Saturday, 2 March 2019

INTEGRITAS DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN

INTEGRITAS DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN
Aktivitas bisnis adalah tentang pengambilan keputusan. Tidak ada yang dapat dilakukan di dalam suatu kegiatan bisnis tanpa melakukan pengambilan keputusan yang bentangnya sangat lebar, dari yang sifatnya mayor hingga minor, dari yang berkaitan murni keuntungan bisnis hingga berkaitan dengan moral. Berbicara tentang moralitas di dalam organisasi, integritas telah menjadi salah satu istilah penting dalam etika bisnis yang terus dibahas dan digunakan penerapannya di dalam organisasi.

masyarakat, atau organisasi di mana seseorang berada. Hal ini menjadikan integritas suatu hal yang relatif tergantung pada lingkup peran seseorang. Dalam sudut pandang ini, bahkan seseorang yang mangkir dari tugasnya di kantor demi pergi bertamasya untuk memuaskan kesenangan pribadi tetap dapat dikatakan berintegritas. Hal ini disebabkan karena konsep ini menekankan integritas sebagai kesesuaian tindakan seseorang dengan prinsip atau nilai tertentu yang dipilihnya.

Konsep ini agaknya akan menemui kesulitan ketika seorang yang mangkir tersebut dibandingkan dengan dengan karyawan lain yang disiplin terhadap tugas yang diberikan kepadanya. Keduanya dapat dikatakan berintegritas meski berada pada konteks yang berbeda dan ini tampak tidak adil. Meski demikian, satu hal yang penting dicatat dari konsep ini adalah bahwa integritas meliputi komitmen seseorang terhadap suatu prinsip.

Integritas juga telah didefinisikan dengan menekankan konsistensi moral, keutuhan pribadi, atau kejujuran (di dalam bahasan akademik misalnya) (Jacobs, 2004). Di dalam penelitian di bidang seleksi karyawan, tes terhadap integritas dilakukan dengan mengukur beberapa variabel yang di antaranya adalah kejujuran dan penalaran moral (Berry, Sackett, Wiemann, 2007; Ones, Viswesvaran, Schmidt, 1995). Kejujuran seakan menjadi bagian tak terpisahkan dari bahasan tentang integritas. Di dalam literatur tentang organisasi dan sumber daya manusia, integritas paling sering dikaitkan dengan kejujuran individu (Yulk & Van Fleet, 1992).

Hal yang sama juga dilakukan oleh Butler dan Cantrell (1984, di dalam Hosmer, 1995) yang mengartikan integritas sebagai reputasi dapat dipercaya dan jujur dari seseorang untuk menjelaskan istilah “kepercayaan” di dalam konteks organisasi. Integritas juga ditempatkan sebagai sebagai inti etika keutamaan yang digagas oleh Solomon (1992) dengan menyebut integritas tidak hanya tentang otonomi individu dan kebersamaan, tetapi juga loyalitas, keserasian, kerjasama, dan dapat dipercaya.

Meski demikian, apakah memang integritas dapat disamakan dengan kejujuran ataukah sifat dapat dipercaya? Lain lagi, DeGeorge (1993) berpendapat bahwa bertindak dengan integritas dan bertindak etis adalah sinonim, meski secara literal tidak ada konotasi moral di dalamnya. Satu hal yang tidak menjadi kontroversi di dalam literatur etika bisnis tentang konsepsi istilah integritas mungkin hanyalah bahwa integritas adalah suatu hal yang baik dan penting di dalam kehidupan organisasi (Audi & Murphy, 2006).

Integritas Sebagai Bentuk Loyalitas
Dalam etika objektivisme, integritas diartikan sebagai loyalitas terhadap prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang rasional (Peikoff, 1991). Meski objektivisme sendiri sebenarnya mendapat banyak kritik ketika digunakan sebagai pondasi dasar pengembangan etika karena sifat etikanya yang egoistik (lihat Rand, 1964; dan keberatan terhadap objektivisme dalam Barry & Stephens, 1998), aksioma objektivisme dapat membantu mengembangkan konsep integritas. Pada intinya, objektivisme menekankan bahwa realitas berada terpisah dari kesadaran manusia dan manusia yang berkesadaran itu berhubungan dengan realitas melalui akal budinya melalui proses pembentukan konsep dan logika. Dan karena memiliki kesadaran dan akal budi, manusia memiliki kemampuan untuk berpikir atau tidak berpikir, dan karenanya dapat memilih alternatif-alternatif tindakan yang ada.

Hasil identifikasi isu-isu moral menghasilkan suatu gambaran dilema moral beserta alternatif tindakan yang dapat dilakukan. Pengambilan keputusan tindakan mana yang sebaiknya diambil bukanlah sebuah proses pemilihan secara acak. Pemutusan harus berdasarkan penalaran yang tepat yang memperhatikan prinsip-prinsip moral yang relevan di dalam proses penalaran etis. Alternatif tindakan yang telah diambil pun membutuhkan ketetapan hati maupun dorongan untuk melakukannya. Itulah yang disebut motivasi etis yang kemudian diikuti oleh implementasi etis di mana alternatif tindakan yang dipilih dilakukan secara nyata.

Integritas terjadi ketika implementasi tindakan yang dilakukan konsisten dengan prinsip moral yang digunakan sebagai pegangan dalam membuat keputusan di tahap penalaran etis yang di dalamnya kesadaran moral berperan secara dominan. Itu sebabnya konsistensi terhadap prinsip moral disebut sebagai integritas moral. Kohlberg (1995) menekankan pentingnya perhatian kepada kesadaran moral ini untuk memahami bagaimana keputusan etis diambil dan juga alasan etis mengapa seseorang mengambil keputusan tertentu (Rest, 1986; Trevino, 1992). Satu hal yang mendasar dari konsep ini adalah bahwa kesadaran moral tidak ditentukan oleh perasaan, melainkan oleh kemampuan intelektual, yaitu kemampuan untuk memahami dan mengerti sesuatu secara rasional (Magnis-Suseno, 2000).

Dalam menjelaskan teori ini, Kohlberg tidak berbicara tentang prinsip moral tertentu, tidak bicara tentang apa yang benar dan tidak secara moral, melainkan meneliti kompetensi untuk memberikan penalaran etis. Ia tidak mengatakan apakah tindakan seorang nenek mencuri susu demi cucunya yang kelaparan, misalnya, adalah etis atau tidak etis, melainkan apakah tindakan mencuri susu itu disetujui ataupun tidak disetujui dibenarkan secara memadai (Arbuthnot & Faust, 1980).

Di dalam tipologi yang dikembangkan oleh Kohlberg, ada tiga tingkat dasar penalaran berbeda terhadap isu moral, yang masing-masing dinamai tingkat pre-conventional, conventional, dan postconventional. Tiap tingkatan tersebut masing-masing memiliki dua tahap yang menjadikan seluruhnya ada enam tahap penalaran. Semua tingkat dan tahap ini dapat dipandang sebagai pemikiran moral sendiri, pandangan yang berbeda mengenai dunia sosio-moral (Crain, 1985).

Pada tingkat pre-conventional, yang meliputi tahap 1 dan 2, seorang individu memahami pengertian benar dan salah berdasarkan konsekuensi yang diterimanya, misalnya hukuman, hadiah, atau pemenuhan kebutuhan pribadi. Secara ringkas, tahap pertama digambarkan sebagai orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman. Pada tahap pertama, seseorang mengasosiasikan penilaian baik dan buruk dengan konsekuensi fisik dari suatu tindakan.

Ketika seseorang menerima hukuman atasl. tindakannya, maka ia akan memahami bahwa tindakannya itu salah. Dibandingkan dengan modus penalaran tahap pertama, tahap kedua merepresentasikan penalaran yang menilai apa yang baik itu dalam rangka pemenuhan kepentingan pribadi seseorang. Orang mulai dapat memahami bahwa orang lain memiliki kebutuhan individualnya sendiri dan bahwa organisasi sosial dibangun atas dasar pertukaran seimbang antara kepentingan satu orang dengan kepentingan orang lain. Baik penalaran pada tahap pertama dan kedua ini bersifat egosentrik.

Pada tingkat konvensional, yaitu tahap 3 dan tahap 4, individu memahami benar atau tidak secara moral sebagai kesesuaian keputusan yang diambil dengan harapan orang lain atas dirinya, baik dalam menolak menerima uang suap karena ia terikat sumpah jabatan institusinya (kesadaran moral tahap 4) dapat dikatakan berintegritas? Ini adalah pertanyaan penting yang perlu dipecahkan untuk menjawab bagaimana integritas moral harus dimaknai.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, tidak seperti Mayer, Davis, & Schoorman (1995) dan TrevinyoRodríguez (2007), para kaum obyektivis menilai bahwa tindakan berintegritas moral harus mengacu kepada prinsip dan nilai moral yang objektif, terlepas dari kerangka individu, sosial, maupun organisasi. Obyektivitas prinsip dan nilai moral itu mengandaikan bahwa prinsip dan nilai moral itu berada terlepas dari kesadaran manusia sehingga eksistensinya berdiri secara otonom dari eksistensi manusia.

Manusia menangkap prinsip dan nilai moral melalui akal budinya dan kemampuannya untuk memilih. Kedua, obyektivitas prinsip dan nilai moral harus mengandaikan bahwa prinsip dan nilai moral itu karenanya bersifat universal, yaitu berlaku bagi semua manusia dan melampaui batasan waktu. Ada atau tidaknya kesepakatan dan persetujuan publik tentang suatu prinsip dan nilai moral tidak mempengaruhi keberadaan prinsip dan nilai moral tersebut.

Konsep ini bersama dengan teori tahap perkembangan kesadaran moral akan berujung pada kesimpulan bahwa integritas moral baru dapat terpenuhi ketika keputusan dan perilaku seseorang dilandasi oleh pemahaman prinsip moral pada tahap perkembangan moral keenam. Pada tahap keenam ini, orientasi nilai integritas benar-benar mengarah kepada prinsip moral universal yang secara otonom dipilih dan dijadikan pegangan (Wisesa, 2009).

Pada tahap ini, misalnya, seorang mahasiswa memilih untuk tidak mencontek bukan karena enggan menerima konsekuensi nilai nol, atau ikut-ikutan teman-temannya, atau kewajiban sebagai mahasiswa, atau lainnya, tetapi karena loyalitas kepada nilai kejujuran. Nilai kejujuran sendiri adalah salah satu prinsip moral universal yang kepadanya norma-norma moral di tatanan masyarakat dan budaya mengacu. Apa yang secara etis benar di tahap keenam adalah bertindak sejalan dengan prinsip-prinsip yang dipegang secara otonom yang mencakup lingkup seluruh manusia pada seluruh kurun waktu. Prinsip universal ini diikuti bukan karena disetujui secara komunal di dalam kontrak sosial, tetapi karena berasal dari kesamaan hak asasi manusia dan rasa hormat terhadap kemanusiaan dan martabat individu.

Bagaimana menentukan apakah suatu tindakan sejalan dengan apa yang dipercaya berlaku secara universal? Kohlberg mengajukan dua konsep etika yang sejalan dengan modus yang dimaksudkannya di dalam tahap keenam, yaitu the golden rule dan imperatif kategoris. The golden rule berisi aturan yang menganjurkan seseorang untuk tidak melakukan pada orang lain apa yang ia tidak mau orang lain lakukan kepada dirinya. Aturan ini dibangun di atas konsep kesamaan derajat, harkat, dan martabat semua manusia. Semua orang setara dan memiliki nilai kemanusiaan yang sama tanpa memandang latar belakang ras, suku bangsa, usia, jenis kelamin, pekerjaan, status, dan lainnya. Oleh karena itu semua orang harus menghargai orang lain setidaknya sama seperti ia menghargai dirinya.

Imperatif kategoris sendiri adalah konsep yang dipopulerkan oleh Immanuel Kant (1785/1996). Meski mirip dengan the golden rule, tetapi keduanya berbeda. The golden rule menuntut bahwa tindakan seseorang disesuaikan dengan standar dirinya sendiri, sebaliknya imperatif kategoris mengandaikan standar yang berlaku di mana pun dan kapan pun. Ia menyatakan bahwa seseorang harus selalu.

Hal ini juga sekaligus menjadi bantahan bagi DeGeorge (1993) yang berpendapat bahwa bertindak dengan integritas dan bertindak etis adalah sinonim. Bertindak dengan integritas memang dapat dipahami sebagai sebuah tindakan etis, bahwa bertindak dengan integritas diharapkan dan dinilai memiliki kadar moral oleh masyarakat, tetapi terlalu cepat bila mengatakan bahwa bertindak dengan integritas bersinonim dengan bertindak etis. Bertindak etis mengandaikan adanya tindakan, yaitu aktualisasi ide tentang moralitas ke dalam tindakan.

Meskipun di satu sisi kebaikan itu memiliki nilai absolut, tetapi di sisi lain kebaikan itu dapat bernilai relatif. Hal ini sebenarnya tergambar di dalam teori perkembangan moral Kohlberg, perilaku yang sama dapat memiliki kadar moral yang berbeda tergantung dari kapasitas moral kognitif seseorang yang melakukannya. Berbicara jujur, misalnya, dapat dikategorikan sebagai sebuah tindakan etis. Hanya saja nilai moral dari tindakan tersebut bernilai moral berbeda, misalnya ketika tujuan dari berbicara jujur itu dilakukan demi mendapatkan pujian bila dibandingkan berbicara jujur yang dilakukan demi nilai kejujuran itu sendiri. Kedua, di lain pihak, perilaku yang sama dapat dipersepsi berbeda kadar moralnya oleh orang atau masyarakat yang berbeda.

Kejujuran meski memiliki nilai moral universal, tetapi prinsip moral yang diturunkan darinya, seperti misalnya berbicara jujur tidak selalu dipandang sebagai tindakan etis. Dapat dikatakan bahwa tindakan etis mengacu kepada prinsip moral yang berlaku pada sistem sosial tertentu. Pada titik ini tindakan etis tidak selalu bersinonim dengan bertindak dengan integritas karena bertindak dengan integritas mengandaikan tindakan yang mengacu kepada prinsip dan nilai moral yang universal. Dengan demikian, tidak tepat bila menyamakan bertindak dengan integritas dengan bertindak etis.

