Monday, 7 November 2016

Pengertian Partisipatif

2.3 Pengertian Partisipatif
Menurut Perencanaan Partisipatif Masyarakat Untuk Pelayanan Sarana (Depkes, 2004), ada dua alternatif utama dalam penggunaan partisipasi berkisar pada partisipasi sebagai tujuan pada dirinya sendiri atau sebagai alat untuk mengembangkan diri. Logikanya, kedua interpretasi itu merupakan satu kesatuan. Keduanya mewakili partisipasi yang bersifat instrumental dan transformasional. Partisipasi instrumental terjadi ketika partisipasi dilihat sebagai suatu cara untuk mencapai sasaran tertentu. Partisipasi transformasional terjadi ketika partisipasi itu pada dirinya sendiri, dipandang sebagai tujuan yang lebih tinggi, misalnya dalam operasional dan pemeliharaan sarana air bersih adalah keswadayaan dan dapat berkelanjutan.

Sebagai suatu tujuan, partisipasi menghasilkan pemberdayaan yaitu setiap orang berhak menyatakan pendapat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya. Partisipasi ditafsirkan sebagai alat untuk mencapai efisiensi dalam manajemen untuk melaksanakan kebijakan.

2.3.2 Paradigma Pembangunan Partisipatif
Dalam rangka pencapaian hasil-hasil pembangunan yang dapat berkelanjutan, banyak kalangan sepakat bahwa suatu pendekatan partisipatif perlu diambil. J Pretty dan Gujit (Mikkelsen, Britha, Methods for Development Work and Research : A Guide for Practitioners, 1995) menjelaskan implikasi praktis dari pendekatan ini yaitu pendekatan pembangunan partisipatoris harus mulai dengan orang-orang yang paling mengetahui tentang sistem kehidupan mereka sendiri. Pendekatan ini harus menilai dan mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan mereka dan memberikan sarana yang perlu bagi mereka supaya dapat mengembangkan diri. Ini memerlukan perombakan dalam seluruh praktik dan pemikiran, disamping bantuan pembangunan. Ringkasnya diperlukan suatu paradigma baru. Munculnya paradigma pembangunan partisipatif mengindikasikan adanya dua prespektif :

  • Munculnya pelibatan masyarakat setempat dalam pemilihan, perancangan, perencanaan dan pelaksanaan serta operasional dan pemeliharaan program yang akan mewarnai hidup mereka, sehingga dapat dijamin bahwa persepsi setempat, pola sikap dan pola pikir serta nilai-nilai dan pengetahuannya ikut dipertimbangkan secara penuh.
  • Membuat umpan balik (feedback) yang pada hakekatnya merupakan bagian tak terlepaskan dari kegiatan pembangunan.
2.4Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sarana
Pengertian metode partisipatif yaitu mendorong keikutsertaan setiap individu didalam suatu proses kelompok tanpa memandang usia, jenis kelamin, kelas sosial dan latar belakang pendidikan yang tumbuh dari rasa kesadaran dan tanggung jawabnya (Perencanaan Partisipatif Masyarakat Untuk Pelayanan Sarana Air Bersih Dan Sanitasi, Ditjen PPM & PL Depkes 2004). Metode ini terbukti sangat berguna untuk mendorong keikutsertaan perempuan (yang menurut adat setempat biasanya dianggap kurang baik kalau perempuan terlalu banyak bicara atau karena tidak bisa baca tulis). Metode partisipatif dirancang untuk membangun rasa percaya diri dan rasa tanggung jawab atas keputusan yang diambilnya. Metode partisipatif mencoba membuat proses pengambilan atas keputusan yang diambilnya. Metode partisipatif mencoba membuat proses pengambilan keputusan sebagai pekerjaan yang mudah dan menyenangkan hati. Para pesertanya belajar antar sesamanya dan mengembangkan rasa saling menghargai atas pengetahuan dan keterampilan sejawatnya.

Metode partisipatif telah terbukti membuahkan keberhasilan. Azas-azas yang mendasarinya adalah azas pendidikan orang dewasa yang telah mengalami pengujian lapangan di banyak tempat. Pengalaman lapangan menunjukkan bahwa metode partisipatif dapat menuntun pekerja sosial ke pengalaman yang jauh lebih mengesankan. Jika telah sekali mencoba metode ini dan hasilnya menggembirakan, para pekerja sosial biasanya tidak lagi akan kembali ke metode yang lama.

2.4.1 Jenis-jenis Partisipasi Masyarakat
Berbagai bentuk keterlibatan masyarakat dapat berupa :

  1. Sumbangan pikiran/ gagasan/ ide yang disampaikan sewaktu rapat-rapat atau pertemuan desa, pertemuan kelompok pemakai sarana didalam membahas tentang operasional dan pemeliharaan termasuk pengembangan air bersih.
  2. Sumbangan keterampilan dan tenaga, dapat diwujudkan didalam kegiatan gotong royong untuk pemeliharaan sarana, perbaikan sarana maupun perlindungan dari pencemaran, contoh membuat saluran pembuang air limbah. Juga pelaksanaan kegiatan peningkatan kualitas hidup hygienis di masyarakat dan sekolah.
  3. Sumbangan material, wujudnya adalah ikut serta mengusahakan bahan-bahan yang dibutuhkan dalam pemeliharaan, perbaikan maupun pengembangan sarana air bersih. Contoh : pasir, batu kali, kerikil, sikat lantai, sapu lidi dan sebagainya.
  4. Sumbangan dana/ uang, ini mutlak harus ada, karena kegiatan air bersih sudah sepenuhnya menjadi tanggung jawab masyarakat termasuk pembiayaannya untuk operasional dan pemeliharaan (100 %). Dalam hal ini, jika kesulitan mengumpulkan iuran dalam bentuk uang maka dapat digantikan dengan barang-barang (natura) hasil setempat. Contoh : kelapa, jagung, beras, daun tembakau dan sebagainya. Dikumpulkan oleh pengurus KPS atau petugas yang ditunjuk, setelah terkumpul kemudian dijual, uang dapat dimanfaatkan untuk biaya operasional dan pemeliharaan. 
2.4.2 Strategi Dalam Menghimpun Partisipasi Masyarakat
Guna menghimpun peran serta (partisipasi) masyarakat diperlukan adanya langkah-langkah pendekatan dan manajemen pengelolaan terhadap apa yang sudah disumbangkan secara baik. Sekaligus untuk menumbuhkan rasa memiliki nantinya. Langkah-langkah pendekatan yang perlu ditempuh :

