A. Pengertian Pragmatik
Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule (1996: 3), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction). Leech (1983: 6 (dalam Gunarwan 2004: 2)) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi.
B. Interaksi dan Sopan Santun
Seperti telah dikatakan di awal bab ini, hal-hal di luar bahasa mempengaruhi pemahaman kita pada hal di dalam bahasa. Untuk memahami apa yang terjadi di dalam sebuah percakapan, misalnya, kita perlu mengetahui siapa saja yang terlibat di dalamnya, bagaimana hubungan dan jarak sosial di antara mereka, atau status relatif di anatara mereka. Marilah kita perhatikan penggalan-penggalan percakapan berikut ini. (1) A: Setelah ini, kerjakan yang lain. B: Baik, Bu. (2) C: Bantuin, dong! D: Sabar sedikit kenapa, sih? Sebagai penutur bahasa Indonesia, Anda akan dengan mudah mengatakan bahwa di dalam penggalan percakapan (1) status social A lebih tinggi dari B, sedangkan di dalam penggalan percakapan (2) C dan D mempunyai kedudukan yang sama. Sebuah interaksi sosial akan terjalin dengan baik jika ada syarat-syarat tertentu terpenuhi, salah satunya adalah kesadaran akan bentuk sopan santu. Bentuk sopan santun dapat diungkapkan dengan berbagai hal. Salah satu penanda sopan santun adalah penggunaan bentuk pronominal tertentu dalam percakapan. Di dalam bahasa Indonesia kita jumpai anda dan beliau untuk menghormati orang yang diajak bicara. Di dalam bahasa Prancis kita jumpai pembedaan kata tu dan vouz untuk menyebut orang yang diajak bicara. Bentuk lain dari sopan santun adalah pengungkapan suatu hal dengan cara tidak langsung. Contoh ketidaklangsungan dapat kita lihat dalam penggalan percakapan berikut ini. (3) A: Hari ini ada acara? B : Kenapa ? A : Kita makan-makan, yuk! B: Wah, terima kasih, deh. Saya sedang banyak tugas! Di dalam penggalan percakapan di atas, B secara tidak langsung menolak ajakan A untuk makan. B sama sekali tidak mengatakan kata tidak. Akan tetapi, A akan mengerti bahwa apa yang diucapkan B adalah sebuah penolakan. Kata terima kasih yang diungkapkan oleh B bukanlah bentuk penghargaan terhadap suatu pemberian, tetapi sebagai bentuk penolakan halus. Hal ini juga diperkuat oleh kalimat yang diujarkan B selanjutnya. Di dalam percakapan, ketidaklangsungan juga ditemukan dalam bentuk pra-urutan (pre-sequences). Kita juga sering menemukannya dalam situasi sehari-hari. Di dalam penggalan percakapan (3) di atas kita melihat pra-ajakan pada kalimat pertama yang diucapkan oleh A. Di dalam penggalan percakapan (4) kita melihat prapengumuman pada kalimat pertama yang diucapkan oleh A. (4) A: Sebelumnya saya mohon maaf. B: Ada apa, Pak? A: Kali ini saya tidak dapat memberi apa-apa. Kita dapat melihat bahwa suatu hal yang diungkapkan dalam percakapan akan lebih berterima jika ada semacam “pembuka” di dalamnya. Permohonan maaf dari A pada contoh (4) di atas merupakan sebuah pengantar untuk penyampaian maksud yang sebenarnya. Salah satu bentuk ketidaklangsungan dapat ditemukan di dalam mkasud yang tersirat di dalam suatu ujaran. Di dalam hal ini, ketidaklangsungan mensyaratkan kemampuan seseorang untuk menangkap maksud yang tersirat, misalnya kita perhatikan contoh berikut. (5) A: Tong sampah sudah penuh. B: Tunggu, ya. Aku baca Koran dulu. Nanti kubuang, deh ! Di dalam contoh di atas, A tidak menyuruh B secara langsung untuk membuang sampah. Akan tetapi, B dapat menangkap maksud yeng tersirta di dalam ujran A. dapat kita bayangkan bahwa setelah B membaca Koran ia akan membuang sampah karena hal ini dapat kita simpulkan dari jawaban B di atas. Jika B tidak peka terhadap maksud A, tentu jawabannya akan berbeda. Bayangkan saja kalau B hanya menjawab, “Ya, betul.”
