkuman ini memang benar meskipun terbatas, tetapi ada lebih banyak lagi yang dinyatakan oleh ayat ini. Ayat ini juga berbicara secara eksplisit tentang kasih Allah; tentang inkarnasi, kematian dan kebangkitan Kristus; dan tentang dunia, hukuman kekal, dan hidup kekal. Dan, karena doktrin-doktrin Alkitab membentuk jejaring beberapa relasi timbal balik, ayat ini juga berbicara secara implisit tentang segala jenis topik yang dibahas secara lebih langsung oleh bagian-bagian Alkitab lainnya. Jadi, dalam pengertian ini, Yohanes 3:16, hanya memiliki satu makna, tetapi makna itu melampaui rangkuman apapun yang bisa kita rumuskan darinya.
Apabila kita gagal melihat bahwa makna Alkitab sedemikian kompleks sehingga makna itu selalu melampaui penafsiran kita, kita menghadapi suatu risiko yang serius – risiko hampir menganggap penafsiran kita terhadap Alkitab sebagai Alkitab itu sendiri. Penafsiran kita mengambil otoritas Alkitab itu sendiri dan kita menolak Sola Scriptura, yaitu kepercayaan bahwa Alkitab selalu berdiri di atas penafsiran kita.
Di pusat spektrum ini terdapat “univalensi kompleks,” yang selaras dengan pandangan Reformasi mula-mula. Pengakuan Iman Westminster memaparkan “univalensi kompleks”dalam pasal I, paragraf 9, di mana dikatakan:
Ketika ada pertanyaan tentang makna yang benar dan penuh (yang tidak jamak, tetapi satu) dari bagian Alkitab mana pun, makna itu harus diselidiki dan diketahui melalui nas-nas lain yang membicarakan hal itu dengan lebih jelas.
Dalam pandangan ini, masing-masing bagian memiliki satu makna, tetapi makna yang satu ini kompleks dan multifaset, dinyatakan oleh jejaring beberapa relasi timbal balik yang diatur oleh keseluruhan ajaran Alkitab.
Kita harus mengukuhkan pengertian Reformasi tentang univalensi kompleks ini di masa kini karena pengertian ini mengukuhkan bahwa Alkitab menyajikan makna yang berotoritas ketimbang menunggu kita untuk menyediakannya. Akan tetapi, pandangan ini juga mencegah kita dari merendahkan Alkitab ke level rangkuman kita tentang Alkitab. Setiap teks Alkitab memiliki otoritas yang melampaui usaha terbaik kita untuk menafsirkan teks tersebut. Pandangan “univalensi multifaset” ini menyediakan jalan untuk memahami makna Alkitab yang akan memampukan kita untuk meneruskan teologi Reformasi di zaman kita.
Kini kita siap untuk berbicara tentang pandangan Reformed mengenai kejelasan Alkitab.
Kejelasan
Akan bermanfaat jika kita kembali berpikir tentang tiga titik di sepanjang spektrum. Di ujung yang satu, kita menghadapi kecenderungan kontemporer ke arah ketidakjelasan total; di ujung lainnya kita menghadapi kecenderungan kontemporer ke arah kejelasan total; tetapi di tengahnya terdapat doktrin Reformasi tentang tingkat-tingkat kejelasan.
Tidaklah sukar untuk menemukan orang Protestan masa kini yang memperlakukan Alkitab sebagai kitab yang hampir sepenuhnya tidak jelas atau tersembunyi bagi kita. Sering kali, dalam semangat dekonstruksi dan hermeneutika post-modern, mereka menganggap Alkitab tidak jelas sebab mereka percaya Alkitab berkontradiksi dengan dirinya (self-contradictory) dan menggagalkan rancangannya sendiri (self-defeating), persis seperti pandangan mereka tentang literatur lainnya. Dalam pandangan mereka, sejarah penafsiran Alkitab telah menyingkapkan begitu banyak kesulitan eksegetis sehingga hampir mustahil untuk menentukan bagaimana kita harus memahami Alkitab pada masa kini.