  1. Memberikan informasi dan penjelasan tentang untuk apa sarana tersebut dipelihara dan dikembangkan, sehingga akan dapat diketahui adanya tujuan dan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat. Hal ini bisa dilakukan melalui pertemuan-pertemuan informal (arisan, pengajian, kenduri dan sebagainya) dan rapat formal (musyawarah desa dan sebagainya).
  2. Memberikan penjelasan tentang siapa saja yang harus bertanggung jawab atas kesinambungan pembangunan sarana tersebut. Tanggung jawab dari masyarakat harus diberi penekanan yang jelas.
  3. Menerangkan tentang dari mana biaya untuk mengoperasionalkan, memperbaiki dan merawat sarana tersebut dan juga biaya untuk kegiatan peningkatan kualitas hidup hygienis dan sebagainya.
  4. Melibatkan masyarakat secara aktif dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut jenis kegiatan, sehingga partisipasi dalam semua jenisnya dapat terwujud untuk operasional, pemeliharaan dan pengembangan sarana. 
2.4.3 Langkah-langkah Mengorganisasikan Gotong Royong Pemeliharaan Sarana
Langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam mengorganisasikan gotong royong didalam pemeliharaan sarana air bersih, urutannya meliputi :

  1. Menginventarisir dan menyepakati jenis kegiatan yang dapat dilaksanakan secara gotong royong.
  2. Memberikan penjelasan secara rinci kepada masyarakat, baik melalui kunjungan rumah ke rumah maupun dalam pertemuan-pertemuan (tingkat RT, RW, Dusun dan Desa), tentang arti pentingnya air bersih bagi kesehatan masyarakat serta memberikan pemahaman bahwa pembangunan tidak sinambung apabila tanpa didukung kesediaan masyarakat untuk bergotong royong secara sukarela.
  3. Mengadakan pendekatan kepada tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk memobilisasikan masyarakat dalam pelaksanaan gotong royong, baik waktu kunjungan rumah ke rumah maupun dalam pertemuan-pertemuan yang dihadiri para warganya
  4. Mengorganisasikan kegiatan gotong royong secara baik dengan membuat jadwal kerja yang sebelumnya terlebih dahulu disepakati masyarakat maupun pekerjaan yang sifatnya sukarela, tetapi harus diatur secara rapi pembagian tugasnya agar tidak saling berbenturan/ berebut antara satu dengan yang lainnya dan pemerataan pekerjaan sehingga akan jelas siapa melakukan apa dan kapan.
  5. Ikut ambil bagian didalam pelaksanaan gotong royong baik tokoh masyarakat, tokoh agama maupun aparat desa diharapkan dapat memberi contoh/ menggerakkan kegiatan ini sehingga bisa tumbuh motivasi pada masyarakat untuk melakukan gotong royong. 

2.5 Pembentukan Kelompok Pemanfaat dan Pemelihara (KPP)
2.5.1 Prinsip Pembentukan KPP
Menurut panduan teknis Kelompok Pemanfaat dan Pemelihara (Ditjen Cipta Karya Kementrian PU, 2010), sebagaimana prinsip pengorganisasian masyarakat, KPP tetap mengacu pada prinsip :

  1. Partisipatif : pembentukan lembaga harus melibatkan seluruh warga masyarakat (perempuan, laki-laki, miskin, kaya) yang didasari filosofi : dari-oleh-untuk masyarakat.
  2. Demokrasi : pengambilan keputusan pembentukan lembaga mempertimbangkan suara seluruh warga masyarakat (perempuan, laki-laki, miskin, kaya).
  3. Sensitive gender : pembentukan lembaga mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat (perempuan, laki-laki).
  4. Sensitive kemiskinan : kelembagaan yang dibentuk harus memperhatikan kepentingan dan kemampuan masyarakat golongan bawah (miskin).
2.5.2 Langkah-langkah Pembentukan KPP
Pembentukan Kelompok Pemanfaat dan Pemelihara (KPP) dilakukan pada waktu proses perencanaan atau setelah penandatanganan kontrak pekerjaan dan paling lambat sebelum serah terima pekerjaan dari Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD) kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Untuk mengefektifkan kinerja KPP, maka dalam pembentukannya perlu dilakukan pendekatan sebagai berikut :

