ARTIKULASI FANATISME ELF DI DUNIA MAYA (STUDI DALAM KELOMPOK THE NEO KOREAN WAVE DALAM TWITER)
ABSTRAK
Penelitian berjudul Artikulasi Fanatisme Elf Di Dunia Maya (Studi Dalam Kelompok The Neo Korean Wave Dalam Twiter) membahas Elf sebagai kelompok The Neo Korean Wave mengartikulasikan fanatisme mereka melalui Twitter. Topik ini menarik untuk diteliti karena adanya fenomena fans yang telah go online. Peneliti memilih Elf sebagai obyek penelitian karena Elf merupakan fans yang aktif dan teroganisir. Elf juga aktif menggunakan sosial media, bahkan bisa menempatkan Super Junior sebagai artis yang berpengaruh dalam sosial media semenjak tahun 2010. Peneliti menggunakan tinjauan pustaka internet dan budaya populer; fandom dan komunitas virtual sebagai bentuk new wave; fanatisme; analisis tekstual Saussure, dan virtual identity. Selain itu, penelitian ini menggunakan analisis tekstual Ferdinand Saussure yang mencari makna denotasi dan konotasi tanda. Elf mengartikulasikan fanatisme dengan menunjukkan kedekatan, peran, dan melakukan fanwar. Kedekatan Elf ditunjukan melalui identitas dan berinteraksi dengan idola. Peran ditunjukkan melalui berpartisipasi dalam fanspeak, membuat fiksi, dan menjadi sumber informasi bagi fandom.
Kata kunci: artikulasi, fanatisme, Elf, Twitter, fans
PENDAHULUAN
Penelitian ini membahas artikulasikan fanatisme Elf yang telah go online melalui sosial media Twitter. Elf merupakan kepanjangan dari Everlasting Friend. Elf merupakan penggemar dari boyband Super Junior asal Korea Selatan. Super Junior sebagai salah satu boyband asal Korea Selatan membawa pengaruh terhadap tersebarnya kebudayaan Korea Selatan yang biasa disebut Korean Wave dalam bidang musik yang kini menjadi salah satu budaya populer di Indonesia.
Dalam industri hiburan keberadaan pekerja hiburan tidak akan mampu bertahan lama tanpa adanya penggemar. Para penggemar merupakan pendukung keberadaan pekerja hiburan ini. Jika pekerja hiburan tak memiliki penggemar, maka mereka tidak bisa lagi eksis. Menurut Storey (2006, p.157) kelompok penggemar dilihat sebagai perilaku yang berlebihan dan berdekatan dengan kegilaan. Mereka cenderung terobsesi terhadap hal-hal yang berhubungan dengan sesuatu hal yang digemari, dalam hal ini adalah pekerja hiburan yang mereka idolakan. Semua hal yang dilakukan berhubungan dengan idolanya hanya sebagai pembuktian pada lingkungannya bahwa mereka adalah penggemar sejati sang idola.
Kelompok penggemar bisa disebut fanatik karena mereka cenderung terikat kepada preferensi mereka. Komunitas penggemar biasanya melakukan pertukaran pesan mengenai idolanya. Bagi para penggemar ada kepuasan tersendiri untuk mampu berbagi informasi satu sama lain. Menurut Jenkins, bahwa kelompok penggemar hakikatnya adalah adalah perjuangan para penggemar untuk menciptakan budaya partisipatoris (Storey 2006, 166). Para penggemar ini berbagi informasi untuk semakin banyak yang mengetahui mengenai idolanya, dari yang tidak tahu menjadi tahu, dan yang sudah tahu menjadi semakin ketergantungan konsumsi informasi.
Indonesia sendiri saat ini sedang mengalami tren dunia hiburan yang berkiblat pada dunia hiburan Korea Selatan, atau yang biasa disebut dengan Korean Wave atau Hallyu. Shim menyatakan bahwa “Hallyu” atau "Korean Wave" adalah globalisasi budaya Korea Selatan ke berbagai negara (Nastiti 2010, p.3). Korean Wave disebarkan ke berbagai negara dalam bentuk film, drama, musik, serta pernak-pernik kebudayaan yang mengangkat identitas negara Korea Selatan sebagai medianya. Menurut Kim Song Hwan yang dijual dalam dunia hiburan Hallyu adalah bintang idola atau gayanya (Lestari 2012). Bintang idola yang berwajah “cantik” merupakan salah satu hal yang bisa diamati dari para idola Hallyu ini.
