Sunday, 25 December 2016

JENIS-JENIS DAN TEORI SASTRA

TEORI-TEORI SASTRA
Teori sastra Psikoanalisis
Teori sastra psikoanalisis menganggap bahwa karya sastra sebagai symptom (gejala) dari pengarangnya. Dalam pasien histeria gejalanya muncul dalam bentuk gangguan-gangguan fisik, sedangkan dalam diri sastrawan gejalanya muncul dalam bentuk karya kreatif. Oleh karena itu, dengan anggapan semacam ini, tokoh-tokoh dalam sebuah novel, misalnya akan diperlakukan seperti manusia yang hidup di dalam lamunan si pengarang. Konflik-konflik kejiwaan yang dialami tokoh-tokoh itu dapat dipandang sebagai pencerminan atau representasi dari konflik kejiwaan pengarangnya sendiri. Akan tetapi harus diingat, bahwa pencerminan ini berlangsung secara tanpa disadari oleh si pengarang novel itu sendiri dan sering kali dalam bentuk yang sudah terdistorsi, seperti halnya yang terjadi dengan mimpi. Dengan kata lain, ketaksadaran pengarang bekerja melalui aktivitas penciptaan novelnya. Jadi, karya sastra sebenarnya merupakan pemenuhan secara tersembunyi atas hasrat pengarangnya yang terkekang (terepresi) dalam ketaksadaran.

Teori Sastra Struktural
Studi (kajian) sastra struktural tidak memperlakukan sebuah karya sastra tertentu sebagai objek kajiannya. Yang menjadi objek kajiannya adalah sistem sastra, yaitu seperangkat konvensi yang abstrak dan umum yang mengatur hubungan berbagai unsur dalam teks sastra sehingga unsur-unsur tersebut berkaitan satu sama lain dalam keseluruhan yang utuh. Meskipun konvensi yang membentuk sistem sastra itu bersifat sosial dan ada dalam kesadaran masyarakat tertentu, namun studi sastra structural beranggapan bahwa konvensi tersebut dapat dilacak dan dideskripsikan dari analisis struktur teks sastra itu sendiri secara otonom, terpisah dari pengarang ataupun realitas sosial. Analisis yang seksama dan menyeluruh terhadap relasi-relasi berbagai unsur yang membangun teks sastra dianggap akan menghasilkan suatu pengetahuan tentang sistem sastra.

Teori Sastra Feminis
Teori sastra feminisme melihat karya sastra sebagai cerminan realitas sosial patriarki. Oleh karena itu, tujuan penerapan teori ini adalah untuk membongkar anggapan patriarkis yang tersembunyi melalui gambaran atau citra perempuan dalam karya sastra. Dengan demikian, pembaca atau peneliti akan membaca teks sastra dengan kesadaran bahwa dirinya adalah perempuan yang tertindas oleh sistem sosial patriarki sehingga dia akan jeli melihat bagaimana teks sastra yang dibacanya itu menyembunyikan dan memihak pandangan patriarkis. Di samping itu, studi sastra dengan pendekatan feminis tidak terbatas hanya pada upaya membongkar anggapananggapan patriarki yang terkandung dalam cara penggambaran perempuan melalui teks sastra, tetapi berkembang untuk mengkaji sastra perempuan secara khusus, yakni karya sastra yang dibuat oleh kaum perempuan, yang disebut pula dengan istilah ginokritik. 

Di sini yang diupayakan adalah penelitian tentang kekhasan karya sastra yang dibuat kaum perempuan, baik gaya, tema, jenis, maupun struktur karya sastra kaum perempuan. Para sastrawan perempuan juga diteliti secara khusus, misalnya proses kreatifnya, biografinya, dan perkembangan profesi sastrawan perempuan. Penelitian-penelitian semacam ini kemudian diarahkan untuk membangun suatu pengetahuan tentang sejarah sastra dan sistem sastra kaum perempuan.

