INTEGRITAS DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN
Aktivitas bisnis adalah tentang pengambilan keputusan. Tidak ada yang dapat dilakukan di dalam suatu kegiatan bisnis tanpa melakukan pengambilan keputusan yang bentangnya sangat lebar, dari yang sifatnya mayor hingga minor, dari yang berkaitan murni keuntungan bisnis hingga berkaitan dengan moral. Berbicara tentang moralitas di dalam organisasi, integritas telah menjadi salah satu istilah penting dalam etika bisnis yang terus dibahas dan digunakan penerapannya di dalam organisasi.
masyarakat, atau organisasi di mana seseorang berada. Hal ini menjadikan integritas suatu hal yang relatif tergantung pada lingkup peran seseorang. Dalam sudut pandang ini, bahkan seseorang yang mangkir dari tugasnya di kantor demi pergi bertamasya untuk memuaskan kesenangan pribadi tetap dapat dikatakan berintegritas. Hal ini disebabkan karena konsep ini menekankan integritas sebagai kesesuaian tindakan seseorang dengan prinsip atau nilai tertentu yang dipilihnya.
Konsep ini agaknya akan menemui kesulitan ketika seorang yang mangkir tersebut dibandingkan dengan dengan karyawan lain yang disiplin terhadap tugas yang diberikan kepadanya. Keduanya dapat dikatakan berintegritas meski berada pada konteks yang berbeda dan ini tampak tidak adil. Meski demikian, satu hal yang penting dicatat dari konsep ini adalah bahwa integritas meliputi komitmen seseorang terhadap suatu prinsip.
Integritas juga telah didefinisikan dengan menekankan konsistensi moral, keutuhan pribadi, atau kejujuran (di dalam bahasan akademik misalnya) (Jacobs, 2004). Di dalam penelitian di bidang seleksi karyawan, tes terhadap integritas dilakukan dengan mengukur beberapa variabel yang di antaranya adalah kejujuran dan penalaran moral (Berry, Sackett, Wiemann, 2007; Ones, Viswesvaran, Schmidt, 1995). Kejujuran seakan menjadi bagian tak terpisahkan dari bahasan tentang integritas. Di dalam literatur tentang organisasi dan sumber daya manusia, integritas paling sering dikaitkan dengan kejujuran individu (Yulk & Van Fleet, 1992).
Hal yang sama juga dilakukan oleh Butler dan Cantrell (1984, di dalam Hosmer, 1995) yang mengartikan integritas sebagai reputasi dapat dipercaya dan jujur dari seseorang untuk menjelaskan istilah “kepercayaan” di dalam konteks organisasi. Integritas juga ditempatkan sebagai sebagai inti etika keutamaan yang digagas oleh Solomon (1992) dengan menyebut integritas tidak hanya tentang otonomi individu dan kebersamaan, tetapi juga loyalitas, keserasian, kerjasama, dan dapat dipercaya.
Meski demikian, apakah memang integritas dapat disamakan dengan kejujuran ataukah sifat dapat dipercaya? Lain lagi, DeGeorge (1993) berpendapat bahwa bertindak dengan integritas dan bertindak etis adalah sinonim, meski secara literal tidak ada konotasi moral di dalamnya. Satu hal yang tidak menjadi kontroversi di dalam literatur etika bisnis tentang konsepsi istilah integritas mungkin hanyalah bahwa integritas adalah suatu hal yang baik dan penting di dalam kehidupan organisasi (Audi & Murphy, 2006).