C. Implikatur Percakapan
Di dalam bagian sebelumnya kita telah melihat bahwa di dalam percakapan seorang pembicara mempunyai maksud tertentu ketika mengujarkan sesuatu. Maksud yang terkandung di dalam ujaran ini disebut implikatur. Pembicara di dalam percakapan harus berusaha agar apa yang dikatakannya relevan denga situasi di dalam percakapan itu, jelas dan mudah dipahami oleh pendengarnya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa ada kaidah-kaidah yang harus ditaati oleh pembicara agar percakapan dapat berjalan lancar. Kaidah-kaidah ini, di dalam kajian pragmatic, dikenal sebagai prinsip kerja sama. Grice (1975) menungkapkan bahwa di dalam prinsip kerjasama, seorang pembicara harus mematuhi empat maksim. Maksim adalah prinsip yang harus ditaati oleh peserta pertuturan dalam berinteraksi, baik secara tekstual maupun interpersonal dalam upaya melancarkan jalannya proses komunikasi. Keempat maksim percakapan itu adalah maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. a) Maksim Kuantitas Berdasarkan maksim kuantitas, dalam percakapan penutur harus memberikan kontribusi yang secukupnya kepada mitra tuturnya. Kalimat (6) menunjukkan kontribusi yang cukup kepada mitra tuturnya. Bandingkanlah dengan kalimat (7) yang tersa berlebihan. (6) Anak gadis saya sekarang sudah punya pacar. (7) Anak gadis saya yang perempuan sudah punya pacar. Di dalam kalimat (7) kata gadis sudah mencakup makan ‘perempuan’ sehingga kata perempuan dalam kalimat tersebut memberikan kontribusi yang berlebih. Maksim kuantitas juga dipenuhi oleh apa yang disebut pembatas, yang menunjukkan keterbatas penutur dalam mengungkapkan informasi. Hal ini dapat kita lihat dalam ungkapan di awal kalimat seperti singkatnya, dengan kata lain, kalau boleh dikatakan, dan sebagainya. b) Maksim Kualitas Berdasarkan maksim kualitas, peserta percakapan harus mengatakan hal yang sebenarnya. Misalnya, seorang mahasiswa Universitas Indonesia seharusnya mengatakan bahwa Kampus Baru Universitas Indonesia terletak di Depok., bukan kota lain, kecuali jika ia benar-benar tidak tahu. Kadang kala, penutur tidak merasa yakin dengan apa yang dinformasikannya. Ada cara untuk mengungkapkan keraguan seperti itu tanpa harus menyalahi maksim kualitas. Seperti halnya maksim kuantitas, pemenuhan maksim kualitas oleh ungkapan tertentu. Ungkapan di awal kalimat seperti setahu saya, kalau tidak salah dengar, katanya, dan sebagainya, menunjukkan pembatas yang memenuhi maksim kualitas. c) Maksim Relevansi Berdasarkan maksim relevansi, setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan situasi pembicaraan. Bandingkanlah penggalan percakapan (8) dan (9) berikut ini. (8) A: Kamu mau minum apa? B: Yang hangat-hangat saja. (9) C: Kamu mau minum apa? D : Sudah saya cuci kemarin. Di dalam penggalan percakapan (8) kita dapat melihat bahwa B sudah mengungkapkan jawaban yang relevan atas pertanyaan A. Di dalam penggalan percakapan (9), sebagai penutur bahasa Indonesia kita dapat mengerti bahwa jawaban D bukanlah jawaban yang relevan dengan pertanyaan C. Topik-topik yang berbeda di dalam sebuah percakapan dapat menjdi relevan jika mempunyai kaitan. Di dalam hubungannya dengan maksim relevansi, kaitan ini dapat dilihat sebagai pembatas. Ungkapan-ungkapam di awal kalimat seperti Ngomong-ngomong…, Sambil lalu…, atau By the way… merupakan pembatas yang memenuhi maksim