Memang benar bahwa seperti halnya semua komunikasi manusia yang memadai, selalu ada ketidakjelasan di batas luar atau margin dari wahyu alkitabiah, tetapi tetap tidak dapat dikatakan bahwa Alkitab tidak jelas tentang segala sesuatu. Ada banyak hal di dalam Alkitab yang cukup jelas. Pandangan ini tidak mencerminkan kepercayaan Reformasi tentang kejelasan Alkitab. Jika kita ingin mempertahankan semangat Reformasi pada masa kini, kita harus menolak anggapan yang dibesar-besarkan ini tentang ketidakjelasan Alkitab.
Di ujung lain dari spektrum itu, sebagian kaum Protestan percaya bahwa hampir seluruh Alkitab begitu jelas sehingga mereka dapat memahaminya dengan cepat dan mudah. Yang lebih sering terjadi, para pembela pandangan semacam ini mampu memegang pandangan sederhana tentang kejelasan Alkitab ini karena mereka langsung menolak semua penafsiran yang tidak berasal dari komunitas Kristen mereka sendiri yang sangat sempit.
Melebih-lebihkan kejelasan Alkitab adalah pencobaan besar bagi banyak teolog di dalam tradisi Reformed masa kini. Kita mati-matian ingin menjauhkan Alkitab dari jerat skeptisisme dan sinisisme modern. Akan tetapi, terlalu menyederhanakan kejelasan Alkitab seperti ini tidak mewakili pandangan Reformasi tentang kejelasan Alkitab. Seperti yang telah kita lihat, para Reformator mula-mula mengakui bahwa sebagian isi Alkitab itu sukar, jika bukan mustahil, untuk dipahami.
Di bagian tengah spektrum tentang kejelasan Alkitab ini terdapat posisi yang mengakui beberapa tingkat kejelasan. Inilah posisi yang diambil oleh Pengakuan Iman Westminster pasal I, paragraf 7:
Tidak semua hal di dalam Alkitab itu jelas pada dirinya, dan tidak semua hal itu jelas bagi semua orang: tetapi hal-hal yang harus diketahui, dipercayai, dan ditaati untuk keselamatan dikemukakan dan disingkapkan dengan begitu jelas di dalam bagian tertentu dari Alkitab atau di bagian lainnya, sehingga bukan hanya orang yang berpendidikan, melainkan juga orang yang tidak berpendidikan, dapat memperoleh pengertian yang memadai tentangnya.
Perhatikan bagaimana Pengakuan Iman ini memahami bahwa apa yang merupakan keharusan bagi keselamatan itu jelas di satu bagian atau bagian lainnya, tetapi juga mengakui bahwa tidak semua hal lainnya di dalam Alkitab sama jelasnya. Dengan kata lain, Alkitab bukan sepenuhnya tidak jelas atau sepenuhnya jelas.
Anda ingat bahwa di dalam pelajaran terdahulu kita telah membedakan berbagai tingkat keyakinan yang kita miliki tentang doktrin-doktrin Kristen yang berbeda. Kita memakai model yang kita sebut “kerucut kepastian.” Di dekat dasar kerucut kepastian, kita menemukan kepercayaan yang kita pegang secara longgar karena kita memiliki tingkat keyakinan yang rendah tentangnya. Di bagian puncak, kita menemukan kepercayaan-kepercayaan inti yang kita pegang dengan teguh; melepaskannya berarti melepaskan iman Kristen. Dan di antara kedua ekstrim ini kita menemukan segala hal lain yang kita percayai dengan derajat keyakinan yang berbeda-beda.
Dalam banyak hal, akan bermanfaat jika kita memikirkan kejelasan Alkitab dalam cara yang sama. Pertama, banyak aspek ajaran Alkitab, termasuk pengetahuan tentang apa yang dituntut bagi keselamatan, bisa dipahami dengan sedikit atau tanpa upaya ilmiah sama sekali. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Pengakuan Iman Westminster, “orang yang terpelajar“ dan “orang yang tidak terpelajar“ sama-sama bisa mengerti hal-hal ini. Informasi Alkitab lainnya juga cocok dengan kategori ini. Bahkan, bagian yang amat besar dari Alkitab cukup mudah untuk dipahami.