Daftar Pustaka;
  • Kohlberg, L. (1995). Tahap-tahap Perkembangan Moral, diterjemahkan oleh John de Santo dan Agus Cremers, Yogyakarta: Kanisius.
  • Magnis-Suseno, F. (2000). 12 Tokoh Etika Abad Ke-20, Yogyakarta: Kanisius. 
  • Mayer, R. C., Davis, J. H., dan Schoorman, F. D. (1995). “An Integrative Model of Organizational Trust”, Academy of Management Review, Vol 20, pp 709-734.
  • McFall, L. (1987). “Integrity”, Ethics, Vol 98, pp 5-20.
  • McShane, S. L. dan M. A. Von Glinow (2003). Organizational Behavior, 2 ed, Boston: McGraw-Hill Irwin. 
  • Morrison, A. (2001). “Integrity and Global Leadership”, Journal of Business Ethics, Vol. 1 (May), pp 65- 76.
  • Ones, D. S., Viswesvaran, C., dan Schmidt, F. L. (1995). “Integrity Tests: Overlooked Facts, Resolved Issues, and Remaining Questions”, American Psychologist, Vol. 50, pp 456-457.
  • Paine, L. S. (1994). “Managing for Organizational Integrity”, Harvard Business Review, March-April, pp 106-117.

PERSONAL INTEGRITAS DENGAN KEPEMIMPINAN

PERSONAL INTEGRITAS DENGAN KEPEMIMPINAN
Pengertian Integritas Konon, orang-orang Tiongkok kuno merasa tidak aman dengan kelompok Barbar Utara, mereka sering menghadapi serangan dari kaum Barbar itu. Jadi ada semacam permusuhan di antara mereka. Orang-orang Tiongkok kuno menginginkan rasa damai dengan kelompok Barbar tersebut, maka mereka pun membangun tembok besar yang cukup tinggi. Dengan itu mereka yakin bahwa tidak seorang pun bisa memanjat tembol itu, tembok itu sangat tebal sehingga tidak mudah untuk dihancurkan. Terjadi bahwa selama seratus tahun sejak tembok itu dibangun ada setidaknya tiga kali serangan musuh dialami oleh Tiongkok, tetapi tidak ada satu orang pun berhasil masuk melewati tembok itu karena tinggi, tebal, dan sangat kuat. Suatu ketika, musuh menyuap penjaga pintu gerbang perbatasan itu. Yang terjadi kemudian adalah musuh berhasil masuk dan melakukan penyerangan. Orang Tiongkok kuno itu berhasil membangun tembok batu yang kuat dan dapat diandalkan namun gagal membangun integritas pada generasi berikutnya. Seandainya, penjaga pintu gerbang tembok itu memiliki integritas yang tinggi, ia tidak akan menerima uang suap, yang tidak hanya menghancurkan dirinya melainkan juga orang lain.

Integritas adalah sesuatu yang terkait langsung dengan individu, bukan dengan kelompok atau organisasi. Kepemilikan integritas hanya bisa dikatakan kepada individu, bukan kepada keluarga, orangtua atau saudara. Integritas seorang ayah tidak serta merta menjadi integritas anaknya. Dalam cerita tersebut, kerapian kerja kelompok, berhasil membangun tembok yang baik dan kuat, tidak serta merta menjamin bahwa individu-individu yang ada di dalamnya juga otomatis memiliki ketahanan diri yang kuat. Penguatan utama yang mesti dilakukan adalah penguatan diri individu, yang menguatkan diri masing-masing aggota kelompok atau generasi berikutnya, untuk memiliki integritas diri yang baik dan kuat.

Dari cerita, integritas diri dapat diartikan sebagai suatu ketahanan diri untuk tidak tergoda berbagai desakan untuk memikirkan dan mengutamakan kepentingan dan atau keuntungan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan dan nasib orang banyak, dengan tanggung jawab hal itu sedang berada di tangannya. Integritas diri berkaitan dengan sikap selalu mengedepankan tanggung jawab, kepercayaan, dan kesetiaan terhadap janji. Integritas berkaitan dengan kemampuan menahan dan mengendalikan diri dari berbagai godaan yang akan menghancurkan harkat dan martabat mulia diri sendiri. Orang yang memiliki integiritas adalah orang yang bisa diandalkan, dipercaya, dan diteladani.

Kata integrity memiliki konotasi etis, dan menurut Minkes, et al. (1999), perilaku etis berkaitan dengan “ought” atau “ought not”, bukan hanya “must” dan “must not”. Oleh karena itu terdapat ukuran-ukuran lain yang terletak di belakang apa yang dituntut hukum atau ukuran-ukuran lain yang lebih mentitikberatkan pada pertimbangan keuntungan. Jadi masalah integritas tidak bisa dibatasi hanya pada hal-hal yang kelihatan saja atau yang dapat diukur dari sudut pandang butir-butir hukum. Perilaku yang dapat diamati dan dianggap sesuai dengan aturan atau hukum, belum tentu juga etis.

Integritas adalah suatu konsep yang biasanya digunakan dalam diskusi formal dan informal tentang leadership dan teori-teori organisasi, namun demikian tidak begitu jelas dirumuskan dan dimengerti (Rieke & Guastello, 1995). Sebagai contohnya, dalam literatur yang ada, kata seperti integrity, honesty, and conscientiousness sering tidak dibedakan, dan cenderung digunakan sebagai istilah yang dapat dipertukarkan tanpa keterangan lebih lanjut (Becker, 1998).

Kajian Dasar Pemahaman Integritas melekat dalam tradisi relativisme moral, yang pemahaman tentang perilaku yang dianggap baik bisa bervariasi di antara manusia, budaya, dan zaman. Secara filosofis, relativisme seperti itu tentu saja dapat bertahan, namun paling tidak dalam praktiknya hal itu menjadi hal yang problematis. Kepemimpinan Adolf Hitler memperlihatkan contoh ekstrem. Walaupun banyak orang akan setuju bahwa dia tidak memiliki integritas, anggota Nazi pada zaman itu barangkali merupakan orang-orang yang setuju bahwa dia memiliki integritas. Atas dasar itu, penelitian sekarang ini mendukung definisi tentang integritas yang diberikan oleh Becker (1998:157-158), yang menyatakan “integrity is commitment in action to a morally justifiable set of principles and values.” Dalam definisi ini pembenaran moral dari sudut pandang objektif integritas didasarkan atas kebenaran universal ketimbang sekadar setuju atas serangkaian pandangan moral dan nilai-nilai individu atau kelompok (Becker, 1998).

Penilaian terhadap integritas tidak bisa hanya didasarkan pada tolok ukur yang digunakan oleh masing-masing individu atau kelompok atau budaya saja. Ada bahaya ketika suatu perilaku individu yang sesungguhnya sangat dicela oleh banyak orang, tetap ada saja orang atau kelompok atau budaya tertentu yang menganggapnya sebagai hal yang terpuji. Relativisme moral seperti ini tidak dapat dipertahankan. Sesuatu yang dianggap baik itu harus bisa dibuka dan tahan uji atas penilaian masyarakat umum. Harus bisa ditemukan alasan rasional dan masuk akal sehat atas suatu sikap atau perilaku yang dinilai sebagai baik, yang mengatasi berbagai pandangan terbatas individu atau budaya tertentu. Demikian juga sebaliknya, harus bisa diberikan alasan yang masuk akal mengapa suatu perbuatan dianggap tidak baik dari sudut etis, dan tidak boleh berhenti pada alasan karena kebiasaan semata. Perihal integritas tidak hanya berdasarkan kebiasaan, melainkan lebih sebagai pilihan sadar dan disengaja, dengan maksud dan tujuan tertentu. Ketika sesuatu hal sering dilakukan memang akan berkembang menjadi kebiasaan. Namun berhubung setiap situasi adalah unik, maka kebiasaan itu tidak diterapkan secara sama. Selalu ada tanggung jawab pribadi untuk setiap situasi harus memilih untuk bertindak apa berdasarkan prinsip-prinsip etis yang umum diterima.

Penilaian atas integritas tidak bisa hanya didasarkan pada sikap atau perilaku yang kelihatan saja karena tidak selalu bahwa tindakan yang diperlihatkan oleh seseorang merupakan penampakan atau wujud konkret atau ekspresi dari sikap moral atau pilihan dasar moralnya. Walaupun perilaku yang kelihtan di luar sering merupakan ungkapan dari apa yang ada di dalam pikiran atau hati seseorang, selalu saja bisa ada gap (jurang) antara apa yang ada di dalam (pilihan sikap moral) dengan tindakan yang diperlihatkan di luar. Di sini peran niat atau motif dari dalam sangat menentukan. Integritas terutama terkait dengan niat atau motif seseorang dalam melakukan sesuatu. Niat atau motif yang tidak baik bisa saja dicapai atau diwujudkan dengan pilihan tindakan yang secara umum dinilai atau kelihatan baik. Orang yang kelihatan menolong orang lain, membagi-bagikan uangnya kepada orang yang susah/menderita, dengan mudah akan dinilai sebagai orang baik. Padahal jika ditelusuri lebih dalam, ternyata di balik tindakan-tindakannya itu dia memiliki niat atau motif yang tidak baik, yakni ingin menguasai banyak orang, mau berkuasa atas orang-orang lain.

Demikian juga halnya bisa terjadi orang dengan sengaja melakukan tindakan tidak baik namun dengan tujuan yang baik. Ilustrasinya dapat dilihat dalam film Robin Hood, yang mencuri demi menolong orang-orang miskin. Dia mencuri kepada orang-orang kaya, sehingga tindakannya itu tidak selalu mendatangkan penderitaan kepada orang-orang kaya itu, karena yang dapat dicurinya itu hanya sedikit saja dan barangkali tidak terlalu berarti bagi mereka. Namun hasil curiannya itu menjadi sangat berarti bagi orang-orang miskin yang menerimanya. Dalam sejarah pemikiran moral sikap seperti ini pernah dianggap sebagai sikap moral yang baik, finis instificat medium, tujuan menghalalkan cara, tujuan yang baik membuat cara yang ditempuh untuk itu menjadi baik. Dalam pandangan seperti ini menilai suatu tindakan yang secara umum kelihatan buruk tidak bisa secara langsung dijadikan dasar untuk menilai pelaku tindakan itu sebagai manusia buruk juga, karena penentu utama adalah niat atau motif di balik atau yang melatarbelakangi tindakan yang kelihatan itu. Hal yang penting bukanlah tindakan, melainkan niatnya mau menjadi orang baik, yang berusaha mencapai tujuan baik. Bukan terutama what should I do? melainkan what kind of person should I be? Jadi bukan hanya bahwa perbuatan saya baik, melainkan lebih dari itu bahwa saya sendiri orang baik.

Pandangan yang terakhir dikemukakan pernah mendapat tempat bahkan kejayaan dalam sejarah pemikiran moral. Sekarang pandangan seperti itu tidak dianut lagi. Tujuan yang baik harus juga ditempuh dengan cara yang baik. Tidak pernah cara yang buruk berubah menjadi baik karena tujuan yang ingin dicapai di dalamnya baik. Perbuatan atau tindakan jahat tetap jahat dan tidak menjadi baik karena tujuannya baik. Jika orang mau mencapai tujuan yang baik, dia harus juga memikirkan dan memilih jalan atau cara yang baik untuk mencapainya. Orang yang berintegritas selalu memikirkan untuk mengedepankan tujuan baik sekaligus menempuh cara-cara yang baik untuk mencapainya. Pertama-tama dia mau menjadi orang baik, what kind of person should I be, dan jika dia benar-benar orang baik maka semua tindakan-tindakannya pun harus baik. Jika orang tersebut masih memperlihatkan tindakan-tindakan tidak baik, pantas diragukan bahwa dia benar orang baik. Tindakan-tindakan baik yang dilakukan oleh seseorang, jika dia memang orang itu baik, hal itu merupakan ekspresi dari diri pribadinya yang memang baik.

Hal lain yang bisa terjadi bahwa orang dapat khilaf atau lalai, sehingga melakukan tindakan yang tenyata tidak baik. Di sini perlu hati-hati untuk menjatuhkan vonis dengan langsung menilai orang tersebut sebagai orang tidak baik, yang tidak memiliki integritas diri. Di sini selalu perlu dilihat apakah yang bersangkutan memang memiliki niat atau motif serta sengaja melakukan tindakan tersebut atau tidak. Jika sungguh di luar niat dan kesengajaan, apalagi segera disusul dengan penyesalan dan niat baik untuk memperbaiki diri, kita tidak boleh langsung menyimpulkan bahwa orang bersangkutan adalah orang tidak baik, yang tidak memiliki integritas diri. Tentu kita tidak juga langsung mengklaim bahwa orangnya baik dan menutup mata atas tindakan buruk yang telah dilakukannya. Seraya tidak memvonisnya sebagai orang baik atau orang jahat, kita perlu melihat bagaimana orang tersebut sesudahnya, apakah dia sanggup memperlihatkan bahwa dia adalah orang baik atau tidak. Jadi peri hidupnya ke depan akan menjelaskan hal itu.

Integritas dalam Dunia Kerja
Dalam dunia kerja, kata integritas bukan hanya masalah kejujuran, masalah etis dan moral, bahwa orang tidak berbohong atau tidak melakukan hal-hal tidak bermoral. Integrity berkaitan juga dengan kinerja, suatu pencapaian hasil baik yang dicapai dengan selalu menjunjung tinggi kejujuran dan nilai-nilai moral lainnya. Kata integrity berasal dari akar kata “integrated”, yang berarti berbagai bagian dari karakter dan keterampilan berperan aktif dalam diri kita, yang tampak dari keputusankeputusan dan tindakan-tindakan kita (Lee, 2006). Untuk dapat menghasilkan kinerja baik di tempat kerja, seseorang harus memiliki dalam dirinya kemampuan-kemapuan seperti, jujur, berani, berdaya juang, membangun hubungan baik, pandai mengorganisasikan diri sendiri, teratur, dan terencana dengan baik.

