Thursday 15 December 2016

Ideologi Kerakyatan dan Ekonomi Rakyat Menurut Ahli

Ideologi Kerakyatan dan Ekonomi Rakyat 
Berkali-kali Mubyarto dan saya mengingat­kan bah­wa pengajaran ilmu ekonomi di kampus-kampus te­lah “keliru”. Saya telah menegaskan ten­tang keterpe­ro­sokan kita ke dalam perangkap teore­tikal-parsial dan yang menerima begitu saja asumsi dasar neoklasikal yang mengacu pada pola pemikiran ekonomi Barat yang sempit dan mengandung ber­bagai ortodoksi, yang akan saya sajikan pada lampiran (lihat Lampiran II). 
Di paragraph depan telah saya kemukakan mengenai Pasal 33 UUD 1945 dan tugas pelaksanaan cita-cita transformasi ekonomi dan transformasi sosial. Proses transformasi ini tidak akan bisa dilakukan apabila beberapa butir perintang tidak terlebih dulu kita atasi, antara lain: 
  1. asas perorangan dengan paradigma individualisme dan liberalisme yang mengutamakan kepentingan individu (self-interest economics yang berpedoman free-competition dan market fundamental­ism); 
  2. asas kebersamaan dan kekeluargaan berdasar paham kerakyatan (demokrasi ekonomi), di mana kepentingan masyarakat lebih utama dari kepentingan orang-perorang (tanpa mengabaikan hak orang-perorang); 
  3. negara melepaskan diri dari tugasnya sebagai agent of development dan agent of reformation dalam mengatasi ketimpangan-ketimpangan structural (percaya pada the invisible hand yang dalam kenyataan telah kembali menjadi the incapable hand atau the dirty hand); 
  4. mewaspadai globalisasi dengan ide pasar-bebas dan boderless world-nya; 
Untuk itu marilah kita mulai menegaskan lebih dahulu, siapa yang disebut “rakyat”? 
Pertanyaan semacam ini banyak dikemukakan secara sinis oleh sekelompok pencemoh yang biasanya melanjutkan bertanya, “bukankah seorang konglomerat juga rakyat? Tentu ia bagian dari rakyat! Namun yang jelas perekonomian konglomerat bukanlah perekonomian rakyat. 

“Rakyat” adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik, rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah “the common people”, rakyat adalah “orang banyak”. Pengertian rakyat berkaitan dengan “kepentingan publik”, yang berbeda dengan “kepentingan orang-seorang”. Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif atau kepentingan bersama. Ada yang disebut “public interest” atau “public wants”, yang berbeda dengan “private interest” dan “private wants”. Sudah lama pula orang mempertentangkan antara “public needs” (yang berdimensi domain publik) dan “individual privacy”. Ini analog dengan pengertian bahwa “preferensi sosial” berbeda dengan hasil penjumlahan atau gabungan dari “preferensi individual”. Istilah “rakyat” memiliki relevansi dengan hal-hal yang bersifat “publik” itu. 

Mereka yang tidak mampu mengerti “paham kebersamaan” (mutual­ism/mutuality) dan “asas kekeluargaan” (brotherhood/broederschap/ukhu­wah) pada dasarnya karena mereka tidak mampu memahami arti dan makna luhur dari istilah “rakyat” itu, tidak mampu memahami kemuliaan adagium “vox populi vox Dei” – suara rakyat suara Tuhan, di mana rakyat lebih dekat dengan arti “masyarakat” atau “ummat”, bukan dalam arti “penduduk” yang 210 juta. Rakyat atau “the people” adalah jamak, tidak tunggal. (Ideologi kerakyatan saat ini harus berhadapan dengan adagium baru politik uang “vox populi vox argentum” – suara rakyat suara uang). 

Seperti dikemukakan di atas, kerakyatan dalam sistem ekonomi mengetengahkan pentingnya pengutamaan kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak, yang bersumber pada kedaulatan rakyat atau demokrasi. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi nasional kita berlaku demokrasi ekonomi, yang tidak menghendaki “otokrasi ekonomi”, sebagaimana pula demokrasi politik menolak “otokrasi politik”. 

