STRUKTUR PEMBANGUNAN KARYA SASTRA
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Puisi
Sebuah karya sastra mengandung unsur intrinsik serta unsur ekstrinsik. Keterikatan yang erat antar unsur tersebut dinamakan struktur pembangun karya sastra. Unsur intrinsik ialah unsur yang secara langsung membangun cerita dari dalam karya itu sendiri, sedangkan unsur ekstrinsik ialah unsur yang turut membangun cerita dari luar karya sastra. Unsur intrinsik yang terdapat dalam puisi, prosa, dan drama memiliki perbedaan, sesuai dengan ciri dan hakikat dari ketiga genre tersebut. Namun unsur ekstrinsik pada semua jenis karya sastra memiliki kesamaan. Unsur intrinsik sebuah puisi terdiri dari tema, amanat, sikap atau nada, perasaan, tipografi, enjambemen, akulirik, rima, citraan, dan gaya bahasa. Unsur ekstrinsik yang banyak mempengaruhi puisi antara lain: unsur biografi, unsur kesejarahan, serta unsur kemasyarakatan.
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Prosa
Unsur pembangun prosa terdiri dari struktur dalam atau unsur intrinsik serta struktur luar atau unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik prosa terdiri dari tema dan amanat, alur, tokoh, latar, sudut pandang, serta bahasa yang dipergunakan pengarang untuk mengekspresikan gagasannya. Tema prosa fiksi terutama novel dapat terdiri dari tema utama serta beberapa tema bawahan. Pada cerpen yang memiliki pengisahan lebih singkat, biasanya hanya terdapat tema utama.
Alur merupakan struktur penceritaan yang dapat bergerak maju (alur maju), mundur (alur mundur), atau gabungan dari kedua alur tersebut (alur campuran). Pergerakan alur dijalankan oleh tokoh cerita. Tokoh yang menjadi pusat cerita dinamakan tokoh sentral. Tokoh adalah pelaku di dalam cerita. Berdasarkan peran tokoh dapat dibagi menjadi tokoh utama, tokoh bawahan, dan tokoh tambahan. Tokoh tercipta berkat adanya penokohan, yaitu cara kerja pengarang untuk menampilkan tokoh cerita. Penokohan dapat dilakukan menggunakan 3 metode:
- analitik,
- dramatik, dan
- kontekstual.
Tokoh cerita akan menjadi hidup jika ia memiliki watak seperti layaknya manusia. Watak tokoh terdiri dari sifat, sikap, serta kepribadian tokoh. Cara kerja pengarang memberi watak pada tokoh cerita dinamakan penokohan, yang dapat dilakukan melalui dimensi;
- fisik,
- psikis, dan
- sosial.
Latar berkaitan erat dengan tokoh dan alur. Latar adalah seluruh keterangan mengenai tempat, waktu, serta suasana yang ada dalam cerita. Latar tempat terdiri dari tempat yang dikenal, tempat tidak dikenal, serta tempat yang hanya ada dalam khayalan. Latar waktu ada yang menunjukkan waktu dengan jelas, namun ada pula yang tidak dapat diketahui secara pasti.
Cara kerja pengarang untuk membangun cerita bukan hanya melalui penokohan dan perwatakan, dapat pula melalui sudut pandang. Sudut pandang adalah cara pengarang untuk menetapkan siapa yang akan mengisahkan ceritanya, yang dapat dipilih dari tokoh atau dari narator. Sudut pandang melalui tokoh cerita terdiri dari
- sudut pandang akuan,
- sudut pandang diaan,
- sudut pandang campuran.
Dalam menuangkan cerita menggunakan medium bahasa, pengarang bebas menentukan akan menggunakan bahasa nasional, bahasa daerah, dialek, ataupun bahasa asing.
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Drama
Karya sastra drama memiliki unsur intrinsik serta unsur ekstrinsik yang diperlukan untuk membangun ceritanya. Unsur intrinsik drama terdiri dari tema, plot, tokoh, dialog, karakter, serta latar.