Integritas Sebagai Bentuk Loyalitas
Dalam etika objektivisme, integritas diartikan sebagai loyalitas terhadap prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang rasional (Peikoff, 1991). Meski objektivisme sendiri sebenarnya mendapat banyak kritik ketika digunakan sebagai pondasi dasar pengembangan etika karena sifat etikanya yang egoistik (lihat Rand, 1964; dan keberatan terhadap objektivisme dalam Barry & Stephens, 1998), aksioma objektivisme dapat membantu mengembangkan konsep integritas. Pada intinya, objektivisme menekankan bahwa realitas berada terpisah dari kesadaran manusia dan manusia yang berkesadaran itu berhubungan dengan realitas melalui akal budinya melalui proses pembentukan konsep dan logika. Dan karena memiliki kesadaran dan akal budi, manusia memiliki kemampuan untuk berpikir atau tidak berpikir, dan karenanya dapat memilih alternatif-alternatif tindakan yang ada.
Hasil identifikasi isu-isu moral menghasilkan suatu gambaran dilema moral beserta alternatif tindakan yang dapat dilakukan. Pengambilan keputusan tindakan mana yang sebaiknya diambil bukanlah sebuah proses pemilihan secara acak. Pemutusan harus berdasarkan penalaran yang tepat yang memperhatikan prinsip-prinsip moral yang relevan di dalam proses penalaran etis. Alternatif tindakan yang telah diambil pun membutuhkan ketetapan hati maupun dorongan untuk melakukannya. Itulah yang disebut motivasi etis yang kemudian diikuti oleh implementasi etis di mana alternatif tindakan yang dipilih dilakukan secara nyata.
Integritas terjadi ketika implementasi tindakan yang dilakukan konsisten dengan prinsip moral yang digunakan sebagai pegangan dalam membuat keputusan di tahap penalaran etis yang di dalamnya kesadaran moral berperan secara dominan. Itu sebabnya konsistensi terhadap prinsip moral disebut sebagai integritas moral. Kohlberg (1995) menekankan pentingnya perhatian kepada kesadaran moral ini untuk memahami bagaimana keputusan etis diambil dan juga alasan etis mengapa seseorang mengambil keputusan tertentu (Rest, 1986; Trevino, 1992). Satu hal yang mendasar dari konsep ini adalah bahwa kesadaran moral tidak ditentukan oleh perasaan, melainkan oleh kemampuan intelektual, yaitu kemampuan untuk memahami dan mengerti sesuatu secara rasional (Magnis-Suseno, 2000).
Dalam menjelaskan teori ini, Kohlberg tidak berbicara tentang prinsip moral tertentu, tidak bicara tentang apa yang benar dan tidak secara moral, melainkan meneliti kompetensi untuk memberikan penalaran etis. Ia tidak mengatakan apakah tindakan seorang nenek mencuri susu demi cucunya yang kelaparan, misalnya, adalah etis atau tidak etis, melainkan apakah tindakan mencuri susu itu disetujui ataupun tidak disetujui dibenarkan secara memadai (Arbuthnot & Faust, 1980).
Di dalam tipologi yang dikembangkan oleh Kohlberg, ada tiga tingkat dasar penalaran berbeda terhadap isu moral, yang masing-masing dinamai tingkat pre-conventional, conventional, dan postconventional. Tiap tingkatan tersebut masing-masing memiliki dua tahap yang menjadikan seluruhnya ada enam tahap penalaran. Semua tingkat dan tahap ini dapat dipandang sebagai pemikiran moral sendiri, pandangan yang berbeda mengenai dunia sosio-moral (Crain, 1985).
Pada tingkat pre-conventional, yang meliputi tahap 1 dan 2, seorang individu memahami pengertian benar dan salah berdasarkan konsekuensi yang diterimanya, misalnya hukuman, hadiah, atau pemenuhan kebutuhan pribadi. Secara ringkas, tahap pertama digambarkan sebagai orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman. Pada tahap pertama, seseorang mengasosiasikan penilaian baik dan buruk dengan konsekuensi fisik dari suatu tindakan.