Dunia hiburan Korea Selatan yang sedang mendapat perhatian ini juga tak luput dari dunia hiburan Indonesia. Musik, sebagai salah satu produk kebudayaan Korea Selatan juga telah mempengaruhi dunia musik Indonesia. Musik Kpop menjadi booming ketika muncul fenomena boyband dan girlband di Indonesia. Menurut Bens Leo, perhatian akan kehadiran Kpop dimulai sejak hadirnya boyband SM*SH yang berasal dari Bandung karena dinilai meniru idola Korea Selatan yang kuat dalam fashion dan melakukan tarian di setiap penampilannya padahal format boyband itu sendiri sudah ada sejak lama (Darmawan & Junianto 2011).
Musik Indonesia yang dulu dibanjiri oleh band-band digantikan oleh berbagai macam boyband dan girlband. Namun sebenarnya produk budaya Korea Selatan yang lebih dulu masuk ke Indonesia adalah serial dramanya. Menurut Irwansyah (2011) bahwa demam Korea sudah masuk di Indonesia di awal tahun 2000an yang diawali dengan kehadiran drama Korea, Fireworks. Film Fireworks kemudian diikuti dengan masuknya berbagai macam serial Korea dengan berbagai tema yang diangkat dalam cerita. Masuknya drama-drama Korea ke Indonesia ini sejalan dengan pendapat Susanthi (2011) dalam tulisannya ‘Gurita’Budaya Populer Korea bahwa ekspansi budaya Korea Selatan ke Indonesia diawali dari produknya film serial. Beberapa film serial Korea Selatan yang sukses adalah Endless Love (Autumn In My Heart) dan Winter Sonata.
Antara musik dan film serial drama memiliki sebuah hubungan khusus dalam keberhasilan penyebaran demam Hallyu. Penyanyi asal Korea Selatan kebanyakan juga membintangi film serial drama. Para artis ini memang dilatih untuk multitalented, bisa dengan menjadi pemain film atau pembawa acara sehingga mampu bertahan di dunia hiburan. Keberhasilan film serial drama ini akhirnya berefek domino pada keberhasilan musik dan kebudayaan lainnya.
Kebudayaan yang dikemas dalam film, drama, musik, dan lainnya ini kemudian disebarkan oleh media yang ada. Kemajuan teknologi juga turut merubah cara penyebaran Hallyu. Perkembangan media saat ini membuat Hallyu semakin cepat tersebar. Adanya media internet membuat Hallyu makin luas tersebar dan diterima di banyak negara. Perubahan penggunaan media ini mempengaruhi penyajian produk budaya populer, dikonsumsi, dan didistribusikan (Iskipedia 2011). Dalam Korean Culture and Information Service (2011, p.46) menyebut era penyebaran Korean Wave melalui internet dengan “The Neo-Korean Wave”. The Neo Korean Wave dicirikan pemanfaatan sosial media secara besar-besaran dan keterlibatan fans. Gelombang baru ini dipermudah dengan adanya internet, interkonektivitas, dan perkembangan teknologi, juga maraknya penggunaan Facebook, Twitter dan YouTube.
Mereka menggunakan internet sebagai media mereka untuk memuaskan keinginan mereka terkait dengan idola mereka. Keinginan itu bisa berupa pemenuhan informasi dan juga kebutuhan berekspresi. Arus informasi utama mengenai musik, film, ataupun drama-drama Korea Selatan berasal dari internet. Konten internet lainnya yang membuktikan kekuatan Korean Wave benar-benar ada adalah jejaring sosial Twitter. Menurut Nancy Baym, adanya internet mempermudah bagi penggemar untuk berekspresi dan berkomunikasi (Bylin 2009).
Sebagai salah satu jejaring sosial yang cukup besar, para Kpopers (sebutan bagi penggemar aliran musik Korea) memanfaatkan Twitter sebagai salah satu media untuk mereka saling bersosialisasi dan bertukar informasi mengenai idolanya. Twitter dipilih menjadi salah satu media bersosialisasi adalah karena Twitter merupakan sosial media yang banyak digunakan. Karakteristik Twitter adalah jumlah karakter yang disediakan hanya 140 kata saja, sehingga pesan yang dibagikan padat. Twitter juga bisa diakses di handphone, PC, dan gadget lainnya. Twitter juga memiliki fitur khas, yakni Trending Topic. Fitur ini bisa membantu pengguna untuk mengetahui hal-hal yang dibicarakan para pengguna Twitter dimanapun berada.
