Showing posts with label Krisis. Show all posts
Showing posts with label Krisis. Show all posts

Friday, 17 March 2017

Pengertian Krisis Atas The Secret Dan A New Earth

Pengertian Krisis Atas The Secret Dan A New Earth
Sebelum memberikan evaluasi kritis terhadap TS dan A New Earth, berikut ini akan diberikan sebuah perbandingan, antara apa yang diajarkan TS dan A New Earth (keduanya merupakan buku ”spiritual ”yang dipromosikan Oprah Winfrey) dengan ajaran Alkitab mengenai realitas tertinggi dan manusia: 

Manusia
Manusia adalah Tuhan dalam sebuah tubuh fisik. Manusia adalah pencipta dan bersifat sempurna, abadi. Pendeknya, manusia sehakekat dengan Tuhan hanya saja tidak menyadari RAHASIA ini. Buku The Secret berusaha menyadarkan manusia tentang siapa mereka sesungguhnya

Manusia adalah Allah tetapi tercemar akibat ego. Pencemaran ini disebut secara berbeda-beda oleh masing-masing agama, namun hakekatnya sama saja. Misalnya, dalam Hindu disebut maya; dalam Buddha disebut dukka; dalam Kristen, dosa asal.

Ciptaan Tuhan dalam gambar dan rupa-Nya (Kej.1:26-27). Manusia tidak sempurna (Rm.3:23) dan tidak abadi atau memiliki permulaan (Kej.1:1) 

The Secret, A New Earth dan Gerakan Zaman Baru
Buku The Secret dan A New Earth dalam wacana apologetika Kristen seringkali disebut sebagai bagian Gerakan Zaman Baru. 

Gerakan Zaman Baru itu sendiri pada dasarnya adalah sebuah fenomena yang meluas di dunia Barat (walaupun sekarang jelas telah merambah Indonesia). Salah satu tonggak sejarah dari GZB terjadi ketika Swami Vivekananda (seorang guru spiritual India) berceramah di World Parliament of Religions pada tahun 1893 dan setelah itu banyak diundang untuk berbicara di universitas-universitas dan kolese-kolese di Amerika. Di dalam ceramahnya ia menyarankan sebuah ”persetujuan bilateral”. Ia mengamati bahwa Barat unggul dalam studi tentang ”materi” (ilmu pengetahuan dan teknologi) dan Timur unggul dalam studi tentang ”spiritualitas”. ”Marilah kita saling bertukar keahlian” demikian katanya. Dalam banyak cara, ia kelihatannya telah menjadi perintis dalam meletakkan Hinduisme ke dalam peta dunia dan sekarang guru-guru India sedang menggenapi visi tersebut. Jadi beberapa aspek ajaran GZB yang penting mungkin ”baru” bagi dunia Barat yang sudah lama didominasi kekristenan namun sebenarnya ”lama” di dunia Timur khususnya India dan Cina.

Melihat ciri-ciri ajaran dari The Secret dan A New Earth yang telah kita bahas sebelumnya, memang kita bisa cukup yakin untuk menyimpulkan bahwa keduanya memiliki ciri-ciri yang sama dengan buku/film, praktek-praktek lain yang tergolong Gerakan Zaman Baru (GZB). 

Terdapat beberapa kesamaan ajaran dari para penganut GZB walaupun pada dasarnya mereka bukanlah sebuah kepercayaan yang monolitik atau seragam. Sebagaimana dijelaskan oleh Douglas R. Groothuis, GZB memiliki sedikitnya enam ajaran penting yaitu:
  1. Semua adalah satu; 
  2. 2. Semua adalah Allah;
  3. Kemanusiaan adalah Allah;
  4. Perubahan kesadaran;
  5. Semua agama adalah satu;
  6. Optimisme evolusi kosmis.
Penting untuk diperhatikan bahwa paham monisme (Semua adalah Satu) dan panteisme (Semua adalah Allah) diletakkan sebagai dua ajaran yang disebutkan paling awal oleh Groothuis tentang GZB. Hal ini sebenarnya mencerminkan sebuah urutan logis bahwa monisme dan panteisme termasuk fondasi bagi kepercayaan GZB yang lainnya. 

Dalam kesamaan ciri-ciri dengan GZB, sedikitnya TS dan A New Earth yang didukung Oprah Winfrey mempromosikan pandangan yang merupakan variasi dari monisme dan secara khusus panteisme. Oleh karena itu, orang-orang Kristen perlu lebih jauh memberikan suatu penilaian kritis terhadap kedua buku yang sedang meraih popularitas tersebut.