Teori Resepsi pembaca
Teori resepsi pembaca berusaha mengkaji hubungan karya sastra dengan resepsi (penerimaan) pembaca. Dalam pandangan teori ini, makna sebuah karya sastra tidak dapat dipahami melalui teks sastra itu sendiri, melainkan hanya dapat dipahami dalam konteks pemberian makna yang dilakukan oleh pembaca. Dengan kata lain, makna karya sastra hanya dapat dipahami dengan melihat dampaknya terhadap pembaca. 

Karya sastra sebagai dampak yang terjadi pada pembaca inilah yang terkandung dalam pengertian konkretisasi, yaitu pemaknaan yang diberikan oleh pembaca terhadap teks sastra dengan cara melengkapi teks itu dengan pikirannya sendiri. Tentu saja pembaca tidak dapat melakukan konkretisasi sebebas yang dia kira karena sebenarnya konkretisasi yang dia lakukan tetap berada dalam batas horizon harapannya, yaitu seperangkat anggapan bersama tentang sastra yang dimiliki oleh generasi pembaca tertentu.

Horizon harapan pembaca itu ditentukan oleh tiga hal, yaitu
  • Kaidah-kaidah yang terkandung dalam teks-teks sastra itu sendiri, 
  • Pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan 
  • Kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata. Butir ketiga ini ditentukan pula oleh sifat indeterminasi teks sastra, yaitu kesenjangan yang dimiliki teks sastra terhadap kehidupan real.
Teori resepsi sastra beranggapan bahwa pemahaman kita tentang sastra akan lebih kaya jika kita meletakkan karya itu dalam konteks keragaman horizon harapan yang dibentuk dan dibentuk kembali dari zaman ke zaman oleh berbagai generasi pembaca. Dengan begitu, dalam pemahaman kita terhadap suatu karya sastra terkandung dialog antara horizon harapan masa kini dan masa lalu. Jadi, ketika kita membaca suatu teks sastra, kita tidak hanya belajar tentang apa yang dikatakan teks itu, tetapi yang lebih penting kita juga belajar tentang apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri, harapanharapan kita, dan bagaimana pikiran kita berbeda dengan pikiran generasi lain sebelum kita. Semua ini terkandung dalam horizon harapan kita.

ALIRAN SASTRA
Supernaturalisme dan Naturalisme
Idealisme dan Materialisme
Istilah-istilah naturalis, materialis, dan idealis, adalah istilah-istilah yang digunakan di kalangan ilmu filsafat sebagai suatu paham, pandangan, atau falsafah hidup yang akhirnya di kalangan ilmu sastra merupakan aliran yang dianut seseorang dalam menghasilkan karyanya. Aliran dalam karya sastra biasanya terlihat pada periode tertentu. Setiap periode sastra biasanya ditandai oleh aliran yang dianut para pengarang pada masa itu. Bahkan unsur aliran yang menjadi mode pada periode tertentu merupakan ciri khas karya sastra yang berada pada masa tersebut. 

Masalah aliran sebagai pokok pandangan hidup, berangkat dari paham yang dikemukakan para filosof dalam menghadapi kehidupan alam semesta ini. Tafsiran yang mula-mula diberikan oleh manusia terhadap alam ini ada dua macam, yaitu supernatural dan natural. Penganut paham-paham tersebut dinamakan supernaturalisme dan naturalisme. Paham supernatural mengemukakan bahwa di dalam alam ini terdapat wujud-wujud yang bersifat gaib yang bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa daripada alam nyata yang mengatur kehidupan alam sehingga menjadi alam yang ditempati sekarang ini. Kepercayaan animisme dan dinamisme merupakan kepercayaan yang paling tua usianya dalam sejarah perkembangan kebudayaan manusia yang berpangkal pada paham supernaturalisme dan masih dianut oleh beberapa masyarakat di muka bumi ini. Sebagai lawan dari paham supernatural adalah naturalisme yang menolak paham supernatural. Paham ini mengemukakan bahwa gejala-gejala alam yang terlihat ini terjadi karena kekuatan yang terdapat di dalam alam itu sendiri yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat diketahui. Paham ini juga mengemukakan bahwa dunia sama sekali bergantung pada materi, kebendaan, dan gerak. Kenyataan pokok dalam kehidupan dan akhir kehidupan adalah materi, atau kebendaan. 