Ketika seseorang menerima hukuman atasl. tindakannya, maka ia akan memahami bahwa tindakannya itu salah. Dibandingkan dengan modus penalaran tahap pertama, tahap kedua merepresentasikan penalaran yang menilai apa yang baik itu dalam rangka pemenuhan kepentingan pribadi seseorang. Orang mulai dapat memahami bahwa orang lain memiliki kebutuhan individualnya sendiri dan bahwa organisasi sosial dibangun atas dasar pertukaran seimbang antara kepentingan satu orang dengan kepentingan orang lain. Baik penalaran pada tahap pertama dan kedua ini bersifat egosentrik.
Pada tingkat konvensional, yaitu tahap 3 dan tahap 4, individu memahami benar atau tidak secara moral sebagai kesesuaian keputusan yang diambil dengan harapan orang lain atas dirinya, baik dalam menolak menerima uang suap karena ia terikat sumpah jabatan institusinya (kesadaran moral tahap 4) dapat dikatakan berintegritas? Ini adalah pertanyaan penting yang perlu dipecahkan untuk menjawab bagaimana integritas moral harus dimaknai.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, tidak seperti Mayer, Davis, & Schoorman (1995) dan TrevinyoRodrÃguez (2007), para kaum obyektivis menilai bahwa tindakan berintegritas moral harus mengacu kepada prinsip dan nilai moral yang objektif, terlepas dari kerangka individu, sosial, maupun organisasi. Obyektivitas prinsip dan nilai moral itu mengandaikan bahwa prinsip dan nilai moral itu berada terlepas dari kesadaran manusia sehingga eksistensinya berdiri secara otonom dari eksistensi manusia.
Manusia menangkap prinsip dan nilai moral melalui akal budinya dan kemampuannya untuk memilih. Kedua, obyektivitas prinsip dan nilai moral harus mengandaikan bahwa prinsip dan nilai moral itu karenanya bersifat universal, yaitu berlaku bagi semua manusia dan melampaui batasan waktu. Ada atau tidaknya kesepakatan dan persetujuan publik tentang suatu prinsip dan nilai moral tidak mempengaruhi keberadaan prinsip dan nilai moral tersebut.
Konsep ini bersama dengan teori tahap perkembangan kesadaran moral akan berujung pada kesimpulan bahwa integritas moral baru dapat terpenuhi ketika keputusan dan perilaku seseorang dilandasi oleh pemahaman prinsip moral pada tahap perkembangan moral keenam. Pada tahap keenam ini, orientasi nilai integritas benar-benar mengarah kepada prinsip moral universal yang secara otonom dipilih dan dijadikan pegangan (Wisesa, 2009).
Pada tahap ini, misalnya, seorang mahasiswa memilih untuk tidak mencontek bukan karena enggan menerima konsekuensi nilai nol, atau ikut-ikutan teman-temannya, atau kewajiban sebagai mahasiswa, atau lainnya, tetapi karena loyalitas kepada nilai kejujuran. Nilai kejujuran sendiri adalah salah satu prinsip moral universal yang kepadanya norma-norma moral di tatanan masyarakat dan budaya mengacu. Apa yang secara etis benar di tahap keenam adalah bertindak sejalan dengan prinsip-prinsip yang dipegang secara otonom yang mencakup lingkup seluruh manusia pada seluruh kurun waktu. Prinsip universal ini diikuti bukan karena disetujui secara komunal di dalam kontrak sosial, tetapi karena berasal dari kesamaan hak asasi manusia dan rasa hormat terhadap kemanusiaan dan martabat individu.
Bagaimana menentukan apakah suatu tindakan sejalan dengan apa yang dipercaya berlaku secara universal? Kohlberg mengajukan dua konsep etika yang sejalan dengan modus yang dimaksudkannya di dalam tahap keenam, yaitu the golden rule dan imperatif kategoris. The golden rule berisi aturan yang menganjurkan seseorang untuk tidak melakukan pada orang lain apa yang ia tidak mau orang lain lakukan kepada dirinya. Aturan ini dibangun di atas konsep kesamaan derajat, harkat, dan martabat semua manusia. Semua orang setara dan memiliki nilai kemanusiaan yang sama tanpa memandang latar belakang ras, suku bangsa, usia, jenis kelamin, pekerjaan, status, dan lainnya. Oleh karena itu semua orang harus menghargai orang lain setidaknya sama seperti ia menghargai dirinya.