Integritas harus dapat menyumbang pada perbaikan kehidupan, dan dalam konteks dunia kerja berarti perbaikan kinerja. Itu berarti integritas tidak hanya bersifat negatif saja, sekadar untuk tidak berbohong, tidak curang, atau tidak melakukan hal-hal yang tidak bermoral. Integritas harus juga memiliki sifat positif, yakni berbuat sesuatu untuk menghasilkan sesuatu, dengan suatu kualitas moral di dalamnya. Integritas diri harus mendorong pencapaian hasil baik dari diri sendiri, entah berupa kinerja baik atau pencapaian hal-hal baik dalam kehidupan. Jadi sifat negatif dan positif itu harus berjalan bersama. Seraya seseorang berusaha untuk tidak berbohong, tidak curang (mengendalikan diri), dia juga harus berbuat sesuatu untuk memperlihatkan hasil atau pencapaian yang baik. Hal yang pertama, yang sifatnya negatif itu, suatu tindakan menaham dan mengendalikan diri itu, barulah tahap minimal dari perwujudan integritas, tahap maksimalnya justu dicapai ketika sifat positifnya itu muncul, berupa tindakan-tindakan baik yang menghasilkan sesuatu dengan kualitas baik. Umumnya dianggap bahwa tahap minimal itu berupa penghindaran (menahan dan mengendalikan diri) untuk berbuat yang tidak baik merupakan hal utama dalam hal integritas dan sifatnya wajib, sedangkan tahap maksimalnya, suatu tindakan menghasilan sesuatu yang berkualitas, merupakan harapan atau himbauan. Tapi dalam kaitan dengan dunia kerja, maka tahap maksimal itu bukan hanya himbauan atau harapan saja, melainkan suatu tuntutan, keharusan.

Dengan demikian, ada berbagai sifat-sifat pribadi dan kemampuan tertentu yang mesti digabungkan dengan kejujuran dan berbagai sikap positip lainnya untuk bisa menghasilan apa yang disebut integrity. Semuanya itu akan menghantar pada keberhasilan di tempat kerja. Jadi perihal kompetensi dalam bidangnya merupakan juga bagian dari integrity. Tanpa adanya kompetensi maka sulit untuk menunjukkan integritas itu sendiri, sementara kompetensi sendiri akan sulit berwujud kinerja baik tanpa disertai bagian-bagian dari karakter, yang mendorongnya untuk bisa mencapai hasil yang baik dan dengan cara yang baik (bandingkan Simon, 2007; 2011).

Berbiacara mengenai integritas di tempat kerja tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang kompetensi yang dimiliki oleh seseorang untuk bisa menghasilkan kinerja baik di tempat kerja. Kedua hal itu saling mendukung. Orang dikatakan makin memiliki integritas, dia makin memerhatikan kompetensinya juga; dan sebaliknya, orang makin memiliki kompetensi yang baik dia juga memerhatikan integritasnya. Orang yang memiliki kompetensi yang baik namun tidak memiliki integritas, maka kemampuan (kompetensi) yang baik itu bisa tidak menghasilkan kinerja atau hasil kerja yang baik. Demikian juga sebaliknya, orang yang memiliki integritas yang baik, namun tidak memiliki kompetensi yang baik, juga tidak bisa diharapkan menghasilkan kinerja yang baik pula.

Sukses berkarier dan integritas berjalan bersamaan. Seseorang yang memiliki integritas dapat menunjukkan bahwa mereka membuat pilihan-pilihan etis dalam kehidupan kerja mereka tiap hari. Orang-orang ini sering keluar sebagai pemenang dalam arti yang sesungguhnya dalam persaingan karir. Mereka yang memiliki bawahan, perlu lebih aktif menginspirasi bawahan mereka. Mereka aktif mempromosikan integritas melalui sikap dan tindakan pribadi mereka, kepercayaan dan komitmen pada nilai inti organisasi (Gauss, 2000). Secara lebih jelas hal ini dikemukakan oleh Simons (2002), bahwa integrity merupakan sebuah pola yang kelihatan dimana adanya kesamaan antara kata dan pebuatan. Atau dengan kata lain, suatu kenyataan bahwa seorang pemimpin dapat dilihat dengan jelas ketika dia melakukan apa yang dia katakan. Ketentuan penting dalam hal integritas adalah bahwa dalam kenyataannya seorang pemimpin menepati janjinya, dan memperlihatkan nilai-nilai yang selalu dijunjungnya.

Daftar Pustaka;
  • Bakker, A. B. & Schaufeli, W. B. (2008). Positive organizational behaviour: Engaged employees in flourishing organizations. Journal of Organizational Behavior, 29, 147–154.
  • Becker, T (1998). Integrity in organization: beyond honesty and conscienstiousness. Academic of Management Review, 23(1), 154–161.
  • Gauss, J. W. (2000, Aug). Integrity is integral to career success. Healthcare Financial Management, 54(8), 89
  • Holian, R. (2002). Management decision making and ethics: Practices skills and preferences. Management Decision, 40(9), 862.
  • Kanungo, R. N. and M. Mendonca (1996). Ethical Dimenstion of Leadership. CA: Sage, Thousand Oak. 

Tuesday, 20 November 2018

Teoritis dan Definisi Knowledge Management

    Knowledge Management
    1. Jenis-Jenis KnowledgeSecara garis besar, knowledge dibagi menjadi dua jenis yaitu Tacit Knowledge (pengetahuan implicit) dan Explicit Knowledge (pengetahuan eksplisit), yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
    a. Tacit Knowledge merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang dan sangat sulit untuk diformalisasikan, sulit dikomunikasikan atau dibagi dengan orang lain. Pemahaman yang melekat di dalam pengetahuan individu tersebut masih bersifat subjektif. pengetahuan yang dimiliki oleh individu tersebut masih dapat dikategorikan sebagai intuisi dan dugaan. Tacit knowledge ini berada dan berakar di dalam tindakan maupun pengalaman seseorang, termasuk idealisme, nilai-nilai maupun emosionalnya. Tacit knowledge merupakan pengetahuan yang sangat bersifat pribadi dan juga sangat susah dibentuk. Selain itu, tacit knowledge sulit dikomunikasikan atau dibagi kepada orang lain. Tacit knowledge memiliki dua dimensi yang bertumpu memobilisasi penciptaan pengetahuan-pengetahuan baru dengan penjelasan sebagai berikut:
    • Dimensi pertama disebut dengan dimensi teknis, yang mencakup berbagai macam keterampilan atau keahlian yang sulit diformalkan. Elemen dimensi teknis ini sering kali diistilahkan dengan terminology “know-how, keahlian dan ketrampilan” misalnya juru masak yang mampu mengembangkan kemampuannya sehingga tangannya terampil meramu berbagai resep makanan yang lezat, setelah lama menekuni profesinya. Ketika juru masak tersebut diminta untuk menjelaskan keahliannya kepada orang lain, sering kali mereka kesulitan mengartikulasikan prinsipprinsip teknis maupun ilmunya di balik apa yang mereka ketahui. Dimensi ini sangat subjektif dan pemahaman yang dimiliki oleh seseorang tersebut sangat bersifat pribadi, intuitif, dugaan dan inspirasi yang muncul dari pengalaman. Oleh karena itu, dimensi ini lebih berdimensi pengalaman.
    • Dimensi kedua disebut dengan dimensi kognitif, yang mencakup kepercayaan, persepsi, idealisme, nilai-nilai, emosi, dan mental model sehingga dimensi ini tidak mudah diartikulasikan. Dimensi dari tacit ini membentuk cara kita menerima dunia di sekeliling kita. Dimensi ini menunjukan kepada kesan atau gambaran seseorang terhadap realitas dan visi ke depan untuk mengatakan apakah ini dan apa yang harus dilakukan.
    b. Explicit Knowledge merupakan pengetahuan yang dapat diekspresikan dalam bentuk kata-kata, dapat dijumlah serta dapat dibagi dalam bentuk data, formula ilmu pengetahuan, manual-manual, prinsip-prinsip universal. Explicit knowledge juga dapat dijelaskan sebagai suatu proses, metode, cara, pola bisnis, dan pengalaman desain dari suatu produksi. Pengetahuan ini senantiasa siap untuk ditransfer kepada orang lain secara formal dan sistematis.

    Sedangkan perbedaan antara tacit knowledge dengan explicit knowledge itu sendiri menurut Nonaka dan Takeuchi (1995), dapat dipahami dalam beberapa hal antara lain: knowledge yang bersifat subjektif (tacit) cenderung bersifat implicit, fisikal dan subjektif, sementara knowledge yang bersifat objektif (explicit) cenderung eksplisit, metafisikal dan objektif. Tacit Knowledge diciptakan “di sini (here) dan sekarang (now)” di dalam suatu konteks yang lebih spesifik, praktis. Bateson (1973) menyebutnya sebagai kualitas “analog”. Berbagi tacit knowledge antara individu melalui komunikasi merupakan suatu bentuk proses analog yang memerlukan sejenis proses yang simultan dari kompleksitas isu-isu yang dibagi oleh individu. Dengan kata lain, explicit knowledge adalah mengenai peristiwa atau objek “di sana (there) dan kemudian (then)” dan lebih berorientasi kepada teori yang bebas dari konteks. Inilah yang oleh Bateson disebutnya dengan istilah aktivitas “digital”.

    2. Model Konversi
    Knowledge Pemahaman antara tacit knowledge dengan explicit knowledge merupakan kunci untuk memahami perbedaan antara pendekatan knowledge di negara-negara Barat dengan pendekatan knowledge di Jepang. Di negara-negara Barat, lebih menekankan pada explicit knowledge, sedangkan di Jepang lebih menekankan pada tacit knowledge (implisit knowledge) ke arah pada knowledge creation (penciptaan knowledge). Nonaka dan Takeuchi mengemukakan bahwa alasan fundamental mengapa perusahaan lebih sukses, karena ketrampilan dan pengalaman mereka terdapat pada penciptaan knowledge organisasi. Penciptaan knowledge dicapai melalui pengenalan hubungan sinergik antara tacit knowledge dan explicit knowledge.

    Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Takeuchi pada tahun 1995 membagi model konversi knowledge menjadi empat postulat model konversi knowledge:
    1. Konversi Tacit knowledge ke Tacit knowledge; disebut proses Socialization.
    2. Konversi Tacit knowledge ke Explicit k
    knowledge menggambarkan suatu hubungan sebab akibat.
  • Kluge (2001) Knowledge adalah pengertian akan hubungan sebab akibat, dan juga merupakan dasar dalam membuat kegiatan yang lebih efektif, membangun proses bisnis atau memperkirakan output dari model.
  • nowledge; disebut proses Externalization.
  1. Konversi Explicit knowledge ke Explicit knowledge; disebut proses Combination.
  2. Konversi Explicit knowledge ke Tacit knowledge; disebut proses Internalization.
Bila masing-masing keempat model konversi knowledge dapat menciptakan knowledge baru secara independen, tema sentral model penciptaan knowledge (knowledge creation) dalam organisasi sangat tergantung pada dinamika interaksi di antara keempat model konversi knowledge tersebut.

3. Penciptaan
Knowledge dalam Organisasi Pada tingkatan yang paling dasar, knowledge sebenarnya diciptakan oleh individu yang ada di dalam organisasi. Organisasi pada dasarnya tidak dapat menciptakan knowledge tanpa individu-individu yang ada di dalam organisasi. Fungsi organisasi adalah memberi dukungan kepada kreativitas individu yang ada di dalam organisasi atau menyediakan suatu konteks bagi individu untuk menciptakan knowledge. Penciptaan knowledge dalam organisasi harus dipahami dalam terminologi suatu proses yang secara organisasional memperbesar kemungkinan penciptaan knowledge individu dan mengkristalisasikan knowledge tersebut sebagai bagian dari jaringan knowledge organisasi. Berbagai pendekatan yang memungkinkan knowledge individual dapat diperbesar atau diperluas, dan dinilai di dalam organisasi dapat dilakukan dalam beberapa langkah proses (Nonaka, 2000):
1. Memperluas dan mengembangkan knowledge pribadi Penggerak utama proses penciptaan knowledge di dalam organisasi adalah individu yang berada di dalam organisasi. Individu-individu tersebut mengakumulasi tacit knowledge melalui pengalaman yang mereka miliki.

Kualitas tacit knowledge dipengaruhi oleh dua hal penting, yaitu: faktor keragaman pengalaman individu dan faktor kualitas knowledge terhadap pengalaman yang merupakan penjelmaan knowledge ke dalam komitmen pribadi yang telah lama melekat di dalam pengalaman itu sendiri. Dengan demikian konsep high-quality experience dan knowledge of experience dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas tacit knowledge. Selain itu untuk meningkatkan kualitas knowledge individu, dapat dilakukan dengan cara tacit knowledge yang dimiliki individu yang diarahkan kepada upaya untuk saling memengaruhi dengan aspek yang relevan dengan explicit knowledge. Schon (1983) menganjurkan pentingnya refleksi di dalam tindakan. Knowledge individu dilekatkan melalui interaksi antara pengalaman dengan rasionalitas yang unik dari individu. Perspektif akan menjadi sumber interpretasi yang beragam dalam berbagi pengalaman dengan individu lain dalam meyusun konsep-konsep baru.

Definisi, Penerapan, Konsep dan Jenis-Jenis Knowledge Management

2. Berbagi tacit knowledge Proses penciptaan knowledge organisasi berawal dari perluasan knowledge individu, dimana interaksi antara knowledge experience dengan knowledge rasionalitas memungkinkan individu membangun perspektifnya. Namun demikian, perspektif ini tetap bersifat personal kecuali diartikulasikan dan diperluas melalui interaksi sosial. Salah satunya adalah dengan menciptakan self-organizing team, di mana anggota organisasi berkolaborasi untuk menciptakan konsep baru. Self-organizing team dapat memicu penciptaan knowledge organisasi melalui dua proses, yaitu:
  1. Pertama, organisasi memfasilitasi tumbuhnya saling percaya di antara anggota organisasi dan mempercepat terciptanya perspektif yang secara eksplisit berasal dari anggota organisasi itu sendiri yang dikenal sebagai tacit knowledge
  2.  Kedua, berbagi perspektif implicit yang di konseptualisasikan melalui dialog yang kontinu di antara anggota organisasi.
Dialog kreatif ini akan terealisasi hanya ketika tersedia informasi yang berlebihan di dalam tim. Kedua proses ini harus terjadi secara simultan dalam proses yang lebih actual di dalam sebuah tim. Berbagi pengalaman juga mampu memfasilitasi penciptaan perspektif umum yang dapat dibagi oleh anggota tim sebagai bagian dari tacit knowledge masing-masing. Model yang dominan dalam pengubahan knowledge adalah sosialisasi. Berbagai bentuk tacit knowledge yang dibawa ke dalam arena anggota organisasi diubah melalui coexperience di antara anggota untuk membentuk dasar pemahaman bersama.