  1. Memanfaatkan kelompok yang sudah ada, baik yang telah dibentuk program lain maupun oleh program PNPM-PISEW tahun sebelumnya
  2. KPP dibentuk di tingkat Desa dengan mengelola seluruh prasarana yang dibangun di desa tersebut dan memiliki unit pengelola untuk masing-masing prasarana. Satu KPP tidak bisa melintasi 2 desa, mengingat pengesahan pembentukannya oleh kepala desa.
  3. KPP dibentuk berdasarkan jenis prasarana yang memiliki satu kesatuan fungsi struktur bangunan yang sama (prasarana umum), contoh Jalan dan Drainase dalam 1 wilayah (desa) menjadi 1 KPP atau Jalan, Jembatan dan Gorong-gorong dalam 1 wilayah (desa) menjadi 1 KPP.
  4. KPP dibentuk berdasarkan jenis prasarana yang hanya memiliki satu fungsi struktur bangunan (prasarana kelompok), contoh Air Bersih, MCK, Saluran Irigasi, Posyandu dll sehingga dalam 1 wilayah (desa) bisa lebih dari 1 KPP
  5. Khusus untuk prasarana yang berada atau melekat di instansi terkait maka pemeliharaan diserahkan pada instansi bersangkutan (contoh : Meubeller, Rehab Sekolah, Posyandu, Polindes, dan lain-lain).
Dalam hal prasarana yang dibangun lintas desa, maka KPP tetap dibentuk di masing-masing desa. Untuk kepentingan pemeliharaan dan pembiayaannya, maka harus dibentuk wadah kerja sama antar KPP tersebut. Pada dasarnya yang membentuk KPP adalah warga pemanfaat. Dalam pelaksanaannya, pembentukan KPP difasilitasi oleh Kepala Desa, dibantu oleh Fasilitator Desa (FD), Fasilitator Kecamatan (FK) dan Pokja Kecamatan melalui Musyawarah Desa. Untuk keberlanjutan KPP, aparat kecamatan perlu mendukung terwujudnya suasana pembinaan yang kondusif guna mengembangkan keberadaan KPP di wilayah tersebut.
Beberapa langkah yang harus dilakukan dalam proses fasilitasi pembentukan KPP sebagai berikut :
1. Melakukan Identifikasi terhadap hal-hal berikut :

  • Prasarana yang telah ada
  • KPP yang telah terbentuk, baik oleh PNPM-PISEW maupun dalam program lain
  • Pemanfaat (jumlah, tempat tinggal, nama, jenis kelamin)
2. Warga yang akan memanfaatkan dikumpulkan, pertemuan ini diisi dengan agenda :

  • Penjelasan tentang perlunya dibentuk pengelola prasarana.
  • Penjelasan untung ruginya bila dibentuk dan bila tidak dibentuk.
  • Mengambil kesepakatan tentang persetujuan pembentukan KPP
3. Setelah warga sepakat melakukan pembentukan, maka dilakukan musyawarah pembentukan KPP dengan agenda :

  • Pemilihan pengurus
  • Pembahasan aturan KPP, meliputi bidang organisasi, administrasi, pembiayaan, kegiatan serta usaha, dan mekanisme pemeliharaan, yang selanjutnya akan dijadikan AD/ART KPP
  • Penyusunan Rencana Kerja, baik rencana terkait pengelolaan kelembagaan kelompok maupun pemeliharaan infrastrukur.
4. Pengesahan berita acara pembentukan oleh kepala desa
5. Lakukan peresmian KPP, bisa mengundang Camat, Tim Teknis Lapangan (FK, TtL), Kepala Desa, Aparat atau Tokoh Masyarakat, agar keberadaannya dapat diakui dan diperhatikan.

Identifikasi yang dilakukan sebelum pembentukan KPP meliputi : prasarana, Kelompok pemanfaat yang sudah ada dan jumlah warga pemanfaat. Identifikasi ini dilakukan oleh Kepala Desa dibantu oleh FD. Sumber data yang digunakan adalah data-data yang ada di Kantor Kepala desa, kemudian FD melakukan pengecekan kembali sesuai dengan kondisi terakhir di lapangan. Untuk memudahkan identifikasi, maka prasarana yang diidentifikasi difokuskan pada prasarana dasar saja yang sesuai dengan 6 kategori PNPM PISEW.

2.6 Peran Serta Masyarakat Dalam Mendukung Pengelolaan Sarana
Peran serta masyarakat yaitu pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan, konstruksi dan pengoperasian program. Ini termasuk melibatkan masyarakat dalam menentukan tujuan program, pengumpulan sumber daya, mendapatkan keuntungan program, menilai apakah program mencapai tujuannya dan mengelola kelanjutan program dengan swadaya masyarakat.

Peran serta masyarakat tidak terjadi dengan sendirinya, karena masyarakat belum pernah merencanakan suatu program. Kadang-kadang tidak ada kesadaran dari masyarakat itu sendiri. Salah satu contoh, air bersih yang mereka minum sehari-hari kebanyakan tidak memenuhi syarat. Demikian juga dengan fasilitas-fasilitas kesehatan lainnya yang digunakan sehari-hari. Oleh karena itu masyarakat perlu diberi motivasi dan dorongan untuk dapat berperan aktif pada setiap proyek yang disediakan untuk mereka. Mereka akan turut bertanggung jawab karena merasa memiliki. Bila hasil suatu proyek penyediaan air bersih dan sanitasi kurang baik, tidak tepat sasaran atau tidak dapat berlanjut, perlu diketahui sebab-sebabnya.