Drama yang merupakan ciptaan kreatif pengarang harus memiliki tema yang kuat, agar tercipta sebuah cerita yang tak lekang oleh waktu. Tanpa adanya konflik, cerita drama akan terasa datar. Konflik terdapat di dalam plot, yang terjadi karena adanya ketegangan antartokoh. Tokoh drama terbagi menurut peran dan fungsinya dalam lakon. Menurut perannya tokoh terdiri dari tokoh utama, tokoh bawahan, serta tokoh tambahan. Di dalam drama fungsi tokoh sangat penting, yaitu sebagai tokoh protagonis, tokoh antagonis, dan tokoh tritagonis.
Cakapan merupakan ciri utama drama yang mungkin berupa dialog namun dapat pula berbentuk monolog. Selain itu, ada pula karakter (sebagai apa dan kejiwaannya seperti apa) dan latar yang saling berhubungan erat. Latar dalam drama sangat mempengaruhi karakter tokoh.
PUISI
Pengertian dan Ciri-ciri Puisi
Puisi ialah perasaan penyair yang diungkapkan dalam pilihan kata yang cermat, serta mengandung rima dan irama. Ciri-ciri puisi dapat dilihat dari bahasa yang dipergunakan serta dari wujud puisi tersebut. Bahasa puisi mengandung rima, irama, dan kiasan, sedangkan wujud puisi terdiri dari bentuknya yang berbait, letak yang tertata ke bawah, dan tidak mementingkan ejaan. Untuk memahami puisi dapat juga dilakukan dengan membedakannya dari bentuk prosa.
Jenis-jenis Puisi
Berdasarkan waktu kemunculannya puisi dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu puisi lama, puisi baru, dan puisi modern. Puisi lama adalah puisi yang lahir sebelum masa penjajahan Belanda, sehingga belum tampak adanya pengaruh dari kebudayaan barat. Sifat masyarakat lama yang statis dan objektif, melahirkan bentuk puisi yang statis pula, yaitu sangat terikat pada aturan tertentu. Puisi lama terdiri dari mantra, bidal, pantun dan karmina, talibun, seloka, gurindam, dan syair. Puisi baru adalah puisi yang muncul pada masa penjajahan Belanda, sehingga pada puisi baru tampak adanya pengaruh dari kebudayaan Eropa. Penetapan jenis puisi baru berdasarkan pada jumlah larik yang terdapat dalam setiap bait. Jenis puisi baru dibagi menjadi distichon, terzina, quatrain, quint, sextet, septima, stanza atau oktaf, serta soneta. Puisi modern adalah puisi yang berkembang di Indonesia setelah masa penjajahan Belanda. Berdasarkan cara pengungkapannya, puisi modern dapat dibagi menjadi puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik.
Analisis Unsur-unsur Intrinsik Puisi
Untuk memahami makna sebuah puisi dapat dilakukan dengan menganalisis unsur-unsur intrinsiknya, misalnya dengan mengkaji gaya bahasa dan bentuk puisi. Gaya bahasa yang dipergunakan penyair mencakup:
- Gaya bunyi yang meliputi: asonansi, aliterasi, persajakan, efoni, dan kakofoni.
- Gaya kata yang membahas tentang pengulangan kata dan diksi.
- Gaya kalimat yang berisi gaya implisit dan gaya retorika
- Larik, dan
- bahasa kiasan.
Memahami puisi melalui bentuknya dapat dilakukan dengan menelaah tipografi, tanda baca, serta enjambemen. Untuk mempermudah dan memperjelas penganalisisan puisi, di depan setiap larik berilah bernomor urut. Apabila puisi yang hendak dianalisis tersebut memiliki beberapa bait, dapat pula diberi bernomor pada setiap baitnya.
Penafsiran Puisi
Agar dapat memahami isi puisi diawali dengan menelaah atau melakukan kajian terhadap gaya maupun bentuk puisi yang bersama-sama membentuk suatu keutuhan isi puisi. Perhatikan jika terdapat hal-hal yang menarik perhatian, misalnya judul serta kekerapan kata. Banyaknya kata yang berulang dapat menggiring pembaca dalam memahami tema. Jika terdapat bait yang mengandung sedikit lirik, biasanya di sanalah tertuang tema puisi. Seperti halnya pada judul yang juga dapat membayangkan tema. Tetapi ingat, judul belum tentu sama dengan tema. Mengetahui tema serta akulirik merupakan langkah pertama yang harus dilakukan dalam upaya memahami puisi.