Kelebihan dari internet sebagai media baru adalah interaktivitas. Interaktifitas menurut William, Rice, dan Rogers adalah tingkatan dimana pada proses komunikasi para partisipan memiliki kontrol terhadap peran, dan dapat bertukar peran, dalam dialog mutual mereka (Severin & Tankard 2005, p.118). Ini bisa diartikan bahwa dalam internet semua orang bisa memberi informasi, atau juga menkonsumsi informasi. Tidak ada pembatasan peran penyampai pesan dan penerima pesan. Begitupula di dalam Twitter. Teks sebagai hal yang dibagikan di dalam Twitter bisa dibagikan oleh siapa saja, tidak ada pembatasan peran.
Elf juga telah banyak yang menggunakan media internet untuk kegiatan fandom. Baik untuk saling berkomunikasi, maupun juga menulis berita mengenai idolanya. Dalam sosial media Twitter, Elf cukup memiliki peran besar dengan menempatkan Super Junior sebagai perhatian. Elf dipilih karena dijejaring sosial Twitter Super Junior sering dijadikan Trending Tropic World Wide. Pada tahun 2010 Super Junior mendapat gelar Must-Follow Personality di peringkat ketiga (Lavrusik 2011) dan tahun 2011 sebagai Must-Follow Musician or Band on Social Media di peringkat pertama (Silverman 2011). Trending topic berkenaan dengan Super Junior adalah di peringkat ketujuh sebagai Top Trending Topic on Twitter juga pada urutan keempat sebagai Top Trending Musical Artist (Silverman 2011). Elf sendiri juga mendapat gelar Best Fans dalam AllKpop Awards 2012 (AllKpop 2012)
Yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah semua teks yang dibuat Elf berupa tulisan dan foto. Tanda tersebut akan dicari makna denotasi dan konotasinya. Elf yang dipilih untuk diteliti teksnya adalah Elf yang bergabung dalam fanbase Elf Indonesia. Fanbase tersebut dipilih karena merupakan salah satu akun yang aktif memberi informasi dan juga aktif berpartisipasi dalam kegiatan fandom Elf. Akun Twitter yang dipilih adalah akun yang aktif memberikan feeding kepada followers-nya, berinteraksi dengan Super Junior, dan aktif dalam fandom. Peneliti memilih teks dari akun Twitter Elf yang akan diteliti berdasarkan keterbaruan teks (maksimal satu minggu sebelum tweet terakhir yang dibuat), konteks teks (berdasarkan situasi saat itu, seperti saat ada event bahkan saat tidak ada event), relasi dengan teks lainnya (apakah tweet tersebut merupakan tanggapan dari teks lainnya, atau tidak), dan keunikan teks (pemilihan kata dan penggunaan simbol).
PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah semiotik Saussure yang mencari denotasi dan konotasi dalam teks yang akan diteliti. Peneliti terlebih dahulu memilih teks yang memiliki tanda fanatisme untuk diteliti dalam foto profil, data profil, dan tweet. Kemudian tanda tersebut dicari makna denotasi dari tanda tersebut. Menurut Berger (2010, p.15) bahwa makna denotasi merupakan makna literal dan yang jelas dari suatu obyek. Kemudian, peneliti juga akan mencari makna konotasi dari tanda tersebut. Menurut Berger (2010, p.1) bahwa makna konotasi adalah adalah makna yang disertai oleh makna kultural dan mitos yang menyertainya. Setelah mengetahui makna denotasi dan konotasi, peneliti akan memberikan interpretasi terhadap teks tersebut.
Melalui pembuatan identitas dan interaksi didapati bahwa Elf membangun kedekatan dengan Super Junior. Nama merupakan identitas yang berupa label yang diberikan oleh orang di sekitar kepada seseorang. Namun pada Twitter didapati beberapa Elf menggunakan nama Super Junior atau fandom sebagai bagian dari nama mereka. Pelekatan identitas oleh Elf ini sangat lemah, karena perilaku ini bisa berubah seketika. Menurut Cuyler dan Ackhart (2009) bahwa identitas yang digunakan seseorang memiliki hubungan dengan motivasi tertentu. Menurut Gray motivasi merupakan sejumlah proses, yang bersifat internal, atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi, dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu (Dunia Psikologi 2008). Timbulnya motivasi adalah karena faktor eksternal dan internal yang mendorongnya terjadi.