Ada beberapa sebab yang perlu diperhatikan menurut Panduan Untuk Melaksanakan Pendekatan Jender (Depkes, 2004) di antaranya :

  1. Perbedaan pandangan antara masyarakat dan pembuat rencana terhadap fasilitas yang akan dibangun.
  2. Titik berat pada bantuan dan bukan pemakaian fasilitas yang berkesinambungan
  3. Bantuan penunjang yang efektif pada masyarakat sering kurang, terutama sesudah proyek selesai.
Agar dapat berpartisipasi aktif perlu diketahui hal-hal apa yang dapat menjadi pemicunya. Biasanya kebutuhan dan keadaan yang mendesak akan mendorong masyarakat berperan serta dalam berbagai proyek bantuan. Misalkan kebutuhan akan air bersih. Air bersih merupakan kebutuhan pokok manusia yang sangat penting dan diperlukan setiap hari. Pengertian sanitasi (J. Sugito, 2005) yaitu pengawasan secara fisik terhadap semua faktor lingkungan hidup manusia yang dapat menimbulkan efek merusak bagi perkembangan fisik kesehatan dan lingkungan manusia, sedangkan sumber air bersih disebut juga sebagai sumber air baku yaitu merupakan air baku yang dapat berasal dari sumber air permukaan, air cekungan dari dalam tanah (air tanah) dan air hujan yang memenuhi baku mutu sumber air baku sebagai sumber air bersih/ minum. Secara kualitas fisik air bersih harus tidak berasa, tidak berbau dan harus jernih, adapun secara kimia apakah telah memenuhi baku mutu air bersih menurut ketentuan Permenkes No. 416/ Menkes/Sk/XI/1990.

Masyarakat sangat mengharapkan kemudahan mengakses sumber air bersih dan mudah timbul kesadaran untuk membantu setiap usaha dalam membangun fasilitas-fasilitas air bersih. Demikian juga terhadap fasilitas-fasilitas sanitasi. Misalkan dengan terjadinya wabah penyakit menular karena kebiasaan yang buruk dari masyarakat, kebutuhan akan fasilitas-fasilitas kesehatan menjadi sangat mendesak. Kondisi-kondisi seperti itu perlu diperhatikan bagi perencana proyek-proyek bantuan untuk masyarakat. Dalam hal ini, Pemerintah telah menyediakan perbaikan kesehatan lingkungan, seperti air untuk minum, mandi, mencuci, kakus maupun perbaikan rumah telah dilaksanakan. Tetapi bagaimanakah pemakaiannya ? Apakah memuaskan penduduk ? Dapatkah mereka mengelola selanjutnya ? Maka penting kiranya memastikan kelangsungan tujuan proyek. Apakah berhenti setelah fasilitas fisik dibangun atau dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan dan dapat dijadikan contoh bagi daerah lainnya. Setelah proyek selesai dan keperluan untuk laporan serta publikasi selesai biasanya fasilitas fisik diserahkan langsung kepada masyarakat untuk dikelola. Pemanfaatan dan pengelolaan fasilitas-fasilitas tersebut sering timbul masalah mulai dari lembaga yang akan menangani, biaya operasional, cara pengoperasian alat, sampai kebutuhan akan suku cadang alat.

Dari awal masyarakat harus dilibatkan dalam pembentukan lembaga atau oganisasi yang akan mengelola fasilitas-fasilitas tersebut. Apakah diserahkan kepada perangkat kelurahan, karang taruna, RT setempat, atau dibentuk lembaga baru khusus untuk mengelola. Ini untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama. Setelah lembaga pengelola terbentuk, masyarakat juga harus dilibatkan untuk menanggung biaya operasional. Kesadaran dan rasa tanggung jawab yang telah tumbuh akan mempermudah menarik iuran dari masyarakat. Sebelum fasilitas fisik selesai dibangun masyarakat perlu diberi pengetahuan cara-cara untuk mengoperasikan alat-alat yang digunakan seperti pompa tangan, pompa listrik, tangki septik, jamban, dan lain-lain.

2.7 Pengelolaan Yang Berkesinambungan
Pada masa pemerintahan orde baru banyak dibangun fasilitas-fasilitas untuk masyarakat menengah ke bawah di seluruh pelosok tanah air. Mulai dari penyediaan air bersih, sanitasi, sumur gali, pompa tangan, jalan desa, persampahan dan lain-lain. Tetapi sampai saat ini hampir semua fasilitas tersebut tidak dapat dimanfaatkan. Bahkan fasilitas-fasilitas yang dibangun, khususnya untuk penyediaan air bersih dan sanitasi dikenal dengan sebutan "monumen" karena tak lagi berfungsi. Banyak dana yang telah dikeluarkan. Sebagian besar dana berasal dari pinjaman luar negeri. Kegagalan proyek atau program tersebut disebabkan oleh kegunaan yang tidak tepat (teknologi tidak sesuai), tidak ada partisipasi masyarakat dan akibat ketiadaan rasa memiliki masyarakat.

Sarana air bersih yang berkesinambungan adalah air bersih yang dapat memuaskan sebagian besar pengguna termasuk mereka yang berpenghasilan rendah. Pelayanan dianggap memuaskan apabila dapat dirasakan manfaatnya dan penggunaan yang efektif dan hal ini terjadi karena sebagian besar masyarakat memiliki akses (paling tidak 80 %). Pelayanan yang sinambung dan penggunaan yang efektif ada kaitannya satu sama lain dengan program yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Hal ini dapat terjadi kalau dari awal para pengguna dilibatkan dalam perencanaan untuk memberikan suara dan mempunyai hak pilih. Selain itu terdapat kesetaraan dalam pengelolaan sarana dan berbagi beban kerja serta manfaat. Kesemuanya mensyaratkan partisipasi masyarakat dalam berkontribusi, pengawasan pada pelaksanaan proyek dan berbagi tanggung jawab secara transparan.