Prosa
Pengertian dan Ciri Prosa Fiksi
Prosa fiksi sebagai cerita rekaan bukan berarti prosa fiksi adalah lamunan kosong seorang pengarang. Prosa fiksi adalah perpaduan atau kerja sama antara pikiran dan perasaan. Fiksi dapat dibedakan atas fiksi yang realitas dan fiksi yang aktualitas. Fiksi realitas mengatakan: “seandainya semua fakta, maka beginilah yang akan terjadi. Jadi, fiksi realitas adalah hal-hal yang dapat terjadi, tetapi belum tentu terjadi. Penulis fiksi membuat para tokoh imaginatif dalam karyanya itu menjadi hidup. Fiksi aktualitas mengatakan “karena semua fakta maka beginilah yang akan terjadi”. Jadi, aktualitas artinya hal-hal yang benar-benar terjadi. Contoh: roman sejarah, kisah perjalanan, biografi, otobiografi. Prosa selalu bersumber dari lingkungan kehidupan yang dialami, disaksikan, didengar, dan dibaca oleh pengarang.
Adapun ciri-ciri prosa fiksi adalah bahasanya terurai, dapat memperluas pengetahuan dan menambah pengetahuan, terutama pengalaman imajinatif. Prosa fiksi dapat menyampaikan informasi mengenai suatu kejadian dalam kehidupan. Maknanya dapat berarti ambigu. Prosa fiksi melukiskan realita imajinatif karena imajinasi selalu terikat pada realitas, sedangkan realitas tak mungkin lepas dari imajinasi. Bahasanya lebih condong ke bahasa figuratif dengan menitikberatkan pada penggunaan kata-kata konotatif. Selanjutnya prosa fiksi mengajak kita untuk berkontemplasi karena sastra menyodorkan interpretasi pribadi yang berhubungan dengan imajinasi.
Jenis-jenis Prosa
Berdasarkan pembagian sejarah sastra Indonesia, dikenal 2 macam sastra, yaitu sastra klasik dan sastra modern. Sastra modern termasuk di dalamnya prosa baru yang mencakup roman, novel, novel populer, cerpen. Selanjutnya sastra klasik termasuk di dalamnya yaitu prosa lama yang mencakup cerita rakyat, dongeng, fabel, epos, legenda, mite, cerita jenaka, cerita pelipur lara, sage, hikayat, dan silsilah.
Roman adalah salah satu jenis karya sastra ragam prosa. Pengertian roman pada mulanya ialah cerita yang ditulis dalam bahasa Romana. Dalam perkembangannya kemudian, roman berupa cerita yang mengisahkan peristiwa/pengalaman lahir/batin sejumlah tokoh pada satu masa tertentu. Hal ini terjadi pada akhir abad ke-17. Perkembangan roman mencapai puncaknya pada abad ke-18. Pada abad ke-19 muncullah penulis-penulis roman yang termasyhur, seperti Honore de Balzac, Gustave Flaubert, Emile Zola, Charles Dickens, Leo Tolstoy, F. Dostojevski. Penulis-penulis roman ini kemudian disusul oleh rekan-rekannya yang mewakili abad ke-20, seperti Proust, Joyce, Kafka, dan Faulkner.
Bentuk yang hampir sama dengan roman adalah novel. Bagi pembaca awam, kedua bentuk ini sulit dibedakan. Pada dasarnya novel maupun roman menceritakan hal luar biasa yang terjadi dalam kehidupan manusia sehingga jalan hidup tokoh cerita yang ditampilkan dapat berubah. Novel dapat dibedakan menjadi novel kedaerahan, novel psikologi, novel sosial, novel gotik, dan novel sejarah, serta novel populer. Cerita jenis lain yang memiliki ciri utama sepertri novel adalah cerpen. Bedanya dengan novel, cerpen penceritaannya lebih ringkas, masalahnya lebih padu dan plotnya tunggal dan terfokus ke akhir cerita. Sebuah cerita yang panjang yang berjumlah ratusan halaman, jelas tidak dapat disebut dengan cerpen.
