Tuesday 10 October 2017

OTORITAS PROTESTANTISME MULA-MULA

PROTESTANTISME MULA-MULA 
Dalam banyak hal, inti kontroversi di antara kaum Katolik dan Protestan tepatnya adalah dalam hal otoritas. Apakah Alkitab akan berfungsi sebagai panduan bagi gereja ataukah otoritas gerejawi di masa lampau dan masa kini yang akan mengarahkannya?

Pertama-tama, kita akan memperhatikan pandangan Protestan tentang otoritas Alkitab dan, kedua, pandangan Protestan tentang otoritas gerejawi. Mari kita lihat terlebih dulu pandangan Protestan tentang otoritas Alkitab.

Otoritas Alkitab
Seperti yang kita lihat, pandangan Katolik Zaman Pertengahan tentang Alkitab bersifat ekstrim dalam beberapa cara yang signifikan. Dalam bagian ini, kita akan melihat bahwa kaum Protestan mula-mula menanggapi kesalahan-kesalahan ini dengan mengkalibrasi ulang doktrin inspirasi, makna, dan kejelasan dari Alkitab. Kita tinjau terlebih dulu doktrin inspirasi. 

Inspirasi
Sejak awal harus kita katakan bahwa seperti halnya para teolog Zaman Pertengahan, para Reformator mengerti bahwa Alkitab memiliki asal usul ilahi sekaligus manusiawi. Di satu pihak, mereka melihat Alkitab sebagai suatu kitab supernatural yang berasal dari Allah. Luther, Zwingli dan Calvin menyatakan secara tegas bahwa Alkitab diberikan kepada umat Allah melalui inspirasi ilahi. Mereka menganggap serius perkataan rasul Paulus di dalam 2 Timotius 3:16 bahwa:

Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran (2 Timotius 3:16).

Sebagaimana diajarkan oleh nas ini, Alkitab terutama berasal dari Allah, dan dirancang untuk menyediakan bagi umat Allah wahyu khusus yang sepenuhnya dapat diandalkan.

Para Reformator percaya bahwa tangan Allah melindungi Alkitab dari kesalahan. Allah secara supernatural memberikan kepada para penulis Alkitab informasi tentang masa kini, masa lampau dan masa yang akan datang, dan Ia membimbing mereka dalam proses penulisannya sehingga semua yang mereka tuliskan itu benar. Yang paling penting, inspirasi ilahi memberikan kepada Alkitab otoritas absolut yang tidak mungkin diragukan.

Akan tetapi, para Reformator menghindari kesalahan gereja Zaman Pertengahan dengan mengakui juga bahwa para penulis manusia yang menulis Alkitab memberikan kontribusi-kontribusi yang signifikan terhadap isi dan makna Alkitab. Ketimbang memperlakukan Alkitab seakan-akan kitab itu telah jatuh dari langit, kaum Protestan mula-mula menekankan bahwa Alkitab datang melalui instrumen manusiawi, melalui proses-proses sejarah. Perhatian pada kepengarangan manusiawi ini sangat sesuai dengan cara Yesus dan para penulis Alkitab itu sendiri kerap memperlakukan Alkitab.

Sebagai contoh, di dalam Matius 22:41-44 kita membaca catatan ini:

Ketika orang-orang Farisi sedang berkumpul, Yesus bertanya kepada mereka, kata-Nya: “Apakah pendapatmu tentang Mesias? Anak siapakah Dia?” Kata mereka kepada-Nya: “Anak Daud.” Kata-Nya kepada mereka: “Jika demikian, bagaimanakah Daud oleh pimpinan Roh dapat menyebut Dia Tuannya, ketika ia berkata: Tuhan telah berfirman kepada Tuanku: duduklah di sebelah kanan-Ku, sampai musuh-musuh-Mu Kutaruh di bawah kaki-Mu” (Matius 22:41-44).