Kritik Terhadap Monisme (Semua adalah Satu) dalam TS dan A New Earth
Dalam filsafat GZB sebagaimana tercermin dalam TS dan A New Earth, monisme adalah fondasi bagi kepercayaan GZB berikutnya. Monisme berasal dari kata ”mono” yang berarti ”satu”. Jadi, monisme adalah suatu kepercayaan bahwa semua yang ada adalah satu. Pada puncaknya, tidak ada lagi perbedaan antara Allah, manusia, wortel atau sebuah batu karang. Hal ini berarti manusia dan batu sebenarnya tidak berbeda secara jenis namun hanya berbeda secara derajat dalam memanifestasikan realitas tertinggi atau ”Allah”. Filsafat ini memiliki akarnya dalam pemikiran Hindu, Buddha di Timur maupun pemikiran filsuf Yunani Parmenides di Barat.

Dalam pemikiran Hinduisme, monisme ini juga menjadi dasar bagi praktek vegetarian dan tanpa kekerasan (non-violence). Jika mahluk hidup (khususnya binatang) pada hakekatnya adalah sama dengan kita, maka tentu kita tidak boleh menyakitinya apalagi memakannya. 

Konsep monisme di atas tentu saja berbeda secara radikal dengan konsep Alkitab tentang realitas. Dalam perspektif wawasan dunia Kristen kita percaya bahwa ciptaan Allah meliputi banyak hal yang berbeda-beda. Enam hari penciptaan menunjukkan pada kita bahwa Allah memisahkan terang dan gelap, siang dari malam, bumi dari langit, tanah kering dari lautan, tumbuhan dari hewan, dan tentunya manusia berbeda dari semuanya itu karena manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Alkitab secara jelas menolak usaha untuk menghapuskan pluralitas dan hanya mengunggulkan kesatuan dari dunia. 

Jadi, dalam usaha untuk menjelaskan realita dunia, monisme berusaha untuk melihat dunia ini dengan segala isinya (misalnya: manusia, binatang, tumbuhan, benda mati) sebagai suatu kesatuan atau ”One” daripada ”Many”. Hal ini amat berbeda dengan kekristenan yang memiliki perspektif seimbang bahwa dunia ini adalah ”One” sekaligus ”Many”. Perspektif Kristen ini memiliki fondasinya yang kokoh dalam diri sang Pencipta yaitu Allah Tritunggal yang menjadi fondasi bagi adanya ”One” sekaligus ”Many” dalam dunia ciptaan. Sederhananya, dunia ini memang penuh dengan keanekaragaman benda mati, mahluk hidup (tumbuhan, binatang yang beraneka ragam), manusia, bintang-bintang, galaksi-galaksi namun semuanya itu adalah satu kesatuan ciptaan Allah yang memancarkan kemuliaan-Nya (bdk. Mzm. 119:1-7). Bukahkan ”One” dan ”Many” yang tercermin dalam ciptaan atau semesta ini merefleksikan penciptanya yaitu Allah Tritunggal yang memang ”One” dalam esensi dan ”Many” tepatnya ”Tiga” dalam pribadi-Nya sendiri. 

Jadi, monisme bersalah dalam hal mengorbankan ”Many” di atas altar ”One” dalam melihat realita dunia ini.

Kritik Terhadap Panteisme dalam TS dan A New Earth
Panteisme sebenarnya adalah monisme yang selangkah lebih maju. Jika dalam monisme orang percaya bahwa semua hal meliputi apapun di dunia ini adalah ”Satu” maka dalam panteisme ditegaskan bahwa yang ”Satu” itu adalah ”Allah”. Jadi, panteisme percaya bahwa semua adalah Allah dan Allah adalah semua. Dalam kepercayaan ini, Allah menyebar ke dalam semua hal, mencakup semua hal, meliputi semua hal dan ditemukan di dalam semua hal. Dalam konsep ini, dunia adalah Allah dan Allah adalah dunia. Tidak ada yang bukan Allah di dunia ini. 

Panteisme memiliki sejarah panjang di Timur dan di Barat mulai dari mistisisme Hindu sampai rasionalisme yang dicetuskan Parmenides, Benedict de Spinoza, and G. W. F. Hegel. Tetapi akhir-akhir ini panteisme memang semakin populer di dunia barat. Pada satu masa, grup musik The Beatles dipengaruhi secara kuat oleh Transcendental Meditation dari Maharishi Mahesh Yogi dan kemudian oleh Gerakan Hare Krishna dari A. C. Bhaktivedanta, yang mengajarkan pemikiran panteistik juga di dalamnya. Film seperti Star Wars dan ajaran dari para individu seperti Alan Watts, D. T. Suzuki, dan Sarvepail Radhakrishnan dari India juga telah menambah pengaruh panteisme terhadap masyarakat barat dewasa ini..Pengaruh dari panteisme bahkan telah merambah dunia ekologi dengan dimunculkan ekoteologi yang panteistik dan percaya bahwa ”semesta adalah Allah” sehingga tentu saja kita tidak boleh merusak atau mengeksploitasi semesta.