Unsur Intrinsik Prosa
Unsur intrinsik prosa terdiri atas alur, tema, tokoh dan penokohan, latar/setting, sudut pandang, gaya, pembayangan, dan amanat. Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi, bahwa pada umumnya alur cerita rekaan terdiri atas:
Alur buka, yaitu situasi terbentang sebagai suatu kondisi permulaan yang akan dilanjutkan dengan kondisi berikutnya;
- Alur tengah, yaitu kondisi mulai bergerak ke arah kondisi yang memulai memuncak;
- Alur puncak, yaitu kondisi mencapai titik puncak sebagai klimaks peristiwa ; danAlur tutup
- Dengan kata lain, alur cerita meliputi paparan, konflik, klimaks dan penyelesaian.
Kedelapan unsur tersebut saling mengisi dalam sebuah prosa. Tema, misalnya menjadi sentral yang mengilhami cerita. Begitu juga dengan penokohan yang meramu watak tokohnya menjadi penyampai pesan yang diinginkan pengarang, baik yang jahat maupun yang baik. Agar penokohan ini tampak lebih hidup, ditopang dengan latar/setting cerita, gaya, pembayangan dan amanat.
Unsur Ekstrinsik Prosa
Unsur ekstrinsik prosa fiksi adalah segala faktor luar yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra seperti nilai sosiologi, nilai kesejarahan, nilai moral, nilai psikologi. Ia merupakan nilai subjektif pengarang yang bisa berupa kondisi sosial,motivasi, tendensi yang mendorong dan mempengaruhi kepengarangan seseorang. Pada gilirannya unsur ekstrinsik yang sebenarnya ada di luar karya sastra itu, cukup membantu para penelaah sastra dalam memahami dan menikmati karya yang dihadapi. Pengalaman mendalam dan pengenalan unsur ekstrinsik tersebut memungkinkan seseorang penelaah mampu ,menginterpretasikan karya sastra dengan lebih tepat.
Unsur tingkat nilai penghayatan dalam prosa fiksi adalah neveau anorganik, neveau vegetatif, neveau animal, neveau humanis, dan neveau metafisika/ transendental.
SELUK-BELUK DRAMA
Pengertian Drama Laku dalam Simulasi Realitas
Drama adalah laku yang meniru laku dalam kehidupan nyata untuk memberikan pengukuhan dan alternatif bagi kehidupan itu sendiri. Karena yang ditekankan adalah laku, maka kata-kata/dialog dalam drama harus dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan situasi interaksi atau komunikasi manusia yang melibatkan tidak hanya kata-kata/dialog itu sendiri, tetapi juga situasi yang melingkungi dialog, seperti siapa yang berdialog, kapan dan di mana dialog itu berlangsung, dan mengapa dialog itu diutarakan. Dengan demikian, dalam laku drama kita melihat kesatuan antara kata-kata, perbuatan, dan situasi. Sifat kemenyatuan ini sangat sesuai atau mirip dengan keadaan yang berlangsung dalam kehidupan komunikasi manusia yang nyata. Oleh karena itu, drama dapat berfungsi sebagai media simulasi realitas, yaitu media untuk menghaluskan dan mengembangkan diri manusia dan kebudayaannya melalui penanaman nilai kultural/keagamaan, penyampaian pemikiran baru, dan penyampaian kritik sosial.
Struktur Drama
Sebagai naskah yang utuh, drama dibangun oleh beberapa unsur yang saling berkaitan, yaitu dialog, petunjuk pemanggungan, plot, dan karakter. Dialog merupakan ucapan tokoh tertentu yang kemudian disusul oleh ucapan tokoh yang lain. Melalui pergiliran ucapan tokoh-tokoh itulah segala informasi diutarakan perlahan-lahan dari awal sampai akhir drama. Karena itulah kedudukan dialog sangat penting dan utama di dalam drama. Selain itu, informasi juga diberikan melalui petunjuk pemanggungan.
Petunjuk pemanggungan adalah teks sampingan yang berfungsi untuk memberikan petunjuk tentang berbagai aspek pemang-gungan, yakni aspek karakter, penuturan, dan desain. Teks ini mungkin terdapat di dalam dialog (intradialog) dan mungkin pula terdapat di luar dialog (ekstradialog). Unsur drama berikutnya adalah plot, yaitu pola pengaturan kejadian dalam drama yang membuat kejadian-kejadian tersebut saling berhubungan secara logis, utuh, dan bermakna. Kejadian-kejadian dalam drama tentu saja muncul karena adanya tindakan tokoh/karakter dramatik dengan segala aspek psikis, moral, sosial, dan ciri fisiknya.