Sebagai contoh, tidak sukar untuk melihat bahwa Allah menciptakan dunia, atau bahwa ada orang bernama Abraham, Musa, dan Daud, atau bahwa Israel pergi ke Mesir dan kemudian ke pembuangan. Perjanjian Baru dengan jelas mengajarkan bahwa Yesus dibesarkan di Nazaret dan bahwa ada sejumlah rasul. Hal-hal ini dan fitur lainnya yang tidak terhitung banyaknya di dalam Alkitab begitu jelas sehingga tidak seorang pun perlu mengerahkan upaya ilmiah atau akademis agar bisa mengetahuinya.
Kedua, beberapa aspek Alkitab hanya dikenal oleh orang-orang yang serius mempelajarinya, yang mempelajari topik-topik seperti sejarah kuno, atau kritik teks, atau bahasa-bahasa Alkitab, metode penafsiran, dan teologi. Di antara semua topik ini, kita bisa memasukkan hal-hal seperti eskatologi Paulus, atau tujuan historis dari kitab Kejadian. Hal-hal ini serta aspek-aspek lain dari Alkitab menuntut lebih banyak perhatian akademis. Akan tetapi, dengan usaha akademis yang memadai, banyak hal yang semula terkesan kabur menjadi lebih jelas bagi kita.
Akhirnya, beberapa bagian Alkitab seolah tetap tidak jelas, tidak peduli sebesar apapun usaha yang kita kerahkan. Beberapa contoh yang lebih jelas tentang dimensi-dimensi ini di dalam Alkitab muncul ketika kita berusaha menyelaraskan bagian-bagian Alkitab yang paralel seperti Samuel, Raja-raja, dan Tawarikh, atau Kitab-Kitab Injil dalam Perjanjian Baru. Walaupun telah ada sejumlah kemajuan besar dalam wilayah ini, ada banyak masalah yang tampaknya tidak terpecahkan.
Jadi, saat kita mempelajari Alkitab, kita harus selalu ingat bahwa beberapa dimensi Alkitab lebih jelas daripada yang lainnya. Hanya jika kita menghadapi kenyataan inilah kita dapat menangani otoritas Alkitab secara bertanggung jawab. Meskipun setiap bagian Alkitab memiliki otoritas yang tidak mungkin diragukan, pada tingkat praktis kita mampu memahami dan mengikuti tuntutannya yang berotoritas dengan derajat yang bervariasi, tergantung dari kejelasan relatif dari berbagai bagian yang berbeda dalam Alkitab. Jadi kita melihat bahwa untuk mewakili tradisi Reformed di zaman kita, kita harus menghindari ekstrim kontemporer tentang kejelasan Alkitab dan mengukuhkan bahwa terdapat tingkatan dalam pemahaman Alkitab.
Sambil mengingat perspektif tentang otoritas Alkitab ini, kita harus mengalihkan perhatian kita kepada otoritas gerejawi di dalam teologi Reformed kontemporer.
Otoritas Gereja
Kita kembali akan berfokus kepada dua aspek: pertama, kita akan memperhatikan bagaimana seharusnya para teolog Reformed kontemporer memandang otoritas gerejawi dari masa lampau; dan kedua, kita akan membahas bagaimana para teolog Reformed kontemporer seharusnya memandang otoritas gerejawi di masa kini. Kita mulai dengan memperhatikan masa lampau.