Pada bidang seni terdapat pula kedua aliran besar tersebut dengan karakteristik yang berbeda, yaitu aliran idealisme dan materialisme. Idealisme adalah aliran yang menilai tinggi angan-angan (idea) dan cita-cita (ideal) sebagai hasil perasaan daripada dunia nyata. Aliran ini pada awalnya dikemukakan oleh Socrates (469-399 sM.) yang dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Plato (427-347 sM.). Dalam bidang seni rupa pelukis yang beraliran idealisme cenderung lebih suka mewujudkan benda-benda sebaik mungkin daripada apa adanya. Dalam ilmu kesusilaan idealisme mengandung pandangan hidup di mana rohani mewujudkan kekuatan yang berkuasa dan menjelaskan bahwa semua benda di dalam alam dan pengalaman adalah perwujudan pikiran, pandangan yang nyata. 

Lawan aliran idealisme adalah aliran materialisme. Aliran ini mengemukakan bahwa dunia sama sekali bergantung pada materi dan gerak. Ajaran ini sudah dikemukakan oleh Democrates pada abad ke-4 sM, yang mengatakan bahwa semua kejadian yang gaib, dan ajaib di alam ini digerakkan oleh atom dan keluasan geraknya. Tidak ada kekuatan gaib yang bersifat supernatural yang mengatur kehidupan ini. Di dalam bidang seni, seni rupa dan seni pahat, aliran materialisme atau naturalisme ini disebut juga dengan aliran realisme, yaitu bentuk lukisan yang diciptakan menurut keadaan alam yang sebenarnya yang berdasarkan atas faktor-faktor perspektif, proporsi, warna, sinar, dan bayangan. Sedangkan di dalam seni sastra aliran materialisme atau naturalisme ini merupakan kelanjutan dari aliran realisme.

Idealisme dan Aliran Lainnya dalam Karya Sastra
Aliran-aliran yang terdapat di dalam karya sastra tidak dapat di- “cap”-kan sepenuhnya kepada seorang pengarang. Sutan Takdir Alisyahbana, misalnya dalam karyanya ia idealis tetapi juga romantis, sehingga ia juga dikenal sebagai seorang yang beraliran romantis-idealis. Dalam aliran idealisme terdapat aliran romantisme, simbolisme, ekspresionisme, mistisisme, dan surealisme. Sedangkan yang termasuk ke dalam aliran materialisme ialah aliran realisme, naturalisme, impresionisme, serta determinisme. Aliran lain yang berpandangan ke arah manusia sebagai pribadi yang unik dikenal sebagai aliran eksistensialisme. 

Aliran idealisme adalah aliran di dalam filsafat yang mengemukakan bahwa dunia ide,dunia cita-cita, dunia harapan adalah dunia utama yang dituju dalam pemikiran manusia. Dalam dunia sastra, idealisme berarti aliran yang menggambarkan dunia yang dicita-citakan, dunia yang diangan-angankan, dan dunia harapan yang masih abstrak yang jauh jangka waktu pencapaiannya. Di dalamnya digambarkan keindahan hidup yang ideal, yang menyenangkan, penuh kedamaian, kebahagiaan, ketenteraman, adil makmur dan segala sesuatu yang menggambarkan dunia harapan yang sesuai dengan tuntutan batin yang menyenangkan yang tidak lagi adanya keganasan, kecemasan, kemiskinan, penindasan, ketidakadilan, keterbelakangan, yang menyusahkan dan menyengsarakan batin. Sastrawan Indonesia yang dikenal sebagai seorang yang idealis baik di dalam novel maupun puisinya ialah Sutan Takdir Alisyahbana. 