Jenis Drama
Pada umumnya, drama dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu tragedi dan komedi. Pengelompokan ini didasarkan pada cara pandang filosofis drama tersebut terhadap hakikat hidup manusia. Pandangan hidup yang khas dalam drama tragedi terletak pada penegasan bahwa manusia harus menerima suratan nasib yang tidak dapat dihindarkan. Namun, tragedi juga menggambarkan kenyataan bahwa meskipun kita harus menghadapi dan menerima suratan nasib, kita juga punya kebutuhan yang kuat untuk memberi makna pada nasib kita. Oleh karena itu, semangat drama tragedi tidaklah pasif, melainkan penuh dengan semangat perjuangan, yakni perjuangan untuk memberi makna pada nasib hidup manusia. Adapun komedi menggambarkan kenyataan bahwa seberapa kali pun kita jatuh atau gagal, kita akan dapat bangkit kembali dan meneruskan kehidupan. Komedi memperlihatkan kehendak hidup yang tak terpadamkan. Inilah semangat yang menggerakkan tokoh-tokohnya, yakni semangat untuk merayakan kegembiraan hidup. Kegembiraan hidup itu ditunjukkan dengan cara menyimpangkan keseriusan dan kesakitan (penderitaan) sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan kelucuan.
Pementasan Drama
Naskah drama dibuat bukan semata-mata untuk dibaca, tetapi lebih dimaksudkan untuk dipentaskan. Untuk mewujudkan naskah drama menjadi sebuah pementasan, diperlukan banyak pihak yang harus bekerja sama secara kompak. Pihak-pihak tersebut adalah produser, sutradara, aktor/aktris, dan desainer. Berbagai pihak ini kemudian mengubah atau mengonkretkan naskah menjadi konsep produksi, yakni suatu rumusan konseptual atau ide dasar yang menyatukan berbagai aspek pementasan yang berbeda sehingga dapat terbentuk suatu sudut pandang pemaknaan bersama terhadap produksi pementasan. Rumusan ini bersifat general, konkret, dan inspiratif. Dengan panduan konsep produksi itulah berbagai pihak tersebut saling memberikan kontribusi demi terciptanya pementasan yang berhasil.
TEORI-TEORI SASTRA
Teori sastra Psikoanalisis
Teori sastra psikoanalisis menganggap bahwa karya sastra sebagai symptom (gejala) dari pengarangnya. Dalam pasien histeria gejalanya muncul dalam bentuk gangguan-gangguan fisik, sedangkan dalam diri sastrawan gejalanya muncul dalam bentuk karya kreatif. Oleh karena itu, dengan anggapan semacam ini, tokoh-tokoh dalam sebuah novel, misalnya akan diperlakukan seperti manusia yang hidup di dalam lamunan si pengarang. Konflik-konflik kejiwaan yang dialami tokoh-tokoh itu dapat dipandang sebagai pencerminan atau representasi dari konflik kejiwaan pengarangnya sendiri. Akan tetapi harus diingat, bahwa pencerminan ini berlangsung secara tanpa disadari oleh si pengarang novel itu sendiri dan sering kali dalam bentuk yang sudah terdistorsi, seperti halnya yang terjadi dengan mimpi. Dengan kata lain, ketaksadaran pengarang bekerja melalui aktivitas penciptaan novelnya. Jadi, karya sastra sebenarnya merupakan pemenuhan secara tersembunyi atas hasrat pengarangnya yang terkekang (terepresi) dalam ketaksadaran.
Teori Sastra Struktural
Studi (kajian) sastra struktural tidak memperlakukan sebuah karya sastra tertentu sebagai objek kajiannya. Yang menjadi objek kajiannya adalah sistem sastra, yaitu seperangkat konvensi yang abstrak dan umum yang mengatur hubungan berbagai unsur dalam teks sastra sehingga unsur-unsur tersebut berkaitan satu sama lain dalam keseluruhan yang utuh. Meskipun konvensi yang membentuk sistem sastra itu bersifat sosial dan ada dalam kesadaran masyarakat tertentu, namun studi sastra structural beranggapan bahwa konvensi tersebut dapat dilacak dan dideskripsikan dari analisis struktur teks sastra itu sendiri secara otonom, terpisah dari pengarang ataupun realitas sosial. Analisis yang seksama dan menyeluruh terhadap relasi-relasi berbagai unsur yang membangun teks sastra dianggap akan menghasilkan suatu pengetahuan tentang sistem sastra.