relevansi. d) Maksim Cara Berdasarkan maksim cara, setiap peserta percakapan harus berbicara langsung dan lugas serta tidak berlebihan. Di dalam maksim ini, seorang penutur juga harus menfsirkan kata-kata yang dipergunakan oleh mitra tuturnya berdasarkan konteks pemakaiannya. Marilah kita bandingkan penggalan percakapan (10) dan (11) (10) A: Mau yang mana, komedi atau horor? B: Yang komedi saja. Gambarnya juga lebih bagus. (11) C: Mau yang mana, komedi atau horor? D: Sebetulnya yang drama bagus sekali. Apalagi pemainnya aku suka semua. Tapi ceritanya tidak jelas arahnya. Action oke juga, tapi ceritanya aku tidak mengerti. C: Jadi kamu pilih yang mana? Di dalam kedua penggalan percakapan di atas kita dapat melihat bahwa jawaban B adalah jawaban yang lugas dan tidak berlebihan. Pelanggaran terhadap maksim cara dapat dilihat dari jawaban D. Untuk memenuhi maksim cara, adakalanya kelugasan tidak selalubermanfaat di dalam interaksi verbal (hal ini dapat kita lihat pula pada bagian yang membicarakan interaksi dan sopan santun). Sebagai pembatas dari maksim cara, pembicara dapat menyatakan ungkapan seperti Bagaimana kalau…, Menurut saya… dan sebagainya.
D. Pelanggaran Terhadap Maksim Percakapan
Pelanggaran terhadap maksim percakapan akan menimbulkan kesan yang janggal, kejanggalan itu dapat terjadi jika informasi yang diberikan berlebihan, tidak benar, tidak relevan, atau berbelit-belit. Kejanggalan inilah yang biasanya dimanfaatkan di dalam humor. Ada berbagai bentuk pelanggaran di dalam maksim-maksim percakapan. Tentu kita pun pernah mengalami situasi yang janggal karena ada pembicara yang bertele-tele menyampaikan maksudnya, ada kesalahpahaman, ketidaksinkronan, dan sebagainya. Pengetahaun kita mengenai maksim-maksim di atas akan sangat membantu kita dalam memahami situasi yang demikian.
E. Pertuturan
Di dalam pertuturan ada pertuturan lokusioner, pertuturan ilokusioner, dan pertuturan perlokusioner. Pertuturan lokusioner adalah dasar tindakan dalam suatu ujaran, atau pengungkapan bahasa. Di dalam pengungkapan itu ada tindakan atau maksud yang menyertai ujaran tersebut, yang disebut pertuturan ilokusioner. Pengungkapan bahasa tentunya mempunyai maksud, dan maksud pengunkapan itu diharapkan mempunyai pengaruh. Pengaruh dari pertuturan ilokusioner dan pertuturan lokusioner itulah yang disebut pertuturan perlokusioner. Pertuturan ilokusioner bertujuan menghasilkan ujaran yang dikenal dengan daya ilokusi ujaran. Dengan daya ilokusi, seorang penutur menyampaikan amanatnya di dalam percakapan, kemudian amanat itu dipahami atau ditanggapi oleh pendengar. Berdasarkan tujuannya, pertututan dapat dikelompokkan seperti berikut ini. 1. Asertif, yang melibatkan penutur kepada kebenaran atau kecocokan proposisi, misalnya menyatakan, menyarankan, dan melaporkan. 2. Direktif, yang tujuannya adalah tanggapan berupa tindakan dari mitra tutur, misalnya menyuruh, memerintahkan, meminta, memohon, dan mengingatkan. 3. Komisif, yang melibatkan penutur dengan tindakan atau akibat selanjutnya, misalnya berjanji, bersumpah, dan mengancam. 4. Ekspresif, yang memperlihatkan sikap penutur pada keadaan tertentu, misalnya berterima kasih, mengucapkan selamat, memuji, menyalahkan, memaafkan, dan meminta maaf. 5. Deklaratif, yang menunjukkan perubahan setelah diujarkan, misalnya membaptiskan, menceraikan, menikahkan, dan menyatakan.