2.7.1 Aspek-aspek Kesinambungan Pengelolaan
Pelayanan sarana yang berkesinambungan secara efektif adalah sarana yang dapat berfungsi terus menerus, sehingga pengguna mendapatkan kepuasan yang tinggi dan bersedia untuk menggunakan dan memelihara sarana tersebut. Pelayanan sarana air bersih dan sanitasi yang digunakan secara efektif adalah sarana yang oleh sebagian besar masyarakat digunakan dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan dan melestarikan lingkungan. Berdasarkan Panduan Teknis Pengelolaan Air Bersih Pasca Konstruksi (Ditjen PPM & PL Depkes, 2005), ada 5 (lima) aspek dalam kesinambungan proyek meliputi :
1. Kesinambungan teknis terjadi kalau kemampuan perbaikan sarana dilakukan oleh masyarakat dan mempertimbangkan jenis teknologi yang dimanfaatkan sesuai dengan kondisi masyarakat.

  • Apakah dalam perencanaan oleh masyarakat telah mempertimbangkan jenis teknologi yang ada (disesuaikan) dengan kondisi di masyarakat.
  • Hal ini mencakup tentang keberfungsiannya secara benar dan dapat diandalkan terhadap teknologi serta pelayanan sistem air bersih dan dapat memberikan pelayanan dengan jumlah air yang memadai secara kontinyu dengan kualitas air yang memenuhi standar kesehatan.
  • Equity/ kesetaraan mencakup pelayanan diberikan kepada seluruh kelompok masyarakat dengan prioritas orang miskin.
2. Kesinambungan financial/ keuangan didapatkan jika masyarakat terlibat dalam perencanaan. Selain itu, dalam menetapkan biaya operasi dan pemeliharaan serta iuran telah melibatkan semua kelompok masyarakat (kaya/ miskin, laki/ perempuan). Iuran ditarik berdasarkan tingkat pelayanan yang didapatkan pengguna atau jumlah konsumsi air bersih setiap KK.

  • Apakah dalam perencanaan oleh masyarakat telah mempertimbangkan biaya Operasi dan pemeliharaan dan iuran telah melibatkan semua kelompok strata sosial (kaya/ miskin, laki-laki/ perempuan).
  • Suatu Sistem hanya dapat berfungsi bila sumber pendanaan/financial paling tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk operasional, pemeliharaan dan perbaikan.
  • Equity/ kesetaraan berhubungan dengan siapa yang akan menjadi sumber pendanaan, secara adil asal sumber pendanaan ini akan ditanggung secara bersama diantara para pemanfaat yang mempunyai tingkat kesejahteraan yang berbeda.
3. Kesinambungan lingkungan akan terjadi bila perencanaan oleh masyarakat telah memperhatikan aspek lingkungan dalam kaitannya dengan sumber air yang dimanfaatkan dan pembuangan air limbah.

  • Apakah dalam perencanaan oleh masyarakat telah memperhatikan aspek lingkungan terutama sumber air yang ada.
  • Sumber air akan menghadapi banyak ancaman, seperti terlalu besarnya penyadapan, kontaminasi, penggundulan hutan dan fasilitas/ sarana air bersih dan sanitasi sendiri juga akan menjadikan ancaman terhadap lingkungan seperti tidak tersedianya drainase yang memadai sehingga minimbulkan genangan yang memungkinkan tempat berkembang biaknya serangga pembawa penyakit seperti malaria dsb. Hal-hal tersebut diatas yang harus diperhatikan untuk dilaksanakan atau dihindari.
  • Aspek equity/ kesetaraan mencakup pembagian tanggung jawab secara adil diantara pemanfaat untuk melindungi sumber air dan lingkungan
4. Kesinambungan institusi/ kelembagaan merupakan proses pembentukan badan pengelola yang telah memperhatikan kesetaraan gender dan pelibatan kelompok miskin, serta mewujudkan nilai-nilai demokrasi dan transparansi.

  • Apakah dalam proses pembentukan badan pengelola telah memperhatikan kesetaraan gender dan pelibatan kelompok miskin, serta mewujudkan nilai-nilai demokratis dengan mengembangan kemampuan melalui kelompok miskin dan kesetaraan jender.
  • Kelembagaan yang ada harus mempunyai karakteristik lokal, aturan dan akuntabilitas.
  • Equity/ kesetaraan mempertimbangkan suara semua golongan, terutama masyarakat miskin dan wanita didalam organisasi yang akan mengelola dan mengkontrol sistem. Selain itu dalam kaitannya dengan pengembangan kemampuan melalui pelatihan juga harus melibatkan kelompok miskin dan kesetaraan gender, baik dalam menentukan jenis pelatihan maupun peserta pelatihan.
5. Kesinambungan sosial akan terjadi kalau seluruh kelompok masyarakat diberikan kesempatan menetapkan pilihan teknologi, jenis sarana, tingkat pelayanan, jenis pelatihan termasuk kelompok masyarakat yang disertakan dengan memperhatikan nilai-nilai Demand Responsive Approach (DRA). Seluruh kelompok masyarakat telah menyumbangkan suaranya dalam pengambilan keputusan (suara dimaksudkan sebagai kondisi ketika seseorang dapat mengeluarkan pendapatnya dan didengar) mengenai bentuk dan besarnya kontribusi dan iuran, penetapan mekanisme pengelolaan sarana, serta pemilihan anggota badan pengelola sarana.

  • Apakah dalam perencanaan seluruh kelompok masyarakat (kaya/ miskin, laki-laki/ perempuan) diberi pilihan seperti opsi teknologi, jenis sarana, tingkat pelayanan, jenis pelatihan, telah memperhatikan demand responsive approach (DRA) dari masyarakat.
  • Pemanfaat akan mendukung kesinambungan sistem bila harapan mereka dapat terpenuhi, ini berarti bahwa pelayanan yang ada harus mudah mereka akses, pemanfaat diberikan pilihan untuk teknologi pelayanan sesuai dengan kemampuan pembiayaan, budaya dan tata cara keseharian.
  • Aspek equity/ kesetaraan melihat bagaimana keuntungan dari pemanfaatan sistem dapat dibagi secara adil sesuai dengan perbedaan kondisi sosio-ekonomi, gender dan kemisikinan.
Dengan menggunakan kelima aspek ini agar dapat meningkatkan proses perencanaan yang tanggap pada kebutuhan. Masyarakat dapat mencocokkan kebutuhannya dengan pilihan teknis, kemampuan dan kemauan untuk membayar di antara kelompok yang berbeda serta menilai tingkat kebutuhannya sendiri.