Sebelum memberikan kritik terhadap panteisme, mungkin berguna bagi kita untuk melihat analisa dari Nancy Pearcey tentang panteisme melalu kerangka berpikir penciptaan (creation), kejatuhan (fall), penebusan (redemption) untuk menganalisa sebuah wawasan dunia. Dalam kaitan dengan penciptaan maka atas pertanyaan, ”Apakah realitas tertinggi, asal mula dari segala sesuatu dalam panteisme Zaman Baru?” jawaban dari panteisme adalah ”Yang Mutlak, yang Satu, Sebuah Esensi Spiritual Universal”. Selanjutnya berkaitan dengan kejatuhan atau pertanyaan ”Apakah sumber dari kejahatan dan penderitaan?” maka jawaban dari panteisme adalah ”perasaan/pikiran tentang individualitas kita”. Terakhir berkaitan dengan penebusan, maka atas pertanyaan ”Bagaimana panteisme memberitahukan kita jalan untuk menyelesaikan masalah kejahatan dan penderitaan?” maka jawaban yang diberikan penganut panteisme adalah ”Dengan menjadi satu kembali dengan Esensi Spritual Universal yang darinya kita semua muncul”.

Beberapa kritik dapat kita berikan kepada panteisme sebagai paham populer yang juga melandasi pemikiran TS dan A New Earth yang didukung Oprah. 

Pertama, kritik positif. Panteisme berusaha untuk menjelaskan semua realitas dan bukan hanya sebagian realitas. Bukankah dunia ini kita sebut uni-verse dan bukan multi-verse? Hal ini berarti bahwa segala realitas harus diusahakan untuk dilihat sebagai sebuah kesatuan. Dalam usaha ini, panteisme menyatakan bahwa Allah dan dunia ini saling kait mengait dan bukan terpisah sama sekali. Ini adalah kontribusi positif dari panteisme. Disebut kontribusi positif bukan karena panteisme menyatakan kebenaran tetapi karena panteisme mencerminkan sebuah usaha yang positif untuk melihat dunia dari semacam ”big picture” dan bukan hanya parsial.

Kedua, kritik negatif. Dalam bagian ini ada beberapa kritik yang dapat kita berikan terhadap panteisme baik secara biblikal-teologis maupun filosofis.

Kritik Biblikal-Teologis Terhadap Panteisme
Ada beberapa kritik yang dapat kita berikan terhadap panteisme dari sudut pandang Alkitab dan teologi Kristen (Injili).

Pertama, konsep panteisme tentang asal muasal segala sesuatu (origin) jelas bertentangan dengan wahyu Allah dalam Alkitab tentang penciptaan. Dalam Kejadian 1 amat jelas bahwa Allah menciptakan segala sesuatu. Konsep Alkitab ini dipahami oleh para teolog sebagai ”creatio ex nihilo” atau penciptaan dari kekosongan. Hal ini bertentangan dengan konsep panteisme yang percaya ”creatio ex Deo” atau penciptaan yang keluar dari Allah. Dalam konsep Alkitab terdapat dualitas antara Allah dan alam semesta termasuk manusia. Allah berbeda dengan alam semesta dan manusia secara kualitas jenis dan bukan hanya derajat. 

Kedua, panteisme tampaknya adalah sebuah gema kuno dari godaan ular terhadap Hawa yang berkata ”...Engkau akan menjadi seperti Allah” (Kej. 3:4-5). Dalam panteisme dan implikasinya, manusia disamakan dengan Allah pada hakekat terdalamnya. Hal ini tentu amat bertentangan dengan penjelasan Alkitab yang menegaskan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1: 26-27) namun tetap berada di bawah Allah.

Ketiga, secara teologis, Allah dalam Alkitab adalah Allah yang transenden, berbeda dengan ciptaan, namun juga imanen, hadir dalam ciptaanNya. Keseimbangan antara transendensi dan imanensi Allah ini begitu penting sehingga penekanan yang berlebihan pada salah satu akan menghasilkan ajaran yang menyimpang.[48] Dalam kaitan dengan panteisme jelaslah bahwa ajaran ini mengorbankan transendensi Allah di atas altar imanensi.