F. Referensi dan Inferensi
Referensi adalah hubungan di antara unsur luar bahasa yang ditunjuk oleh unsur bahasa dengan lambang yang dipakai untuk mewakili atau menggambarkannya. Referensi di dalam kajian pragmatik merupakan cara merujuk sesuatu melalui bentuk bahasa yang dipakai oleh penutur atau penulis untuk menyampaikan sesuatu kepada mitra tutur atau pembaca. Berkaitan dengan referensi adalah inferensi. Inferensi adalah pengetahuan tambahan yang dipakai oleh mitra tutur atau pembaca untuk memahami apa yang tidak diungkapkan secara eksplisit di dalam ujaran. Untuk memahami referensi dan inferensi, mari kita perhatikan kalimat-kalimat berikut ini. (1) Seseorang suka mendengarkan musik dangdut. (2) Orang itu suka mendengarkan musik dangdut. (3) Orang suka mendengarkan musik dangdut. Sebagai penutur bahasa Indonesia, kita mengetahui bahwa seseorang adalah ‘orang yang tidak dikenal’ dan orang itu adalah orang yang ada didekat kita bicara. Kalimat (1) diatas mempunyai referensi tak takrif, artinya referensi yang tidak tentu. Kalimat (2) mempunyai takrif, apa yang dirujuknya jelas dan bertolak pada rujukan tertentu, sedangkan kalimat (3) mempunyai referensi generic, tidak merujuk kepada sesuatu yang khusus, dan lebih menekankan pada sesuatu yang umum.
G. Deiksis
Deiksis adalah cara merujuk pada suatu hal yang berkaitanerat dengan konteks penutur. Dengan demikian, ada rujukan yang ‘berasal dari penutur’, ‘dekat dengan penutur’ dan ‘jauh dari penutur’. Ada tiga jenis deiksis, yaitu deiksis ruang, deiksis persona, dan deiksis waktu. Ketiga jenis deiksis ini bergantung pada interpretasi penutur dan mitra tutur, atau penulis dan pembaca, yang berada di dalam konteks yang sama.
a. Deiksis Ruang
Deiksis ruang berkaitan dengan lokasi relative penutur dan mitra tutur yang terlibat di dalam interaksi. Di dalam bahasa Indonesia, misalnya, kita mengenal di sini, di situ, dan di sana. Titik tolak penutur diungkapkan dengan ini dan itu. Marilah kita lihat contoh berikut. A dan B sedang terlibat di dalam percakapan. A mengambil sepotong kue dan mengatakan, “Kue ini enak.” Apa yang ditunjuk oleh A, kue ini, tentu akan disebut B sebagai kue itu. Hal ini terjadi karena titik tolak A dan B berbeda. Kita juga mengenal kata-kata seperti di sini, di situ dan ini merujuk kepada sesuatu yang kelihatan atau jaraknya terjangkau oleh penutur. Selain itu, ada kata-kata seperti di sana dan itu yang merujuk pada sesuatu yang jauh atau tidak kelihatan, atau jaraknya tidak terjangkau oleh penutur. Dalam hal tertentu, tindakan kita sering kali bertalian dengan ruang. Jika kita hendak menunjukkan bagaimana cara mengerjakan sesuatu, misalnya kita memakai kata begini. Jika kita hendak merujuk kepada suatu tindakan., kita memakai kata begitu.
b. Deiksis Persona
Deiksis persona dapat dilihat pada bentuk-bentuk pronominal. Bentuk-bentuk pronominal itu sendiri dibedakan atas pronominal orang pertama, pronominal orang kedua, dan pronominal orang ketiga. Di dalam bahasa Indonesia, bentuk ini masih dibedakan atas bentuk tunggal dan bentuk jamak sebagai berikut. Tunggal Jamak Orang pertama Orang kedua Orang ketiga aku, saya engkau, kau, kamu, anda ia, dia, beliau kami, kita kamu, kalian mereka Kadang-kadang penutur bahasa menyebut dirinya dengan namanya sendiri. Di antara penutur bahasa Indonesia, sapaan kepada orang kedua tidak hanya kamu atau saya, melaikan juga Bapak, Ibu, atau Saudara.