Otoritas Masa Lampau
Seperti yang telah kita lihat, kaum Protestan mula-mula mengerti bahwa Roh Kudus telah mengajarkan banyak kebenaran kepada gereja di masa lampau. Mereka berusaha memberikan penghargaan yang layak dan tunduk kepada pengajaran para bapa gereja, pengakuan-pengakuan iman serta tradisi-tradisi gereja yang telah lama dipegang dengan menerimanya sebagai keputusan sementara. Namun, kaum Protestan mula-mula juga menyeimbangkan praktik ini dengan pengakuan yang tegas akan keutamaan Alkitab atas ajaran-ajaran gereja di masa lampau. Mereka mengandalkan masa lampau, tetapi mereka juga berusaha mengevaluasi semua ajaran gereja berdasarkan standar Alkitab.
Sayangnya, para teolog Reformed masa kini sering mengalami kesulitan untuk memegang teguh kedua sisi dari posisi Protestan mula-mula ini. Akan membantu jika kita melihat tiga arah yang bisa kita tempuh: tradisionalisme di ujung yang satu, biblisisme di ujung lainnya, dan praktik Reformed semper reformanda yang hadir di antara kedua ekstrim ini.
Di satu pihak, para teolog Reformed masa kini kerap jatuh ke dalam perangkap “tradisionalisme.” Yang kita maksudkan dengan tradisionalisme adalah bahwa mereka menyimpang kepada praktik-praktik yang sangat mirip dengan tradisionalisme Katolik Roma Zaman Pertengahan. Memang para teolog Reformed mengakui otoritas Alkitab dan tentu saja mereka menolak tradisi-tradisi aliran Katolik. Akan tetapi, sering kali, kaum tradisionalis Reformed begitu menjunjung tinggi ekspresi-ekspresi masa lampau dari iman Reformed sehingga secara praktis, mereka gagal untuk mencermati masa lampau secara memadai.
Jika Anda banyak berinteraksi dengan para teolog Reformed masa kini, barangkali Anda telah melihat kecenderungan ini. Sering kali para teolog Reformed menerima posisi dan praktik doktrinal dari masa lampau sampai menjadikan tradisi-tradisi ini dianggap sebagai fondasi-fondasi yang tidak mungkin dipertanyakan bagi perenungan dan praktik masa kini. Terlalu sering, para teolog Reformed yang bermaksud baik ini cenderung menjawab pertanyaan-pertanyaan teologis hanya dengan menanyakan, “Apa yang dikatakan oleh pengakuan iman Reformed?” ketimbang bertanya, “Apa yang Alkitab katakan?”
Di pihak lain, para teolog Reformed modern juga melangkah kepada ekstrim yang sebaliknya ketika mereka menghadapi otoritas gerejawi dari masa lampau. Di dalam modernisme Zaman Pencerahan versi Kristen, mereka jatuh ke dalam apa yang bisa kita sebut sebagai “biblisisme.” Para teolog ini bertindak seakan-akan setiap orang harus datang kepada Alkitab dan memutuskan semua isu teologis tanpa bantuan tradisi Protestan masa lampau.
Dari waktu ke waktu, para teolog yang mengidentikkan diri mereka dengan gereja cabang Reformed, bereaksi terhadap tradisionalisme Reformed dengan mengutarakan hal-hal seperti, “Tidak penting apa yang telah dikatakan oleh gereja. Yang penting bagi saya hanyalah apa yang Alkitab katakan.” Retorika seperti ini melangkah terlalu jauh dalam menyatakan ketundukan kepada Alkitab sebagai otoritas final kita. Ini juga mengabaikan hikmat yang telah dikaruniakan Roh Allah kepada gereja, dan sekaligus membatasi keputusan teologis hanya kepada perorangan atau kelompok yang sekarang ini ada.
Untuk mempertahankan semangat Reformasi pada masa kini, kita harus meneguhkan kembali prinsip semper reformanda. Kita harus berjuang untuk mengukuhkan keutamaan Alkitab tanpa mengabaikan pentingnya tradisi Reformasi.