2.7.2 Penilaian Kesinambungan Pengelolaan 
Kelompok Pemanfaat dan Pemelihara (KPP) sebagai wadah masyarakat mengorganisir dirinya. Pada prosesnya akan terjadi perkembangan kelembagaan. Perkembangan diidentifikasi melalui faktor Teknis, Financial/ Keuangan, Lingkungan, Institusi/ Kelembagaan dan Sosial.

Penilaian kesinambungan pengelolaan air bersih indikator-indikator dalam kuestioner penelitian mengacu pada Petunjuk Teknis Pelaksanaan Monitoring Kesinambungan dan Efektifitas Penggunaan Sarana (Outcome and Process Monitoring, Depkes 2004). Adapun penilaian kesinambungan pengelolaannya menggunakan skor-skor yang terdapat dalam lembar skor dan catatan monitoring partisipatif masyarakat untuk pelayanan sarana. Dari keseluruhan indikator dilakukan skoring, sehingga nilai rata-rata mencerminkan kesinambungan pengelolaan.
Faktor 
Indikator Penilaian 
Kesinambungan Teknis 

  1. Tingkat perbaikan yang dilakukan oleh KPP. 
  2. Jangka waktu perbaikan saat terjadi kerusakan. 
Kesinambungan Finansial 

  1. Tanggung jawab masyarakat terhadap iuran. 
  2. Kecukupan biaya yang diterima dari iuran para pengguna. 
  3. Perencanaan keuangan yang telah dilakukan untuk pelayanan. 
  4. Tingkat keterbukaan dalam pembukuan keuangan. 
  5. Kesetaraan biaya dalam sistem iuran. 
  6. Pengalaman ketetapan dalam sistem pembayaran. 
Kesinambungan Lingkungan 

  1. Jenis kontaminasi pada sumber air. 
  2. Kualitas sumber air. 
  3. Pengamatan kondisi drainase. 
Kesinambungan Institusi/ Kelembagaan 

  1. Pelaporan tentang keuangan dan pelaksanaan lainnya. 
  2. Jenis pertemuan pengurus. 
  3. Aturan-aturan tentang pengelolaan sarana. 
Kesinambungan Sosial 

  1. Kesetaraan dalam pengelolaan. 
  2. Keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan untuk pengelolaan. 
Sedangkan kesinambungan pengelolaan air bersih dapat diklasifikasikan 3 kategori yaitu :

  1. Tumbuh, apabila nilai rata-rata skor indikator å 50 - 74.
  2. Kembang, apabila nilai rata-rata skor indikator å 75 - 89.
  3. Mandiri, apabila nilai rata-rata skor indicator å 90 - 100.
2.7.3 Faktor Yang Mempengaruhi Kesinambungan Pengelolaan
Faktor yang mempengaruhi kesinambungan oleh masyarakat tergantung :

  1. Tingkat dimana semua masyarakat (kaya/ miskin, laki-laki/ perempuan) mempunyai akses dan sesuai dengan kebutuhan terhadap sarana.
  2. Cara dimana beban kerja dan manfaat dari perencanaan, pembangunan sarana dibagi kesemua masyarakat (kaya/ miskin, laki-laki/ perempuan).
  3. Tingkat partisipasi penggunaan yang memperhatikan aspek jender dan kemiskinan dalam pembangunan dan pengelolaan sarana.
  4. Bentuk dukungan kelembagaan yang memberikan kemudahan dalam berpartisipasi bagi masyarakat (kaya/ miskin, laki-laki/ perempuan) dalam pembangunan dan penggunaan sarana.
  5. Dukungan kebijakan atau bentuk sektor kebijakan dalam program memberikan kemudahan bagi partisipasi masyarakat (kaya/ miskin, laki-laki/ perempuan) dalam pembangunan sarana
2.8 Kebijakan Nasional Pembangunan Air Bersih dan Sanitasi Berbasis Masyarakat
Buruknya pelayanan air bersih dan penyehatan lingkungan merupakan kendala serius dalam mengurangi tingkat kemiskinan dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Akibatnya masyarakat harus menanggung beban berupa menurunya kualitas lingkungan, mahalnya biaya untuk mendapatkan air bersih dan memburuknya tingkat kesehatan. Dalam hal ini Pemerintah telah mengambil langkah penting dengan menetapkan Kebijakan Nasional Pembangunan Air Bersih Dan Sanitasi Berbasis Masyarakat. Pada hakikatnya pembangunan sarana air bersih dan sanitasi adalah untuk masyarakat, tanpa upaya melibatkan mereka dalam tingkat yang cukup signifikan, maka akseptabilitas dan keberlanjutan hasil pembangunan akan sangat sulit dicapai. Sebelas butir Kebijakan Nasional Pembangunan Air Bersih Dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Bappenas, Depdagri, Depkeu, Depkimpraswil dan Depkes, 2004) antara lain :
1. Air merupakan benda sosial dan benda ekonomi
Hingga saat ini sebagian anggota masyarakat masih berpandangan bahwa air sebagai sumber kehidupan semata-mata merupakan benda sosial (public goods) yang dapat diperoleh secara cuma-cuma serta tidak mempunyai nilai ekonomi. Dampaknya adalah masyarakat tidak mempunyai keinginan untuk melestarikan lingkungan dan sumber daya air (kualitas dan kuatitas) dan mengeksploitasi air sebagai benda bebas dan berlebihan serta stagnasi (kemacetan) dalam pengembangan ilmu dan teknologi untuk penggunaan kembali (reuse) dan pendaurulangan (recycle) air. Untuk mengubah pandangan tersebut diperlukan upaya kampanye publik kepada seluruh lapisan masyarakat bahwa air merupakan benda langka yang mempunyai nilai ekonomi dan memerlukan pengorbanan untuk mendapatkannya, baik berupa uang maupun waktu. Sesuai dengan sifat sebagai benda ekonomi, maka prinsip utama dalam pelayanan air bersih dan sanitasi adalah pengguna harus membayar atas pelayanan yang diperolehnya.