Konsep pembangunan ekonomi rakyat sebenarnya sangat jelas bagi yang masih berkeinginan mengetahuinya serta bersedia melepas pola-pikir lama yang terbukti “bias”, dengan melakukan unlearning secara wajar menuju pemikiran reformatif. Titik-tolaknya adalah "mengabdi rakyat", bukan "mengabdi ilmu" sema­ta-mata. Ilmu harus bisa ditawar dengan misi. Ilmu yang kita kuasai kita kembang­kan dan kita abdikan kepada rakyat dan kepentingannya. 

Pemihakan (altruisme) saja kepada ekonomi rakyat tidaklah cukup, kita harus meyakini pula bahwa ekonomi rakyat memiliki kekuatan sebagai strategi pembangunan. 

Memang ekonomi rakyat penting untuk mendapat perhatian khusus dari kita. Bukankah dengan terjadinya krisis ekonomi yang melanda perekonomian besar (ekonomi konglomerasi) ekonomi rakyat ternyata tetap bertahan? Bukankah kita harus bersyukur bahwa dengan terpuruknya ekonomi besar, ekonomi rakyatlah yang ternyata memberi penghidupan dan pekerjaan kepada rakyat. Untuk itu saya ingin mengatakan: “untunglah ada ekonomi rakyat”. Dengan demikian itu kehidupan ekonomi rakyat tetap tersangga dan tejamin. 

Ekonomi rakyat adalah riil dan konkrit. Kita bisa bersilang pendapat mengenai definisi ekonomi rakyat. Oleh karena itu lebih tepat apabila kita meninjaunya dari segi kenyataan yang ada secara sederhana, melalui common sense, yaitu bahwa kita memiliki pertanian rakyat, perkebunan rakyat, perikanan rakyat, tambak rakyat, pelayaran rakyat, kerajinan rakyat, industri rakyat, penggalian rakyat, pertambangan rakyat, pertukangan rakyat, bahkan yang teramat penting bagi kehidupan sehari-hari adalah bahwa kita memiliki dan hidup dan pasar-pasar rakyat. Kita kenal pula ekonomi rakyat yang berbasis komoditi seperti kopra rakyat, kopi rakyat, karet rakyat, cengkeh rakyat, tembakau rakyat, dst. yang menjadi penyangga/sokoguru bagi industri prosesing di atasnya. Ini semua memberikan lapangan pekerjaan dan sumber kehidupan yang sangat luas kepada masyarakat. Membangun ekonomi rakyat adalah membangun usaha-usaha rakyat yang riil seperti tersebut di atas. 

Apabila kita mengingat betapa besarnya BLBI dan Obligasi Rekap yang dikeluarkan Pemerintah kepada para konglomerat hitam, betapa tidak adilnya MSAA yang menjadi sumber hukum bagi pengampunan hutang (keputusan memberikan R&D bagi para penyamun BLBI), memang kita cenderung untuk terpaku pada pola-pikir “perlunya pemihakan” mulai diberikan kepada ekonomi rakyat. Namun pemihakan (altruisme) saja kepada ekonomi rakyat tidaklah cukup. Kita harus meyakini pula bahwa ekonomi rakyat memiliki peran dan kekuatan sebagai strategi pembangunan. 