Di satu pihak, semper reformanda masa kini menuntut kita menerima sebagai keputusan sementara tidak saja para bapa gereja mula-mula dan konsili-konsili, tetapi juga pengakuan-pengakuan iman dan tradisi-tradisi Reformed yang kita miliki. Kita memiliki Pengakuan Iman Westminster, Katekismus Besar dan Katekismus Kecil Westminster, Katekismus Heidelberg, Belgic Confession, serta Kanon Dort. Selain itu kita memiliki sejumlah tulisan yang tidak terlalu formal dari para pemimpin dan para teolog di masa lampau. Akan tetapi, di pihak lain, otoritas-otoritas dari masa lampau ini harus selalu tunduk kepada ajaran Alkitab yang tidak mungkin diragukan. Demi mempertahankan Reformasi di masa kini, kita perlu mempelajari cara untuk menentukan bobot yang sesuai dari otoritas-otoritas gerejawi dari masa lampau di bawah otoritas Alkitab.
Sesudah melihat bagaimana teolog Reformed masa kini seharusnya berelasi dengan masa lampau, kita harus beralih ke hal yang sama pentingnya: Bagaimana seharusnya para teolog Reformed menilai otoritas gerejawi kontemporer. Bagaimana seharusnya kita mengerti otoritas dari formulasi teologis yang sedang berkembang di zaman kita?
Otoritas Protestan Kontemporer
Kita telah melihat bahwa kaum Protestan mula-mula mengakui pentingnya teologi yang dikembangkan oleh para pemimpin gereja yang ditahbiskan secara tepat di dalam gereja, tetapi mereka berhati-hati untuk tidak meninggikan otoritas kontemporer di dalam gereja melebihi ajaran Alkitab. Sayangnya, sekali lagi para teolog Reformed kontemporer sering mengalami kesulitan untuk mengikuti pandangan Protestan mula-mula ini. Mereka cenderung bersikap ekstrim dalam cara-cara mereka memahami para teolog Reformed yang hidup di zaman mereka sendiri.
Di satu pihak teolog Reformed cenderung bersikap skeptis terhadap formulasi doktrinal masa kini. Di sisi lain, ada banyak yang menganut dogmatisme tentang formulasi doktrinal di zaman kita. Akan tetapi, jalan yang mestinya ditempuh oleh teologi Reformasi yang otentik adalah berjuang untuk “setia dalam formulasi doktrinal kontemporer.”
Ketimbang menganut skeptisisme atau dogmatisme yang sangat kaku dalam teologi Reformed kontemporer, pandangan ini bermaksud menciptakan “formulasi yang setia.” Mari kita jabarkan apa yang dimaksud dengan formulasi yang setia ini. Untuk mengerti apa yang kami maksudkan, ada baiknya kita memeriksa bagaimana kita memahami kebenaran dari pernyataan-pernyataan teologis.
Skeptisisme dan dogmatisme yang kaku yang kita hadapi dalam zaman kita hadir salah satunya karena pernyataan-pernyataan doktrinal kerap dievaluasi dalam pengertian biner sederhana. Seperti tabel kebenaran logika abstrak tradisional, pernyataan doktrinal sering hanya dianggap benar atau salah. Akan tetapi, dalam kenyataannya, akan menolong jika kita meninggalkan model biner abstrak ini. Jauh lebih berguna jika kita memikirkan nilai kebenaran dari pernyataan-pernyataan doktrinal dengan pengertian analog, yaitu sebagai suatu kisaran kemungkinan-kemungkinan di sepanjang kontinum di antara kebenaran dan kesalahan. Semua pernyataan teologis itu entah lebih atau kurang benar atau salah, bergantung pada sejauh mana ajaran itu mencerminkan ajaran Alkitab yang infallible.
Di satu sisi dari kontinum ini, kita menemukan bahwa beberapa posisi teologis memaparkan ajaran Alkitab dengan cukup baik sehingga kita dengan hati nurani yang bersih dapat menyebutnya benar. Pernyataan-pernyataan ini tentunya tidak sempurna, tetapi cukup dekat untuk dianggap benar, kecuali muncul beberapa kualifikasi yang menyatakan bahwa pernyataan itu tidak memadai. Di sisi lain dari kontinum itu, posisi teologis lainnya sedemikian jauh dari ajaran Alkitab sehingga kita dengan benar bisa menganggapnya salah, kecuali beberapa kualifikasi memperlihatkan bahwa pernyataan itu dapat diterima.