Dalam nas ini Yesus menggunakan Mazmur 110:1 untuk membingungkan orang Farisi dengan cara mengarahkan perhatian mereka secara eksplisit kepada Daud, penulis manusia dari nas ini. Baik Yesus maupun orang Farisi sepakat bahwa Mesias haruslah keturunan Daud. Akan tetapi, di Palestina abad pertama, Daud lazimnya tidak akan menyebut keturunannya “Tuhan.”

Jadi, Yesus meminta orang-orang Farisi untuk menjelaskan mengapa Daud memberikan gelar ini kepada anaknya. Perhatikan bahwa argumen Yesus bergantung pada fakta bahwa makna Alkitab sebagian bergantung pada rincian kehidupan dari para pengarang manusianya. Ada banyak contoh-contoh semacam ini tentang para penulis dan tokoh Alkitab yang menyebut Musa, Yesaya, Yeremia, Daud, Paulus, dan orang-orang lainnya sebagai instrumen-instrumen dari Firman Allah. Instrumen manusiawi ini memberikan sejumlah kontribusi pribadi yang signifikan kepada Alkitab.

Dari contoh ini dan contoh yang lainnya, para Reformator dengan tepat menyimpulkan bahwa Alkitab muncul dari situasi manusiawi yang nyata, dan ditulis oleh manusia untuk keadaan-keadaan historis tertentu. Agar orang Kristen dapat mengerti Alkitab dengan tepat, mereka tidak boleh hanya menekankan asal-usul ilahi dari Alkitab, tetapi juga asal-usul manusiawinya yang historis.

Mementingkan sisi manusiawi dalam inspirasi Alkitab bukan sekadar teori bagi para Reformator; hal ini secara signifikan juga mempengaruhi cara mereka memahami makna Alkitab.

Makna
Kita dapat merangkumkan hal ini demikian: Ketimbang mengikuti teladan dari aliran Katolik Roma Zaman Pertengahan dengan mencari makna-makna ilahi yang tersembunyi di dalam Alkitab, para Reformator berusaha untuk mendasarkan semua penafsiran mereka pada pengertian harfiah dari teks alkitabiah, makna yang ingin dikomunikasikan oleh para penulis manusianya kepada para pembaca aslinya.

Memang kita harus menyadari bahwa kaum Protestan mula-mula tidak sepenuhnya meninggalkan pendekatan Zaman Pertengahan terhadap makna Alkitab. Kadang kala, sisa-sisa dari polivalensi klasik muncul dalam tulisan para Reformator. Sebagai contoh, tafsiran Luther tentang Mazmur memperlihatkan ketergantungan yang terus berlanjut pada metode penafsiran ini. Namun, dapat dikatakan bahwa para Reformator secara konsisten jauh lebih menekankan makna yang dimaksud oleh penulis manusia ketimbang kebanyakan penafsir Katolik. Dan secara umum, mereka mendasarkan banyak penerapan nas-nas Alkitab pada makna asli dari teks. Bagi orang Protestan, fokus historis ini sangat penting bagi penafsiran.

Untuk memahami penekanan Reformasi pada makna harfiah atau tersurat dari teks Alkitab, akan membantu jika kita mengingat bahwa pendekatan hermeneutis ini telah berakar di Eropa Barat selama masa Renaisans di abad ke-15.

Istilah Renaisans atau “kelahiran kembali” berasal dari munculnya kembali minat terhadap literatur dan kebudayaan Romawi klasik dan secara khusus Yunani yang terjadi di Eropa Barat sebelum terjadinya Reformasi. Sebelum Renaisans, biasanya para ahli hanya mengenal tulisan-tulisan kuno Yunani dalam bentuk terjemahannya, dan penafsirannya kebanyakan dilakukan di bawah pengawasan gereja. Pada saat-saat yang berbeda, gereja bisa dikatakan telah membaptis Plato, Aristoteles dan para penulis Yunani lainnya mereka ditafsirkan seolah-olah mendukung doktrin Kristen. Akan tetapi, selama Renaisans, banyak ahli menemukan patron yang mendukung keinginan mereka untuk memahami teks-teks kuno dari zaman klasik tanpa pengawasan gerejawi. Sebaliknya, mereka mulai menafsirkan tulisan-tulisan ini sesuai dengan maksud awal dari para penulisnya. Dan akibatnya, penafsiran terhadap sastra klasik yang sangat dihargai itu mulai berfokus pada makna historisnya, yang kerap memiliki kontras yang tajam dengan ajaran-ajaran gereja.