Kritik Filosofis terhadap Panteism
Panteisme percaya bahwa ”dunia adalah Allah ” dan implikasinya ”saya adalah Allah” memiliki masalah yang besar secara filosofis. 

Pertama, panteisme yang tercermin dalam buku TS dan A New Earth berusaha untuk mengatakan bahwa sebenarnya manusia hidup dalam ilusi atau ketidaktahuan, semacam ”amnesia” metafisik. Oleh karena itulah buku The Secret ingin membuka rahasia itu kepada kita, sebuah rahasia bahwa ”Anda adalah kehidupan abadi. Anda adalah Tuhan yang mewujud dalam bentuk manusia, dibuat untuk kesempurnaan.” Demikian pula, A New Earth menyatakan bahwa semua manusia terkena disfungsi pikiran yang perlu disadarkan lagi akan hakekat terdalam kita yang adalah ”Satu” dengan ”Universal Life Force” atau ”Allah” dalam konsep kekristenan.

Jikalau benar klaim dari buku-buku tersebut bahwa semua manusia mengalami disfungsi pikiran, ilusi atau ketidaktahuan (sehingga perlu membaca Rahasia-The Secret). Bagaimana kita bisa yakin bahwa kaum New Age yang percaya bahwa ”kita semua adalah Allah” (panteisme) juga bukan merupakan sebuah pemikiran dari pikiran yang disfungsional dari Tolle, atau ketidaktahuan yang salah dari Rhonda Byrne serta Oprah Winfrey (yang turut menyetujui dan mempopulerkannya)? 

Tentu saja mereka dapat menjwab bahwa panteisme adalah hasil dari pikiran yang telah tercerahkan. Walaupun demikian, pencerahan itu sendiri adalah sebuah pengalaman subyektif yang tidak dapat dijelaskan secara obyektif. Setiap orang dapat mengklaim sebagai orang yang telah tercerahkan, dan bukankah orang Kristen juga dapat mengatakan bahwa mereka telah ”tererahkan” ketika mereka menyadari bahwa Allah adalah pencipta dan asal mula segala sesuatu (creation), kejahatan dan penderitaan adalah akibat pemberontakan manusia terhadap Allah (fall) dan bahwa Allah telah datang ke dunia dalam Yesus Kristus untuk menyelamatkan manusia (redemption). Orang Kristen dapat saja menyebut pemahaman tersebut sebagai sebuah ”pencerahan” karena dahulu mereka tidak melihat dunia dalam kacamata demikian dan pada satu momen dalam hidup mereka, dunia dilihat dengan kacamata (atau wawasan dunia) yang baru.

Jadi, panteisme yang diyakini kaum New Age adalah sebuah subyektifitas pengalaman yang sebenarnya bersifat mistik. Kekristenan di lain pihak percaya pada keyakinan akan konsep creation, fall dan redemption spesifik seperti telah disinggung di atas dan siap untuk diuji secara rasional (rational) maupun pengalaman (experiential).

Kedua, panteisme percaya bahwa dunia sebagaimana kita lihat melalui kacamata manusia adalah ilusi belaka. Hal ini jelas karena menurut panteisme versi The Secret maupun A New Earth, manusia pada dasarnya seringkali hanya melihat perbedaan-perbedaan atas segala hal (misalnya: benda, hewan, manusia) di level permukaan dan gagal melihat hakekat terdalam dari semuanya yang adalah satu ”kesatuan” entahkah itu disebut sebagai energi (The Secret) atau Universal Life Force (A New Earth). Tetapi, jika cara pandang panteisme yang sebagian sumbernya berakar dari filsafat Hindu ini benar, maka implikasinya sungguh merusak. 

Bayangkan saja Anda sedang menyeberang jalan dan berpikir bahwa truk yang sedang berjalan cepat adalah sebuah ilusi. Anda tentu akan mati ditabrak! Dalam realita sehari-hari kita percaya bahwa kita hidup dalam fakta dan bukan ilusi. Jika kita berpikir secara konsisten bahwa semua yang kita lihat ini adalah ilusi maka kekonyolan akan terjadi. Kisah berikut mungkin menolong kita memahaminya.

Pernah suatu kali diceritakan bahwa ada seorang peserta seminar yang bertanya kepada sang pembicara. ”Pak, bagaimana saya tahu bahwa ’saya’ benar-benar ada dan bukan hanya ilusi?”. Sang pembicara tersenyum penuh makna dan berkata ”Baiklah, kalau demikian kepada siapakah saya harus menjawab pertanyaan tadi?”. Sungguh suatu pukulan telak, karena jawaban itu memaksa orang yang bertanya tersebut untuk menyatakan eksistensinya sekaligus individualitasnya yang berbeda dengan orang-orang lain yang tidak bertanya di ruangan itu. 

