Showing posts with label Patologi. Show all posts
Showing posts with label Patologi. Show all posts

Saturday, 18 March 2017

Prinsip Pelayanan Untuk Patologi Birokrasi

Prinsip Pelayanan untuk Patologi Birokrasi
Dalam konteks birokrasi pelayanan publik di Indonesia, Dwiyanto (2011: 62) merumuskan suatu model seperti pada Gambar 2 yang mengkritisi birokrasi Weberian dimana pada awalnya dirancang untuk membuat birokrasi dapat menjalankan fungsinya dengan baik pada akhirnya justru menimbulkan berbagai penyakit yang membuat birokrasi mengalami disfungsi.

Struktur birokrasi memiliki berbagai masalah internal yang pada tingkat tertentu berpotensi menyebabkan birokrasi mengalami disfungsi (Caiden, 2009:1991). Setiap aspek dan struktur birokrasi seperti hierarki, spesialisasi dan formalisasi, selain memiliki manfaat dan kontribusi terhadap efisiensi dan kinerja birokrasi, juga memiliki potensi untuk menciptakan penyakit birokrasi.

Penyakit birokrasi merupakan interaksi antara struktur birokrasi yang salah dan variabel lingkungan yang salah. Struktur birokrasi yang hierarkis berinteraksi dengan budaya masyarakat yang paternalistis, sistem politik yang tidak demokratis dan ketidak berdayaan kelompok masyarakat madani cenderung melahirkan perilaku birokrasi paternalistis yang merugikan kepentingan publik. Beberapa aspek penting yang berkaitan dengan struktur dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Hierarki
Dalam birokrasi yang hierarkis, persoalan seringkali menjadi lebih kompleks karena konsentrasi kekuasaan ada pada pimpinan. Pimpinan memiliki kewenangan

mengambil keputusan, sedangkan bawahan cenderung diposisikan sebagai pelaksana saja. Padahal, dalam kenyataan staf dan pejabat bawahan lebih mengetahui masalah, keluhan dan kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat. Mereka sehari-hari bergelut dengan berbagai masalah dan secara langsung berhadapan dengan masyarakat dalam kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik. Mereka juga yang sering menerima keluhan masyarakat dan dituntut untuk merespon dengan cepat berbagai kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat. Namun, pejabat bawahan justru tidak memiliki kewenangan untuk merespons karena kewenangan dan kekuasaan terkonsentrasi pada atasan. Atasan yang memiliki kewenangan dan kekuasaan seringkali tidak memiliki sense of urgency karena mereka jauh dari realitas kesulitan yang dihadapi masyarakat. Akibatnya, tindakan dan respons birokrasi terhadap berbagai persoalan cenderung lamban (Ripley & Franklin, 1986).

Hierarki juga membuat proses pengambilan keputusan dalam birokrasi menjadi sangat terkotak-kotak (fragmented), kerena arus informasi dan perintah hanya berjalan sevara vertikal. Pada organisasi yang hierarkis, setiap bagian cenderung menyelesaikan urusan yang menjadi tanggung jawabnya tanpa melibatkan bagian-bagian lainnya. Hal itu membuat proses penyelesaian masalah dalam suatu organisasi menjadi tidak pernah optimal.

Hierarki yang panjang seringkali juga menciptakan distrosi dalam komunikasi.Perintah dan peran pimpinan kepada bawahan melalui jenjang hierarki yang panjang cenderung membuat distorsi yang besar, karena setiap jenjang hierarki cenderung melakukan reinterpretasi sesuai ndengan cognitive style dan kepentingan dari masing-masing orang dalam hierarki itu. Hal yang sama terjadi pada arus informasi dan laporan dari bawahan kepada atasan. Semakin panjang hierarki dari suatu birokrasi, semakin besar kecenderungan terjadinya distorsi dalam komunikasi.

2. Formalisasi
Prinsip formalisasi organisasi ketika diterapkan secara kaku akan sangat menghambat munculnya perubahan dan inovasi dalam kehidupan organisasi publik. Eskipun demikian prinsip formalisasi tetap diperlukan sebagai dsar bagi pengambilan keputusan seorang pejabat birokrasi dalam memberikan pelayanan agar pelayanan yang diberikan dapat cepat dan adil. Tentu sangat sulit bagi birokrasi publik untuk dapat meberikan pelayanan yang cepat dan adil tanpa adanya prosedur dan aturan yang jelas. Apabila seorang pejabat birokrasi harus menilai dan memutuskan sendiri tanpa ada prosedur dan aturan yang dapat mempermudah dan membantunya setiap menghadapi warga negara yang membutuhkan pelayanan, pelayanan birokrasi akan sangat bertele-tele dan mungkin berbeda-beda antar warga negara, kendati mereka memiliki persoalan yang sama. Akibatnya akan muncul ketidakpastian pelayanan yang sangat tinggi, sehingga merugikan tidak hanya bagi warga pengguna layanan, tetapi juga bagi pejabat birokrasi.

