Thursday 18 October 2018

Jenis Pemikir Metafisika Islam Menurut Para Ahli

Jenis Pemikir Metafisika Islam
Untuk memperoleh gambaran yang memadai atas falsafah metafisika dalam bingkai pemikiran Islam maka perlu dilacak sejumlah wacana yang berkembang di kalangan pemikir- pemikir muslim pada abad pertengahan. Lebih – lebih ketika masa-masa periode pembentukan (formative Periode) khazanah intelektual dapat ditemukan pemikiran-pemikiran yang memungkinkan dapat dijadikan sebuah refleksi untuk mendiskusikan falsafah metafisika dalam pemikiran islam. Karena pemikiran metafisika merupakan ber-induk pada pemikiran filsafat yang maka untuk menemukan narasi pemikiran metafisika dapat ditemukan diantara pemikiran-pemikiran filsafat tokoh yang bersangkutan yang menyangkut Manusia (jiwa) Alam (kosmologi) dan Yang ada (wujud).

1. Al-Kindi
Tentang filsafat al-Kindi memandang bahwa filsafat haruslah diterima sebagai bagian dari peradaban Islam. Ia berupaya menunjukkan bahwa filsafat dan agama merupakan dua barang yang bisa serasi, ia menegaskan pentingnya kedudukan filsfat dengan menyatakan bahwa aktifitas filsafat yang definisi nya adalah mengetahui hakikat sesuatu sejauh batas kemampuan manusia dan tugas filosof adalah mendapatkan kebenaran

Tentang metafisika alam al-Kindi mengatakan bahwa alam in adalah illat-Nya. Alam itu tidak mempunyai asal, kemudian menjadi ada karena diciptakan Tuhan. Al-Kindi juga menegaskan mengenai hakikat Tuhan, Tuhan adalah wujud yang hak (benar) yang bukan asalnya tidak ada menjadi ada, ia selalu mustahil tidak ada, jadi Tuhan adalah wujud yang sempurna yang tidak didahului oleh wujud yang lain.

2. Al-Farabi
Bagi al-Farabi[14], filafat mencakup matematika, dan matematika bercabang pada ilmu-ilmu lain, sebagaimana ilmu itu berlanjut pada metafisika. Menurut al-farabi bagian metafisika ini secara lengkap dipaparkan oleh aristoteles dalam metaphysics yang sering juga diacu dalam sumber-sumber Arab sebagai “book of letters”, karya ini terdiri atas bagian utama yaitu:
  • Menelaah yang ada jauh keberadaannya atas ontologi
  • Menelaah beberapa kaidah pembuktian yang umum dalam logika, matematika dan fisika, atas epistimologi
  • Menelaah apa dan bagaimana “substansi-substansi mujarad (immaterial) yang berjenjang ini menanjak dari yang terendah sampai ke yang tinggi dan berpuncak pada wujud yang sempurna. Dan tak ada yang lebih sempurna dari apa yang telah ada.
Tuhan adalah wujud yang sempurna, ada tanpa suatu sebab, kalau ada sebab baginya, maka adanya Tuhan tidak sempurna lagi. Berarti adanya Tuhan bergantung kepada sebab yang lain, karena itu ia adalah substansi yang azali, yang ada dari semula dan selalu ada, substansi itu sendiri telah cukup jadi sebab bagi keabadian wujudnya. Al-Farabi dalam metafisika nya tentang ketuhanan hendak menunjukkan keesaan Tuhan, juga dijelaskan pula mengenai kesatuan antara sifat dan zat (substansi) Tuhan, sifat Tuhan tidak berbeda dari zat Nya, karena Tuhan adalah tunggal.

Tentang penciptaan alam (kosmologi) al-farabi cenderung memahami bahwa alam tercipta melalu proses emanasi sejak zaman azali, sehingga tergambar bahwa penciptaan alam oleh Tuhan, dari tidak ada menjadi ada, menuut al-Farabi, hanya Tuhan saja yang ada dengan sendirinya tanpa sebab dari luar dirinya. Karena itu ia disebut wajib al-Wujudu zatih.

Pengantar dan Definisi Falsafah Metafisika Agama Islam

Allah menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur (berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt tentang dzat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa ialah yang memberi wujud kekal dari segala yang ada. Berfikirnya Allah tentang dzatnya adalah ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya ( al-Qudrah) yang menciptakan segalanya, agar sesuatu tercipta, cukup Tuhan mengetahuiNya.

Secara konseptual hierarki wujud menurut al-Farabi adalah sebagai berikut :
  • Tuhan yang merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya.
  • Para Malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali immaterial.
  • Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial).
  • Benda-benda bumi (teresterial).
Dengan filsafat emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu. Emanasi seperti yang disinggung di atas merupakan solusinya bagi al-Farabi.

Proses emanasi itu adalah sebagai berikut. Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama (First Intelligent) yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut Akal Kedua. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul langit pertama dan selanjutnya dengan segala planet yang ada pada sistem tata surya.