Selanjutnya, jika eksistensi kita adalah ilusi maka pikiran kita yang merupakan bagian dari eksistensi kita juga adalah ilusi. Jika hal ini benar maka semua pembicaraan tentang ilusi oleh kaum panteis itu sendiri adalah ilusi yang tidak perlu ditanggapi secara serius. Geisler mengungkapkannya dengan jenius:

”Jika pikiran adalah bagian dari ilusi, maka ia tidak dapat menjadi dasar untuk menjelaskan ilusi itu sendiri. Selanjutnya, jika panteisme itu benar dalam menyatakan bahwa individualitas saya adalah ilusi maka panteisme adalah salah karena tidak ada dasar untuk menjelaskan ilusi itu sendiri.”

Natur dari panteisme adalah self-defeating seperti orang Indonesia yang berkata, ”I Can not speak any word in English” atau seorang suami yang membentak isterinya “Sudah kukatakan kepadamu jutaan kali, jangan pernah membesar-besarkan apapun” sementara kalimat itu sendiri adalah sesuatu yang dibesar-besarkan.

Implikasi lebih lanjut dari panteisme yang amat berbahaya adalah di bidang moralitas. Bayangkan, jika Anda percaya bahwa Anda adalah Allah atau Tuhan, maka tentu saja moralitas menjadi subyektif dan relatif tergantung pada diri Anda sendiri. Hal ini nampak jelas ketika buku Rhonda penulis TS berkata ”Apapun yang Anda pilih untuk ANDA adalah benar” dan Jack Canfield dikutip dalam TS ketika berkata ”…Saya mempunyai peribahasa: “Jika tidak menggembirakan, jangan lakukan!”. Jika ini diterapkan dalam seluruh (bukan sebagian) kehidupan maka yang terjadi tentu saja adalah konflik antara standar moralitas seseorang dengan orang lain. Jika panteisme benar maka moralitas menjadi subyektif dan tidak ada fondasi untuk mengatakan sesuatu itu baik secara universal karena, bukankah ”Allah” itu sendiri terlepas dari dualisme baik dan jahat dalam konsep panteisme? Demikianlah kita melihat bahwa panteisme memiliki masalah besar secara filosofis dalam dirinya sendiri.

Metode Apologetika terhadap Penganut GZB
Sebagai sebuah catatan akhir dari kritik terhadap panteisme, namun mungkin merupakan hal yang terpenting adalah metode apologetika yang kita pergunakan dalam pertemuan dengan penganut panteisme sejati. Perlu kita sadari bahwa penganut New Age yang percaya panteisme seringkali tidak percaya pada penalaran logis sebagai alat untuk menguji kebenaran sebuah kepercayaan. Hal ini jelas karena New Age sendiri justru merupakan sebuah reaksi kebosanan atas kekristenan liberal, rasionalisme dan scientisme yang mengecewakan. Oleh karena itu, dalam pendekatan terhadap penganut panteisme, mungkin segala kritik filosofis akan menemui kebuntuan karena mereka tidak menganggap logical consistency sebagai sebuah cara untuk menguji sebuah wawasan dunia.

Dengan mempertimbangkan konteks demikian maka penulis percaya pada proklamasi Alkitab secara terus terang dalam konteks tertentu serta pendekatan yang kritik yang sifatnya lebih ”praktis” dalam berdialog. Alister Mcgrath memberikan sebuah contoh untuk pendekatan kedua. Misalnya kita bisa bertanya kepada penganut panteisme demikian: ”Jika Anda adalah Allah mengapa Anda begitu tidak bahagia?” atau ”Hak istimewa apa yang dimilik oleh seorang allah dibandingkan yang lain?”. ”Apakah hal ini membuat mereka tidak terkena pemberhentian kerja, atau dari penderitaan dan kesakitan? Dari kematian? Harapan apa yang diberikan (oleh ajaran New Age khususnya panteisme) dalam menghadapi realitas kekinian dari penderitaan dan peristiwa kematian di masa depan?

Thursday, 16 March 2017

Krisis Ideologi Islam di Indonesia

Krisis Ideologi Islam di Indonesia
Dua presiden berikutnya mewakili dua kelompok Islam yang berbeda; Presiden B.J. Habibie mewakili suatu kelompok Islam ICMI dan Presiden KH Abdurrahman Wahid yang dikenal dengan sebutan Gus Dur mewakili kelompok ormas keagamaan NU. Keduanya hanya bertahan sebentar dalam kursi krepresidenan. Hal itu menunjukkan bahwa mereka kurang mempunyai legitimasi di kalangan umat Islam secara keseluruhan karena adanya krisis ideologi di tubuh umat Islam Indonesia. Lebih parah lagi karena persaingan di tubuh umat Islam tidak diselesaikan secara legal formal.