Faktor internal yang memotivasi Elf untuk pelekatan identitas Super Junior dan fandom sendiri adalah karena kebutuhan pemenuhan akan fanatisme. Menurut Dunia Psikologi (2008) bahwa kebutuhan memotivasi manusia untuk memenuhi kebutuhannya untuk menjadikan dirinya berfungsi secara penuh sehingga mampu meraih potensi yang diinginkannya secara penuh. Pemenuhan kebutuhan akan fanatisme akan membuat Elf berada pada posisi pencapaian dan memiliki potensi sebagai fans. Selain itu yang menjadi faktor eksternalnya adalah kelompok dimana ia bergabung, yakni Elf. Kelompok kerja atau organisasi tempat dimana individu bergabung dapat mendorong atau mengarahkan perilaku individu dalam mencapai suatu tujuan perilaku tertentu; peranan kelompok atau organisasi ini dapat membantu individu mendapatkan kebutuhan akan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, kebajikan serta dapat memberikan arti bagi individu sehubungan dengan kiprahnya dalam kehidupan sosial (Dunia Psikologi 2008). Nilai-nilai yang dianut ini adalah nilai-nilai yang ditanamkan oleh kelompok, dengan standart mereka.
Selain nama, pelekatan identitas lain yang bisa digunakan sebagai bukti fanatisme Elf adalah dengan menggunakan foto atau avatar. Beberapa Elf juga menggunakan foto Super Junior sebagai profile picture, header, dan background. Menurut O’Reilly dan Milstein (2009, p.182) profile picture pada Twitter adalah icon yang dipasang untuk akun Twitter. Icon sendiri merupakan jenis tanda yang menunjukkan adanya kesamaan antara objek dengan tanda (Berger 2010, p.9). Tindakan menggunakan identitas foto juga memiliki motivasi dibalik penggunaannya. Leila El Kamel berpendapat bahwa penggunaan avatar erat kaitannya dengan pengalaman konsumsi, dan menurutnya avatar bisa dipersepsi oleh oleh orang sebagai bentuk manifestasi konsep diri, refleksi peran yang diinginkan, refleksi motivasi, dan refleksi personaliti (Wood dan Salomon 2009, p.31). Berdasarkan penelitian Leila El kamel, penggunaan foto Super Junior dalam akun mereka adalah bentuk refleksi motivasi Elf. Penggunaan foto bisa menunjukkan siapa anggota Super Junior yang menjadi aktor penting dalam kehidupan Elf yang menggunakannya. Bahkan fisik dari Super Junior pada foto profil yang digunakan Elf bisa menjadi kode mengenai hal yang disukai Elf mengenai lawan jenis idamannya.
Beberapa Elf juga ada yang mengkombinasikan foto Super Junior dengan foto dirinya. Berdasarkan Leila El Kamel, kombinasi tersebut bisa menunjukkan refleksi peran yang diinginkan. Bagaimana pose dan letak Elf merepresentasikan peran tersebut. Penggunaan avatar sangat penting dalam dunia maya. Menurut Wood dan Salomon (2009, p.141-142) dalam lingkungan virtual, avatar berperan sebagai cermin yang mencerminkan identitas pengguna. Lebih lanjut Wood dan Salomon menambahkan bahwa avatar adalah alat komunikasi pengguna sebagai representasi dari dirinya dalam dunia maya, dan dalam dunia maya, representasi mempunyai posisi penting. Avatar yang dipilih oleh pengguna akan menjadi identitas seseorang bagi orang lain.
Namun pelekatan identitas Super Junior atau fandom tidak menandakan kualitas fans yang loyal. Menurut Nancy Baym bahwa fandom online memiliki ikatan yang rapuh karena tidak adanya tatap muka dan tidak ada moral yang mengatur (Bylin 2009). Cukup dengan mengubah identitasnya, maka pengguna sudah berubah menjadi orang lain. Untuk menilai loyalitas fans di sosial media tentulah tidak mudah, karena setiap orang memiliki kuasa atas pengendalian perannya. Dampaknya bagi fandom pengartikulasian fanatisme melalui identitas menjadi rapuh. Paenggunaan nama maupun foto oleh Elf cenderung dikarenakan preferensi, bukan karena situasi. Bentuk fanatisme yang demikian tidak menandai bahwa Elf tersebut loyal, namun karena motivasi tertentu yang bisa berubah sewaktu-waktu.