Pada masa Renaisans, edisi-edisi baru Alkitab Ibrani dan Yunani juga diterbitkan dan ini juga mengakibatkan suatu pergeseran yang signifikan di dalam penafsiran Alkitab. Sebagaimana telah kita lihat, sebelum masa itu, ayat-ayat Alkitab kebanyakan ditafsirkan di bawah panduan gereja dan untuk mendukung dogma gereja. Akan tetapi, mengikuti prinsip Renaisans, banyak sarjana Alkitab, khususnya sarjana Protestan, mulai membaca Alkitab tanpa dikendalikan oleh gereja, dan mereka berusaha untuk mendasarkan tafsiran Alkitab mereka pada makna historis aslinya.

Orientasi Protestan pada makna asli atau harfiah sebagai dasar untuk semua penafsiran bermuara pada suatu pergeseran yang signifikan dalam pengertian tentang makna Alkitab. Kaum Protestan berbicara tentang satu makna yang menyatu dan koheren bagi setiap nas Alkitab. Seperti yang dikatakan oleh Pengakuan Iman Westminster pasal I, bagian 9,

Makna yang benar dan lengkap dari bagian Alkitab mana pun – tidak jamak, tetapi satu.

Kita boleh menyebut pandangan ini sebagai pandangan tentang makna yang “univalen.”

Tentu saja, kaum Protestan menyadari bahwa seringkali ada jauh lebih banyak yang dikatakan oleh nas-nas Alkitab ketimbang yang mungkin diindikasikan oleh penilaian sederhana terhadap pengertian harfiahnya. Nas-nas Alkitab memiliki banyak implikasi dan kaitan dengan kebenaran-kebenaran Kristen yang melampaui apa yang mungkin dipahami oleh para penulis aslinya pada zaman mereka. Akan tetapi, semua dimensi ini merupakan bagian dari makna yang tunggal, benar dan lengkap karena dimensi-dimensi ini berkoordinasi dengan makna harfiah atau tersurat dari Alkitab.

Selain menekankan sisi manusiawi dari inspirasi, dan pentingnya makna harfiah yang menyatu dari Alkitab, kaum Protestan juga mengakui kejelasan atau kegamblangan dari Alkitab.

Kejelasan
Ketimbang melihat Alkitab sebagai kitab yang tidak jelas dan membutuhkan tafsiran gerejawi yang berotoritas, para Reformator berargumen bahwa Alkitab bisa dipahami. Sejumlah faktor berkontribusi secara signifikan bagi doktrin Protestan tentang kejelasan Alkitab.

Pertama, penggunaan yang meluas dari mesin cetak yang hurufnya dapat digerakkan telah membuat Alkitab semakin banyak tersedia. Dan ketersediaan ini memungkinkan orang Kristen membaca sendiri Alkitab dan mengevaluasi apakah penilaian Gereja Katolik benar ketika mengatakan bahwa Alkitab tidak jelas. Kedua, para pionir yang berani telah mulai menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa rakyat jelata dan ini juga memungkinkan orang untuk menelaah sendiri kejelasan Alkitab. Ketiga, fokus Reformasi pada sensus literalis (makna harfiah) juga memampukan para teolog untuk mendasarkan penafsiran mereka pada sesuatu yang dapat ditelaah dan diuji. Mereka tidak lagi perlu untuk bersandar semata-mata pada otoritas gerejawi untuk memberitahukan makna Alkitab. Penelaahan Alkitab dengan cara-cara ini menghasilkan kesadaran yang meluas yang bertentangan dengan pandangan Katolik, bahwa Alkitab sangat jelas.