Makna sebagai strategi pembangun­an itu, antara lain:
  1. Dengan rakyat yang secara partisi­patif-eman­sipatif berkesempatan aktif dalam kegiat­an ekonomi akan lebih menjamin nilai-tambah eko­nomi optimal yang mereka hasilkan dapat secara lang­sung diteri­ma oleh rakyat. Peme­rataan akan ter­jadi seiring dengan per­tum­buhan.
  2. Memberda­yakan rakyat merupakan tugas nasional untuk me­ningkatkan produktivi­tas rakyat sehingga rakyat le­bih secara konkret menjadi aset aktif pembangun­an. Subsidi dan proteksi kepada rakyat untuk mem­bangun diri dan kehidupan ekonominya meru­pakan investasi ekonomi nasional, me­rupakan hu­man in­vest­ment (bukan pemboros­an atau inefficien­cy) dan mendorong tumbuhnya kelas menengah yang ber­basis grassroots.
  3. Pem­bangunan ekonomi rakyat meningkat­kan daya-beli rakyat yang kemudian akan men­jadi energi rakyat untuk lebih mampu mem­bangun diri­nya sen­diri (self-empower­ing), sehingga rakyat mampu me­raih “nilai-tambah ekonomi” dan sekali­gus “nilai-tambah sosial” (nilai-tambah kemar­tabatan). 
  4. Pem­bangunan eko­nomi rakyat sebagai pemberdayaan rakyat akan meru­pakan pe­ningkatan collective bargaining posi­tion untuk lebih mampu men­cegah eksploitasi dan subordinasi eko­nomi ter­hadap rak­yat. 
  5. Dengan rakyat yang lebih aktif dan lebih pro­duktif dalam kegiatan ekonomi maka nilai-tambah ekono­mi akan sebanyak mungkin terjadi di dalam negeri dan untuk kepentingan ekonomi dalam-negeri. 
  6. Pembangun­an ekonomi rakyat akan lebih menyesuaikan ke­mampuan rakyat yang ada dengan sumber-sumber alam dalam negeri yang tersedia (factor-endowment Indonesia) ber­dasar strategi resources-based dan people-cen­tered. 
  7. Pembangunan ekonomi rakyat akan lebih me­nyerap tenaga kerja. 
  8. Pembangunan ekonomi rak­yat akan bersifat lebih quick-yielding dalam suasana ekonomi yang sesak napas dan langka modal. 
  9. Pembangunan perekonomian rakyat sebagai sokoguru perekono­mian nasional akan me­ningkatkan kemandirian ekonomi dalam-negeri pada eko­nomi luar-negeri, akan mene­kan sebanyak mung­kin ketergan­tungan akan import-components dan meningkatkan do­mestic-contents industri dalam-negeri, yang selan­jutnya akan lebih mampu meng­gerakkan pasaran dalam-negeri. 
  10. Pemberdayaan per­ekonomian rakyat yang akan lebih mampu memperkukuh pasaran dalam-negeri yang akan menjadi dasar bagi pengem­bangan pasar­an luar-negeri (ekspor).
  11. Dalam globalisasi ini kita harus tetap waspada terhadap paham globalisme yang cen­de­rung me­nyingkirkan paham nasionalisme. Kepen­tingan na­sional Indonesia harus te­tap kita utama­kan se­bagaimana negara-negara adidaya selalu memper­tahan­kannya pula dengan berbagai dalih ekonomi dan politik. Pembangun­an perekonomian rakyat akan menjadi akar bagi penguatan fundamental ekonomi nasional dan menjadi dasar utama bagi realisasi nasionalisme eko­nomi. 
  12. Pem­bangunan per­ekonomi­an rakyat dapat dilaksana­kan (imple­mentable) tanpa mem­pergunjingkan ekstremitas positif-negatif­nya peran dan me­kanisme pasar.
  13. Pem­bangun­an pereko­nomian rak­yat merupakan misi politik dalam melak­sanakan demo­kratisasi ekonomi sebagai sumber rasiona­litas dan pemi­hakan kepada rakyat kecil. 
  14. Satu dekade yang lalu ada ajakan untuk meninjau ulang strategi-strategi pembangun­an (De­velopment Strategies Recon­sidered, Over­seas De­velopment Council, 1987) dan ajakan yang mutahir (The Frontiers of Development Economics, Meier & Striglitz, 2001) menegaskan betapa perlu ada shift of paradigms dalam pemikiran ekonomi. Pereko­nomian rakyat memperoleh tempat dalam rekonsiderasi di situ. Lebih dari itu, bagi mereka yang masih mau melepaskan ortodoksi perlu membaca ide-ide lama dan baru me­ngenai social market economy. 