Tidak adanya peraturan dan prosedur yang jelas membuat warga negara pengguna layanan tidak dapat mengetahui hak dan kewajibannya untuk memperoleh pelayanan. Berapa banyak mereka harus membayar harga pelayanan? Berapa lama harus menunggu? Apa pelayanan yang akan diterima? Apa yang dapat dilakukan jika pelayanan yang diterima ternyata tidak seperti yang dijanjikan? Semua itu tidak dapat diketahui oleh warga pengguna layanan dengan pasti. Warga negara berada dalam posisi yang sangat lemah. Bagi pejabat birokrasi, tidak adanya prosedur dan aturan yang jelas juga dapat sangat merugikan karena hal itu berarti mengharuskan mereka untuk selalu mengambil keputusan pada saat melayaniwarga. Situasi itu menghadapkan mereka bukan hanya pada kondisi kejiwaan yang tidak mengunbtungkan, seperti stress dan cemas, tetapi juga menghadapkan mereka pada peluang dan resiko untuk melakukan kesalahan dalam pengambilan keputusan.

3. Spesialisasi
Prinsip spesialisasi dalam organisasi diperlukan untuk meningkatkan efisiensi, karena dengan adanya spesialisasi memungkinkan untuk dilakukannya penyederhanaan dari proses administrasi. Proses administrasi yang kompleks dapat disederhanakan menjadi serangkaian kegiatan yang sederhana dan mudah dikelola jika spesialisasi atau pembagian kerja dilakukan dengan rinci. Spesialisasi juga menjadi basis dari pengembangan keahlian dan karena itu menjadi salah satu hal yang diperlukan bagi pengembangan profesionalisme.

Meskipun spesialisasi sangat diperlukan dalam suatu organisasi, namun di sisi lain tetap berpotensi menciptakan masalah dalam kehidupan birokrasi, yaitu munculnya satuan-satuan birokrasi yang berjumlah banyak dan terkotak-kotak, sehingga membuat proses administrasi dan pelayanan publik menjadi berbelit-belit dan panjang. Prosedur yang sederhana, murah dan cepat sulit diwujudkan karena harus melibatkan banyak satuan birokrasi.

Spesialisasi juga dapat mewujudkan terjadinya fenomena individualism, yaitu orang hanya peduli terhadap tugas dan tanggung jawab sendiri, tidak peduli dengan tugas kolega atau bagian lainnya, serta mengabaikan kepentingan dan misi organisasi. Ketika pembagian kerja dilakukan secara rinci dan tugas untuk melaksanakan setiap kegiatan diserahkan kepada masing-masing aparat, maka setiap aparat akan merasa bahwa tugasnya adalah melaksanakan apa yang telah menjadi deskripsi pekerjaannya. Mereka menjadi tidak peduli dengan pekerjaan dan tanggung jawab orang lain dalam organisasinya.

4. Impersonalitas
Prinsip impersonalitas dalam organisasi mendorong agar aparat birokrasi dapat bertindak adil dan bersikap nonpartisan dalam melayani masyarakatnya juga dapat menimbulkan efek ganda. Pada satu sisi, penerapan impersonalitas hubungan antara aparat birokrasi dan warga pengguna layanan birokrasi akan membuat birokrasi menjadi lebih lugas dan bertindak obyektif. Namun di sisi yang lain, ketika penerapan prinsip tersebut menjadi berlebihan, maka aparat birokrasi dapat menjadi robot yang tidak memiliki sense of human being. Birokrasi juga akan kehilangan peluang untuk menjadi instrument pemihakan terhadap kelompok-kelompok marginal, yang tanpa bantuan birokrasi tidak dapat memperoleh kehidupan yang layak dan bermartabat.