Aliran romantisme ini menekankan kepada ungkapan perasaan sebagai dasar perwujudan pemikiran pengarang sehingga pembaca tersentuh emosinya setelah membaca ungkapan perasaannya. Untuk mewujudkan pemikirannya, pengarang menggunakan bentuk pengungkapan yang seindah-indahnya dan sesempurnasempurnanya. Aliran romantisme biasanya dikaitkan dengan masalah cinta karena masalah cinta memang membangkitkan emosi. Tetapi anggapan demikian tidaklah selamanya benar. 

Simbolisme adalah aliran kesusastraan yang penyajian tokoh-tokohnya bukan manusia melainkan binatang, atau benda-benda lainnya seperti tumbuh-tumbuhan yang disimbolkan sebagai perilaku manusia. Binatang-binatang atau tumbuh-tumbuhan diperlakukan sebagai manusia yang dapat bertindak, berbicara, berkomunikasi, berpikir, berpendapat sebagaimana halnya manusia. Kehadiran karya sastra yang beraliran simbolisme ini biasanya ditentukan oleh situasi yang tidak mendukung pencerita atau pengarang berbicara. Pada masyarakat lama, misalnya di mana kebebasan berbicara dibatasi oleh aturan etika moral yang mengikat kebersamaan dalam kelompok masyarakat, pandangan dan pendapat mereka disalurkan melalui bentuk-bentuk peribahasa atau fabel.

Aliran ekspresionisme adalah aliran dalam karya seni, yang mementingkan curahan batin atau curahan jiwa dan tidak mementingkan peristiwa-peristiwa atau kejadiankejadian yang nyata. Ekspresi batin yang keras dan meledak-ledak. biasa dianggap sebagai pernyataan atau sikap pengarang. Aliran ini mula-mula berkembang di Jerman sebelum Perang Dunia I, Pengarang Indonesia yang dianggap ekspresionis ialah Chairil Anwar. 

Mistisisme adalah aliran dalam kesusastraan yang mengacu pada pemikiran mistik, yaitu pemikiran yang berdasarkan kepercayaan kepada Zat Tuhan Yang Maha Esa, yang meliputi segala hal di alam ini. Karya sastra yang beraliran mistisisme ini memperlihatkan karya yang mencari penyatuan diri dengan Zat Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Tuhan Semesta Alam. Pada masa kesusastraan Klasik dikenal Raja Ali Haji dengan Gurindam Dua Belas-nya yang sarat dengan ajaran mistik. Pada karya-karya sastra sekarang ini yang memperlihatkan aliran mistik, misalnya Abdul Hadi W.M., Danarto, dan Rifai Ali. 

Surealisme adalah aliran di dalam kesusastraan yang banyak melukiskan kehidupan dan pembicaraan alam bawah sadar, alam mimpi. Segala peristiwa yang dilukiskan terjadi dalam waktu yang bersamaan dan serentak. Aliran ini dipengaruhi oleh Sigmund Freud (1856-1939) ahli psikiatri Austria yang dikenal dengan psikoanalisisnya terhadap gejala histeria yang dialami manusia. Dia berpendapat bahwa gejala histeria traumatik yang dialami seseorang dapat disembuhkan melalui analisis kejiwaan yang dilakukan dengan kondisi kesadaran pasien, bukan dengan cara menghipnotis sebagaimana yang dilakukan oleh rekannya Breuer. Menurut Freud emosi yang terpendam itu bersifat seksual. Perbuatan manusia digerakkan oleh libido, nafsu seksual yang asli. Dengan menggali bawah sadar manusia, ia akan dapat dikembalikan kepada kondisinya semula.