Bahkan Erasmus, penganut Katolik Roma yang setia, yang menentang Luther dan Reformasi, menuliskan kata-kata ini:

… orang yang membajak sawah dapat memahami Alkitab.

Perkembangan-perkembangan ini membuka jalan bagi kaum Protestan untuk mengukuhkan kejelasan Alkitab dan memperkenalkan kembali Alkitab sebagai otoritas praktis bagi Kekristenan. Ketika orang Protestan membaca Alkitab sekali lagi di dalam lingkungan baru ini, menjadi jelas bahwa banyak nas yang amat penting yang dinyatakan tidak jelas oleh Gereja Katolik sesungguhnya relatif mudah untuk dipahami. Para penafsir Protestan menemukan bahwa ketika mereka makin banyak mempelajari bagian-bagian Alkitab, ada semakin banyak ajaran alkitabiah yang tampak luar biasa jelas. Selama dekade-dekade awal Reformasi, kaum Protestan sangat optimis tentang kejelasan Alkitab. Semuanya terkesan sebagai hal yang agak sederhana. Membaca Alkitab dan menyesuaikan teologi dengan wahyu Allah yang jelas di dalamnya.

Akan tetapi, saat gerakan Protestan terus-menerus menggali isi Alkitab, kaum Protestan sendiri menjadi lebih realistis terhadap Alkitab dan mereka berbicara tentang derajat-derajat kejelasan di dalam Alkitab. Mulai tampak jelas bahwa makna dari beberapa bagian Alkitab lebih jelas daripada bagian-bagian lainnya.

Ketika terlihat jelas bahwa kaum Lutheran mempercayai satu hal, kaum Calvinis mempercayai hal lainnya, dan kaum Zwinglian mempercayai yang lainnya lagi, pandangan sebelumnya yang terlalu optimistis tentang kegamblangan Alkitab membuka jalan bagi suatu pandangan yang lebih berhati-hati. Sesungguhnya, pandangan Protestan yang lebih dewasa ini tidak seharusnya membuat kita terkejut.

Bahkan rasul Petrus mengakui bahwa beberapa hal dalam Alkitab sukar untuk dipahami ketika ia menuliskan perkataan ini di dalam 2 Petrus 3:16:

Dalam surat-suratnya [Paulus] itu ada hal-hal yang sukar dipahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain (2 Petrus 3:16).

Perhatikan bagaimana Petrus merumuskannya: Ia tidak mengatakan bahwa semua tulisan Paulus mudah dipahami; juga tidak mengatakan bahwa semuanya sukar dipahami. Sebaliknya, ia berkata bahwa ada hal-hal tertentu dalam tulisan Paulus yang sulit dipahami.

Jadi, berbeda dengan gereja Zaman Pertengahan, para Reformator Protestan meninggikan Alkitab melebihi otoritas gereja. Kaum Protestan mengerti bahwa mereka tidak terputus dari wahyu Allah di dalam Alkitab. Mereka mengukuhkan kejelasan Alkitab dan, sebagai akibatnya, Alkitab diperkenalkan kembali sebagai otoritas mutlak atas semua otoritas gerejawi.

Sesudah kita melihat pandangan kaum Protestan awal tentang Alkitab, kini kita siap melihat bagaimana kaum Protestan mula-mula juga memandang otoritas gerejawi.

Otoritas Gereja
Seperti yang sudah kita lihat, para Reformator mengandalkan pandangan mereka tentang inspirasi, makna dan kejelasan Alkitab untuk memperkenalkan kembali Alkitab sebagai satu-satunya kaidah teologi yang tidak dapat diragukan. Namun, kita juga harus menyadari fakta bahwa kaum Protestan mula-mula tidak sepenuhnya menolak otoritas teologi gerejawi. Sebaliknya, kaum Protestan percaya bahwa teologi gerejawi memiliki banyak otoritas, tetapi menegaskan bahwa otoritas ini sekunder dan tunduk kepada ajaran-ajaran Alkitab.