c. Deiksis Waktu
Deiksis waktu berkaitan dengan waktu relative penutur atau penulis dan mitra tutur atau pembaca. Pengungkapan waktu di dalam setiap bahasa berbeda-beda. Ada yang mengungkapkannya secara leksikal, yaitu dengan kata tertentu. Bahasa Indonesia mengungkapkan waktu dengan sekarang untuk waktu kini, tadi dan dulu untuk waktu lampau, nanti untuk waktu yang akan datang. Hari ini, kemarin dan besok juga merupakan hal yang relatif, dilihat dari kapan suatu ujaran diucapkan.
KESIMPULAN
Semantik dan pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu yang dipelajari dalam studi linguistik. Dalam semantik kita mengenal yang disebut klasifikasi makna, relasi makna, erubahan makna, analisis makna, dan makna pemakaian bahasa. Sedangkan dalam pragmatik kita mengenal yang disebut interaksi dan sopan santun, implikatur percakapan, pertuturan, referensi dan inferensi serta deiksis. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa pragmatik berhubungan dengan pemahaman kita terhadap hal-hal di luar bahasa. Akan tetapi, hal-hal yang dibicarakan di dalam pragmatik sangat erat pula kaitannya dengan hal-hal di dalam bahasa. Adapun semantik adalah subdisiplin linguistik yang membicarakan makna yaitu makna kata dan makna kalimat.
Pragmatik: Referensi dan Inferensi
PEMBAHASAN
A. Pengertian Referensi dan Inferensi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI (2000:939) disebutkan bahwa Referensi adalah sumber acuan, rujukan, atau petunjuk. Mungkin paling tepat jika kita menganggap referensi (pengacuan) sebagai sebuah tindakan ketika penutur atau penulis menggunakan bentuk-bentuk yang memungkinkan pendengar atau permbaca mengidentifikasikan sesuatu.
Bentuk-bentuk linguistik tersebut merupakan ekspresi-ekspresi pengacu yang dapat berupa kata benda, frasa kata tertentu, dan kata ganti. Dalam konteks-konteks visual yang dialami bersama, kata-kata ganti yang berfungsi sebagai ekspresi deiktik dan frasa-frasa kata benda yang lebih terperinci bisa digunakan bagi suksesnya referensi.
Referensi jelas berkaitan dengan tujuan penutur dan keyakinan-keyakinan penutur, tetapi agar referensi dapat berhasil kita juga harus mengetahui peran inferensi. Inferensi adalah simpulan atau yang dapat disimpulkan (KBBI, 2000:432).
Tugas pendengar adalah menarik inferensi secara benar entitas mana yang ingin diidentifikasi penutur dengan menggunakan ekspresi pengacuan tertentu. Bahkan kita dapat menggunakan ekspresi-ekspresi yang tidak jelas, misalnya sesuatu, anu, itu, eh, dan yang lainnya dengan mengandalkan kemampuan pendengar untuk menarik inferensi referen tentang apa yang kita miliki dalam pikiran.
B. Penggunaan Referensial dan Atribut
Tidak semua ekspresi pengacu memiliki referen-referen fisik yang dapat diidentifikasi. Frasa-frasa kata benda tidak tentu dapat digunakan untuk mengidentifikasi entitas yang ada secara fisik seperti dalam contoh berikut.
1) Ada seseorang yang sedang menunggumu.
Tetapi dapat juga digunakan untuk mendeskripsikan entitas-entitas yang diasumsikan ada, tetapi tidak diketahui siapa jelasnya sebagaimana contoh berikut.
2) Dia ingin menikah dengan wanita yang kaya.
Penutur sering mengajak kita untuk berasumsi, melaui penggunaan atributif, bahwa kita dapat mengidentifikasi apa yang sedang dibicarakan, bahkan ketika entitas atau individu yang dideskripsikan tidak ada.