Melakukan interaksi dengan Super Junior juga merupakan usaha untuk membangun kedekatan. Para Elf juga menuliskan tweet terhadap idola mereka Super Junior sebagai upaya untuk mencapai idolanya. Dalam penelitiannya, Sun Jung menyatakan bahwa selain untuk berkumpul dengan sesama fans, tujuan dibuatnya akun sosial media adalah untuk berhubungan dengan idola (Reid dan Gatson 2011, p. 21). Dalam sosial media, pesan yang dituliskan oleh idola yang kemudian muncul di halaman “home” akun milik fans menjadi salah satu fan service yang bersifat “real time” dan “nearby” inilah yang menjadi kelebihan daripada hubungan nyata. Meskipun pesan yang dibuat oleh idola bukanlah untuknya, fans akan tetap merasa dekat dan sedang dilibatkan dalam komunikasi dengan idolanya. Adanya sosial media yang membuat fans merasa setara idolanya membuat konsep hubungan antara fans dan idola menjadi rumit. Baym (2012) berpendapat bahwa konsep fans dan friends sulit digunakan untuk mendeskripsikan hubungan fans dan idola dalam sosial media. Baik ditolak atau diterima, berbicara kepada idola sudah menjadi kultur yang dimiliki fans (Jenkins 1992). Mereka ingin memperlihatkan fanatismenya terhadap idola mereka, tanpa mempermasalahkan apakah akan mendapat balasan dari idolanya. Dalam percakapan tersebut sebenarnya fans tidak memahami marginalisasi yang terjadi dalam diri mereka. Dimana mereka hanya dimanfaatkan sebagai agen-agen mempopulerkan idola melalui akun pribadi mereka.
Fanatisme juga diartikulasikan Elf melalui peran dalam penggunaan Twitter. Peran bisa ditunjukkan dengan berpartisipasi dalam fanspeak, membuat fanfiction mengenai Super Junior, dan menjadi sumber informasi bagi fandom. Menurut Gooch fanspeak adalah salah satu produk budaya milik fans yang eksklusif.
Fan culture has its own language, sometimes called “fanspeak,” where words and phrases have been adapted to create a jargon that only other fans fully understand, and there are also rules of society to fandom (for example, levels of hierarchy within the community and dress codes) (Gooch, 2008, p. 3)
Bagi Elf yang telah go online di Twitter, membuat fanspeak telah sering dilakukan hinggaa kemudian bisa populer dan menjadi trending topic. Fitur trending topic merupakan salah satu fitur unik yang dimiliki oleh Twitter. Dengan melihat trending topic, pengguna bisa mengetahui hal apa yang sedang populer dibicarakan oleh pengguna Twitter, baik per negara atau juga sedunia atau worldwide. Trending topic adalah daftar dari sepuluh kata atau frase paling populer di Twitter mengenai momentum apapun yang sedang terjadi (O’Reilly dan Milstein 2009, p.63). Trending topic bisa dibuat dengan sengaja atau juga tidak sengaja. Bagi para fans, fitur trending topic juga merupakan bentuk salah satu fanspeak. Bermula dari menciptkan topik yang unik bisa digunakan untuk alat pemanggil bagi fans untuk berkumpul dan membicarakannya bersama. Semakin banyak pengguna yang menggunakan fanspeak tersebut, maka bisa menjadi trending topic.
Kemampuan kelompok masyarakat untuk menjadikan sebuah topik menjadi trending topic menunjukkan bahwa kelompok masyarakat tersebut memiliki power. Menunjukkan power dengan membuat trending topic sering dilakukan fans untuk menyatakan eksistensi mereka sebagai kelompok yang memiliki pengaruh di dunia virtual. Elf sebagai fans Super Junior menjadi salah satu kelompok penggemar yang sering menjadikan fandom mereka trending topic, bukan hanya skala nasional tapi juga internasional. Namun trending topic ini tidak memberikan keuntungan materi terhadap mereka. Keuntungan yang mereka cari adalah perhatian yang didapat dari fandomnya. Mereka merasa “didengarkan teriakannya” oleh orang-orang yang memiliki keterkaitan dengan fandomnya.
Peran Elf juga ditunjukkan melalui fanfiction. Menurut Gooch, “fans create their own forms of literature and art, called fanfiction” (2008, p. 3). Kreatifitas fans berupa fanfiction merupakan kreatifitas yang telah lama ada di kelompok fans. Melalui fanfiction yang dibuat, fans mencoba menuangkan imajinasinya. Tweet yang berisikan tentang fantasi-fantasi fans tersebut banyak beredar di kalangan fans. Bahkan telah menjadi suatu budaya untuk fans mengartikulasikan fanatisme melalui tweet-tweet fantasi demikian. Menurut Storey (2006) bahwa budaya penggemar memang erat hubungannya dengan produksi budaya. Mereka menjadikan sesuatu yang lumrah untuk berfantasi mengenai idola mereka. Terlebih di sosial media, dimana terdapat fans yang juga membagi tweet demikian dan juga terdapat idola, membuat hal ini semakin tidak bisa dibendung. Fiksi tersebut banyak ditulist berupa tweet atau bahkan menjadi bagian dari bio-profile.