Ada baiknya kita menelusuri pandangan Protestan tentang otoritas gerejawi dengan memperhatikan dua aspek: pertama, bagaimanakah orang Protestan mula-mula memahami otoritas gereja dari masa lampau; kedua, bagaimana mereka memahami otoritas gereja kontemporer? Kita perhatikan dulu pandangan Protestan mula-mula tentang otoritas gerejawi dari masa lampau.

Otoritas Masa Lampau
Meskipun sukar bagi kebanyakan kita untuk membayangkannya, kaum Protestan mula-mula mengakui banyak sekali otoritas pengajaran dari para bapa gereja dan konsili gereja mula-mula. Para Reformator memegang doktrin yang sehat dan kuat tentang gereja. Mereka sungguh percaya bahwa Roh Kudus telah memimpin gereja mula-mula ke dalam banyak kebenaran penting yang perlu diakui oleh orang-orang Kristen di zaman mereka.

Sebagaimana yang kita lihat dalam pelajaran sebelumnya, para Reformator berbicara tentang otoritas Alkitab di bawah rubrik Sola Scriptura, “hanya [oleh] Alkitab.” Sayangnya, banyak orang injili masa kini memiliki kesalahpahaman yang serius tentang doktrin Sola Scriptura.

Sekarang ini banyak orang injili percaya bahwa doktrin Sola Scriptura menyiratkan bahwa kita tidak boleh memiliki otoritas lain selain Alkitab. Akan tetapi, ini bukanlah posisi dari Reformasi, dan bukan implikasi yang benar dari doktrin Sola Scriptura. Para Reformator menekankan Sola Scriptura bukan karena mereka percaya bahwa Alkitab adalah satu-satunya otoritas bagi orang percaya; sebaliknya, yang mereka maksudkan adalah bahwa Alkitab adalah otoritas satu-satunya yang tidak mungkin diragukan bagi orang percaya. Meskipun terdengar asing, kaum Protestan dengan teguh membela doktrin Sola Scriptura bukan karena mereka menolak semua otoritas lain yang ada, tetapi justru karena mereka sangat menghormati otoritas-otoritas teologis lainnya.

Demi memudahkan kita, ada baiknya kita mengacu kepada rangkuman tentang hal-hal ini di dalam Pengakuan Iman Westminster pasal I, paragraf 10:

Hakim Tertinggi, yang oleh-Nya semua kontroversi tentang agama harus diputuskan, dan segala ketetapan tentang konsili-konsili, opini-opini para penulis dari zaman dahulu, doktrin-doktrin manusia, dan pandangan-pandangan pribadi (private spirits), harus diperiksa, dan yang keputusan-Nya menjadi landasan kita, tidak lain adalah Roh Kudus, yang berfirman di dalam Kitab Suci.

Paragraf ini secara tegas mengukuhkan bahwa Roh Kudus yang berbicara dalam Alkitab adalah “Hakim Tertinggi, yang oleh-Nya semua kontroversi tentang agama harus diputuskan.” Dengan kata lain, semua keputusan gereja harus dibuat menurut standar Alkitab. Akan tetapi, perhatikan bahasanya di sini. Roh Kudus, yang berbicara di dalam Alkitab, adalah “Hakim Tertinggi.” Jika ada hakim tertinggi, berarti ada hakim-hakim lain yang bukan hakim tertinggi. Sesungguhnya, Pengakuan Iman tersebut menyebutkan sejumlah otoritas lain ini dalam bagian ini. Berdasarkan urutan kepentingannya, pernyataan ini menyebutkan konsili-konsili, para penulis dari zaman dahulu (atau para bapa gereja); doktrin-doktrin manusia, yang mengacu kepada ajaran dari para pengajar lainnya di dalam gereja di masa lampau dan di zaman itu; serta pandangan-pandangan pribadi, yaitu pengertian atau keyakinan di dalam hati tentang hal spesifik. Pengakuan Iman Westminster mengakui semua otoritas ini, tetapi memberinya kedudukan sekunder, yaitu sebagai otoritas di bawah otoritas mutlak Alkitab.