3. Pengonseptualisasian Setelah tercipta saling percaya di antara anggota organisasi dan telah terbentuk secara implisit perspektif yang sama melalui berbagai pengalaman, tim selanjutnya memerlukan pengartikulasian perspektif melalui dialog yang kontinu. Mode yang dominan dalam pengubahan knowledge dalam tahap ini adalah eksternalisasi. Teori organizational learning telah banyak memberikan perhatian terhadap proses ini. Perspektif tacit diubah ke dalam bentuk konsep eksplisit yang dapat dibagi kepada tim. Dialog secara langsung memfasilitasi proses ini dengan menggiatkan eksternalisasi pada level individual. Dialog dalam bentuk tatap muka merupakan salah satu upaya membangun konsep karena hal ini memberikan peluang bagi seseorang untuk menguji asumsi maupun hipotesisnya. Interaksi sosial ini merupakan wahana yang sangat kuat di dalam memperbaiki ide-ide seseorang. Untuk itu, dialektika merupakan sarana kontradiksi-kontradiksi dan paradoks-paradoks, dialektika dapat mendorong berpikir kreatif di dalam organisasi. Agar dialog tersebut produktif, dialog harus:
  • Dilakukan oleh berbagai macam orang dan bersifat temporer sehingga ada ruang perbaikan dan negosiasi
  • Para peserta di dalam dialog harus dapat mengekspresikan ide-idenya secara bebas dan jujur Upaya konseptualisasi tidak hanya diciptakan melalui metode deduktif dan induktif, tetapi juga abduktif.
Abduktif memiliki peranan penting di dalam proses konseptualisasi. Deduksi dan induksi secara vertical berorientasi kepada proses memberi alasan, sementara abduksi merupakan perluasan secara lateral dari alasan di mana berpusat kepada penggunaan metaforametafora. Biasanya proses induktif dan deduktif digunakan jika sebuah pemikiran direvisi atau untuk memberi makna terhadap sebuah konsep baru.

4. Pengkristalisasian Kristalisasi dapat dipandang sebagai proses di mana berbagai macam bagian atau departemen di dalam organisasi menguji realitas dan penerapan konsep yang diciptakan oleh tim. Proses ini difasilitasi biasanya oleh apa yang disebut dengan kegiatan percobaan. Kegiatan ini merupakan proses sosial di mana terjadi pada level kolektif yang biasanya disebut dengan dinamika hubungan kerja sama (Haken, 1978) atau sinergis antara berbagai fungsi dan department dalam organisasi. Hubungan ini cenderung dapat dilakukan dengan efektif apabila tersedia informasi yang cukup. Jika tidak ada informasi yang cukup tersedia, biasanya inisiatif dilakukan oleh para ahli yang dianggap memiliki informasi dan pengetahuan yang lebih. Penciptaan knowledge berlangsung dalam interaksi para anggota tim untuk selanjutnya dikristalisasi ke dalam bentuk yang lebih konkrit misalnya berupa produk, konsep atau sistem. Kristalisasi ini merupakan bentuk pengubahan pengetahuan yang kegiatannya diistilahkan oleh Nonaka dan Takeuchi (1995) sebagai model konversi internalisasi. Proses kristalisasi merupakan proses sosial yang terjadi pada tingkatan kolektif yang terealisasi melalui apa yang di sebut Haken (1978) sebagai “dynamic cooperative relation or synergetics” di antara berbagai fungsi dan departemen dalam organisasi. Dinamika hubungan dan proses sinergi seperti yang disinggung oleh Haken di atas biasanya akan mudah berlangsung ketika informasi yang relevan dalam proses pengubahan knowledge telah tersedia.

5. Penilaian knowledge Penilaian merupakan tahap menyatukan dan menyaring apakah knowledge yang diciptakan di dalam organisasi benar-benar bermanfaat bagi organisasi dan masyarakat. Artinya, penilaian sangat menentukan kualitas knowledge yang diciptakan dan mencakup criteria atau standar penilaian. Persoalan yang terkait dengan standar penilaian ini antara lain terkait dengan biaya, keuntungan minimalnya, tingkat di mana produk dapat memberikan kontribusi kepada perkembangan perusahaan, termasuk nilai yang dijanjikan yang di luar fakta atau pertimbangan-pertimbangan pragmatis. Hal ini bisa berupa opini yang lebih luas dan lebih dari sekadar penciptaan knowledge, misalnya visi organisasi dan persepsi yang terkait dengan perjalanan, romantisme, dan estetikanya. Dorongan untuk memulai menyatukan knowledge bisa bermacam-macam dan sangat kualitatif daripada hanya sekadar pertimbangan sederhana dan kuantitatif seperti standar efisiensi, biaya dan Return On Investment (ROI). Di dalam organisasi biasanya yang paling menentukan adalah standar penilaian. Standar penilaian harus dilakukan dalam terminologi konsistensi dengan system nilai yang paling tinggi. Kemampuan pimpinan memelihara keberlanjutan refleksi diri dalam perspektif yang lebih luas sangat diperlukan apabila tetap menginginkan kualitas penciptaan knowledge terjadi.

6. Menjejaringkan knowledge Selama tahap penciptaan knowledge organisasi, konsep yang telah diciptakan, dikristalisasikan, selanjutnya dinilai di dalam organisasi dan diintegrasikan ke dalam basis knowledge organisasi untuk disebarkan ke seluruh jaringan organisasi. Knowledge organisasi yang telah tercipta tersebut selanjutnya dikelola kembali melalui proses interaksi antara visi organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya dengan konsep baru yang telah diciptakan. Untuk menjembatani antara konsep besar dengan konsep yang baru tercipta diperlukan satu konsep menengah (middle range concept). Konsep menengah ini menghilangkan ketidakjelasan konsep besar ke tingkat konsep baru maupun sebaliknya. Kadang-kadang konsep besar tidak dimengerti dengan baik pada setiap tingkatan kecuali konsep menengah memperjelas konsep yang sudah tercipta tersebut. Upaya memperjelas tersebut dilakukan melalui penciptaan atau penyusunan kembali konsep besar yang diberikan oleh pimpinan puncak serta konsep menengah yang diciptakan oleh pimpinan menengah. Interaksi ini dimediasi secara nyata dalam bentuk penyatuan informasi, yang merupakan dinamika lain aktivitas self organizing team untuk menjejaringkan knowledge yang terus-menerus menciptakan informasi dan makna baru.

Proses penciptaan knowledge tidak pernah berakhir, dan merupakan proses yang berputar, baik yang terjadi di dalam organisasi maupun dengan lingkungannya karena lingkungan merupakan sumber pemicu penciptaan knowledge dalam organisasi. Proses penciptaan knowledge dalam organisasi berlangsung bagaikan sebuah siklus yang dimulai dari memperbesar pengetahuan individu, berbagi tacit knowledge dan konseptual; membangun tim mengelola dirinya sendiri, berbagi pengalaman, menyusunnya ke dalam bentuk konsep, mengkristalisasikan, menilai kualitasnya, menjejaringkan ke seluruh organisasi baik internal maupun ke seluruh lingkungan organisasi.