3. Al-Razi
Persoalan metafisika yang dibahas oleh al-Razi seperti halnya yang ada pada filsafat yunani kuno yaitu tentang adanya lima prinsip yang kekal yaitu: Tuhan, Jiwa Unversal, materi pertama, ruang absolut, dan zaman absolut.

Secara prinsip tentang metafiska dikatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan substansi ketuhanan-nya kemudian akal, akal berfungsi menyadarkan manusia bahwa dunia yang dihadapi sekarang ini bukanlah dunia yang sebenarnya, dunia yang sebenarnya itu dapat dicapai dengan berfilsafat. Dalam karya tulis al-Razi, al-Tibb al-Ruhani (kedokteran Jiwa) tampak jelas bahwa ia sangat tinggi menghargai akal, dikatakannya bahwa akal adalah karya terbesar dari Tuhan bagi manusia.

4. Ikhwan Al-Safa’
Setelah wafatnya al-Farabi, muncullah kalangan kelompok muslim yang menyebutkan diri mereka sendiri dengan nama ikhwan al-Safa’ yang berarti saudara-saudara (yang mementingkan kesucian batin atau jiwa). Mereka berhasil menghasilkan karya ensiklopedi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat yang dikenal dengan judul Rasa’il Ikwan al-Safa’, terdiri dari 52 risalah yang dapat dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu bidang matematika, fisika, risalah yang berbicara tentang jiwa manusia dan kelompok risalah yang mengkaji masalah-masalah metafisika lain nya seperti tentang Tuhan, malaikat, jin dan setan.

Ikhwan al-Safa’ membagi pengetahuan kepada tiga kelompok yaitu: pengetahuan adab/sastra, pengetahuan syari’ah, pengetahuan falsafat, dan pengetahuan filsafat mereka bagi menjadi empat bagian yaitu: pengetahuan matematika, pengetahuan logika, pengetahuan fisika, dan pengetahuan ilahiah, metafisika. Filsafat menurut mereka mempunyai tiga taraf, yaitu: 1) taraf pemulaan, yakni mencintai pengetahuan, 2) taraf pertengahan yakni mengetahui hakikat dari segala yang ada sejauh kemampuan manusia, 3) taraf akhir yakni berbicara dan meramal sesuatu sesuai dengan pengetahuan mengenai alam ikhwan al-safa’ juga menganut paham pencipataan alam dan Tuhan melalui cara emanasi.

5. Ibnu Maskawaih
Menurut Ibnu Maskawaih untuk membuktikan Tuhan itu dengan pengenalan, jadi tidak dengan melalui rasional. Sebab pengenalan selain di dapat secara rasional juga dapat dengan melalui penghayatan yang berupa penggalan kejiwaan. Sebagai bukti adanya Tuhan ialah gerak-gerak yang lain itu timbulnya dari sumber gerak, sedangkan sumber gerak itu timbul sendiri, adapun menurut teori pembahasan lama ialah tiap-tiap bentuk berbuah pasti diganti dengan bentuk yang lain.

Tentang jiwa manusia dan akhlak Ibnu Maskawaih menyatakan bahwa tujuannya untuk menulis itu adalah agar kita berhasil membangun bagi jiwa-jiwa kita suatu akhlak, dengan akhlak itu muncul dari diri kita dengan mudah tanpa dibuat-buat perbuatan yang indah. Baginya jiwa itu berasal dari akal aktif, jiwa bersifat rohani, karena itu jiwa mampu menerima hal-hal yang bertentangan, sedangkan panca indra hanya dapat menangkap sesuatu jika sesuatu itu sudah menempel pada benda.

6. Ibnu Sina
Ar-Rais al-Husain bin Abdullah bin Ali Al-Hamadani di lahirkan pada tahun 980 M disebuah desa bernama afshanah. Dekat Bukhara yang saat ini terletak dipinggiran selatan Rusia, Ibnu Sina adalah filosof dan ahli kedokteran muslim paling populer sampai saat ini di dunia barat, Ibnu Sina dikenal dengan sebutan Avicenna.

Sebagai seorang metafisikus Islam, Ibnu Sina berpendapat bahwa antara jiwa dan badan memiliki perbedaan. Pengenalan dan perasaan manusia terhadap jiwa bersifat langsung, karena pemikiran tidak memerlukan perantara di dalam mengenal dirinya. Ibnu Sina seperti halnya al-Farabi berpendapat bahwa jiwa adalah wujud rohani (immateri) yang berada dalam tubuh, wujud imateri yang tidak berada atau tidak langsung mengendalikan tubuh disebut akal. Dengan demikian, jiwa manusia adalah wujud imateri yang berada dalam tubuh manusia. Jiwa itulah yang menjadi sebab hidup, penggerak dan pengendali tubuh, ibnu Sina juga menjelaskan tiga macam jiwa di bumi yaitu 1) Jiwa tumbuh-tumbuhan, 2) Jiwa binatang, 3) jiwa manusia, pada jiwa tumbuh-tumbuan terdapat potensi makan potensi menumbuhkan potensi mengembang biakkan. Pada jiwa binatang, selain jiwa yang baru disebutkannya juga terdapat potensi menggerakkan dan potensi menangkap, potensi khayal dan sebagainya.