Para teolog Katolik kerap menuduh para Reformator menolak otoritas gerejawi, tetapi para Reformator berhati-hati untuk tidak menolak masa lampau ketika mereka mempertahankan doktrin Sola Scriptura.

Yang pertama, kaum Protestan mula-mula kerap mendukung pandangan mereka dengan rujukan kepada para bapa gereja mula-mula. Bahkan, ketika tulisan Calvin Institutes of the Christian Religion direvisi 20 kali, kita menemukan bahwa Calvin terus memperbanyak interaksi dengan para bapa gereja mula-mula. Yang kedua, satu bagian di dalam Institutes of the Christian Religion dengan jelas menyatakan pandangannya tentang otoritas konsili gereja.

Perhatikan ucapan Calvin dalam buku keempat Institutes.
Saya tidak berargumen bahwa semua konsili harus disalahkan atau semua keputusannya harus dinyatakan tidak berlaku, dan (seperti kata orang) harus dibatalkan sekaligus. “Akan tetapi,” Anda akan berkata, “ Engkau merendahkan semuanya, sehingga semua orang memiliki hak untuk menerima atau menolak keputusan konsili.” Sama sekali tidak! Namun, setiap kali suatu ketetapan dari konsili apa pun dikemukakan, saya berharap orang dengan rajin terlebih dulu merenungkan kapan keputusan itu diberikan, tentang isu apa, dengan maksud apa, dan orang seperti apa yang hadir; lalu memeriksa apa yang dibahas oleh keputusan itu dengan standar Alkitab – dan melakukan hal ini dengan begitu rupa sehingga definisi dari konsili itu dapat memiliki bobotnya dan menjadi semacam keputusan sementara. Namun, jangan menghalangi pemeriksaan yang telah saya sebutkan.

Ada beberapa ide penting yang menonjol di dalam perkataan Calvin ini: Pertama, ia menegaskan bahwa konsili-konsili gereja perlu dipahami secara historis. Konsili bukanlah penyataan langsung yang abadi dari Allah sendiri. Metode-metode penafsiran Renaisans – yaitu fokus pada makna harfiahnya – harus diterapkan pula kepada konsili gereja. Orang percaya harus “merenungkan pada saat kapan keputusan itu diadakan, tentang isu apa, dengan maksud apa, dan orang macam apa yang menghadirinya.”

Kedua, tidak mengherankan jika kita melihat doktrin Sola Scriptura mengarahkan Calvin untuk menegaskan bahwa ajaran gereja akhirnya harus dievaluasi di dalam terang Alkitab. Seperti yang ia katakan di sini, “standar Alkitab" harus diterapkan.

Namun, yang ketiga, dan yang paling penting untuk tujuan kita di sini, Calvin mengklaim bahwa doktrin-doktrin dari masa lampau harus diterima “sebagai keputusan sementara.” Artinya, temuan-temuan gereja dari zaman dahulu yang telah lama ada harus kita terima sebagai keputusan sementara atau pendahuluan; kita harus menerima ajaran mereka sampai bobot eksegesis alkitabiah yang teliti membuktikan kesalahan dari hal-hal itu.

Strategi Calvin mencerminkan hikmat yang membimbing semua orang Protestan pada zamannya kecuali mereka yang paling radikal. Mayoritas yang amat besar dari kaum Protestan memahami otoritas yang tinggi dari para bapa gereja mula-mula, dan juga dari pengakuan-pengakuan iman gereja yang harus diakui. Mereka memperlakukan otoritas gerejawi di masa lampau dengan penerimaan sementara, yang dibarengi dengan komitmen pada keutamaan Alkitab.