Secara selintas krisis kepemimpinan tersebut meru-pakan masalah politik, tetapi bila dikaji lebih mendalam lagi hal tersebut berhubungan dengan krisis ideologi di kalangan umat Islam di Indonesia, yang disebabkan selama ini kita tidak membiasakan dialog antar ideologi. Pentingnya membangun dialog karena sebenarnya Islam adalah suatu agama yang tidak menekankan segi ideologi (beliefs/ keyakinan), tetapi lebih menekankan pada peran akal untuk mengatur alam semesta yang diamanatkan kepada kita untuk menjalankan peran sebagai khalifah (pemimpin) di bumi.

Persoalan ideologi kurang begitu kental bila diban-dingkan dengan persoalan politik dalam bongkar pasang kepemimpinan Islam di zaman reformasi sekarang ini. Akar permasalahan lebih kepada kekhawatiran dari kelompok-kelompok Islam lainnya terhadap kelompok Islam yang sedang memerintah kalau-kalau dia tidak memperhatikan kepentingan kelompok-kelompok Islam tersebut. Hal terse-but menghendaki adanya usaha saling memahami tradisi dari berbagai kelompok yang berbeda, untuk kemudian di rumuskan suatu peraturan yang bersifat legal-formal sebagai pedoman di dalam tata cara pergaulan di antara mereka.

Namun ada kecenderungan untuk bersifat eksklusif pada gerakan-gerakan radikal keagamaan yang tidak memperjuangkan aspirasi ideologinya tidak melalui partai politik melainkan melalui pressure groups. Dalam era refor-masi ini, banyak dari kalangan mereka yang membentuk partai-partai politik baru yang menyempal dengan alasan ideologi yang tidak begitu kental, namun dalam jangka panjang dapat membahayakan integritas bangsa karena mereka dapat memanfaatkan kelemahan kebijakan otonomi daerah, dimana daerah kabupaten dijadikan batu loncatan dalam memperjuangkan ideologinya. Konsekuensinya Indo-nesia akan terbagi ke dalam daerah-daerah ideologi yang masing-masing bersifat eksklusif. Bila tidak diwaspadai, hal itu akan menyebabkan krisis kepemimpinan dalam Islam di Indonesia.

Krisis kepemimpinan bermula dari krisis ideologi, sedangkan krisis ideologi bermula dari masalah reinter-pretasi ajaran agama Islam. Reinterpretasi ajaran agama bukan pekerjaan mudah karena banyak faktor yang menyebabkan hasil interpretasi berbeda-beda dan kadang saling bertentangan. 
D. Gagalnya Kebangkitan Islam Indonesia

Untuk dapat menyelesaikan permasalah krisis ideo-logi dalam Islam di Indonesia maka kita perlu tahu sekresi dalam gerakan Islam tersebut. Hal itu akan sangat membantu di dalam memetakan persoalan keagamaan secara menyeluruh, dan selanjutnya dibuat format yang dapat mengatasi krisis kepemimpinan dalam Islam di Indonesia, dengan mempertimbangkan tradisi dari masing-masing gerakan Islam, karena di dalam mengatasi masalah kita berangkat dari realita bukan dari teks-teks al-Qur’an yang akan melahirkan multi tafsir.

Berbagai kelompok keagamaan telah menetapkan truth claim (klaim kebenaran) bagi kelompoknya, sehingga menutup wacana dialog yang sebenarnya dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan berbagai hadits yang nampak kontradiktif untuk dicarikan sinthesisnya, disamping adanya hadits yang berbunyi “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina”.

Sekresi yang paling umum dalam Islam di Indonesia adalah santri-abangan.[3] Kelompok santri menganggap kelompok abangan tidak peduli dengan konsep umat yang mensyaratkan pelaksanaan syariah dalam negara, sebaliknya kelompok abangan tidak merasa dibela kepentingannya oleh kelompok santri tersebut. Kalau persepsi tersebut jalan terus maka kedua blok tersebut tidak akan pernah dalam satu bahasa dalam perjuangan politik dan akan terus terjadi persaingan tidak sehat antara ‘partai nasionalis’ (kelompok abangan) dengan ‘partai agama’, dimana selalu dimenang-kan oleh pihak nasionalis. Ironiskan?