Henry Jenkins menggolongkan sepuluh jenis kreatifitas yang dilakukan fans untuk mereproduksi teks awal yang berasal dari media dan menjadikannya bagian dari milik kelompok. Adapun jenisnya adalah rekontekstualisasi (menambah penjelasan cerita), memperpanjang alur cerita, refokalisasi (menggeser fokus ke aktor lain), penyetelan ulang moral (melihat dari sisi moral lainnya), pergeseran genre, persilangan tokoh, keterlepasan tokoh (tokoh dibawa ke cerita lain), dan personalisasi (pelibatan diri dalam fiksi) (Storey 2006, p. 164-165).
Para fans kebanyakan suka membuat fikso personalisasi, karena keinginannya untuk terlibat romantisme dengan idola. Adapula yang membuat kreatifitas berupa persilangan tokoh. Beberapa Elf membuat cerita dengan persilangan tokoh Super Junior dengan artis wanita lain. Namun adapula Elf yang melakukan persilangan tokoh antara Super Junior yang anggotanya semuanya laki-laki dengan sesama laki-laki. Fiksi yang demikian disebut dengan slash fiction. Dalam slash fiction, idola digambarkan sebagai sosok yang homoseksual. Menurut Gooch (2008, p.23) “..., slash fiction is fiction in which two canonically heterosexual men are described to be in a homosexual relationship within fanon texts (those written by fans) and that slash stories are primarily written by heterosexual women”. Bagi banyak orang kecenderungan menulis slash fiction merupakan hal yang menyimpang karena penulis membuat tokoh utamanya memiliki percintaan dengan sesama jenis. Adanya internet makin mempermudah kegiatan menulis fantasi karena internet memberikan keamanan dari lingkungan mereka.
Meskipun dianggap menyimpang, penulisan fantasi yang merupakan slash fiction pada dasarnya ditulis oleh fans (yang kebanyakan wanita) sebagai bentuk role-play. Para penulis fiksi wanita memilih tokoh laki-laki sebagai perpanjangan dirinya demi kenyamanan dirinya sendiri. Menurut Bacon-Smith bahwa fans wanita menggunakan karakter laki-laki yang dinilai cocok dengan fantasinya, membuat mereka nyaman dan menggunakan mereka sebagai kendaraan untuk mengekspresikan kualitas feminin dan seksualitas mereka (Gooch 2008, p.23). Banyaknya slash fiction yang ditulis wanita menunjukkan bahwa dalam internet tidak selalu wanita ber-role-play sebagai dirinya sendiri. Kebebasan dalam berfantasi mengenai romansa cinta di internet yang kebanyakan dilakukan oleh perempuan adalah karena anggapan bahwa cinta merupakan hal yang universal, bebas dari wacana gender dan peran jenis kelamin. Adanya fans yang senang membuat slash fiction inilah yang membuat banyaknya anggapan bahwa idola yang disukai merupakan kaum homoseksual.
Dengan membuat tweet fantasi yang merupakan mini fanfiction, fans ingin menciptakan kedekatan antara dirinya dengan idola dengan melakukan role-play. Beberapa fans melakukan role-play dengan melibatkan dirinya, namun ada juga yang menggunakan figur lain dalam role-play tersebut. Dengan menggunakan tokoh-tokoh tersebut, fans menciptakan romantisme yang diinginkan dirinya dengan idolanya. Adapun figur yang dipilih tersebut juga merupakan figur yang dianggap ideal dengan fantasinya.