Sesudah memperhatikan pandangan Protestan mula-mula tentang otoritas gerejawi masa lampau, kita harus beralih kepada bagaimana kaum Protestan memahami otoritas dari karya-karya kontemporer mereka sendiri. Otoritas macam apakah yang mereka akui bagi diri mereka dan orang lain, sementara mereka untuk menjawab isu-isu hal teologis pada saat itu?

Otoritas Protestan Kontemporer
Seperti yang Anda ingat, Gereja Katolik Zaman Pertengahan mengembangkan suatu sistem yang kompleks yaitu otoritas teologis yang masih hidup, dengan paus yang infallible sebagai puncaknya. Reformasi Protestan terutama merupakan penolakan terhadap otoritas gerejawi ini. Hanya otoritas Alkitab yang harus diterima sebagai otoritas yang tidak mungkin diragukan. Paus, konsili-konsili gereja, dan otoritas gerejawi lainnya merupakan otoritas yang fallible dan bisa keliru.

Penting untuk kita pahami bahwa kaum Protestan mula-mula sangat menjunjung tinggi otoritas para guru yang ditahbiskan secara tepat di dalam gereja. Seorang ahli ataupun doktor di dalam gereja patut menerima penghargaan yang tinggi saat mereka mengembangkan teologi Reformasi lebih jauh. Bahkan, kaum Protestan mula-mula dalam hampir semua denominasi merumuskan sejumlah pengakuan iman, katekismus dan kredo mereka sendiri yang diakui sebagai otoritas sekunder di dalam gereja.

Kaum Protestan mula-mula begitu menjunjung tinggi para teolog kontemporer yang ditahbiskan secara tepat sebab mereka percaya bahwa Alkitab mengajar para pengikut Kristus untuk menghormati otoritas-otoritas yang Allah tempatkan di dalam gereja.

Banyak nas Alkitab menyinggung soal ini, tetapi sebagai contoh kita ambil instruksi Paulus kepada Titus di dalam Titus 2:1, 15. Di sana kita membaca kata-kata berikut:

Tetapi engkau, beritakanlah apa yang sesuai dengan ajaran yang sehat:… Beritakanlah semuanya itu, nasihatilah dan yakinkanlah orang dengan segala kewibawaanmu. Janganlah ada orang yang menganggap engkau rendah (Titus 2:1, 15)

Kaum Protestan mula-mula sadar bahwa ada banyak nas Alkitab seperti ini yang mengajar para pengikut Kristus untuk sebanyak mungkin tunduk kepada para pemimpin gereja yang ditahbiskan secara tepat. Membangun teologi Kristen bukanlah tugas bagi perorangan atau kelompok-kelompok yang terpisah dari struktur-struktur otoritas seperti ini.

Keseimbangan di antara otoritas alkitabiah dan otoritas gerejawi ini bisa disimpulkan dengan satu slogan kuno yang sering diulangi di kalangan Reformed. “Gereja Reformed selalu mengalami reformasi,” atau yang sering disingkat dalam frasa Latin semper reformanda: “selalu mereformasi diri.” Slogan ini menyatakan bahwa gereja dari cabang Reformed sepenuhnya mengakui bahwa sepenting apa pun otoritas gerejawi, semuanya itu harus selalu tunduk kepada pemeriksaan yang saksama dari Alkitab.

Sesudah kita melihat gereja di Zaman Pertengahan dan di awal Reformasi, kini kita siap mempertimbangkan topik ketiga dari pelajaran ini: bagaimanakah seharusnya kaum Protestan kontemporer memandang hal ini? Apa yang harus kita percayai tentang otoritas Alkitab dan otoritas gereja pada zaman kita sendiri?

No comments:

Post a Comment