Knowledge Management
1. Definisi Knowledge Management
Knowledge management adalah sebuah teori management yang diperkenalkan pada tahun 1990-an, dimana definisi yang diberikan oleh beberapa ahli memiliki makna yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh sudut pandang dari masingmasing ahli tersebut. Berikut adalah definisi knowledge management menurut para ahli:
  1. Karl-Erick Sveiby (1998) menyatakan bahwa knowledge management adalah seni penciptaan nilai dari intangible assets (aset knowledge).
  2. Santosu dan Surmach (2001) menyatakan bahwa knowledge management merupakan proses dimana perusahaan melahirkan nilai-nilai dari aset intelektual dan aset yang berbasikan knowledge.
  3. Horwitch dan Armacost (2002) mendefinisikan knowledge management sebagai pelaksanaan penciptaan, penangkapan, pentransferan, dan pengaksesan pengetahuan dan informasi yang tepat ketika dibutuhkan untuk membuat keputusan yang lebih baik, bertindak dengan tepat, serta memberikan hasil dalam rangka mendukung bisnis
  4. McInerney (2002) mendefinisikan knowledge management sebagai usaha untuk meningkatkan pengetahuan yang berguna dalam organisasi, diantaranya membiasakan budaya berkomunikasi antar personil, memberikan kesempatan untuk belajar, dan menggalakan saling berbagi knowledge
  5. Davidson dan Voss (2002) mendefinisikan knowledge management sebagai sistem yang memungkinkan perusahaan menyerap pengetahuan, pengalaman, dan kreativitas para stafnya untuk perbaikan kinerja perusahaan. Davidson dan Voss juga menyatakan bahwa knowledge management merupakan suatu proses yang menyediakan cara sehingga perusahaan dapat mengenali di mana aset intelektual kunci berada, menangkap ukuran aset intelektual yang relevan untuk dikembangkan.
  6. Bergerson (2003) menyatakan bahwa knowledge management merupakan suatu pendekatan sistematik untuk mengelola aset intelektual dan informasi lain sehingga memberikan keunggulan bersaing bagi perusahaan
  7. Peter Gottschalk (2005) mendefinisikan knowledge management sebagai metode untuk mensimplifikasi dan meningkatkan proses membagi, mendistribusi, menciptakan, menangkap dan memahami knowledge di dalam perusahaan. Berbagai definisi yang dikemukan oleh para ahli terlihat memiliki sudut pandang yang berbeda-beda. Oleh karena itu Tannebaum(1998) menawarkan definisi berikut ini yang dapat dijadikan sebagai suatu konsensus dalam mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap definisi knowledge management.
  • Knowledge management mencakup pengumpulan, penyusunan, penyimpanan, dan pengaksesan informasi untuk membangun knowledge. Pemanfaatan dengan tepat teknologi informasi seperti komputer yang dapat mendukung knowledge management, namun teknologi informasi tersebut bukanlah knowledge management.
  • Knowledge management mencakup berbagi pengetahuan (sharing knowledge). Tanpa berbagi pengetahuan, upaya knowledge management akan gagal. Kultur perusahaan, dinamika dan praktik dapat memengaruhi knowledge. Kultur dan aspek sosial dari knowledge management merupakan tantangan yang signifikan.
  • Knowledge management terkait dengan knowledge individu. Organisasi membutuhkan individu yang kompeten untuk memahami dan memanfaatkan informasi dengan efektif. Organisasi terkait dengan individu untuk melakukan inovasi dan memberi petunjuk kepada organisasi. Organisasi juga terkait dengan persoalan keahlian yang menyediakan input untuk menerapkan knowledge management. Oleh karena itu, organisasi harus mempertimbangkan bagaimana menarik, mengembangkan, dan mempertahankan knowledge anggota sebagai bagian dari domain knowledge management.
  • Knowledge management terkait dengan peningkatan efektivitas organisasi. Upaya untuk mengukur modal intelektual dan untuk menilai efektivitas knowledge management harus dapat membantu memahami secara luas pengelolaan knowledge yang telah dilakukan.
2. Penerapan Knowledge
Management dalam Organisasi Organisasi pada dasarnya terdiri dari orang-orang yang memiliki latar belakang sosial, budaya, ekonomi dan bahkan politik yang berbeda. Ketika sebuah organisasi ingin menerapkan knowledge management, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan agar penerapan yang dilakukan berlangsung dengan sukses:
  1. Aspek konseptual Maksudnya adalah agar organisasi mampu mengembangkan suatu konstruksi yang terintegrasi, yang dapat digunakan untuk mendiskusikan knowledge di dalam organisasi.
  2. Aspek perubahan Aspek ini penting mendapatkan perhatian karena perubahan terkait erat dengan stabilitas karena kerangka kerjanya terkait dengan institusi dan perkembangannya. Sebelum knowledge baru mengubah struktur knowledge dan sistem aktivitas di dalam organisasi, knowledge terlebih dahulu harus dapat diakses, dipahami, dan dapat diterima. Harus disadari bahwa perubahan sering kali menciptakan perlawanan. Di dalam berbagai kasus perubahan, perlawanan memang selalu ada, apakah berasal dari dalam knowledge management itu sendiri, apakah berasal dari persoalan kemampuan mengakses, penerimaan, pemahaman, atau berasal dari masalah manajemen. 3. Aspek pengukuran Pengukuran menjadi aspek yang penting karena merupakan mekanisme pengintegrasi di dalam organisasi. Masing-masing sistem pengukuran secara implisit menentukan sudut pandang. Pengukuran juga memungkinkan melihat apakah penerapan knowledge management telah bergerak ke arah sasaran organisasi yang ingin dituju atau tidak.
  3. Aspek struktur organisasi Struktur organisasi menjadi hal yang penting diperhatikan di mana didalamnya terdapat pembagian peran dan tanggung jawab yang diperlukan agar efektivitas knowledge management dapat terlaksana. Peran-peran tersebut di antaranya pemilik knowledge, penyebar knowledge, pencari knowledge, dan koordinator komunitas
  4. Aspek isi knowledge Jika knowledge dipandang sebagai produk, knowledge dapat diklasifikasikan dan dikategorisasi dalam berbagai cara. Untuk mengelola produk dari proses knowledge, diperlukan knowledge yang cocok dan saling mendukung. Isi knowledge juga terkait dengan ketrampilan karyawan. Untuk mengelola isi knowledge dapat dikembangkan direktori keahlian, sistem pengelolaan keterampilan, peta knowledge, atau model-model knowledge. Oleh karena itu, isu-isu seperti versi pengawasan dan ketersedian dokumen, kualitas dan siklus hidup dokumen memerlukan kesadaran yang diwujudkan dalam berbagai bentuk usaha.
  5. Aspek alat Aspek ini terkait erat dengan ketersediaan sarana untuk memperoleh knowledge. Oleh karena itu, bagaimana metodologi mengelola knowledge, representasi knowledge yang akan dikelolah serta infrastruktur yang dibutuhkan untuk menunjang pengelolaan knowledge secara efektif menjadi sesuatu yang turut menentukan strategi knowledge management. Berbagai macam infrastruktur yang sering kali dipergunakan dalam mendukung proses knowledge organisasi serta knowledge management antara lain teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi informasi yang dapat diadopsi merupakan bentuk kolaborasi berbagai alat antara lain, sistem pengelolaan knowledge, sistem pendukung memori organisasi, sistem pendukung inovasi, alat untuk menemukan informasi, dan alat untuk menemukan data. Selain aspek-aspek diatas, diperlukan juga langkah-langkah perubahan sistematis berupa formulasi strategi (strategic formulation), agar perubahan yang dilakukan berlangsung dengan sukses. Fungsi formulasi strategi dalam konteks ini lebih menitikberatkan pada upaya memberikan bahasa dan pemahaman serta sudut pandang yang sama. Dengan bahasa, pemahaman dan sudut pandang yang sama memungkinkan pelaku-pelaku perubahan dalam organisasi melihat aktivitas penerapan knowledge management sebagai satu kesatuan yang bersifat menyeluruh.
Berikut ini adalah langkah-langkah stratejik yang ditawarkan oleh Tiwana (2000) dalam menerapkan knowledge management dalam organisasi:
1. Analisis Infrastruktur yang Ada Langkah ini dimaksudkan untuk mengaudit infrastruktur teknologi yang ada di dalam organisasi. Tujuannya adalah untuk menentukan teknologi apa yang saat ini telah dimiliki dan teknologi apa yang seharusnya ditambahkan untuk meningkatkan dukungan penerapan knowledge management di dalam organisasi. Dengan menganalisa dan menilai infrastruktur yang telah ada, manajemen dapat mengenali kekurangan infrastruktur yang dimiliki organisasi saat itu. Konsekuensi kondisi tersebut adalah manajemen harus mengembangkan apa yang sudah ada.
2. Mengaitkan Knowledge Management dengan Strategi Bisnis Bila penciptaan knowledge ingin sukses diarahkan, perlu disusun langkahlangkah yang mengaitkan antara strategi bisnis yang dibangun oleh organisasi dengan strategi knowledge management. Efektifitas strategi knowledge management tidak sesederhana dengan hanya menyediakan teknologi informasi saja, tetapi mesti ada satu keseimbangan antara teknologi, dan fokus bisnis dengan strategi bisnis perusahaan.
3. Mendesain Infrastruktur Knowledge Management Pada tahap ini, pihak manajemen sudah harus menentukan sejak awal jenis teknologi dan alat-alat apa saja yang dibutuhkan untuk sistem knowledge management yang akan diterapkan. Agar lebih relevan dengan kebutuhan sistem knowledge management, pertanyaan berikut dapat dijadikan sebagai pedoman dalam membangun kebutuhan infrastruktur knowledge management. Pertanyaan tersebut antara lain:
  • Teknologi apa yang harus dimiliki?
  • Apakah karyawan Anda dalam berbagi knowledge menggunakan basis website?
  • Apakah sistem knowledge management memerlukan saran dan teknologi yang lebih luas untuk membantu karyawan menemukan, menjumlahkan, memaknai, dan menganalisa data yang sangat banyak?
  • Seberapa rinci tingkatan sistem knowledge management untuk menangkap knowledge?
  • Seberapa padunya sistem pencarian, penyusunan, dan penemuan kembali yang akan Anda masukkan sebagai komponen dari sistem knowledge management Anda?
  •  Apa perlengkapan pengetahuan yang Anda akan gunakan untuk mengenali objek-objek knowledge? 
4. Mengaudit Aset dan Sistem Knowledge yang Ada Tujuan audit knowledge adalah untuk menilai apa saja knowledge yang sudah ada di dalam perusahaan saat itu, dan menentukan fokus aktivitas knowledge management. Untuk mencapai tujuan audit, dianjurkan untuk membentuk tim audit yang terdiri dari seorang ahli strategi, senior manajer, karyawan bidang keuangan, bagian sumber daya manusia, orang pemasaran, ahli informasi teknologi, manajer knowledge atau Chief Knowledge Officers. Selain itu, tim audit harus juga mengidentifikasikan paling tidak lima sumber daya kunci knowledge yang seharusnya mereka miliki. Tim harus kemudian menanyakan hal-hal berikut:
  • Bagaimanakah persediaan knowledge? Apakah meningkat atau menurun?
  • Bagaimanakah kita dapat memastikan bahwa persediaan knowledge terus-menerus meningkat? 
  • Apakah kita sudah menggunakan dengan baik sumber daya knowledge tersebut?
  • Bagaimana daya tahan aset knowledge yang kita miliki?
  • Dapatkah persaingan dengan mudah menyuburkan dan mengembangkan knowledge ini tanpa ditiru?
  • Adakah aspek lain dari knowledge yang tengah dipersaingkan namun kita belum miliki? 
  • Dapatkah knowledge ini meninggalkan organisasi?
  • Pada tingkatan apa knowledge yang kita jamin saat ini memiliki keterkaitan dengan produk, jasa atau proses?
5. Mendesain Tim Knowledge Management Tim knowledge management didesain dengan komposisi sebagai berikut:
  • Local expert and interdepartemental gurus, yaitu pengadopsi awal teknologi, yang bekerja di berbagai macam bidang fungsional di organisasi. Mereka mempunyai pengetahuan dalam bidang tertentu seperti pemasaran, keuangan, ditambah dengan pengetahuan teknologi
  • Internal information technology expert, yaitu ahli teknologi informasi yang berasal dari dalam organisasi yang diharapkan banyak mengetahui kondisi internal organisasi 
  • Nonlocal expert and extradepartemental gurus, yaitu orang yang memiliki keahlian lintas organisasi dan lintas fungsional. Mereka dapat berhubungan dengan orang-orang yang berbeda bidang atau fungsi, dan berperan sebagai penerjemah antara karyawan dengan latar belakang, keterampilan, dan spesialisasi yang berbeda.
  • Consultant, yaitu orang yang berasal dari luar organisasi dengan keahlian tertentu
  • Senior manager, yaitu orang yang harus secara aktif berpartisipasi karena dukungan diperlukan untuk mendapatkan legitimasi dan memenangkan upaya knowledge management. Mereka inilah yang membawa perspektif stratejik ke dalam usaha penerapan knowledge management.
6. Menciptakan Blueprint Knowledge Management Pada tahap kelima, tim knowledge management mendesain sistem manajemen baru. Desain sistem harus berisi spesifikasi sebagai berikut:
  • a.nyediakan akses kepada pengguna terhadap database knowledge dan dukungan arus knowledge ke sel Knowledge repositories, yaitu database di mana knowledge disimpan.
  • Collaborative platform, yaitu meuruh organisasi. Collaborative platform memungkinkan kepada pengguna mencari isi atau berlangganan dengan isi dari database.
  • Network, yaitu dukungan jaringan komunikasi dan percakapan. Termasuk di sini adalah jaringan kerasnya seperti kontrak jaringan, intranet, ekstranet, dan jaringan lunak seperti ruang bersama, kolaborasi jaringan industri, jaringan perdagangan, forum industri, pertukaran, baik langsung maupun melalui telekonferensi.
  • Culture, yaitu mengacu kepada metode untuk mendorong karyawan menggunakan sistem knowledge management dan berbagi knowledge.
7. Pengembangan Sistem Knowledge Management Pada tahap ini tim harus bekerja sekaligus menggabungkan sistem knowledge management yang sudah bangun pada tahap enam sebelumnya. Konstruksi sistem mencakup tujuh lapis, yaitu sebagai berikut:
  • a. Interface layer Ini merupakan penghubung lapisan tertinggi antara orang dengan sistem knowledge management yang berfungsi menciptakan, menggunakan, menemukan kembali, dan berbagi pengetahuan. Di beberapa organisasi interface layer ini berupa home page yang dapat diakses pengguna lewat intranet organisasi.
  • Access and authentication layer Ini merupakan lapisan yang membuktikan keaslian pengguna yang mengakses database ini, menyediakan keamanan untuk mencegah pengakses yang tidak sah, dan menyediakan cadangan apabila ada pihak yang akan merusak database tersebut.
  • Collaborative filtering and intelligence layer Lapisan ini berisi sarana untuk meminta data sesuai permintaan, mencari, mengindeks, dan sebagainya.
  • Application layer Lapisan ini berisi tempat penyimpanan keterampilan, sarana berkolaborasi, piranti keras dan lunak konferensi yang menggunakan video, whiteboard digital, electronic forum, dan sebagainya
  • Transport layer Lapisan ini memuat teknologi seperti web server, e-mail server, pendukung untuk alur video dan audio, dan sebagainya.
  • Middleware and legacy integration layer Legacy system merupakan mainframe atau sistem komputer yang sudah usang. Middleware dalam hal ini berfungsi menghubungkan format data lama dengan yang baru.
  • Repositories Lapisan ini berisi database operasional, database hasil-hasil diskusi, arsip forum yang menggunakan web, data yang sudah lama, arsip dokumen, dan database lainnya yang menggambarkan pondasi sistem knowledge management.
8. Prototipe dan Uji Coba Langkah ini merupakan upaya untuk menguji prototipe yang telah dibuat sebelumnya, dan memperbaiki sistem tersebut bila tidak berjalan sesuai rencana. Prototipe yang dibuat mungkin saja di bawah standar sehingga tidak dapat berfungsi dengan baik. Oleh karena itu, tim dapat menggunakan stratejik “result-driven incrementalism” (RDI) atau perbaikan yang didorong oleh hasil. Tiwani mengusulkan tiga kunci untuk membuat RDI dapat bekerja, yaitu sebagai berikut:
  • Objective-driven decision support, yaitu menggunakan hasil dari target dan tujuan akhir bisnis untuk mendorong pembuatan keputusan pada tiap-tiap titik ke seluruh proses penyebaran sistem. Misalnya setiap tahap dari penerapan sistem knowledge management memiliki hasil yang ingin dicapai (mengapa) dan hasil yang diproyeksikan (untuk apa) dengan jelas harus terjawab sebelum sistem dilaksanakan.
  • Incremental but independent result, yaitu membagi implementasi ke dalam rangkaian perbaikan yang tidak tumpang tindih. Masing-masing kegiatan dapat diukur hasilnya dan diperbaiki, meskipun tidak da perbaikan lebih lanjut.
  • Software and organizational measure clearly laid out at each stage, yaitu melakukan apa saja yang dibutuhkan untuk menghasilkan subset hasil yang diinginkan. Ini berarti bahwa piranti lunak secara fungsional mesti menyertai perubahan yang diperlukan dalam hal kebijaksanaan, proses, pengukuran yang dibutuhkan untuk membuat sistem tersebut bekerja. Misalnya jika mengembangkan satu diskusi database, mesti disertai dengan perubahan motif karyawan menggunakan piranti lunak tersebut, apakah mencari informasi saja atau untuk memberi kontribusi terhadap database tersebut. Penyebaran rencana harus juga disertai penghargaan yang tepat, yang dapat mendorong karyawan menyatu ke dalam proses tersebut.
9. Pengelola Perubahan, Kultur, dan Struktur Penghargaan Satu hal yang harus dicatat dalam kaitannya dengan upaya menjalankan tahap ini bahwa sukses tidaknya manajemen perubahan tidak hanya tergantung kepada teknologi, tetapi di kebanyakan organisasi justru lebih ditentukan pada perubahan kultur dan perubahan di dalam sistem penghargaan. Oleh karena itu, penting bagi pihak tim pengembangan untuk menyusun langkah-langkah stratejik supaya penerapan knowledge management berlangsung dengan baik. Tim harus mendapatkan hati dan jiwa karyawan. Mereka bukanlah pasukan, tetapi mereka lebih seorang sukarelawan.
10. Evaluasi Kinerja, Mengukur ROI, dan Perbaikan Sistem Knowledge Management Untuk tujuan pengukuran hasil knowledge management, Tiwani menggunakan perspektif sebagai berikut:
  • Financial perspective (perspektif finansial): apakah investasi perusahaan di dalam knowledge management memperoleh keuntungan finansial bagi neraca perusahaan?
  • Human-capital perspective (perspektif modal manusia): apakah kinerja karyawan perusahaan lebih baik dan lebih berbagi?
  • Customer-capital perspective (perspektif modal pelanggan): sudah baikkah hubungan perusahaan dengan pelanggan, prospeknya semakin meningkat, dan mendatangkan pelanggan baru sebagai akibat pelaksanaan knowledge management?
  • Organizational-capital perspective (perspektif modal organisasi): apakah saat ini perusahaan memiliki proses yang paling baik, kapabilitas yang sangat berbeda, memampuan yang sangat hebat untuk melakukan inovasi dengan lebih cepat daripada pesaing melalui knowledge management? Dari pemaparan mengenai langkah-langkah yang dilakukan dalam strategi penerapan knowledge management di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kesuksesan strategi penerapan knowledge management sangat tergantung kepada beberapa aspek, yaitu infrastruktur teknologi, struktur sistem penghargaan, dan kultur.
3. Sistem Pengukuran Knowledge Management
Terdapat empat indikator sukses dalam penerapan Knowledge Management menurut Murray E. Jennex (2007), antara lain:
  1. Pertumbuhan dalam volume knowledge yang tersedia sejak inisiasi Knowledge Management diluncurkan (misal: jumlah dokumen yang tersedia)
  2. Pertumbuhan dalam penggunaan knowledge yang tersedia sejak inisiasi knowledge diluncurkan (akses ke repositori atau jumlah partisipan untuk diskusi)
  3. Kemungkinan bertahannya proyek tanpa dukungan dari individu tertentu. Hal ini karena proyek adalah inisiasi organisasi dan bukan proyek individu
  4. Pertumbuhan dalam sumber daya yang melekat pada inisiasi Knowledge Management
Analisis Strategi Sistem Informasi atauTeknologi Informasi 
1. Analisis Strategi Bisnis
Untuk menganalisa strategi bisnis, kebutuhan utamanya adalah:
  • Mengidentifikasikan strategi saat ini dan secara umum hal-hal baru yang timbul sejak siklus pengembangan strategi sebelumnya
  • Jika perlu, untuk menginterpretasi dan menganalisa strategi, dan mendeskripsikan dalam suatu struktur. Hal ini baik untuk dilakukan oleh gabungan grup, baik bisnis dan sistem informasi dengan kemampuannya masing-masing.
  • Untuk mengumpulkan dan mengkonfirmasikan konsekwensi kebutuhan sistem informasi 
  • Konteks yang paling baik dalam pengembangan strategi sistem informasi dan pengimplementasiannya adalah:
  1. Meletakkan strategi sistem informasi bersama-sama dengan semua strategi komponen seperti marketing atau pengembangan produk atau dalam sebuah business reengineering program atau redesign dari proses bisnis.
  2. Mengimplementasikan program dari inisiasi untuk menghasilkan strategi bisni yang meliputi pengembangan system informasi atau teknologi informasi yang penting (critical).
2. Balanced Scorecard
Penilaian atau pengukuran kinerja merupakan salah satu faktor yang penting dalam perusahaan. Selain digunakan untuk menilai keberhasilan perusahaan, pengukuran kinerja juga dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan sistem imbalan dalam perusahaan, misalnya untuk menentukan tingkat gaji karyawan maupun reward yang layak. Pihak manajemen juga dapat menggunakan pengukuran kinerja perusahaan sebagai alat untuk mengevaluasi pada periode yang lalu. Balanced Scorecard merupakan suatu ukuran yang cukup komprehensif dalam mewujudkan kinerja, yang mana keberhasilan keuangan yang dicapai perusahaan bersifat jangka panjang. Balanced Scorecard tidak hanya sekedar alat pengukur kinerja perusahaan tetapi merupakan suatu bentuk transformasi stratejik secara total kepada seluruh tingkatan dalam organisasi. Dengan pengukuran kinerja yang komprehensif tidak hanya merupakan ukuran-ukuran keuangan tetapi penggabungan ukuran-ukuran keuangan dan non keuangan maka perusahaan dapat menjalankan bisnisnya dengan lebih baik. Balanced Scorecard dikembangkan oleh akademisi Harvard Business School, Robert S. Kaplan dan David Norton pada tahun 1992, dimana alat ini mengasumsikan bahwa ukuran-ukuran keuangan hanya melaporkan hasil keputusan masa lalu dan jika pengukuran kinerja tersebut adalah untuk mendapatkan segala dampak nyata yang berarti, maka semakin banyak tujuan dan ukuran yang lebih berimbang diperlukan. Berikut ini adalah tujuan-tujuan penilaian kinerja yang dimanfaatkan oleh manajemen, antara lain:
  • Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian karyawan secara maksimum.
  • Membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawannya seperti promosi, pemberhentian, mutasi.
  • Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan untuk menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan.
  • Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan mereka menilai kinerja mereka.
  • Menyediakan suatu dasar bagi distribusi penghargaan. 
Sedangkan ukuran penilaian kinerja yang dapat digunakan untuk menilai kinerja secara kuantitatif adalah sebagai berikut:
1. Ukuran Kinerja Tunggal Adalah ukuran kinerja yang hanya menggunakan satu ukuran penilaian. Dengan digunakannya hanya satu ukuran kinerja, karyawan dan manajemen akan cenderung untuk memusatkan usahanya pada kriteria tersebut dan mengabaikan kriteria yang lainnya, yang mungkin sama pentingnya dalam menentukan sukses tidaknya perusahaan atau bagian tertentu. 2. Ukuran Kinerja Beragam Adalah ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran untuk menilai kinerja. Ukuran kinerja beragam merupakan cara untuk mengatasi kelemahan kriteria kinerja tunggal. Berbagai aspek kinerja manajer dicari ukuran kriterianya sehingga manajer diukur kinerjanya dengan berbagai kriteria. 3. Ukuran Kinerja Gabungan Dengan adanya kesadaran beberapa kriteria lebih penting bagi perusahaan secara keseluruhan dibandingkan dengan tujuan lain, maka perusahaan melakukan pembobotan terhadap ukuran kinerjanya. Misalnya manajer pemasaran diukur kinerjanya dengan menggunakan dua unsur, yaitu profitabilitas dan pangsa pasar dengan pembobotan masing-masing 5 dan 4. Dengan cara ini manajer pemasaran mengerti yang harus ditekankan agar tercapai sasaran yang dituju manajer puncak. Dengan demikian, Balanced Scorecard akan memberikan kerangka kerja untuk penerjemahkan strategi ke dalam kerangka operasional dengan menggunakan pendekatan tolak ukur kepada empat perspektif yang berhubungan, dimana dengan cara mencoba menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang spesifik. Ke empat perspektif yang menjadi tolak ukur Balanced Scorecard beserta pertanyaan-pertanyaannya adalah sebagai berikut:

1. Perspektif Keuangan (financial perspective): Bagaimana kita melihat para pemegang saham dan mereka yang mempunyai kepentingan keuangan di dalam organisasi? Perspektif keuangan tetap menjadi perhatian dalam Balanced Scorecard karena ukuran keuangan merupakan ikhtisar dari konsekuensi ekonomi yang terjadi akibat keputusan dan tindakan ekonomi yang diambil. Tujuan pencapaian kinerja keuangan yang baik merupakan fokus dari tujuan-tujuan yang ada dalam tiga perspektif lainnya. Sasaran-sasaran perspektif keuangan dibedakan pada masing-masing tahap dalam siklus bisnis yang oleh Kaplan dan Norton dibedakan menjadi tiga tahap:
  • Berkembang (growth) Pada tahap ini suatu perusahaan memiliki tingkat pertumbuhan yang sama sekali atau paling tidak memiliki potensi untuk berkembang. Untuk menciptakan potensi ini, kemungkinan seorang manajer harus terikat komitmen untuk mengembangkan suatu produk atau jasa baru, membangun dan mengembangkan fasilitas produksi, menambah kemampuan operasi, mengembangkan sistem, infrastruktur dan jaringan distribusi yang akan mendukung hubungan global, serta mengasuh dan mengembangkan hubungan dengan pelanggan.
  • Bertahan (sustain stage) Dalam tahap ini perusahaan berusaha mempertahankan pangsa pasar yang ada dan mengembankannya apabila mungkin. Investasi yang dilakukan umumnya diarahkan untuk menghilangkan kemacetan, mengembangkan kapasitas dan meningkatkan perbaikan operasional secara konsisten. Pada tahap ini perusahaan tidak lagi bertumpu pada strategi-strategi jangka panjang. Sasaran keuangan tahap ini lebih diarahkan pada besarnya tingkat pengembalian atas investasi yang dilakukan.
  • Panen (harvest) Tahap ini merupakan tahap kematangan (mature), suatu tahap dimana perusahaan melakukan panen (harvest) terhadap investasi mereka. Perusahaan tidak lagi melakukan investasi lebih jauh kecuali hanya untuk memelihara dan perbaikan fasilitas, tidak untuk melakukan ekspansi atau membangun suatu kemampuan baru. Tujuan utama dalam tahap ini adalah memaksimumkan arus kas yang masuk ke perusahaan. Sasaran keuangan untuk harvest adalah cash flow maksimum yang mampu dikembalikan dari investasi dimasa lalu.
2. Perspektif Pelanggan (customer perspective): bagaimana pelanggan memandang kita sebagai produk, servis, hubungan dan nilai tambah? Tolok ukur kinerja pelanggan dibagi menjadi dua kelompok:
a. Kelompok inti
  • Pangsa pasar: mengukur seberapa besar proporsi segmen pasar tertentu yang dikuasai oleh perusahaan.
  • Tingkat perolehan para pelanggan baru: mengukur seberapa banyak perusahaan berhasil menarik pelanggan-pelanggan baru.
  • Kemampuan mempertahankan para pelanggan lama: mengukur seberapa banyak perusahaan berhasil mempertahankan pelangan-pelanggan lama.
  • Tingkat kepuasan pelanggan: mengukur seberapa jauh pelanggan merasa puas terhadap layanan perusahaan.
  • Tingkat profitabilitas pelanggan: mengukur seberapa besar keuntungan yang berhasil diraih oleh perusahaan dari penjualan produk kepada para pelanggan. 
b. Kelompok penunjang
  • Atribut-atribut produk (fungsi, harga dan mutu) Tolok ukur atribut produk adalah tingkat harga eceran relatif, tingkat daya guna produk, tingkat pengembalian produk oleh pelanggan sebagai akibat ketidak sempurnaan proses produksi, mutu peralatan dan fasilitas produksi yang digunakan, kemampuan sumber daya manusia serta tingkat efisiensi produksi.
  • Hubungan dengan pelanggan Tolok ukur yang termasuk sub kelompok ini, tingkat fleksibilitas perusahaan dalam memenuhi keinginan dan kebutuhan para pelanggannya, penampilan fisik dan mutu layanan yang diberikan oleh pramunaga serta penampilan fisik fasilitas penjualan.
  • Citra dan reputasi perusahaan beserta produk-produknya dimata para pelanggannya dan masyarakat konsumen.
3. Perspektif Proses Bisnis Internal (internal business perspective): apa yang harus kita unggulkan jika harapan dari karyawan dan rekan usaha tercapai? Manajer harus bisa mengidentifikasi proses internal yang penting dimana perusahaan diharuskan melakukan dengan baik karena proses internal tersebut mempunyai nilai-nilai yang diinginkan konsumen dan dapat memberikan pengembalian yang diharapkan oleh para pemegang saham. Tahapan dalam proses bisnis internal meliputi:
  • Inovasi Inovasi yang dilakukan dalam perusahaan biasanya dilakukan oleh bagian riset dan pengembangan. Dalam tahap ini, tolok ukur yang digunakan adalah besarnya produk-produk baru, lama waktu yang dibutuhkan untuk mengembangan suatu produk secara relatif jika dibandingkan perusahaan pesaing, besarnya biaya, banyaknya produk baru yang berhasil dikembangkan.
  • Proses operasi Tahapan ini merupakan tahapan dimana perusahaan berupaya untuk memberikan solusi kepada para pelanggan dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan. Tolok ukur yang digunakan antara lain Manufacturing Cycle Effectiveness (MCE), tingkat kerusakan produk pra penjualan, banyaknya bahan baku terbuang percuma, frekuensi pengerjaan ulang produk sebagai akibat terjadinya kerusakan, banyaknya permintaan para pelanggan yang tidak dapat dipenuhi, penyimpangan biaya produksi aktual terhadap biaya anggaran produksi serta tingkat efisiensi per kegiatan produksi.
  • Proses penyampaian produk atau jasa pada pelanggan Perusahaan berupaya memberikan manfaat tambahan kepada pelanggan yang telah membeli produknya seperti layanan pemeliharaan produk, layanan perbaikan kerusakan, layanan penggantian suku cadang, dan perbaikan pembayaran.
4. Perspektif Inovasi dan Pembelajaran (innovation and learning perspective): apa yang harus kita unggulkan jika harapan dari karyawan dan rekan usaha tercapai? Perspektif ke empat dalam Balanced Scorecard adalah mengembangkan pengukuran dan tujuan untuk mendorong organisasi agar berjalan dan tumbuh. Tujuan dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan adalah menyediakan infrastruktur untuk mendukung pencapaian tiga perspektif sebelumnya. Perspektif keuangan, pelanggan dan sasaran dari proses bisnis internal dapat mengungkapkan kesenjangan antara kemampuan yang ada dari orang, sistem dan prosedur dengan apa yang dibutuhkan untuk mencapai suatu kinerja yang handal. Adapun faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah:
  1. Karyawan Untuk mengetahui tingkat kepuasan karyawan perusahaan perlu melakukan survei secara reguler. Beberapa elemen kepuasan karyawan adalah keterlibatan dalam pengambilan keputusan, pengakuan, akses untuk memperoleh informasi, dorongan untuk melakukan kreativitas dan inisiatif serta dukungan dari atasan.
  2. Kemampuan sistem informasi Tolok ukur yang sering digunakan adalah bahwa informasi yang dibutuhkan mudah didapatkan, tepat dan tidak memerlukan waktu lama untuk mendapat informasi tersebut. Adapun setiap perspektif diatas mempunyai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, sebagai berikut:
  • Perspektif Keuangan (financial perspective) Terwujudnya tanggung jawab ekonomi melalui penerapan pengetahuan manajemen dalam pengolahan bisnis dan peningkatan produktivitas yang dikuasai personil.
  • Perspektif Pelanggan (customer perspective) Terwujudnya tanggung jawab sosial sehingga perusahaan dikenal secara luas sebagai perusahaan yang akrab dengan lingkungan.
  • Perspektif Proses Bisnis Internal (internal business perspective) Terwujudnya pelipatgandaan kinerja seluruh personil perusahaan melalui implementasi.
  • Perspektif Inovasi dan Pembelajaran (innovation and learning perspective) Terwujudnya keunggulan jangka panjang perusahaan lingkungan bisnis global melalui pengembangan dan pemfokusan potensi sumber daya manusia.
3. Analisis Critical Success Factors (CSF)
Analisis Critical Success Factors adalah sebuah teknik yang populer dimana tidak hanya dipergunakan untuk mengembangkan strategi sistem informasi tetapi juga untuk pengembangan strategi bisnis. Teknik tersebut sering muncul dalam berbagai metode penggunaan dan merupakan alat yang pada umumnya digunakan sebagai alat bantu strategi sistem informasi. Teknik tersebut dapat dipergunakan dengan cara yang berbeda dan dengan maksud yang berbeda pula, antara lain:
  • Merupakan teknik yang paling efektif dengan melibatkan manajemen senior didalam mengembangkan strategi sistem informasi karena berakar pada persoalan bisnis dan didalam mendapatkan kepastian untuk mengusulkan tindakan sistem informasi yang membantu menghasilkan prestasi di area yang kritis.
  • Sebagai penghubung proyek sistem informasi dari Critical Success Factors sampai dengan tujuan perusahaan, dimana dengan jelas memperlihatkan posisinya terhadap strategi bisnis, dan memberikan dasar yang menyakinkan untuk mendapat perjanjian yang meyeluruh oleh tim manajemen atas. 
  • Wawancara perseorangan dengan pimpinan senior merupakan katalisator yang baik didalam menggali kebutuhan informasi perseorangan mereka sendiri
  • Dengan memberikan hubungan antara tujuan dan kebutuhan informasi, Critical Success Factors memainkan peranan penting didalam memprioritaskan investasi yang berpotensial
  • Perencanaan sistem informasi sangat berguna ketika strategi bisnis tidak berkembang melampaui tujuan bisnisnya, dengan memusatkan perhatian pada aspek-aspek bisnis yang paling kritis yang memerlukan tindakan peningkatan kinerja.
  • Pemanfaatan analisis value chain akan sangat bermanfaat didalam mengenali proses yang paling kritis, dimana memungkinkan kepemilikan Critical Success Factors dan tindakannya ditentukan secara akurat. Dengan demikian, Critical Success Factors dipakai untuk membuat tujuan perusahaan menjadi menarik dalam hal tindakan-tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai informasi kunci dan kebutuhan aplikasi organisasi dan manajernya, dan untuk menilai kekuatan dan kelemahan sistem yang sudah ada.
Critical Success Factors dapat dipakai pada tingkatan makro untuk memeriksa secara keseluruhan terhadap industri, perusahaan secara utuh atau bisnis unit tertentu. Critical Success Factors dapat juga dipakai pada level eksekutif perseorangan didalam menentukan aktivitas-aktivitas yang dilakukan apakah penting untuk pencapaian keberhasilan tujuan tertentu. Dengan demikian, proses Critical Success Factors dapat membantu memprioritaskan aktivitas dan kebutuhan informasi, baik pada manajer perseorangan maupun pada level bisnis unit. Didalam hal ini, teknik Critical Success Factors sangat menolong untuk memusatkan perhatian pada persoalan pokok. Rockart mendifinisikan Critical Success Factors sebagai sejumlah area yang terbatas di dalam hasil tertentu, jika hasil tersebut tercapai maka akan memastikan kinerja yang bersaing itu berhasil didalam organisasi. Critical Success Factors merupakan daerah aktivitas yang harus diterima dan diperhatikan secara hati-hati oleh manajemen. Status kinerja disetiap area harus terus menerus diukur, dan informasinya harus tersedia secara luas.