Prinsip impersonalitas yang diajarkan oleh Weber memperlakukan pengguna layanan sebagai kasus, bukan sebagai orang dengan segala karakteristik subyektifnya. Hal itu dimaksudkan agar birokrasi menjadi nonpartisan, tidak memihak, dan memberikan perlakuan yang sama terhadap setiap pengguna layanan birokrasi. Namun, penerapan prinsip tersebut dapat membuat birokrasi menjadi kehilangan nilai-nilai kemanusiaan yang sangat penting dalam mengelola kegiatan birokrasi. Birokrasi pemerintah tidak boleh mengabaikan kenyataan bahwa warga memiliki akses yang berbeda-beda terhadap pelayanan birokrasi. Sebagian warga memiliki akses yang besar dan dapat dengan mudah memanfaatkan keberadaan birokrasi dan pelayanannnya, sementara sebagian warga lainnya memiliki akses yang terbatas terhadap pelayanan birokrasi. Menganggap setiap warganegara sebagai kasus yang sama dengan karakteristik, kapasitas dan akses yang sama tentu adalah sebuah kekeliruan (Dwiyanto, 2011:40).

Kondisi patologis tersebut tentu memerlukan solusi untuk keluar dari berbagai masalah yang tidak tertutup kemungkinan akan semakin menambah buruk citra birokrasi bagi masyarakat. Sebagai alternatif, lahir doktrin baru yang menggantikan Old Public Administration, yaitu New Publik Managemen (NPM) atau Reinventing Government yang didasarkan pada pengalaman Eropa, Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru pada beberapa dekade terakhir (Hood,1991; Pollit, 1993; Osborne & Gaebler,1993) secara berangsur-angsur dipromosikan ke dalam manajemen pemerintahan di berbagai negara, termasuk negara sedang berkembang.

Dalam doktrin NPM atau Reinventing Government, pemerintah dianjurkan untuk meninggalkan paradigma administrasi tradisional yang cenderung mengutamakan sistem dan prosedur dan menggantikan dengan orientasi pada hasil kerja. Pemerintah juga dianjurkan untuk melepaskan diri dari birokrasi klasik dengan mendorong organisasi dan pegawai agar lebih fleksibel, dan menetapkan tujuan serta target organisasi secara lebih jelas, sehingga memungkinkan pengukuran hasil. Di samping itu, pemerintah juga diharapkan meneraokan sistem desentralisasi, member perhatian pada pasar, melibatkan sektor swasta dan melakukan privatisasi (Hood, 1995).

Osborne dan Gaebler (1993) di dalam buku Reinventing Government menekankan, harus ada upaya untuk mentransformasikan entrepreneurial spirit atau jiwa kewirausahaan, karena dalam masa di mana sumber daya publik semakin langka, pemerintah harus berumah dari bureaucratic model ke enterprunerial model. Oleh karena itu manajemen pemerintahan yang mengimplementasikan pemikiran NPM ini sangat berorientasi pada jiwa dan semangat kewirausahaan, maka manajemen publik baru di tubuh pemerintah dapat disebut sebagai kewirausahaan.

Dampak dari penerapan model NPM ini mulai terasa tidak saja di negara maju, akan tetapi juga di negara-negara sedang berkembang, seperti penerapan lima prinsip inti, yaitu: (1) sistem desentralisasi dengan memindahkan otoritas pengambilan keputusan yang lebih dekat pada penerima pelayanan; (2) privatisasi dengan mengalokasikan barang dan jasa publik ke sektor privatl; (3) downsizing dengan melakukan pemangkasan atau penyederhanaan jumlah dan ruang lingkup organisasi pada sturuktur pemerintahanl; (4) debirokratisasi dengan melakukan restrukturisasi organisasi pemerintah dengan menekankan hasil daripada proses; dan (5) manajerialisme dengan menerapkan gaya bisnis pada organisasi pemerintah (Vigoda, 2003:813)

Pemberlakuan doktrin desentralisasi dan NPM atau manajemen kewirausahaan ke dalam sistem pemerintahan membawa harapan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat. Implementasinya lebih fleksibel, lebih cepat meberi respons terhadap perubahan lingkungan, dan kebutuhan masyarakat di daerah, lebih melibatkan partisipasi aktif para pihak dalam pengambilan keputusan daripada menunggu keputusan pemerintah pusat. Juga lebih inovatif dengan member peluang dengan melibatkan masyarakat di daerah dalam pengambilan keputusan dengan alternative solusi yang lebih banyak, menghasilkan semangat kerja, dan komitmen yang lebih tinggi, serta lebih produktif (Osborne & Gaebler, 1993; Pollit, Birchall dan Putman, 1998).