Realisme dan Aliran Lainnya dalam Karya Sastra
Realisme adalah aliran dalam karya sastra yang berusaha melukiskan suatu objek seperti apa adanya Pengarang berperan secara objektif. Dalam keobjektifanlah ia melihat keindahan objek yang dibidiknya dan dihasilkan di dalam karya sastra. Pengarang tidak memasukkan ide, pikiran, tanggapan dalam menghadapi objeknya. Gustaf Flaubert seorang pengarang realisme Perancis mengemukakan bahwa objektivitas pengarang sangat diperlukan dalam menghasilkan karyanya. Objek yang dibidik pengarang sebagai objek ceritanya tidak hanya manusia dengan beragam karakternya, ia juga dapat berupa binatang, alam, tumbuh-tumbuhan, dan objek lainnya yang berkesan bagi pengarang sebagai sumber inspirasinya. Impresionisme berarti aliran dalam bidang seni sastra, seni lukis, seni musik yang lebih mengutamakan kesan tentang suatu objek yang diamati dari pada wujud objek itu sendiri. Di bidang seni lukis, aliran ini bermula di Perancis pada akhir abad ke-l9. Di dalam seni sastra aliran impresionisme tidak berbeda dengan aliran realisme, hanya pada impresionisme yang dipentingkan adalah kesan yang diperoleh tentang objek yang diamati penulis. Selanjutnya, kesan awal yang diperoleh pengarang diolah dan dideskripsikan menjadi visi pengarang yang sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu. 

Karya sastra yang beraliran impresionisme pada umumnya terdapat pada masa angkatan Pujangga Baru, masa Jepang, yang pada masa itu kebebasan berekspresi tentang cita-cita, harapan, ide belum dapat disalurkan secara terbuka. Semua idealisme disalurkan melalui bentuk yang halus yang maknanya terselubung. 

Pengarang Indonesia yang karyanya bersifat impresif antara lain ialah Sanusi Pane, dengan puisi-puisinya Candi, Teratai, Sungai, Abdul Hadi W.M., dan W.S Rendra. Aliran naturalisme adalah aliran yang mengemukakan bahwa fenomena alam yang nyata ini terjadi karena kekuatan alam itu sendiri yang berinteraksi sesamanya. Kebenaran penciptaan alam ini bersumber pada kekuatan alam (natura). Di dalam seni lukis aliran naturalisme ini dimaksudkan sebagai karya seni yang menampilkan keadaan alam apa adanya, berdasarkan faktor perspektif, proporsi sinar, dan bayangan. Di dalam karya sastra aliran naturalisme adalah aliran yang juga menampilkan peristiwa sebagaimana adanya. Karena itu ia tidak jauh berbeda dengan realisme. Hanya saja, kalau realisme menampilkan objek apa adanya yang mengarah kepada kesan positif, kesan yang menyenangkan, sedangkan naturalisme sebaliknya. 

Dalam kesusastraan Barat, yang dikenal sebagai tokoh naturalis ialah Emil Zola (1840- 1902) pengarang Perancis. Dalam karyanya gambaran kemesuman, pornografi digambarkan apa adanya. Aliran seni untuk seni (l’art pour art’) melatarbelakangi pandangannya dalam berkarya. Di Indonesia pengarang yang karyanya cenderung beraliran naturalisme adalah Armijn Pane dengan novel Belenggu-nya, Motinggo Busye pada awal-awal novelnya tahun 60-an dan 70-an bahkan memperlihatkan novel yang dikategorikan pornografis. Novel Saman (l998) karya Ayu Utami juga memperlihatkan kecenderungan ke arah naturalis. 

Determinisme ialah aliran dalam kesusastraan yang merupakan cabang dari naturalisme yang menekankan kepada takdir sebagai bagian dari kehidupan manusia yang ditentukan oleh unsur biologis dan lingkungan. Takdir yang dialami manusia bukanlah takdir yang ditentukan oleh yang Mahakuasa melainkan takdir yang datang menimpa nasib seseorang karena faktor keturunan dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya.