Peran juga bisa ditunjukkan dengaan menjadi sumber informasi bagi fandom. Beberapa fans Super Junior menjadi sumber informasi bagi fandom dengan menyebarkan informasi mengenai kegiatan Super Junior baik di realita maupun di dunia maya melalui sosial media. Para fans itu disebut dengan sasaeng fans. Bagi para sasaeng fans yang menyebarkan informasi kegiatan Super Junior di realita akan menandai karya mereka dengan nama khusus. Jika tidak menandai foto, Elf yang merepost biasanya menggunakan imbuhan “cr:...” yang merupakan kepanjangan dari “credit”. Ini telah menjadi bagian dari kebudayaan saling menghargai bagi pengunggah dan merupakan penghargaan terhadap apa yang mereka anggap sebagai artefak kebudayaan. Menurut Gooch “the term culture may be ambiguous to many, but to fans the term refers to the activities and methods of communication that have give significance and importance to their existence”. Jadi bahwa sebenarnya bagi fans ini merupakan pembuktian eksistensi diri. Menuliskan nama pemilik atau pengunggah berarti menghargai eksistensi mereka. Fans juga menjadi sumber informasi dengan menerjemahkan teks mengenai idola maupun dialog langsung Super Junior
Menurut Kaulikov (2010) fansub pertama kali populer di Jepang dengan cara menempelkan terjemahan di konten mentah yang kemudian didistribusikan. Namun menurut Jenkins bahwa adanya fansub adalah wujud preferensi fans. Jenkins berpendapat “they do not “reproduce the primary text,” but instead “rework and rewrite it, [while] repairing or dismissing unsatisfying aspects, [and] developing interests not sufficiently explored” (Gooch 2008, p. 15-16). Fans melakukan penerjemahan hanya kepada teks yang dia sukai, dalam hal ini teks yang berhubungan dengan Super Junior. Dengan membuat orang lain memahami teks tersebut, fans mengharapkan agar jumlah penyuka teks tersebut terus meningkat yang membuat teks tersebut akan terus eksis.
Artikulasi fanatisme juga bisa ditunjukkan dengan fanwar. Perang antar fans atau fanwar biasa terjadi antar sesama fans atau antar fandom. Terjadinya fanwar antar fans disebabkan oleh hancurnya fantasi fans mengenai fandom ataupun idola. Ini dikarenakan fans adalah kelompok yang hidup dalam fantasi. Secara umum, sebuah fandom sebagai komunitas baik online maupun nyata harus memiliki “sense of community”. Dengan memiliki “sense of community” akan menjaga komitmen yang dibuat. Seperti yang didefinisikan Chavis, “sense of community is a feeling that members have of belonging, a feeling that members matter to one another and to the group, and a shared faith that members’ needs will be met through their commitment to be together” (Gooch 2008, p. 19).
Fanwar juga mungkin terjadi antara fandom. Setiap fandom tentulah ingin menjadikan idolanya menjadi satu-satunya pusat perhatian. Mereka percaya bahwa idola mereka adalah yang paling baik. Menurut Kaulikov (2010) bahwa fanwar mungkin terjadi karena perebutan kekuasaan dan otoritas pada satu level kedudukan tertentu. Namun fanwar ternyata tidak selalu dilakukan fans demi idola, tapi untuk diri mereka sendiri. Seperti yang diungkapkan Bourdieu mengenai ‘bourgeois aesthetics’ yang salah satunya adalah identik dengan kekuatiran akan takdir budaya populer mereka, sehingga mereka mendukung harapan dan idealisasi mereka (Jenkins 1992). Karena fanatisme yang mereka miliki tersebut, fans berusaha untuk tidak kalah dalam “perang”. Kekerasan seringkali terjadi dalam fanwar, pada sosial media, kekerasan diungkapkan melalui teks yang dibuat. Teks tersebut bisa berisi makian atau sindiran. Meluapkan kelemahan dan kesalahan fandom dan idola menjadi hal yang sering memicu fanwar. Rasa benci terhadap fandom lain pada dasarnya merupakan penyebab fanwar.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, berikut ini adalah kesimpulan yang diperoleh peneliti mengenai artikulasi fanatisme Elf yang merupakan fans dari Super Junior di dunia maya dengan studi dalam kelompok The Neo Korean Wave dalam Twiter. Dalam penelitian ini adalah peneliti menetapkan kriteria pemilihan teks yang akan diteliti. Kemudian teks yang telah memenuhi kriteria kemudian digunakan untuk mendefinisikan artikulasi fanatisme Elf dalam Twitter.
Beberapa kesimpulan yang diperoleh untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini adalah peneliti mendapatkan hasil bahwa fanatisme Elf dalam dunia maya diartikulasikan dengan mambangun kedekatan dengan Super Junior melalui penggunaan sosial media Twitter. Kedekatan ini bisa dibangun melaui identitas yang dibuat dan melakukan interaksi dengan Super Junior. Identitas yang menunjukan kedekatan anatara Elf dengan Super Junior adalah dengan melekatkan identitas fandom maupun Super Junior. Namun pelekatan identitas tidak menandakan loyalitas fans, karena pelekatan identitas pada dunia virtual bisa berubah sesuai keinginan pengguna. Sedangkan kemampuan berinteraksi antara Elf dan Super Junior menunjukkan bahwa jarak antara Elf dan Super Junior tidak lagi jauh. Mereka bisa menunjukkan reaksi terhadap feeding Super Junior atau pula menunjukkan kepedulian mereka terhadap Super Junior tanpa memperdulikan apakah akan ditanggapi.