Penentuan Critical Success Factors harus dimulai ketika tujuan perusahaan di kenali. Tahap pertama adalah mengenali Critical Success Factors terhadap setiap tujuan yang ada. Tahap kedua adalah menggabungkan tujuan-tujuan yang ada. Peringkat tujuan dan jumlah Critical Success Factors yang dipakai bersama akan memberikan prioritas yang relative kepada pencapaian Critical Success Factors itu sendiri. Kemudian informasi atau sistem yang penting dalam pencapaian Critical Success Factors tersebut harus menjadi bahan pertimbangan. Pertanyaan bagaimana sistem informasi atau teknologi informasi membantu pencapaian Critical Success Factors? dan bagaimana sistem yang ada mendukung pencapaian Critical Success Factors? adalah dua pertanyaan yang harus dipertimbangkan dan menunjuk pada SWOT analisis dari sistem yang ada terhadap Critical Succuss Factors. Dengan implikasi, jika Critical Success Factors tercapai, kemungkinan pencapaian tujuan meningkat.

4. Konsolidasi Balanced Scorecard dan Analisis Critical Success Factor
Hasil analisa Balanced Scorecard dan Critical Success Factors dapat dikombinasikan menjadi satu analisa yang akan menyediakan kebutuhan Sistem Informasi yang lebih komprehensif. Balanced Scorecard menghubungkan antara pengukuran pada objektif yang akan dicapai sementara Critical Success Factors menganalisa elemen yang kritikal untuk mencapai tujuan bisnis.

5. Analisis Value Chain
Internal value chain merupakan bagian dari Value Chain Analysis. Konsep Value Chain Analysis sendiri dideskripsikan oleh Michael Porter sebagai berikut: “Every firm is a collection of activities that are performed to design, produce, market, deliver and support its products or services. All these activities can be represented using a value chain. Value chains can only be understood in the context of the business unit.” Tujuan internal value chain adalah untuk membedakan apa yang dilakukan oleh perusahaan dengan bagaimana hal tersebut dilakukan. Analisis Value Chain sendiri terbagi dalam dua tipe aktifitas bisnis, yaitu;1. Aktifitas utama 2. Aktifitas pendukung Michael Porter telah mengklasifikasikan aktifitas utama menjadi lima kelompok, yaitu;
  • Inbound logistic
  • Operations
  • Outbound logistic 
  • Sales and marketing
  • Services.
Activity-Based Costing (ABC)
Activity-Based Costing adalah suatu sistem pembiayaan yang mengalokasikan sumber-sumber biaya overhead menggunakan dasar dari satu atau lebih faktor nonvolume. Dibandingkan dengan pembukuan biaya tradisional, Activity-Based Costing lebih melambangkan aplikasi pencatatan biaya yang lebih seksama dimana pencatatan biaya produksi tradisional hanya dilakukan pada direct material dan direct labor setiap hasil unitnya. Tetapi berbeda dengan Activity-Based Costing dimana masih banyak biaya-biaya lain yang sebenarnya masih dapat ditelusuri tidak hanya pada hasil unitnya tetapi kepada aktivitas yang diperlukan untuk mengeluarkan hasil tersebut. Pada Activity-Based Costing, dasar yang dipakai untuk mengalokasi biayabiaya overhead disebut drivers. Adapun drivers tersebut antara lain: resources driver adalah sebuah dasar yang dipakai untuk mengalokasi sumber biaya menjadi berbagai aktivitas; activity drivers adalah sebuah dasar yang dipakai untuk mengalokasi biaya aktivitas menjadi produk, pelanggan atau objek biaya akhir lainnya. Sifat dan jenis dari activity drivers inilah yang membedakan Activity-Based Costing dari pembiayaan tradisional. Activity-Based Costing mengenal aktivitas, biaya aktivitas, dan penggerak aktivitas (activity drivers) pada tingkat penjumlahan yang berbeda didalam lingkungan produksi. Keempat tingkat tersebut adalah unit, batch, produk dan plant. Setiap level yang berbeda mempunyai drajat penjumlahan data yang berbeda. Batch 54 terbentuk sebagai akibat penjumlahan dari unit-unit. Produk adalah penjumlahan dari banyak batch. Plant adalah penjumlahan seluruh produk yang ada.

6. Analisis SWOT Analisis
SWOT adalah evaluasi menyeluruh terhadap kekuatan (Strengths), kelemahan (Weakness), peluang (Opportunities), dan ancaman (Threats) dari sebuah perusahaan untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijaksanaan perusahaan. Dengan demikian perencana strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis perusahaan (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal ini disebut dengan Analisis Situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi adalah Analisis SWOT. Penelitian menunjukkan bahwa kinerja perusahaan dapat ditentukan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam analisis SWOT. SWOT adalah singkatan dari lingkungan internal Strengths dan Weaknesses serta lingkungan eksternal Opportunities dan Threats yang dihadapi dunia bisnis. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal Peluang (Opportunities) dan Ancaman (Threats) dengan faktor internal Kekuatan (Strengths) dan Kelemahan (Weaknesses).

Adapun penjelasan keempat kuadran adalah sebagai berikut a. Kuadran 1. Perusahaan memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (Growth oriented strategy). b. Kuadran 2. Perusahaan masih memiliki kekuatan dari segi internal meskipun menghadapi berbagai ancaman. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi diversifikasi (produk atau pasar). c. Kuadran 3. Perusahaan menghadapi peluang pasar yang sangat besar, tetapi di lain pihak, perusahaan tersebut juga menghadapi beberapa kendala atau kelemahan internal. Fokus strategi perusahaan ini adalah meminimalkan masalah-masalah internal perusahaan sehingga dapat merebut peluang pasar yang lebih baik. d. Kuadran 4. Ini merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan, perusahaan tersebut menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal.

Sunday, 11 November 2018

PENGERTIAN EJAAN, MAKSUD DAN TUJUANYA

1. Pengertian Ejaan
Ejaan adalah keseluruhan peraturan bagaimana melambangkan bunyi ujaran dan bagaimana antarhubungan antara lambang-lambang itu (pemisahan dan penggambungannya dalam suatu bahasa). Secara teknis, yang dimaksud dengan ejaan ialah penulisan huruf, penulisan kata, dan pemakaian tanda baca (Arifin, 2008: 164). Ejaan adalah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana ucapan atau apa yang dilisankan oleh seseorang ditulis dengan perantara lambang-lambang atau gambargambar bunyi. Menurut Suyanto (2011: 90) Ejaan adalah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana ucapan atau apa yang di-lisankan oleh seseorang ditulis dengan perantara lambanglambang atau gambar-gambar bunyi. Ejaan adalah keseluruhan peraturan dalam melambangkan bunyi-bunyi ujaran, menempatkan tanda-tanda baca, memotong suku kata, dan menghubungkan kata-kata (Suryaman dalam Rahayu, 1997: 15). Ejaan yang Disempurnakan adalah ejaan bahasa Indonesia yang berlaku sejak tahun 1972. Ejaan ini menggantikan ejaan sebelumnya, Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi. Ejaan bahasa Indonesia yang berlaku sejak 1972 sampai saat ini ialah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan atau dikenal dengan singkatan EYD. EYD di-resmikan pemakaiannya sejak Agustus tahun 1972 berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 57 Tahun 1972. Dilihat dari usianya, implementasi EYD dalam penulisan sudah cukup lama karena lebih dari tiga dasawarsa. Namun, kenyataanya menunjukkan bahwa sampai saat ini masih sering dijumpai tulisan yang tidak taat asas atau menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan.

1.1 Pemakaian Huruf Kapital
Terdapat 15 cara pemakaian huruf kapital. Dalam penulisan karya tulis ilmiah, sering terjadi penyimpangan pemakaian huruf kapital terutama yang berkaitan dengan penulisan nama orang serta galar dan pangkat, hal-hal geografis, harihari besar atau peristiwa bersejarah, nama badan atau lembaga, judul dan singkatan. Dalam buku pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD), huruf kapital dipakai dalam hal berikut ini:
1. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama kata awal kalimat. Contoh: Kenaikan bahan pokok disebabkan oleh kelangkaan BBM. Bencana tanah longsor (landslide) merupakan bencana yang cukup sering terjadi di Indonesia. Pada contoh di atas, huruf K dan B adalah huruf pertama pada awal kalimat, sehingga huruf K dan B harus menggunakan huruf kapital.

2. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama petikan langsung.
Contoh: Naira menasihatkan, “Jangan lewat di tempat itu, Nak?” “Kemarin engkau terlambat,” katanya. Pada contoh di atas, kalimat dalam tanda petik merupakan petikan langsung atau pernyataan langsung dari seseorang, biasanya petikan langsung ditulis dalam cerita rekaan atau berita di media cetak, sehingga huruf pertamanya harus menggunakan hufuf kapital.

3. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama dalam ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan dan kitab suci, termasuk kata ganti untuk Tuhan. 
Contoh:
  • Tuhan akan menunjukkan jalan yang benar kepada hamba-nya.
  • Bimbinglah hamba-Mu, ya Tuhan, ke jalan yang Engkau beri rahmat. Pada contoh di atas, kata –Nya, -Mu, Engkau merupakan kata ganti untuk tuhan, sehingga huruf pertamanya harus menggunakan huruf kapital.
  • Setiap mengaji anak TPA selalu membawa Al-Quran. Pada contoh di atas, Al-Quran merupakan nama kitab suci dari agama Islam, sehingga setiap awal unsur katanya harus menggunakan huruf kapital.
4. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang. Contoh: Naira menasihatkan, “Jangan lewat di tempat itu, Nak?” “Kemarin engkau terlambat,” katanya.

3. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama dalam ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan dan kitab suci, termasuk kata ganti untuk Tuhan Contoh: Tuhan akan menunjukkan jalan yang benar kepada hamba-nya

4. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang. contoh; Pada contoh di atas, mahaputra merupakan nama gelar kehormatan, dan kata mahaputra diikuti nama orang yaitu Yamin, sehingga huruf pertama harus menggunakan huruf kapital.

5. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau yang dipakai sebagai pengganti nama orang tertentu, nama instansi, atau nama tempat. Contoh: Menteri Pendidikan RI M. Nuh mengunjungi sekolah darurat di Jakarta.

6. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama unsur-unsur nama orang

7. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa.

2. Penulisan Kata
Kesalahan penulisan kata yang diatur di dalam EYD dan sering dijumpai dalam penulisan ilmiah, antara lain, penulisan kata berimbuhan, penulisan kata depan, dan penulisan kata gabung. Begitu pula, kesalahan penulisan partikel per dan pun sering dijumpai dalam tulisan ilmiah. Penyimpangan penulisan kata depan seperti bentuk di dan ke yang dikacaukan dengan bentuk di- dan ke- sebagai awalan sehingga penulisannya terbalik.

Dalam buku pedoman Ejaan Bahasa yang Disempurnakan (EYD), penulisan kata meliputi; (1) kata dasar, (2) kata turunan, (3) bentuk ulang, (4) gabungan kata, (5) kata ganti -ku, -kau, -mu, dan -nya, (6) kata depan di, ke, dan dari, (7) kata si dan sang, (8) partikel, (9) singkatan dan akronim, (10) angka dan lambang bilangan. Dalam skripsi ini, penulis hanya membatasi pada penulisan kata depan di dan ke. Kata depan di dan ke ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya kecuali di dalam gabungan kata yang sudah lazim dianggap sebagai satu kata seperti kepada dan daripada.

Contoh:
  • Hujan adalah suatu endapan dalam bentuk padat/cair hasil dari proses kondensasi uap air di udara yang jatuh ke permukaan bumi.
  • Pengukuran curah hujan digital dimana curah hujan langsung terkirim ke monitor komputer. Pada contoh di atas, kata ke berfungsi sebagai kata depan,sehingga kata ke harus ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya.
  • Penelitian ini dilaksanakan di dua sekolah di Kabupaten Sarolangun, yaitu di SLTP Negeri 2 Sarolangun dan SLTP Negeri
Analisis : Berdasarkan paragraf di atas, pada kalimat pertama, dapat dilihat 2 cara penulisan bentuk di, yaitu disambung dan dipisah. Bentuk di yang penulisannya disambung adalah awalan atau prefiks (dilaksanakan) yang merupakan bentuk pasif dan bisa diaktifkan dngan awalan me- (melaksanakan). Selanjutnya, bentuk di yang penulisannya dipisah adalah kata depan atau preposisi dan biasanya diikuti oleh kata yang menunjukkan tempat, arah, dan tujuan (di dua, di kabupaten Sorolangun, dan di SLTP). Begitu pula, bentuk di pada kalimatkalimat berikutnya. Pada kalimat 2 dan 3 terdapat kata gabung yang penulisannya disambung dan dipisah. Kata gabung sub dan siklus penulisannya disambung (subsiklus) karena bentuk sub hanya dipakai sebagai kombinasi sedangkan kata gabung problem dan posting penulisannya dipisah karena setiap kata pada kedua kata tersebut memiliki arti penuh.