Eksistensialisme dalam Karya Sastra
Di samping aliran-aliran yang telah dibicarakan sebelumnya, terdapat pula aliran kesusastraan yang berkembang akhir-akhir ini, yaitu aliran eksistensialisme. Aliran ini adalah aliran di dalam filsafat yang muncul dari rasa ketidakpuasan terhadap dikotomi aliran idealisme dan aliran materialisme dalam memaknai kehidupan ini. Aliran idealisme yang hanya mementingkan ide sebagai sumber kebenaran kehidupan dan materialisme yang menganggap materi sebagai sumber kebenaran kehidupan, mengabaikan manusia sebagai makhluk hidup yang mempunyai keberadaan sendiri yang tidak sama dengan makhluk lainnya. Idealisme melihat manusia hanya sebagai subjek, hanya sebagai kesadaran, sedangkan materialisme melihat manusia hanya sebagai objek. Materialisme lupa bahwa sesuatu di dunia ini disebut objek karena adanya subjek. Eksistensialisme ingin mencari jalan ke luar dari kedua pemikiran yang dianggap ekstrem itu yang berpikiran bahwa manusia di samping ia sebagai subjek ia pun juga sekaligus sebagai objek dalam kehidupan ini (Ahmad Tafsir,1994 hal 193). 

Kata eksistensi berasal dari kata exist, bahasa Latin yang diturunkan dari kata ex yang berarti ke luar dan sistere berarti berdiri. Jadi eksistensi berarti berdiri dengan ke luar dari diri sendiri. Pikiran seperti ini dalam bahasa Jerman dikenal dengan dasei. Dengan ia ke luar dari dirinya, manusia menyadari keberadaan dirinya, ia berada sebagai aku atau sebagai pribadi yang menghadapi dunia dan mengerti apa yang dihadapinya dan bagaimana menghadapinya. Dalam menyadari keberadaannya, manusia selalu memperbaiki, atau membangun dirinya, ia tidak pernah selesai dalam membangun dirinya. Filsuf yang pertama mengemukakan eksistensi manusia ialah Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) dari Denmark, kemudian Jean Paul Satre (1905-1980) filsuf Perancis yang menyebabkan eksistensialisme menjadi terkenal. Menurut Satre karena manusia menyadari bahwa dia ada, yang berarti manusia menyadari pula bahwa ia menghadapi masa depan. Karenanya manusia sebagai individu mempunyai tanggung jawab terhadap masa depan dirinya sendiri dan tanggung jawab terhadap manusia secara keseluruhan. Akibatnya, orang eksistensialisme berpendapat bahwa salah satu watak keberadaan manusia adalah rasa takut yang datang dari kesadaran tentang wujudnya di dunia ini. Sebagai manusia yang mempunyai tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap manusia lainnya di dunia ini, mereka bebas menentukan, bebas memutuskan dan sendiri pula memikul akibat keputusannya tanpa ada orang lain atau sesuatu yang bersamanya. Dari konsepnya ini timbul pemikiran bahwa nasib manusia ditentukan oleh dirinya sendiri dengan tidak bantuan sedikit pun dari yang lain. Akibatnya, manusia selalu hidup dalam rasa sunyi, cemas, putus asa, dan takut serta selalu dipenuhi bayangan harapan yang tak pernah terwujud dan berakhir.

Karena dasar eksistensialisme ini adalah ide tentang keberadaan manusia, maka aliran ini tidak mementingkan gaya bahasa yang khas yang mencerminkan aliran tertentu, melainkan menekankan kepada pandangan pengarang terhadap kehidupan dan keberadaan manusia. Dalam perkembangannya, aliran eksistensialisme berkembang menjadi dua jalur, yaitu eksistensialisme yang ateistis dan eksistensialisme yang theistis. Eksistensialisme yang ateistis dikembangkan oleh Jean Paul Sartre dan eksistensialisme yang theistis dikembangkan oleh Gabriel Marcel. Dia menyatakan dengan tegas bahwa semua eksistensi adalah kenyataan karena adanya Tuhan. Manusia tidak mungkin ada kalau tidak ada Tuhan yang menciptakannya, dan konkretisasi alam dunia ini merupakan bukti nyata dari keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, keberadaan manusia di alam ini harus kembali ke jalan Tuhan dan mewujudkan pujian kepada Tuhan.

Di dalam kesusastraan Indonesia, eksistensialisme ini terlihat pada novel-novel karya Iwan Simatupang, seperti Ziarah, Merahnya Merah, dan Kering, Dalam karyanya, Iwan Simatupang memperlihatkan manusia sebagai tamu di dunia ini. Sebagai tamu, ia datang, dan pergi lagi. Manusia gelisah, tidak punya rumah, selalu berada dalam perjalanan dan berlangitkan relativisme-relativisme.