Ambillah contoh, pernyataan “Allah berdaulat atas segala sesuatu.” Pernyataan ini cukup dekat dengan apa yang Alkitab ajarkan sehingga sewajarnya kita tidak memiliki masalah untuk mengatakan bahwa pernyataan ini benar meskipun terbatas. Alkitab memang mengajarkan bahwa Allah berdaulat atas segala sesuatu dalam ciptaan-Nya. Namun, karena pernyataan ini masih dapat diperbaiki, maka dalam arti tertentu kalimat ini tidak sempurna. Sebagai contoh, jika kita sedang membedakan iman alkitabiah dari deisme atau fatalisme, pernyataan ini sesungguhnya bisa memberi kesan yang salah. Bahkan pernyataan ini sesungguhnya dapat menyesatkan, kecuali kita membatasinya dengan memasukkan realitas tentang pemeliharaan ilahi bahwa Allah berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa historis.
Dalam cara sama, pernyataan “Yesus adalah Allah” cukup dekat dengan Alkitab sehingga bisa dianggap benar dalam kebanyakan situasi. Kita bisa puas bahwa kalimat ini mewakili ajaran Alkitab, meskipun terbatas. Akan tetapi, kita sadar bahwa dalam konteks tertentu, seperti ketika kita berhadapan dengan bidat Kristen, pernyataan ini malah bisa mengaburkan kebenaran; atau menyesatkan. Alkitab juga mengajarkan bahwa Kristus sepenuhnya manusia. Dan, dalam keadaan tertentu, kita harus membatasinya bahwa pernyataan “Yesus adalah Allah“ juga mencakup kemanusiaan Kristus sebelum kita bisa puas bahwa pernyataan itu mengungkapkan kebenaran dengan cukup baik.
Akhirnya, kita dapat mengatakan hal berikut ini tentang formulasi teologis kontemporer. Beberapa pernyataan teologis cukup dekat dengan Alkitab sehingga bisa dinyatakan benar. Yang lainnya cukup jauh dari Alkitab sehingga bisa dinyatakan salah. Ada satu hal yang berlaku bagi semua formulasi teologis: semua formulasi itu dapat diperbaiki. Ini tidak lain adalah semboyan Reformed mula-mula: semper reformanda, “selalu mereformasi diri.” Atau mengikuti ungkapan yang saya sukai, “Formulasi teologis yang final hanya menunjukkan kurangnya imajinasi.”
Inilah yang dimaksud ketika dikatakan bahwa tujuan teologi Reformed kontemporer adalah menghasilkan formulasi teologis yang setia. Di satu sisi, kita tidak skeptis dengan teologi gerejawi kontemporer; kita tidak menolak semua pengertian tentang otoritas atau perlunya ketundukan kepada apa yang dikatakan oleh gereja masa kini. Di pihak lain, kita tidak sepenuhnya dogmatis; kita tidak bersikeras bahwa formulasi-formulasi kontemporer itu sempurna. Sebaliknya, dengan rendah hati dan bertanggung jawab kita menggunakan semua sumber daya yang telah Allah berikan – eksegesis Alkitab, interaksi dalam komunitas, dan kehidupan Kristen – untuk mengembangkan formulasi-formulasi doktrin yang setia.
Kita sebisa mungkin berusaha menyesuaikan ajaran kita dengan ajaran Alkitab. Semakin dekat doktrin-doktrin kita kepada Alkitab, semakin besar otoritas yang dimilikinya. Semakin jauh doktrin-doktrin itu dari Alkitab, semakin berkurang pula otoritasnya. Akan tetapi, di dalam semuanya itu, teologi gereja harus selalu dipegang dengan ketundukan kepada Alkitab. Sasaran kita adalah untuk menghasilkan formulasi-formulasi teologis yang setia.
No comments:
Post a Comment