Apakah mereka yang notabene bergabung dalam partai nasionalis mau dianggap tidak memperdulikan agamanya? Saya yakin tidak! Mereka semua tidak mau digolongkan sebagai atheis dan mereka masih mengikuti tradisi keagamaan yang diterima secara umum. Mereka dapat saja meniru negara Islam sekuler Turki. Bagi mereka urusan politik harus dibedakan dengan urusan agama. Pada dasarnya kelompok “nasionalis” dan “agamis” mempunyai misi yang sama hendak mewujudkan aspek salvation berupa negara adil dan makmur. Membentuk negara adil dan makmur berhubungan dengan peradaban yang melibatkan semua orang baik dari umat agama yang berbeda maupun sesama umat beragama yang berbeda aliran. Penciptaan peradaban itu berkaitan dengan urusan politik, dan agama dapat mengantarkan orang untuk melakukan aktivitas politik secara ikhlas untuk Allah.

Gejala sekresi dapat dilihat lebih awal lagi semenjak Islam memasuki kontak dengan peradaban modern Barat. Pertamakali lahir gerakan Islam yang bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh H. Samanhudi. Organisasi yang bercorak ekonomi itu menjelma menjadi partai Sarekat Islam pada tahun 1912 di bawah pimpinan HOS Cokroaminoto. Walaupun HOS Cokroaminoto dibesarkan dalam sistem pendidikan modern (Barat), namun dia mendapat dukungan baik dari umat Islam yang berlatar belakang perkotaan maupun pedesaan karena umat Islam sedang menantikan munculnya seorang pemimpin, walau-pun mereka membawa persepsi yang bermacam-macam. Hal itu telah dicermati oleh pihak Belanda untuk menja-lankan politik devide et impera (memecah-belah) dengan mengakui cabang-cabang SI sebagai organisaasi yang otonom dari pusat (Central Sarekat Islam).[4]

Di dalam SI berkembang berbagai macam pema-haman tentang Islam, dan sikap revolusionernya digerakkan oleh konsep Imam Mahdi (milleniarisme atau mesianisme) dan konsep-konsep komunisme yang radikal itu.

Ketika SI (dari sayap kanan maupun kiri) tidak dapat mengambil keputusan yang strategis dalam mengakomo-dasikan konsep-konsep Islam dengan konsep-konsep komu-nisme dengan diberlakukannya monoloyalitas maka SI mengalami perpecahan ke dalam SI Putih dan SI Merah. Hal itu menandai kemunduran SI karena banyak rakyat yang sudah terpengaruh konsep radikal komunisme tidak siap untuk dicap sebagai atheis sehingga tidak mau masuk ke dalam SI Merah karena mengandung resiko yang tidak ringan, sedangkan mau masuk ke dalam SI putih tidak at home karena tidak memberikan jaminan ideologis terhadap keinginannya yang radikal, walaupun pemahaman Islam HOS Cokroaminoto sudah menerima sosialisme.

Perpecahan dalam tubuh SI sekaligus menghapus kesempatan Islam untuk tampil sebagai meanstream ideologi politik di Indonesia karena kepemimpinan politik nasional segera diambil alih oleh ideologi nasionalisme. Hal itu terjadi karena nasionalisme bersifat open minded (terbuka) dan tidak mau menghakimi pemahaman keaga-maan seseorang dengan hukum wajib dan dosa.

Dorongan dari agama selalu ada di dalam pribadi mereka yang dituduh tidak Islami, seperti terungkap dari pengakuan Hasan Raid[5] yang terjun ke dalam PKI sejalan dengan petunjuk surat al-Ra’du ayat 11, yaitu tentang usaha suatu kaum merubah keadaan, dari kaum tertindas menjadi kaum tak tertindas. Dia tidak sendirian masuk PKI, karena ada beberapa haji yang ikut masuk seperti H. Misbach, H. Datuk Batuah yang masuk PKI. Hasan Raid sependapat dengan Mansour Fakih yang ingin mewujudkan masyarakat tauhidi, suatu konsep masyarakat tanpa kelas.