Sebagai unsur penting dari prinsip NPM atau manajemen kewirausahaan, sistem desentralisasi ini telah diakui memiliki sisi positif secara ekonomis dan sosial politik. Secara ekonomis, sistem ini dapat memperbaiki tingkat efisiensi, mengurangi biaya, memperbaiki output, dan lebih efektif memanfaatkan sumber daya manusia. Secara sosial politik dapat memperkuat akubtabilitas, keterampilan berpolitik, dan integrasi nasional, membawa pemerintah dekat dengan rakyat, dan mendorong kebebasan kesetaraan serta kesejahteraan (Smith, 1985:3-7)

Selain itu, sistem ini juga diakui mampu mengatasi kekurangan sentralisasi dalanm perencanaan pembangunan nasional, menghilangkan red-tape, dan prosedur yang berbelit-belit, mendorong pengetahuan dan sensitivitas terhadap masalah local, membawa tingkat penetrasi yang lebih baik, menjamin keterwakilan, kemampuan administratif pemerintahan, koordoinasi dan partisipasi masyarakat local (Rondinelli & Cheema, 1983

Reformasi terus bergulir dengan munculnya doktrin yang lebih baru, yaitu New Public Service (Denhardt & Denhardt, 2003). Aliran The New Publik Service memberikan definisi yang lain terhadap kepentingan publik. Kepentingan publik adalah hasil dari sebuah dialog tentang nilai-nilai bersama yang diagregasikan dari kepentingan individual. Oleh karena itu, pelayan publik tidak hanya selalu merespon permintaan “pelanggan”, tetapi lebih berfokus pada membangun hubungan baik dengan kepercayaan dan kolaborasi dengan dan atar warganegara. Pelayanan publik merupakan hubungan antara lembaga publik secara keseluruhan dengan citizen secara keseluruhan (Nurmandi, 2010:21).

Penerapan prinsip New Public Management dan New Public Service dalam sektor pemerintahan di Indonesia tidak semudah dengan yang dibayangkan seperti keberhasilan di beberapa negara. Hal ini senada dengan nada pesimis yang diungkapkan oleh Golembiewski (2003: 140-152), bahwa ada empat hal yang dapat menggagalkan penerapan NPM, yaitu:
  1. tidak memiliki model penerapan atau road map yang jelas;
  2. tidak mempertimbangkan kekhasan lingkungan atau milieu-specificity dimana NPM hendak diterapkan
  3. tidak melakukan cultural preparedness atau kesiapan budaya bagi institusi dan pegawainya, dan
  4. cenderung dihambat dan diganggu oleh birokrasi itu sendiri.
Meskipun demikian, prinsip-prinsip New Public Management dan New Public Service memiliki banyak nilai-nilai positif yang dapat diadopsi untuk diterapkan pada sektor pemerintahan dengan melakukan adaptasi atau penyesuaian dengan lingkungan dan kondisi masyarakat.

Berdasarkan berbagai model birokrasi pelayanan yang telah diuraikan di atas, maka ada beberapa faktor yang dianggap berpeluang memicu terjadinya patologi birokrasi, yaitu: Struktur birokrasi, Sumber daya manusia, Kepemimpinan, Etika birokrasi dan Lingkungan. Melalui kelima komponen ini akan dijadikan sebagai dasar untuk membangun sebuah model birokrasi pelayanan dengan mengadopsi berbagai unsur dalam New Public Management dan New Public Service yang dianggap positif dan sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Dengan demikian model temuan diharapkan dapat meminimalisir patologi birokrasi, terutama terhadap birokrasi pelayanan publik.

Pengertian Patologi Birokrasi dan Dimensi Patologi Birokrasi

Patologi Birokrasi
Patologi birokrasi di berbagai negara, terutama pada negara-negara berkembang menunjukkan adanya kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri, mempertahankan status-quo, resisten terhadap perubahan, cenderung terpusat (centralized), dan dengan kewenangannya yang besar seringkali memanfaatkan kewenangannya itu untuk kepentingan sendiri. Hal ini merupakan suatu tantangan besar bagi administrasi negara dan birokrasi pada umumnya. Menurut Kartasasmita (1995), dari berbagai penelitian diketahui betapa tidak mudahnya melakukan pembaharuan di bidang administrasi negara. Sebabnya adalah pendekatan yang sering kali bersifat formal struktural, yaitu kepada penataan organisasi dan fungsi-fungsi.