C. Nama dan Referen
Versi referensi yang disajikan disini adalah kolaborasi antara niat untk mengidentifikasi dan pengakuan terhadap niat. Proses ini tidak hanya bekerja pada satu penutur dan satu pendengar. Proses ini bekerja dalam kaitannya dengan konvensi antara semua anggota suatu komunitas yang menggunakan bahasa dan memiliki budaya yang sama. Asumsi ini mungkin membuat kita beranggapan bahwa nama orang seperti Andrea Hirata atau Dewi Lestari hanya dapat digunakan untuk mengidentifikasi satu orang tertentu, dan sebuah ekspresi yang mengandung kata benda umum seperti “si kutu buku” hanya dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu benda tertentu. Pandangan ini salah sebab pandangan referensi yang benar-benar pragmatik memungkinkan kita untuk melihat bagaimana seseorang dapat diidentifikasikan melalui ekspresi “anak ayam”, dan suatu benda dapat diidentifikasi melalui nama “Andrea Hirata”.
Contoh: Percakapan antara siswa A dan siswa B.
A: “Mana Andrea Hirata yang kemarin kamu pinjam?”
B: “Maaf, sepertinya tertinggal di rumah.”
Dari konteks kalimat yang diciptakan, referen yang dimaksudkan dan inferen yang disimpulkan bukan mengacu kepada seseorang, tetapi sebuah buku. Sama halnya dengan contoh berikut.
Contoh: Percakapan antara Siswa C dan Siswa D.
C: “Dimana si anak ayam?”
D: “Itu, dia disana.”
Bila dilihat juga pada konteksnya, referen yang diidentifikasi dan inferen yang disimpulkan bukan merupakan suatu kata benda, tetapi merujuk kepada seseorang karena ada kata “dia” disana.
D. Peran Ko-teks
Kemampuan untuk memahami referen atau acuan ini telah dibantu oleh materi linguistik, atau ko-teks yang menyertai pengacu. Ketika kita melihat kata Malaysia di koran, kata ini merupakan ekspresi pengacu dan mengalahkan Indonesia dalam final piala AFF 2011 adalah bagian ko-teksnya. Dengan jelas ko-teks membatasi rentangan interpretasi atau gagasan tersendiri yang mungkin yang dapat kita berikan pada kata seperti Malaysia . Ko-teks merupakan bagian dari bagian linguistik dari lingkungan tempat digunakannya ekspresi pengacu.
E. Referensi Anaforik
Dalam sebagian besar pembicaraan, kita harus memperhatikan siapa dan apa yang sedang dibicarakan yang lebih dari satu kalimat dalam satu waktu. Setelah sebelumnya memperkenalkan entitas penutur, para penutur akan menggunakan berbagai macam ekspresi untuk menjaga referensi.
Referensi anaforik atau anafora (ekspresi kedua) merupakan proses untuk terus mengidentifikasi dengan tepat entitas yang sama sebagaimana ditunjukkan oleh antesedennya (ekspresi awal). Dalam banyak hal, asumsi tersebut tidak banyak mempengaruhi interpretasi, tetapi ketika perubahan atau efek tertentu diuraikan, referensi anaforik harus diinterpretasikan secara berbeda.
Contoh:
Ani adalah gadis yang cantik. Dia selalu berpenampilan rapi. (Antesedennya adalah Ani, dan anaforanya adalah dia.)
Kunci untuk memahami referensi adalah proses pragmatik yang digunakan para penutur untuk memilih ekspresi-ekspresi linguistik dengan maksud mengidentifikasikan entitas-entitas tertentu dengan asumsi bahwa pendengar akan berkolaborasi dan menginterpretasikan ekspresi-ekspresi sebagaimana yang dimaksudkan penutur.
Dimensi sosial referensi mungkin juga terikat dengan efek kolaborasi. Segera setelah mengetahui referen yang dimaksudkan, bahkan ketika sebuah ekspresi pengacu minimal (misalnya kata ganti) digunakan bersama, merupakan sesuatu yang umum dan merupakan kedekatan sosial. Keberhasilan referensi berarti bahwa maksud penutur telah diketahui, melalui inferensi, yang menunjukkan semacam pengetahuan yang dimiliki bersama dan merupakan kedekatan sosial.
No comments:
Post a Comment