Menurut Masdar F Mas’udi[6], Al-Qur’an sebagai petunjuk bukan ditentukan oleh metode atau prosedur pemahamannya, tetapi oleh komitmen kemanusiaan yang ada pada mufassir tersebut. Pemahaman al-Qur’an yang terpenting adalah persoalan paradigma dan komitmen kemanusiaan mufassir sendiri. Tafsir al-Qur’an harus bersifat transformatif, yaitu untuk memihak kepada mayo-ritas manusia yang menginginkan perubahan. Yakni keber-pihakan kepada kaum tertindas, karena dia yakin bahwa perlawanan terhadap Nabi Muhammad SAW oleh kaum kapitalis Makkah sebenarnya lebih karena ketakutannya terhadap doktrin egalitarian yang disampaikan Nabi. Perso-alan yang timbul antara kelompok elit Makkah dan Muham-mad SAW sebenarnya bukan seperti banyak diduga umat Islam, yakni hanya persoalan keyakinan agama, akan tetapi lebih bersumber kepada ketakutan terhadap konsekuensi sosial ekonomi dari doktrin Nabi Muhammad SAW yang melawan segala bentuk dominasi ekonomi, pemusatan atau monopoli harta.

Mansour Fakih mengkritik paradigma pembaharu dengan wataknya yang “elitisme” yang lebih menekankan ‘reformasi’ dan bukan ‘transformasi’ sosial yang dapat melakukan perubahan secara mendasar. Apalagi paradigma fundamentalisme, karena wataknya yang lebih merupakan ‘teologi untuk kebesaran Tuhan’, yang tidak mempunyai makna terhadap perubahan nasib kaum miskin dan tertindas.

Merenda Kembali Kebangkitan Islam Indonesia
Memang kita telah mempunyai ideologi Pancasila sebagai suatu dasar negara, namun Pancasila disakralkan oleh regim Orde Lama dan Orde Baru sehingga yang lahir hanyalah tafsir Pancasila yang mendukung kekuasaannya bukan berupa peraturan perundang-undangan yang legal-formal sebagai patokan di dalam menjalankan kekuasaan negara. Sebagai konsekuensinya pada zaman reformasi sekarang ini, dengan dibukanya kran kebebasan, telah memunculkan berbagai gerakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi Islam.

Gerakan penerapan syariah Islam oleh kelompok Islam fundamental boleh-boleh saja, asal dilakukan secara damai karena tidak ada agama yang menganjurkan umatnya melakukan kekerasan. Pancasila akan bertahan sebagai ideo-logi bangsa jika dapat memerankan diri sebagai identitas bangsa. Gerakan sempalan yang selalu saja muncul dalam sejarah hendaknya dijadikan bahan untuk mengkoreksi ideologi bangsa supaya menjadi lebih bagus lagi. Gerakan ini telah melahirkan gerakan yang bersifat anti-thesis Jaringan Islam Liberal (JIL). Memang sudah menjadi sunatullah bahwa orang selalu ingin mencari salvation dengan mengikuti pola dialektika thesis-antithesis-synthesis, yang mana synthesis ini sekaligus memerankan diri sebagai thesis baru. Proses itu akan berkembang alami bila tidak ada campur tangan kekerasan di dalamnya. Dengan demikian perlu disusun mekanisme kehidupan yang demokratis, dengan didukung berbagai perangkat hukum yang dapat menjamin kepastian hukum semua warga negara.

Ideologi Pancasila jangan sampai menghambat perkembangan ideologi agama maupun memerankan diri sebagai pseudo-agama. Selama ini Pancasila telah disakralkan dan ditempatkan berhadap-hadapan dengan ke-lompok agama Islam tertentu. Umat Islam yang mengkritik dan menentang Pancasila dikejar-kejar, dihukum, dan kalau perlu diperangi; padahal mereka tidak melakukan tindakan kriminal. Mereka tidak menyadari sebagai sesama Muslim, yang harus menjunjung tinggi kedamaian, tolong-menolong, dan kerjasama untuk mewujudkan salvation. Seharusnya mereka mengembangkan suatu dialog dalam rangka menyi-arkan dakwah Islam kepada seluruh dunia. Namun banyak penguasa yang mengatasnamakan Islam bersikap tidak toleran terhadap kebebasan berpikir di dalam kalangan umat Islam sendiri, karena mereka takut kehilangan legitimasi politik, yang secara langsung maupun tidak langsung berarti kehilangan kekuasaan, sehingga mereka akan mematikan gerakan oposisi sejak dini.

UUD 1945 sebagai dasar hukum negara masih mengandung banyak kelemahan karena tidak menegakkan prinsip check and balance di antara berbagai lembaga negara dan memberi kekuasaan yang besar kepada presiden sehingga cenderung menghasilkan presiden yang otoriter. Maksud baik saja tidak cukup untuk menegakkan sistem pemerintahan yang demokratis. UUD 1945 perlu diaman-demen sejalan dengan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat kita, dan disertai dengan usaha merumuskan hukum yang dapat menjamin upaya penegakkan hukum. Sampai sejauh ini penegakkan hukum masih sangat sulit diwujudkan karena berbagai kelemahan di dalam sistem hukum kita.