Solusi untuk mengatasi patologi birokrasi adalah dengan melakukan perubahan. Menurut Widaningrum (2009:368), sistem administrasi dan manajemen dalam birokrasi publik memang tidak didisain untuk sering berubah. Namun demikian, kenyataannya menunjukkan bahwa stabilitas seringkali bersifat sebaliknya (counter-productive). Dalam era yang penuh dengan perubahan seperti sekarang ini, sistem yang tidak dapat berubah justeru akan menemui banyak kegagalan.

Berkaitan dengan perubahan, yang sesungguhnya amat penting, tetapi lebih sulit dilakukan adalah pembaharuan pada sisi nilai-nilai yang membentuk manusia-manusia birokrat. Internalisasi nilai-nilai ini yang oleh Riggs (1996) disebut introfection, merupakan kunci terhadap peningkatan kinerja birokrasi. Terutama yang perlu menjadi perhatian adalah memperbaiki sikap birokrasi dalam hubungan dengan masyarakatnya.

Secara teoritik, disadari bahwa konsep birokrasi yang dirumuskan oleh Weber dengan berbagai karakteristiknya diyakini bahwa proses administrasi dalam kegiatan pemerintahan itu hanya dapat menjadi efisien, rutin dan nonpartisan apabila cara kerja organbisasi pemerintah itu dirancang sedemikian rupa sehingga menyerupai cara kerja sebuah mesin (Morgan, 1986). Persoalannya adalah mengapa ketika model ini diterapkan di beberapa negara, termasuk Indonesia justru menimbulkan berbagai fenomena yang menunjukkan adanya perilaku birokrasi yang bersifat patologis, bahkan dapat dianggap sebagai pengingkaran terhadap jiwa birokrasi itu sendiri.

Salah satu aspek birokrasi yang paling banyak disoroti adalah struktur birokrasi. Struktur birokrasi Weberian memiliki berbagai masalah internal yang pada tingkat tertentu berpotensi menyebabkan birokrasi mengalami disfungsi (Caiden, 1991). Setiap aspek dan struktur birokrasi , selain memiliki manfaat dan kontribusi terhadap efisiensi dan kinerja birokrasi, juga memiliki potensi untuk menciptakan penyakit birokrasi. Suatu variabel struktur birokrasi dapat menghasilkan penyakit birokrasi jika intensitas dari variabel itu sudah menjadi berlebihan.

Sebagai contoh, hierarki dalam suatu organisasi sangat bermanfaat karena membantu pimpinan melakukan kontrol dan juga dapat membuat arus perintah dan informasi menjadi lebih jelas, sehingga mempermudah koordinasi. Namun, ketika hierarki semakin panjang, maka berbagai persoalan dalam organisasi akan muncul. Hierarki yang panjang menyebabkan arus perintah dan informasi menjadi semakin panjang dan cenderung mengalami distorsi, Proses pengambilan keputusan menjadi semakin lamban dan terkotak-kotak (fragmented). Bahkan hierarki juga dapat memperbesar ketergantungan bawahan terhadap atasan (Pye, 1978). Akibatnya seringkali muncul perilaku para pejabat birokrasi yang ABS (asal bapak senang), dan menunjukkan loyalitas secara berlebihan pada atasan.

Birokrasi publik di Indonesia yang memiliki hierarki ketat, panjang dan cenderung mendorong para pejabatnya untuk mengembangkan perilaku ABS memperoleh justifikasi dari lingkungannya karena budaya masyarakat yang paternalistis tidak bisa menjadi sensor bagi perilaku negatif yang muncul dari hierarki yang berlebihan. Sebaliknya budaya paternalistis itu justru mengajarkan kepada para pegawai untuk memberikan perlakuan istimewa kepada pimpinan. Budaya paternalistis mengajarkan mengenai suatu pola hubungan ternetu antara rakyat dan penguasa, serta antara bawahan dan atasan. Dalam budaya paternalistis bawahan harus memberikan pelayanan kepada atasan (Eisantadt, 1973). Mereka harus menunjukkan dedikasi dan loyalitas kepada atasannya. Bahkan dedikasi dan loyalitas itu cenderung mereka tunjukkan secara berlebihan, dengan maksud agar atasanya memberikan keistimewaan tertentu. Mereka meyakini bahwa yang menentukan nasib mereka dalam berkarier adalah atasan. Hal inilah yang menyebabkan para pejabat birokrasi memiliki ketergantungan yang sangat tinggi kepada atasan. Perilaku ABS di kalangan pejababt birokrasi ini terbentuk sebagai hasil interaksi antara budaya paternalistis dan struktur birokrasi Weberian yang selanjutnya menghasilkan penyakit birokrasi.