Penggunaan Tanda Baca
Tanda baca merupakan salah satu hal yang penting dalam bahasa tulis.Oleh karena itu, penggunaannya harus tepat. Ditinjau dari definisi, tanda baca adalah lambang-lambang tulisan yang dipergunakan oleh penulis untuk melambangkan perbagai aspek bahasa lisan, yang bukan bunyi-bunyi bahasa (fonem) (Tampubolon dalam Rahayu, 1997: 25). Dalam buku Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD), tanda baca meliputi (1) tanda titik, (2) tanda koma, (3) tanda titik koma, (4) tanda titik dua, (5) tanda hubung, (6) tanda pisah, (7) tanda elipsis, (8) tanda tanya, (9) tanda seru, (10) tanda kurung, (11) tanda kurung siku, (12) tanda petik, (13) tanda petik tunggal, (14) tanda garis miring, (15) tanda penyingkat atau apostrof. Dalam skripsi ini, penulis hanya membatasi pada penggunaan tanda baca titik dan koma.

1. Tanda Titik
  • Tanda Titik Tanda titik dipakai pada akhir kalimat yang bukan pertanyaan atau seruan.
  • Tanda titik dipakai di belakang angka atau huruf dalam satu bagan, ikhtisar, atau daft
  • Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik yang menu jukkan jangka waktu.
  • Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik yang menunjukkan jangka waktu.
  • Tanda titik dipakai di antara nama penulis, judul tulisan yang tidak berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru, dan tempat terbit dalam daftar pustaka
  • Tanda titik tidak dipakai pada akhir judul yang merupakan kepala karangan atau kepala ilustrasi, tabel, dan sebagainya
  • Tanda titik tidak dipakai dibelakang alamat pengirim dan tanggal surat atau nama dan alamat penerima surat.
2. Tanda Koma (,)
a. Tanda koma dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan
  • Tanda koma dipakai untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat serta berikutnya yang didahului oleh kata seperti tetapi atau melainkan.
  • Tanda koma dipakai di belakang kata atau ungkapan penghubung antarkalimat yang terdapat pada awal kalimat. Termasuk di dalamnya oleh karena itu, jadi, lagi pula, meskipun, begitu, dan akan tetapi. 
  • Tanda koma dipakai untuk memisahkan kata seperti, o, ya, wah, aduh, kasihan, dari kata lain yang terdapat di dalam kalimat
  • Tanda koma dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat
  • Tanda koma dipakai di antara (i) nama dan alamat, (ii) bagian-bagian alamat, (iii) tempat dan tanggal, (iv) nama tempat dan wilayah atau negeri yang ditulis berurutan.
  • Tanda koma dipakai untuk menceraikan bagian nama yang dibalik susunannya dalam daftar pustaka.
  • Tanda koma dipakai di antara bagian-bagian dalam catatan kaki. 
  • Tanda koma dipakai di antara nama orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga
  • Tanda koma dipakai di muka angka persepuluhan atau di antara rupiah dan sen yang dinyatakan dengan angka
  • Tanda koma dipakai untuk mengapit keterangan tambahan yang sifatnya tidak membatasi.
  • Tanda koma dapat dipakai untuk menghindari salah baca di belakang keterangan yang terdapat pada awal kalimat.
3. Pengertian Kalimat
Kalimat adalah satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan, yang mengungkapkan pikiran yang utuh secara ketatabahasaan. Dalam wujud lisan, kalimat diucapkan dengan suara naik turun dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri intonasi akhir yang diikuti kesenyapan. Dalam wujud tulisan berhuruf latin, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru. Kalimat adalah rangkaian kata yang dapat mengungkapkan gagasan, perasaan, atau pikiran yang relatif lengkap (Mustakim, 1994: 65). Sejalan dengan pendapat tersebut, Moeliono Darjowidjojo, ed. (2003:35) mengemukakan bahwa kalimat pada umumnya berwujud rentetan kata yang disusun sesuai dengan kaidah yang berlaku. Chaer (1994:240) menyatakan bahwa kalimat adalah satuan sintaksis dari konstituen dasar yang biasanya berupa klausa, dilengkapi konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final. Sedikit berbeda dengan pendapat di atas, Ramlan (1995:27) mengemukakan bahwa kalimat adalah satuan gramatik yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang diasertai nada akhir turun atau naik. Menurut Samsuri (1982:54) dalam bukunya yang berjudul Tata Bahasa Kalimat Indonesia mengemukakan bahwa kalimat ialah untaian berstruktur dari kata-kata.

4. Macam-Macam Kalimat
Kalimat dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, sesuai dengan sudut tinjauannya (1) kalimat menurut bentuknya dibedakan menjadi kalimat tunggal dan kalimat majemuk, (2) kalimat berdasarkan maknanya dibedakan menjadi empat macam: kalimat berita, kalimat perintah, kalimat tanya, dan kalimat seru, (3) kalimat berdasarkan peranan subjeknya dibedakan atas kalimat aktif dan kalimat pasif, dan (4) kalimat berdasarkan kelas kata dan predikatnya dibedakan atas kalimat verbal, kalimat nominal, kalimat adjektival, dan kalimat numeral, (5) kalimat ditinjau dari efektif tidaknya suatu kalimat dibedakan menjadi kalimat efektif dan kalimat tidak efektif. Menurut Chaer (1994:241-251) kalimat dibedakan menjadi lima bagian, yaitu (1) kalimat inti dan kalimat non-inti, (2) kalimat tunggal dan kalimat majemuk, (3) kalimat mayor dan kalimat minor, (4) kalimat verbal dan kalimat nonverbal, dan (5) kalimat bebas dan kalimat terikat sedangkan menurut Moeliono dan Dardjowijojo (1997:32) kalimat dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi bentuknya dan segi maknanya. (1) kalimat ditinjau dari segi bentuknya, kalimat dapat berupa kalimat tunggal dan kalimat majemuk, dan (2) kalimat ditinjau dari segi maknanya dapat dibedakan menjadi kalimat deklaratif atau kalimat berita, kalimat introgatif atau kalimat tanya, kalimat imperatif atau kalimat perintah, kalimat ekslamatif atau kalimat seruan, dan kalimat empatik atau kalimat penegas.

Jenis kalimat dapat ditinjau dari sudut (1) jumlah klausanya, (2) bentuk sintaksisnya, (3) kelengkapan unsurnya, dan (4) susunan subjek dan predikatnya. Berdasarkan jumlah klausanya, kalimat dibagi atas kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Berdasarkan bentuk sintaksisnya, kalimat lazim dibagi atas kalimat deklaratif atau kalimat berita, kalimat introgatif atau kalimat tanya, kalimat imperatif atau kalimat perintah, kalimat eksslamatif atau kalimat seruan. Dilihat dari segi kelengkapan unsurnya, kalimat dapat dibedakan atas kalimat lengkap atau kalimat major dan kalimat tak lengkap atau kalimat minor. Kalimat dari segi susunan subjek dan predikatnya dapat dibedakan atas kalimat biasa dan kalimat inversi (Alwi Hasan dkk, 2003:336-337). Dari berbagai macam kalimat di atas penulis hanya memfokuskan penelitian terhadap kalimat berdasarkan efektif tidaknya suatu kalimat.

5. Kalimat Efektif
1. Pengertian Kalimat Efektif
Kalimat efektif ialah kalimat yang memiliki kemampuan untuk menimbulkan kembali gagasan-gagasan pada pikiran pendengar atau pembaca seperti apa yang ada dalam pikiran pembicara atau penulis. Kalimat efektif ialah kalimat yang memiliki kemampuan untuk menimbulkan kembali gagasan-gagasan pada pikiran pendengar atau pembaca seperti apa yang ada dalam pikiran pembicara atau penulis. Kalimat sangat mengutamakan keefektifan informasi sehingga kejelasan kalimat itu dapat terjamin (Arifin, 2008:97). Kalimat efektif adalah kalimat yang komunikatif, sesuai dengan kaidah kebahasaan yang berlaku, hemat kata dan logis. Kalimat dikatakan efektif jika (1) sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat, (2) memperhatikan unsur kesejajaran (jika kalimat tersebut mengandung rincian), (3) logis, (4) memperhatiakn unsur kecermatan (tidak mengandung kata berlebihan), (5) cermat dalam penggunaan dan pembentukan kata.

Kalimat efektif adalah kalimat yang dapat mengungkapkan gagasan pemakainnya secara tepat dan dapat dipahami oleh pendengar/pembaca dapat memahami pikiran tersebut dengan mudah, jelas, dan lengkap seperti apa yang dimaksud dengan penulis atau pembicaranya (Suyanto, 2011:48). Dapat pula diartikan bahwa kalimat efekktif adalah kalimat yang benar dan jelas yang mudah dipahami orang lain secara cepat. Sebuah kalimat efektif haruslah memiliki kemampuan untuk menimbulkan kembali gagasan-gagasan pada pikiran pendengar atau pembaca seperti yang terdapat pada pikiran penulis atau pembicara (Sabarti Akhadiah, dkk, 1998:116). Menurut (Putrayasa, 2009:47) kalimat efektif adalah kalimat yang mampu menyampaikan informasi secara sempurna karena memenuhu syarat-syarat pembentuk kalimat efektif tersebut. Kalimat efektif adalah suatu jenis kalimat yang dapat memberikan efek tertentu dalam komunikasi. Efek yang dimaksudkan dalam hal ini adalah kejelasan informasi (Mustakim, 1994:85). Badudu (1984:36) mendefinisikan bahwa kalimat efektif adalah bentuk kalimat yang secara sadar, disengaja, dan disusun untuk mencapai intonasi yang tepat dan baik seperti yang ada dalam pikiran pembaca atau penulis.

2. Ciri-ciri KalimatEfektif
Kalimat dikatakan efektif jika (1) sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat, (2) memperhatikan unsur kesejajaran (jika kalimat tersebut mengandung rincian), (3) logis, (4) memperhatikan unsur kehematan (tidak mengandung kata yang berlebihan), (5) cermat dalam penggunaan dan pembentukan kata. Suatu kalimat dapat dikataan efektif apabila dapat mengungkapkan gagasan pemakainya secara tepat dan dapat dippahami secara tepat pula oleh pembaca atau pendengar. Oleh sebab itu, kalimat efektif memiliki ciri-ciri yang khas, yaitu (1) kesepadanan struktur, (2) keparalelan bentuk, (3) ketegasan makna, (4) kehematan kata, (5) kecermatan penalaran, (6) kepaduan gagasan, (7) dan kelogisan bahasa (Arifin, 2008:97). Kalimat efektif menurut (Putrayasa, 2009:54) memiliki empat sifat/ciri, yaitu (1) kesatuan, (2) kehematan, (3) penekanan, (4) kehematan dalam mempergunakan kata, dan (5) kevariasian sedangkan menurut (Mustakim, 1994:90) kalimat efektif memiliki kriteria sebagai berikut, (1) kelengkapan, (2) kesejajaran, (3) penekanan, dan (4) variatif.
  • Kesepadanan Yang dimaksud dengan kesepadanan ialah keseimbangan antara pikiran (gagasan) dan struktur bahasa yang dipakai. Kesepadanan kalimat ini diperlihatkan oleh kesatuan gagasan yang kompak dan kepaduan pikiran yang baik.
  • Kepararalelan Yang dimaksud dengan keparalelan adalah kesamaan bentuk kata yang digunakan dalam kalimat itu. artinya, kalau bentuk pertama menggunakan nomina, bentuk kedua dan seterusnya juga harus menggunakan nomina. Kalau bentuk pertama menggunakan verba, bentuk kedua juga menggunakan verba.
  • Ketegasan Yang dimaksud dengan ketegasan atau penekanan ialah suatu perlakuan penonjolan pada ide pokok kalimat. Dalam sebuah kalimat ada ide yang perlu ditonjolkan. Kalimat itu memberi penekanan atau penegasan pada penonjolan itu. ada berbagai cara untuk membentuk penekanan dalam kalimat.
  • Kehematan Yang dimaksud dengan kehematan dalam kalimat efektif adalah hemat mempergunakan kata, frasa, atau bentuk lain yang dianggap tidak perlu. Kehematan tidak berarti harus menghilangkan kata-kata yang dapat menambah kejelasan kalimat. Penghematan di sini mempunyai arti penghematan terhadap kata yang memang tidak diperlikan, sejauh tidak menyalahi kaidah tata bahasa.
  • Kecermatan Yang dimaksud dengan cermat adalah bahwa kalimat itu tidak menimbulkan tafsiran ganda, dan tepat dalam pilihan kata. Perhatikan kalimat berikut.
  • Kepaduan Yang dimaksud dengan kepaduan ialah kepaduan pernyataan dalam kalimat itu sehingga informasi yang disampaikannya tidak terpecah-pecah
  • Kelogisan Yang dimaksud dengan kelogisan ialah bahwa ide kalimat itu dapat diterima oleh akal dan penulisannya sesuai dengan ejaan yang berlaku.
2.6 Skripsi
Karangan ilmiah sebetulnya tidak jauh berbeda dengan karangan lain. Seperti karangan jurnalistik atau laporan perjalanan. Hanya penyusunan karangan ilmiah mengikuti metode ilmiah yang terdiri atas langkah-langkah untuk mengorganisasikan dan mengatur gagasan melalui pemikiran yang konseptual dan prosedual yang disepakati oleh para ilmuan. Karangan ilmiah adalah karangan ilmu pengetahuan yang menyajikan fakta dan ditulis menurut metodologi penulisan yang baik dan benar (Brotowidjoyo, 1982: 120) Karangan ilmiah terdiri atas berbagai jenis salah satunya adalah skripsi. Skripsi adaalah karya tulis ilmiah yang mengemukakan pendapat penulis berdasarkan pendapat orang lain (Zainal, 2000: 3). Skripsi adalah juga suatu naskah teknis. Pada umumnya skripsi merupakan pula sebagai syarat untuk memperoleh suatu gelar (derajat akademis) doktorandus atau setinkat, dengan titik berat sebagai latihan menulis karangan bagi calon sarjana (Brotowidjoyo, 1982: 138) pendapat yang diajukan harus didukung oleh data dan fakta empiris, objektif, baik berdasarkan penelitian langsung (observasi lapangan) maupun penelitian tidak langsung (studi kepustakaan). Skripsi ditulis untuk melengkapi syarat guna memperoleh gelar sarjana dan penyusunannya dibimbing oleh seorang dosen atau oleh suatu tim yang ditunjuk suatu lembaga pendidikan tinggi.