Pada jiwa manusia, selain semua potensi yang telah disebutkan di atas juga terdapat potensi berpikir praktis dan berpikir teoritis, kemampuan teoritis ini pada taraf potensi disebut akal material dan setelah berkembang pada taraf berikutnya disebut akal makalah. Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaikat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.

Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.

Dari pemkiran tentang Tuhan timbul akal - akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa - jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh.

Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi -fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.

Dalam pembagian wujud kepada wajib dan mumkin, Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada : baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud Allah didasarkan pada pembedaan - pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga mengharuskan orang berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman dimana Allah tidak berbuat apa - apa. Pendirian ini mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain.Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib.

Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak mula “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah sejak Qadim, sebelum Zaman.

Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut: Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Ibnu Sina berkata : “yang wajib wujud (Tuhan) itu adalah wajib (mesti) dari segala segi, sehingga tidak terlambat wujud lain (wujud al muntazhar) - dari wujud-Nya, malah semua yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru”. Demikianlah perbuatan Allah telah selesai dan sempurna sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah - olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah diciptakan.

Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan - akan telah hilang dari perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali. Ketiga, manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud, keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas.

Yang dimaksudkan dalam catatan ketiga ini yaitu Ibnu Sina menisbatkan sifat yang paling rendah kepada Allah karena sejak semula ia menggambarkan “kemestian” pada Allah dari segala sudut. Akibatnya upaya menetapkan iradah Allah sesudah itu menjadi sia - sia, akrena iradah itu tidak lagi bebas sedikitpun dan perbuatan yang keluar dari kehendak itu adalah kemestian dalam arti yang sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan dan kehendak selagi kemestian telah melilit Tuhan sampai pada perbuatan-Nya, lebih – lebih lagi pada dzat-Nya.

Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti : shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib darinya). Nama - nama ini dipakai oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan.

7. Al-Ghazali
Tiga pendapat filosof-filosof muslim yang dikufurkan al-Ghazali yang tertuang dalam bukunya “tahafut al-Falasifah”, yakni pendapat bahwa alam itu azali atau qadim, pendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui juz iyyat, lalu ia juga mengkufurkan paham yang mengingkari adanya kebangkitan tubuh di akhirat, itu berarti bahwa siapa saja yang menganut, salah satu dari tiga paham tersebut menurut al-Ghazali jatuh ke dalam kekafiran. Untuk paham yang pertama tentang paham qadim- nya alam menurut nya bila alam tu diktakn qadim maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham qadim nya alam membawa kepada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya. Kedua tentang paham bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat. Paham bahwa Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyat bukanlah paham yang dianut oleh filosof muslim tapi paham ini dianut oleh aristoteles, menurut al-Ghazali Tuhan mengetahui hal-hal juz’i itu dengan pengetahuny tidak berubah, dan ini dapat dipahami seperti tidak berubahnya pengetahuan tetapi sebab-sebab yang bersifat umum, atau dapat di pahami dengan pengertian bahwa tuhan telah mengetahui halhal yang juz’i ketiga tentang paham pengingkaran kebangkitan jasmani di alam kubur. Menurut al-Ghazali gambaran al-Qur’an dan Hadis tentang kedua akhirat bukan megacu pada kehidupan yang bersifat rohani saja, tapi pada jasmani juga, jasad-jasad di bangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup di dunia, untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat rohani-jasmani dan merasakan azab neraka yang juga bersifat rohani – jasmani.

Menurut al-Ghazali di dalam buku-buku filsafatnya dia menyatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang tetap tidak berubah - ubah yaitu al-Nafs­ atau jiwanya. Adapun yang dimaksud tentang al-Nafs adalah “substansi yang berdiri sendiri yang tidak bertempat”. Serta merupakan “tempat bersemayam pengetahuan - pengetahuan intelektual (al-ma’qulat) yang berasal dari alam al-malakut atau al-amr . Hal ini menunjukkan bahwa esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisiknya. Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat, sedangkan fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri, karena keberadaannya tergantung kepada fisik. Sementara dalam penjelasannya yang lain, al-Ghazali menegaskan bahwa manusia terdiri atas dua substansi pokok, yakni substansi yang berdimensi dan substansi yang tidak berdimensi, namun mempunyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan.Substansi yang pertama dinamakan badan ( al-jism) dan substansi yang kedua disebut jiwa ( al-nafs). Jiwa ( al-Nafs) memiliki daya - daya sebagai derivatnya dan atas dasar tingkatan daya daya tersebut.

Demikianlah diantara pemikir-pemikir muslim yang bisa dijadikan rujukan konsepsi untuk melacak akar pemikiran Falsafah Metasika dalam sejarah pemikiran Islam, sebagai perbandingan perlu dideskripsikan khasanah pemikiran falsafah metafisika di kawasan barat.

SUMBER;
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4590033009607805970#editor/target=post;postID=6581897105163425097;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=0;src=link

1 comment:

  1. Kapanpun dimanapun kami hadir untuk anda selamat bergabung dan selamat bermain di mpo111 dapatkan sensasi asama manis pedas setiap harinya hanya disini brody.

    ReplyDelete