2. Pendekatan tanggap kebutuhan
Pendekatan tanggap kebutuhan menempatkan masyarakat pada posisi teratas dalam pengambilan keputusan, baik dalam hal pemilihan sistem yang akan dibangun, pola pendanaan, maupun tata cara pengelolaannya. Untuk meningkatkan efektivitas pendekatan tanggap kebutuhan, pemerintah sebagai fasilitator harus memberikan pilihan yang diinformasikan (informed choice) yang menyangkut seluruh aspek pembangunan air bersih dan sanitasi, seperti aspek tenologi, pembiayaan, lingkungan, sosial dan budaya serta kelembagaan pengelolaan.

3. Pembangunan berwawasan lingkungan
Pembangunan air bersih, mulai dari pengambilan sumber air, pengaliran air baku, pengolahan air bersih, jaringan distribusi air bersih sampai dengan sambungan rumah dilaksanakan dengan mempertimbangkan kaidah dan norma kelestarian lingkungan. Demikian juga pembangunan prasarana dan sarana sanitasi juga dilaksanakan mengikuti kaidah dan norma kelestarian lingkungan. Dengan demikian diharapkan adanya sinergi antara upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat dengan upaya peningkatan kelestarian lingkungan.

4. Pendidikan perilaku hidup bersih dan sehat
Agar pelayanan air bersih dan sanitasi dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan, maka pembangunan air bersih dan sanitasi harus mampu mengubah perilaku masyarakat dalam menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan sebagai dasar menuju kualitas hidup yang lebih baik. Upaya yang dilakukan adalah menjadikan komponen pendidikan perilaku hidup bersih dan sehat sebagai komponen utama selain komponen fisik dalam pembangunan air bersih dan sanitasi.

5. Keberpihakan pada masyarakat miskin
Pada prinsipnya seluruh masyarakat Indonesia berhak untuk mendapatkan pelayanan air bersih dan sanitasi yang layak dan terjangkau. Oleh sebab itu, dengan melihat keterbatasan yang dimiliki maka pembangunan air bersih dan sanitasi harus memperhatikan dan melibatkan secara aktif kelompok masyarakat miskin dan kelompok masyarakat tidak beruntung lainnya dalam proses pengambilan keputusan sehingga kebutuhan mereka dapat terpenuhi secara layak, adil dan terjangkau.

6. Peran perempuan dalam pengambilan keputusan
Peranan perempuan untuk memenuhi kebutuhan air bersih dan sanitasi untuk kepentingan sehari-hari sangat dominan, sehingga sudah sewajarnya perempuan diikutsertakan secara aktif dalam pembangunan air bersih dan sanitasi. Pelibatan perempuan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan prasarana dan sarana air bersih dan sanitasi terbukti meningkatkan keberlanjutan pelayanan prasarana dan sarana yang dibangun.

7. Akuntabilitas proses perencanaan
Dalam era desentralisasi dan keterbukaan maka pembangunan air bersih dan sanitasi harus menempatkan masyarakat sasaran tidak lagi sebagai objek pembangunan namun sebagai subjek pembangunan. Kebijakan ini bertujuan meningkatkan rasa memiliki masyarakat terhadap prasarana terbangun serta meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengenali lebih dini sistem pengelolaannya. Untuk itu, pembangunan air bersih dan sanitasi harus lebih terbuka, transparan serta memberikan peluang kepada semua pelaku untuk memberikan kontribusi sesuai dengan kemampuan sumber daya yang ada pada seluruh tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, operasi dan pemeliharaan dan pengembangan pelayanan.

8. Peran Pemerintah sebagai fasilitator
Fasilitasi tidak diartikan sebagai pemberian prasarana dan sarana fisik maupun subsidi langsung, namun pemerintah harus memberikan bimbingan teknis dan non teknis secara terus menerus kepada masyarakat yang sifatnya mendorong dan memberdayakan masyarakat agar mereka dapat merencanakan, membangun dan mengelola sendiri prasarana dan sarana bersih dan sanitasi serta melaksanakan secara mandiri kegiatan pendukung lainnya.

9. Peran aktif masyarakat
Seluruh masyarakat harus terlibat secara aktif dalam setiap tahapan pembangunan bersih dan sanitasi. Namun demikian, mengingat keterbatasan ruang dan waktu maka keterlibatan tersebut melalui mekanisme perwakilan yang demokratis serta mencerminkan dan merepresentasikan keinginan dan kebutuhan mayoritas masyarakat.

10. Pelayanan optimal dan tepat sasaran
Yang dimaksud dengan optimal adalah kualitas pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat, pemerataan akses untuk semua lapisan masyarakat dan kenyamanan dalam mendapatkan pelayanan. Sedangkan tepat sasaran diartikan sebagai cakupan pelayanan prasarana dan sarana air bersih dan sanitasi yang dibangun sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.