Dalam sistem politik yang tidak demokratis, penyakit birokrasi tidak mudah untuk dicegah, karewna kekuasaan terkonsentrasi pada pemerintah dan birokrasi. Masyarakat tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk mengontrol perilaku birokrasi. Oleh karena itu masyarakat tidak dapat berbuat banyak ketika para pejabat birokrasi publik hanya memikirkan kepentingan birokrasi, atasan, dan dirinya sendiri serta mengabaikan kebutuhan dan kepentingan publik. Pengguna layanan birokrasi berada pada posisi yang sangat lemah ketika berhadapan dengan birokrasi dan pejabatnya. Apalagi jika kapasitas dari unsur dan komponen masyarakat madani, seperti media, NGO, dan kelompok-kelompok madani lainnya masih sangat lemah, maka kontrol terhadap perilaku birokrasi menjadi sangat tidak efektif, sehingga penyakit birokrasi terus tumbuh dengan sangat subur.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa patologi birokrasi adalah merupakan hasil interaksi antara struktur birokrasi yang salah dan variabel-variabel lingkungan yang salah. Struktur birokrasi yang hierarkis berinteraksi dengan budaya masyarakat yang paternalistis, sistem politik yang tidak demokratis dan ketidakberdayaan kelompok masyarakat madani cenderung melahirkan perilaku birokrasi paternalistis yang merugikan kepentingan publik. Patologi birokrasi bukan hanya disebabkan oleh struktur birokrasi yang salah dan tidak tepat, seperti hierarki yang berlebihan, prosedur yang rigid, fragmentasi birokrasi yang terlalu banyak, dan masalah structural lainnya. Selain masalah structural, patologi birokrasi disebabkan juga oleh interaksi berbagai variabel yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya, baik yang terdapat dalam struktur birokrasi, budaya birokrasi, maupun variabel-variabel lain yang terdapat dalam lingkungan

Dimensi-Dimensi Patologi Birokrasi
Peristilahan konsep patologi berasal dari ilmu kedokteran yang mengkaji mengenai penyakit yang melekat pada organ manusia, sehingga menyebabkan tidak berfungsinya organ tersebut. Menjadikan istilah patologi sebagai metafora, patologi birokrasi dalam uraian ini tentunya difahami sebagai kajian dalam konteks Administrasi Publik yang diarahkan untuk menelusuri secara faktual dan teoritik berbagai penyakit yang melekat dalam tubuh birokrasi pemerintah, sehingga birokrasi tersebut mengalami disfungsi

Menurut Siagian (1994:35), agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul, baik yang sifaynya politis, ekonomi, sosio-kultural, dan teknologikal, berbagai penyakit yang mungkin sudah dideritanya atau mengancam akan menyerangnya, perlu diidentifikasi untuk kemudian dicarikan terapi pengobatannya yang palimg efektif. Harus diakui bahwa tidak ada birokrasi yang sama sekali bebas dari berbagai patologi birokrasi. Sebaliknya tidak ada birokrasi yang menderita semua penyakit birokrasi sekaligus.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Siagian (1994: 36-145), mengidentifikasi berbagai patologi birokrasi yang dikategorikan ke dalam lima kelompok, yaitu:
  1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi.
  2. Patologi yang disebabkan karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional.
  3. Patologi yang timbul karena tindakan para aparat birokrasi yang melanggar norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat disfungsional atau negatif.
  5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi dalam lingkungan pemerintahan.
Adapun beberapa jenis penyakit birokrasi yang sudah sangat dikenal dan dirasakan masyarakat yaitu ketika setiap mengurus sesuatu dikantor pemerintah, pengurusannya berbelit-belit, membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar, pelayanannya kurang ramah, terjadinya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme dan lain-lain. Sedangkan penyakit birokrasi yang lebih sistemik banyak sebutan yang diberikan terhadapnya yaitu antara lain; politisasi birokrasi, otoritarian birokrasi, birokrasi katabelece (Istianto, 2011:143).

Istilah patologi lazim digunakan dalam wacana akademis di lingkungan administrasi publik untuk menjelaskan berbagai praktik penyimpangan dalam birokrasi, seperti; paternalisme, pembengkakan anggaran, prosedur yang berlebihan, fragmentasi birokrasi, dan pembengkakan birokrasi (Dwiyanto, 2011:59). Untuk keperluan teoritik, maka dimensi-dimensi patologis yang disebutkan terakhir akan diuraikan secara singkat seperti berikut.