Teori Sastra Feminis
Teori sastra feminisme melihat karya sastra sebagai cerminan realitas sosial patriarki. Oleh karena itu, tujuan penerapan teori ini adalah untuk membongkar anggapan patriarkis yang tersembunyi melalui gambaran atau citra perempuan dalam karya sastra. Dengan demikian, pembaca atau peneliti akan membaca teks sastra dengan kesadaran bahwa dirinya adalah perempuan yang tertindas oleh sistem sosial patriarki sehingga dia akan jeli melihat bagaimana teks sastra yang dibacanya itu menyembunyikan dan memihak pandangan patriarkis. Di samping itu, studi sastra dengan pendekatan feminis tidak terbatas hanya pada upaya membongkar anggapananggapan patriarki yang terkandung dalam cara penggambaran perempuan melalui teks sastra, tetapi berkembang untuk mengkaji sastra perempuan secara khusus, yakni karya sastra yang dibuat oleh kaum perempuan, yang disebut pula dengan istilah ginokritik.
Di sini yang diupayakan adalah penelitian tentang kekhasan karya sastra yang dibuat kaum perempuan, baik gaya, tema, jenis, maupun struktur karya sastra kaum perempuan. Para sastrawan perempuan juga diteliti secara khusus, misalnya proses kreatifnya, biografinya, dan perkembangan profesi sastrawan perempuan. Penelitian-penelitian semacam ini kemudian diarahkan untuk membangun suatu pengetahuan tentang sejarah sastra dan sistem sastra kaum perempuan.
Teori Resepsi pembaca
Teori resepsi pembaca berusaha mengkaji hubungan karya sastra dengan resepsi (penerimaan) pembaca. Dalam pandangan teori ini, makna sebuah karya sastra tidak dapat dipahami melalui teks sastra itu sendiri, melainkan hanya dapat dipahami dalam konteks pemberian makna yang dilakukan oleh pembaca. Dengan kata lain, makna karya sastra hanya dapat dipahami dengan melihat dampaknya terhadap pembaca.
Karya sastra sebagai dampak yang terjadi pada pembaca inilah yang terkandung dalam pengertian konkretisasi, yaitu pemaknaan yang diberikan oleh pembaca terhadap teks sastra dengan cara melengkapi teks itu dengan pikirannya sendiri. Tentu saja pembaca tidak dapat melakukan konkretisasi sebebas yang dia kira karena sebenarnya konkretisasi yang dia lakukan tetap berada dalam batas horizon harapannya, yaitu seperangkat anggapan bersama tentang sastra yang dimiliki oleh generasi pembaca tertentu.
Horizon harapan pembaca itu ditentukan oleh tiga hal, yaitu
- Kaidah-kaidah yang terkandung dalam teks-teks sastra itu sendiri,
- Pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan
- Kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata. Butir ketiga ini ditentukan pula oleh sifat indeterminasi teks sastra, yaitu kesenjangan yang dimiliki teks sastra terhadap kehidupan real.
Teori resepsi sastra beranggapan bahwa pemahaman kita tentang sastra akan lebih kaya jika kita meletakkan karya itu dalam konteks keragaman horizon harapan yang dibentuk dan dibentuk kembali dari zaman ke zaman oleh berbagai generasi pembaca. Dengan begitu, dalam pemahaman kita terhadap suatu karya sastra terkandung dialog antara horizon harapan masa kini dan masa lalu. Jadi, ketika kita membaca suatu teks sastra, kita tidak hanya belajar tentang apa yang dikatakan teks itu, tetapi yang lebih penting kita juga belajar tentang apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri, harapanharapan kita, dan bagaimana pikiran kita berbeda dengan pikiran generasi lain sebelum kita. Semua ini terkandung dalam horizon harapan kita.