11. Penerapan prinsip pemulihan biaya
Kapasitas dan kemampuan anggaran pemerintah (pusat dan daerah) yang ada tidak mencukupi untuk terus membangun dan mengelolaprasarana dan sarana air bersih dan sanitasi bagi masyarakat. Untuk menunjang keberlanjutan pelayanan maka pembangunan dan pengelolaan pelayanan air bersih dan sanitasi perlu memperhatikan prinsip pemulihan biaya. Sehubungan dengan hal tersebut, penerapan prinsip pemulihan biaya tersebut harus dikomunikasikan secara terbuka, agar semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) terutama masyarakat pengguna, agar mereka mengetahui besarnya investasi dalam pembangunan prasarana dan sarana tersebut. Kebijakan tentang pembangunan air bersih dan sanitasi berbasis masyarakat yang ingin dicapai adalah bangsa yang maju dan mandiri, sejahtera lahir batin. Salah satu ciri bangsa Indonesia maju adalah mempunyai derajat kesehatan yang tinggi, karena derajat kesehatan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kualitas sumber daya manusia. Hanya dengan sumber daya yang sehat akan lebih produktif dan meningkatkan daya saing yang sehat akan lebih produktif dan meningkatkan daya saing bangsa.

2.9 Pelestarian Lingkungan Sumber-sumber Air
2.9.1 Generasi Sekarang Perlu Menjaga Kelestarian Hutan Demi Generasi Mendatang
Tiada kehidupan tanpa hutan karena hutan penghasil oksigen terbesar. Maka untuk kehidupan generasi berikutnya, generasi sekarang perlu menjaga kelestarian hutan tersebut. Demikian pendapat Cecep Kusmana, Dekan Fakultas Kehutanan IPB dalam kesempatan seminar tingkat nasional bertema Realisasi, Rehabilitasi Lingkungan Hidup dan Kemanusian Untuk Masa Depan Indonesia beberapa waktu yang lalu.


Laju kerusakan hutan Indonesia mencapai 3.8 juta hektar per tahun, ini tergolong parah karena dampak lingkungan yang dirasakan seperti terjadinya banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan asap dan lain-lain. Untuk pemulihan kualitas lingkungan dan mengembalikan fungsi hutan tidak cukup hanya menanam pohon per pohon. Rehabilitasi hutan di daerah tropis pada dasarnya adalah membangun ekosistem dengan melibatkan dan memperhitungkan semua komponen terkait. Ketika merehabilitasi dan mereboisasi perlu diperhatikan hutan sebagai kawasan perlindungan aspek hidrologi yaitu :

  1. Kondisi curah hujan dan ketersediaan air musiman.
  2. Kepekaan sungai terhadap banjir.
  3. Kepekaan kawasan DAS terhadap erosi.
  4. Kepentingan sosial, ekonomi dan kelembagaan.
Dari aspek ekologi, unsur hara terbesar ada di hutan hujan tropis dan tersimpan dalam pohon di atas tanah dalam bentuk biomassa, bukan pada lapisan tanah. Maka hilangnya pohon sama dengan hilangnya gudang hara. Hasil penelitian Fakultas Kehutanan IPB dari tahun 1978 sampai tahun 2004 di berbagai wilayah dan kondisi menunjukkan bahwa erosi terkecil terdapat di hutan alam yang masih utuh (0.02 - 0.5 ton/ ha/ tahun).

2.9.2 Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup
Menurut Djunardi Djohan Djoekardi (Deputi Bidang Pengembangan Peran Serta Masyarakat Kementrian Lingkungan Hidup), upaya pelestarian lingkungan tidak dapat dilakukan oleh pemerintah saja tetapi juga masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan. Kerusakan hutan akan diiringi kerusakan fungsi lingkungan yang berasal dari pencemaran udara, air dan tanah serta perubahan alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) telah menyusun strategi pelestarian lingkungan hidup untuk beberapa tahun ke depan, seperti :

  1. Memberdayakan masyarakat, supaya masyarakat bukan saja sadar tapi juga berperan dalam proses pengambilan keputusan untuk kepentingan publik di bidang lingkungan hidup. Misalnya mengajak lembaga lain yang peduli lingkungan, berpartisipasi mengadakan pembagian bibit tanaman keras. Sehingga mendorong masyarakat agar turut melestarikan sumber daya air melalui penanaman pohon di lingkungan tempat tinggal masing-masing karena tanaman selain berfungsi sebagai produsen oksigen juga berperan penting dalam proses penyerapan air.
  2. Meningkatkan kekuatan kepentingan pelestarian lingkungan dengan cara memperkuat dan memperluas aliansi strategis dengan organisasi massa, partai politik dan lembaga swadaya masyarakat. Pendekatan ke aliansi ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pelestarian lingkungan dan memunculkan keberpihakan pada pelestarian lingkungan.
  3. Mengembangkan good governance dalam pelestarian lingkungan hidup khususnya di kalangan pemerintah kabupaten dan kota.
  4. Meningkatkan ketaatan melalui instrumen hukum serta instrumen alternatif seperti Proper, Superkasih. 
  5. Mengembangkan kelembagaan dan meningkatkan kapasitas, misalnya upaya melengkapi peraturan perundang-undangan, pengembangan sumber daya manusia, pengembangan sistem informasi dan sebagainya. 
DAPTAR PUSTAKA;



  • Pedoman Kesinambungan dan Efektifitas Penggunaan Sarana, Depkes 2004).
  • Pedoman Kesinambungan dan Efektifitas Penggunaan Sarana (Outcome and Process Monitoring, Depkes 2004). 

No comments:

Post a Comment