1. Birokrasi Paternalistis
Perilaku birokrasi paternalistis adalah hasil dari proses interaksi yang intensif antara struktur birokrasi yang hierakis dan budaya paternalistis yang berkembang dalam masyarakat. Struktur birokrasi yang hierarkis cenderung mebuat pejabat bawahan menjadi sangat tergantung pada atasannya. Ketergantungan itu kemudian mendorong mereka untuk memperlakukan atasan secara berlebihan dengan menunjukkan loyalitas dan pengabdian yang sangat tinggi kepada pimpinan dan mengabaikan perhatiannya kepada para pengguna layanan yang seharusnya menjadi perhatian utama (Mulder, 1985).

Struktur birokrasi yang hierarkis mendorong pejabat bawahan untuk menunjukkan loyalitas dan penghormatan kepada atasan secara berlebihan, karena seorang pejabat bawahan hanya memiliki satu atasan. Pejabat atasan memiliki peran yang penting dalam pengembangan karier pegawai, karena informasi mengenai kinerja pegawai sangat ditentukan oleh atasannya. Bahkan penilaian kinerja pegawai itu dilakukan oleh atasan langsung. Informasi mengenai kinerja pegawai atau pejabat itu kemudian diteruskan oleh atasan langsung kepada pejabat atasan yang lebih tinggi.

Peranan atasan langsung dalam penilaian kinerja menjadi sangat penting sehingga wajar apabila para pejabat birokrasi cenderung memperlakukan atasannya secara berlebihan. Mereka cenderung menunjukkan perilaku ABS, yaitu meberikan laporan yang baik dan menyenangkan atasan dengan menciptakan distorsi informasi. Akibatnya, para pejabat atasan seringkali menjadi kurang memahami realitas masalah yang dihadapi oleh masyarakat (Harmon, 1995). Berbagai persoalan yang dikeluhkan oleh pengguna layanan tidak tersampaikan pada pejabat atasan, namun tidak diatasi sendiri oleh petugas pelayanan karena mereka tidak memiliki kewenangan yang memadai untuk meresponsnya. Mereka beranggapan bahwa menyampaikan persoalan yang terkait dengan pelaksanaan tugasnya dapat menciptakan penilaian buruk dari pejabat atasan terhadap kinerja mereka. Akibatnya responsivitas birokrasi dan pejabatnya terhadap dinamika lingkungannya menjadi sangat rendah.

2. Prosedur Yang Berlebihan
Prosedur yang berlebihan merupakan bentuk penyakit birokrasi publik yang menonjol di berbagai instansi pelayanan publik di Indonesia. Birokrasi publik bukan hanya mengembangkan prosedur yang rigid dan kompleks, tetapi juga mengembangkan ketaatan terhadap prosedur secara berlebihan. Dalam birokrasi publik, prosedur bukan lagi sebagai fasilitas yang dibuat untuk membantu penyelenggaraan layanan tetapi sudah menjadi seperti berhala yang harus ditaati oleh para pejabat birokrasi dalam kondisi apapun. Bahkan prosedur sudah menjadi tujuan birokrasi itu sendiri dan menggusur tujuan yang semestinya, yaitu melayani publik sexcara professional dan bermartabnat. Apapun penyebabnya, pelanggaran terhadap prosedur selalu dianggap sebagai penyimpangan dan karena itu pelanggarnya harus diberi sanksi.

Dalam birokrasi Weberian pengembangan prosedur yang rinci dan tertulis dilakukan untuk menciptakan kepastian pelayanan. Prosedur tertulis yang jelas dan rinci sebenarnya diperlukan oleh pejabat birokrasi sebagai penyelenggara layanan ataupun oleh para pengguna layanan. Para pejabat birokrasi memerlukan prosedur yang rinci dan tertulis karena dengan prosedur seperti itu mereka terhindar dari keharusan mengambil keputusan. Keberadaan prosedur pelayanan sangat membantu mereka dalam menentukan tindakan yang harus dilakukan untuk merespon berbagai persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan layanan. Risiko melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan bias dihindari dengan adanya prosedur pelayanan yang tertulis dan rinci.