  15. Secara ke­seluruhan­nya, butir-butir tersebut di atas akan lebih menjamin ter­jadinya pembangunan Indo­nesia, bu­kan sekadar pembangunan di Indonesia. 
  16. Pem­­bangunan eko­nomi kerakyatan bertumpu pada platform bahwa yang kita bangun adalah rakyat, bangsa dan negara. Pembangunan ekonomi (GNP) adalah derivat dari platform ini, tidak terlepas dari pem­bangunan rakyat, bangsa dan negara. 
  17. Dalam kenyataan, ekonomi rakyat telah menghidupi seba­gian terbesar dari rakyat Indonesia, di tengah-tengah pasang-surutnya sektor perekonomian formal-mo­dern, sejak awal kemer­dekaan hingga saat ini. Ke­semua­nya men­dukung percepatan upaya melak­sanakan transfor­masi ekonomi dan transfor­masi sosial. 
Gerakan Koperasi Internasional (ICA), ILO dan Setjen PBB justru sedang menegaskan ulang tentang pentingnya koperasi untuk memajukan grassroots economy, khususnya ekonomi rakyat. Bahkan Konvensi PBB 2001 (sebagai hasil Sidang Umum-nya) menetapkan pula koperasi sebagai wadah grassroots economy di seluruh dunia perlu didorong maju berkat tiga prestasi utamanya yang telah dibuktikan, yaitu dalam 
  • memberantas kemiskinan; 
  • menciptakan lapangan kerja secara substantif; dan 
  • memper­kukuh integrasi sosial (yang artinya memperkukuh solidaritas sosial). Sementara itu Dunia saat ini mulai banyak bicara mengenai world solidarity dan world equality. 
Sayang sekali Indonesia, karena terbenam dalam dept-trap dan cultural-trap, malahan menjadi mudah kagum terhadap ide liberalisme dan privatisasi, serta terbawa arus pemikiran mentah kapitalisme global. Dalam hal ini saya ingin memperingatkan, agar kita menolak privatisasi dan mengutamakan “go-public” demi pemilikan merata oleh rakyat. Mengapa kita tidak berpikir besar demi kemuliaan rakyat: Mengapa Indosat dijual ke asing, padahal Indosat bisa dimiliki oleh para pelanggan ponsel yang pasti mampu membelinya. Mengapa Semen Gresik hendak dijual ke asing pula, padahal baik para developers dalam-negeri maupun para pemilik toko material dalam-negeri mampu membeli saham Semen Gresik; Pemda-Pemda pun bisa diatur dan dibantu untuk mampu memiliki Semen Gresik (daripada uang dihamburkan untuk membiayai Release & Discharge bagi para pengusaha hitam). Mengapa pula BCA dan lain-lain bank dijual ke asing, padahal bisa dibeli oleh para nasabah. Tentu kita bertanya mengapa Indofood tahu-tahu sebagian sahamnya telah dimiliki asing, padahal seharusnya dijual kepada rakyat (para konsumen dalam-negeri) yang dengan setia telah membesarkan dan menjadi pelanggan Indofood. Inilah peran Pemerintah yang harus melaksanakan Pasal 33 UUD 1945 ke dalam dimensi perkoperasian, karena dengan demikian itu pemilik Indosat, Semen Gresik, BCA, Indofood adalah para pelanggannya sendiri. Bukankah ciri utama koperasi adalah bahwa pemilik adalah sekaligus pelanggan? Macam inilah yang kita cita-citakan sebagai transformasi ekonomi dan transformasi sosial, sebagai peningkatan partisipasi dan emansipasi rakyat dalam kehidupan sosial-ekonomi. Inilah konsep Triple-Co yang saya ajukan di atas, di mana pemilikan aset nasional tidak terkonsentrasi pada sekelompok kecil masyarakat, tetapi merata dalam wujud co-ownership, co-determination dan co-responsibility yang melibat­kan masyarakat seluas-luasnya, meningkatkan pemilikan (wealth) dan partisipasi rakyat serta mengangkat harkat martabatnya, dari martabat sebagai kuli atau buruh menjadi mitra usaha. 

No comments:

Post a Comment