TEORI, KRITIK, dan SEJARAH SASTRA
Dalam studi sastra, perlu dipahami antara teori, kritik dan sejarah sastra. Setiap teori, kritik, dan sejarah sastra sudah banyak ilmuwan yang menggeluti ilmu tersebut. Seperti Aristoteles selaku teoretikus sastra, Sainte-Beuve yang menonjol sebagai kritikus, dan Frederick A. Pottle, yang mempelajari sejarah sastra. Teori, kritik, dan sejarah sastra tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketiganya saling berhubungan. Untuk mempelajarinya, kita harus memilah perbedaan sudut pandang yang mendasar. 

Kesusastraan dapat dilihat sebagai deretan karya yang sejajar, atau yang tersusun secara kronologis dan merupakan bagian dari proses sejarah. Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan kriteria, sedangkan kritik sastra dan sejarah sastra merupakan studi karya-karya kongkret. Ada yang berusaha memisahkan pemahaman dari teori, kritik, dan sejarah sastra. Bagaimana dapat disimpulkan bahwa ketiga hal itu dapat dikaji satu persatu sementara di dalam buku teori sastra saja sudah termasuk di dalamnya kritik dan sejarah sastra. Sehingga, tak mungkin dapat disusun teori sastra tanpa kritik sastra atau sejarah sastra, sejarah sastra tanpa kritik sastra dan teori sastra, dan kritik sastra tanpa teori sastra dan sejarah sastra. 

Teori sastra dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra dan itu secara otomatis perlu mengakaji sejarah serta kritik-kritik mengenai suatu pendapat tentang sastra. Sebaliknya, kritik sastra dan sejarah sastra tidak mungkin dikaji tanpa satu set pertanyaan, suatu sistem pemikiran, acuan dan generalisasi.

Mengenai kritik dan sejarah sastra, ada yang berusaha untuk memisahkannya. Berawal dari pendapat bahwa sejarah sastra mempunya kriteria dan standarnya sendiri, yaitu kriteria dan nilai zaman yang sudah lalu. Sehingga perlu menelusuri alam pikiran dan sikap orang-orang dari zaman yang dipelajari. Pandangan sejarah semacam ini menuntut kemampuan imajinasi, empati dengan masa silam dan selera masa silam mengenai rekonstruksi sikap hidup, kebudayaan dan sebagainya. Hal ini dapat diasumsikan bahwa pengarang bermaksud untuk menggambarkan keadaan zaman lampau. Sehingga maksud pengarang tersebut menjadikan tugas zaman dan karyanya tidak perlu diulas lagi dan kritik sastra pun sudah selesai. Jika hanya menjabarkan makna dan kehidupan zaman lampau yang digambarkan oleh pengarang berarti pembaca hanya bisa menoleh ke zaman pengarang tersebut. Tidak melihat ke masa kini. Sementara zaman lampau sangat berbeda dengan zaman sekarang. Pembaca tentu memiliki imajinasi dan interpretasi sendiri yang jauh berbeda dengan yang mengalami masa lampau itu. Contohnya drama Hamlet. Jika direkonstruksi oleh kritikus sekarang justru dapat menghilangkan makna drama tersebut. Sebaiknya sejarawan sastra bisa menyoroti karya sastra dengan sudut pandang zaman yang berbeda antara zaman pengaran dan kritikusnya atau melihat keseluruhan sejarah interpretasi dan kritik pada karya untuk memperoleh makna yang lebih menyeluruh. Jadi, sejarah sastra sangat penting untuk kritik sastra. Kalau seorang kritikus yang tidak peduli pada hubungan sejarah tentu penilaiannya akan meleset. Ia tidak akan tahu status karya itu asli atau palsu dan ia cenderung memberikan penilaian yang sembrono. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemisahan kritik sastra dan sejarah sastra sangat merugikan keduanya.

No comments:

Post a Comment