Prosedur yang tertulis dan rinci juga menguntungkan bagi para pengguna layanan, karena mereka dapat lebih mudah memahami hak dan kewajibannya dalam mengakses pelayanan. Mereka juga menjadi semakin mudah mengetahui apakah hak-haknya sebagai warga negara dilanggar oleh para pejabat birokrasi atau tidak pada saat mereka mengakses pelayanan publik. Para pengguna layanan juga menjadi lebih mudah untuk turut serta mengontrol proses penyelenggaraan layanan publik. Tanpa prosedur yang jelas dan rinci maka sangat sulit bagi para pengguna layanan untuk memahami hak dan kewajibannya ataupun menjalankan peran kontrol terhadap proses penyelenggaraan layanan publik. Oleh karena itu, prosedur yang rinci dan tertulis sebenarnya diperlukan oleh pejabat birokrasi dan pengguna layanan. Tidaklah mengherankan jika prosedur kemudian berkembang semakin banyak sehingga menjadikan birokrasi mengalami over regulation yang juga merupakan salah satu penyakit birokrasi.

3. Pembengkakan Birokrasi
Mengamati sejarah perkembangan berbagai birokrasi pemerintah di Indonesia dengan mudah dapat dilihat perkembangan sejumlah birokrasi yang semula dibentuk dengan misi yang jelas dan struktur yang ramping, tetapi dalam waktu singkat birokrasi tersebut sudah berubah menjadi kerajaan birokrasi yang besar. Kecenderungan seperti ini sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di negara-negara lainnya. Fenomena ini lazim terjadi karena memang ada kecenderungan dari internal birokrasi untuk mengembangkan diri seiring dengan kegiatan untuk memperbesar kekuasaan dan anggaran.

Menurut Dwiyanto (2011:97) terdapat dua cara yang biasanya ditempuh untuk membengkakkan birokrasi. Cara pertama dilakukan dengan memperluas misi birokrasi. Pada saat pemerintah membentuk satuan birokrasi tertentu biasanya pemerintah memiliki gambaran yang jelas mengenai misi yang akan diemban oleh satuan birokrasi itu. Misi itu juga yang menjadi alasan dibentuknya sebuah atau beberapa satuan birokrasi. Namun, setelah terbentuk, para pejabat di birokrasi itu untuk selanjutnya cenderung memperluas misi birokrasi. Alasan utama yang mendorong mereka memperluas misi birokrasi tidak lain adalah keinginan para pejabat itu untuk dapat mengakses kekuasaan dan anggaran yang lebih besar.

Cara kedua untuk membengkakkan birokrasi adalah dengan melakukan kegiatan di luar misinya. Tindakan seperti ini banyak sekali dilakukan oleh satuan-satuan birokrasi, baik di pemerintah pusat maupun daerah. Munculnya inisiatif untuk membengkakkan birokrasi juga disebabkan oleh cara pengalokasian anggaran yang berorientasi pada input. Karena alokasi anggaran didasarkan pada input, maka birokrasi dan para pejabatnya yang ingin memperoleh anggaran besar cenderung memperbesar input. Cara termudah untuk memperbesar input adalah dengan menciptakan banyak kegiatan. 

4. Fragmentasi Birokrasi
Fragmentasi adalah pengkotat-kotakan birokrasi ke dalam sejumlah satuan yang masing-masing memiliki peran tertentu. Fragmentasi birokrasi memiliki beberapa interpretasi. Pragmentasi birokrasi dapat menunjukkan derajat spesialisasi dalam birokrasi. Dalam konteks ini pembentukan satuan-satuan birokrasi didorong oleh keinginan untuk mengembangkan birokrasi yang mampu merespons permasalahan publik yang cenderung semakin kompleks.

Namun, fragmentasi birokrasi yang tinggi juga dapat disebabkan oleh sejumlah motif lainnya. Pemerintah mengembangkan satuan birokrasi dalam jumlah banyak bias saja bukan karena keinginan pemerintah untuk merespon kebutuhan dan aspirasi masyarakat secara efisien dan efektif, malainkan karena adanya tujuan tertentu.

Mencermati berbagai uraian tentang patologi birokrasi seperti yang dipaparkan di atas, secara umum memberi gambaran bahwa patologi birokrasi merupakan suatu kondisi dimana birokrasi mengalami suatu keadaan yang tidak normal atau berada pada situasi yang tidak dikehendaki menurut prinsip dan tujuan birokrasi itu sendiri. Bahkan untuk memudahkan identifikasi terhadap patologi birokrasi, Caiden secara sistematis telah merumuskan suatu daftar yang merangkum sebanyak 175 hal yang dapat dikatagorikan sebagai bureaupathologies.