Elf juga mengartikulasikan fanatisme melalui peran dirinya dalam penggunaan sosial media Twitter. Peran Elf bisa ditunjukkan dengan berpartisi dalam penggunaan fanspeak, membuat fiksi mengenai Super Junior, dan menjadi sumber informasi atau informan bagi fandom. Fanspeak dalam Twitter bisa melalui penggunaan fitur trending topic yang menunjukkan peran kelompok penggemar yang memiliki power. Membuat fiksi mengenai Super Junior menunjukkan keinginan Elf untuk memiliki romantisme dengan Super Junior. Ada Elf yang menggunakan dirinya sendiri dalam role-play tersebut, namun ada pula yang menggunakan tokoh lain. Artikulasi fanatisme bisa ditunjukkan juga melalui peran sebagai informan bagi fandom. Elf yang menjadi informan akan mendapat perhatian fans lain yang mengkonsumsi informasinya. Informan-informan ini akan mengupdate informasi mengenai Super Junior yang menandai eksistensi Super Junior. Dengan melakukan update berita, fans melakukan perlindungan terhadap budaya populer yang mereka sukai.
Artikulasi fanatisme bisa dinyatakan juga dengan melakukan fanwar. Perang fans atau fanwar bisa terjadi antara sesama fans, atau antara fandom. Fans melakukan fanwar sebagai wujud perlindungan mereka terhadap eksistensi budaya populer yang mereka sukai. Mereka saling memperebutkan kekuasaan dan otoritas sebagai fandom terbaik. Keinginan itu membuat fans tidak bisa menerima perbedaan pendapat yang datangnya dari sesama fans maupun dari fandom lain.
DAFTAR PUSTAKA;
- Ackhart, M & Cuyler E. 2009, Psychology Of Relationships, Nova Science Publishers Inc., New York
- Berger, AA. 2010, The Objects of Affection Semiotics and Consumer Culture, Palgrave Macmilan, New York
- Jenkins, H. 1992, Textual Poachers: Television Fans & Participatory Culture, Routledge, New York
- O’Reilly, T & Milstein, S. 2009, The Twitter Book, O’Reilly Media, Inc., California
- Severin, W. J. & Tankard, J. W. 2005, Teori Komunikasi : Sejarah, Metode, dan Terapam di Dalam Media Masaa, Prenada Mulia, Jakarta.
- Storey, J. 2006, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Jalasutra, Yogyakarta
- Wood, N.T & Solomon, M.R (ed.) 2009, Virtual Social Identity and Consumer Behavior, M.E Sharpe, New York
- Gooch, B. 2008, The Communication of Fan Culture: The Impact of New Media on Science Fiction and Fantasy Fandom, Thesis, Georgia Institute of Technology
- Nastiti, AD 2010, ‘Korean Wave Di Indonesia : Antara Budaya Pop, Internet, Dan Fanatisme Pada Remaja’, Undergraduate Thesis , Universitas Indonesia
- Baym, N. 2012, ‘Fans or Friends?: Seeing Social Media Audiences As Musicians Do, Journal of Audience & Reception Studies, vol.9, issue. 2
- Korean Culture and Information Service 2011, The Korean Wave, Republic of Korea, Korea
- Koulikov, M. (ed.) 2010, ‘Fighting The Fansub War: Conflicts Between Media Rights Holders and Unauthorized Creator/Distributor Networks’, Transformative Works and Cultures, vol.5
- Reid, R & Gatson, S. (ed.) 2011, ‘Kpop, Indonesian Fandom, and Social media’, Transformative Works and Cultures, vol.8
- Susanthi, N. 2011, Gurita Budaya Populer Korea Di Indonesia, ISI Denpasar, Denpasar.
- AllKpop 2012, Winners of the 2012 allkpop awrds presented by Naver BAND!, accesed 20 Februari 2013, Available at: http://www.allkpop.com/2012awards/
- Lavrusik, V. 2010, Mashable Awards: Announcing The Full List of Finalists, accessed 16 April 2012, Available at: http://mashable.com/2010/12/01/mashable-awards-announcing-the-full-list-of-finalists/
No comments:
Post a Comment