Imperatif kategoris sendiri adalah konsep yang dipopulerkan oleh Immanuel Kant (1785/1996). Meski mirip dengan the golden rule, tetapi keduanya berbeda. The golden rule menuntut bahwa tindakan seseorang disesuaikan dengan standar dirinya sendiri, sebaliknya imperatif kategoris mengandaikan standar yang berlaku di mana pun dan kapan pun. Ia menyatakan bahwa seseorang harus selalu.
Hal ini juga sekaligus menjadi bantahan bagi DeGeorge (1993) yang berpendapat bahwa bertindak dengan integritas dan bertindak etis adalah sinonim. Bertindak dengan integritas memang dapat dipahami sebagai sebuah tindakan etis, bahwa bertindak dengan integritas diharapkan dan dinilai memiliki kadar moral oleh masyarakat, tetapi terlalu cepat bila mengatakan bahwa bertindak dengan integritas bersinonim dengan bertindak etis. Bertindak etis mengandaikan adanya tindakan, yaitu aktualisasi ide tentang moralitas ke dalam tindakan.
Meskipun di satu sisi kebaikan itu memiliki nilai absolut, tetapi di sisi lain kebaikan itu dapat bernilai relatif. Hal ini sebenarnya tergambar di dalam teori perkembangan moral Kohlberg, perilaku yang sama dapat memiliki kadar moral yang berbeda tergantung dari kapasitas moral kognitif seseorang yang melakukannya. Berbicara jujur, misalnya, dapat dikategorikan sebagai sebuah tindakan etis. Hanya saja nilai moral dari tindakan tersebut bernilai moral berbeda, misalnya ketika tujuan dari berbicara jujur itu dilakukan demi mendapatkan pujian bila dibandingkan berbicara jujur yang dilakukan demi nilai kejujuran itu sendiri. Kedua, di lain pihak, perilaku yang sama dapat dipersepsi berbeda kadar moralnya oleh orang atau masyarakat yang berbeda.
Kejujuran meski memiliki nilai moral universal, tetapi prinsip moral yang diturunkan darinya, seperti misalnya berbicara jujur tidak selalu dipandang sebagai tindakan etis. Dapat dikatakan bahwa tindakan etis mengacu kepada prinsip moral yang berlaku pada sistem sosial tertentu. Pada titik ini tindakan etis tidak selalu bersinonim dengan bertindak dengan integritas karena bertindak dengan integritas mengandaikan tindakan yang mengacu kepada prinsip dan nilai moral yang universal. Dengan demikian, tidak tepat bila menyamakan bertindak dengan integritas dengan bertindak etis.
Daftar Pustaka;
- Kohlberg, L. (1995). Tahap-tahap Perkembangan Moral, diterjemahkan oleh John de Santo dan Agus Cremers, Yogyakarta: Kanisius.
- Magnis-Suseno, F. (2000). 12 Tokoh Etika Abad Ke-20, Yogyakarta: Kanisius.
- Mayer, R. C., Davis, J. H., dan Schoorman, F. D. (1995). “An Integrative Model of Organizational Trust”, Academy of Management Review, Vol 20, pp 709-734.
- McFall, L. (1987). “Integrity”, Ethics, Vol 98, pp 5-20.
- McShane, S. L. dan M. A. Von Glinow (2003). Organizational Behavior, 2 ed, Boston: McGraw-Hill Irwin.
- Morrison, A. (2001). “Integrity and Global Leadership”, Journal of Business Ethics, Vol. 1 (May), pp 65- 76.
- Ones, D. S., Viswesvaran, C., dan Schmidt, F. L. (1995). “Integrity Tests: Overlooked Facts, Resolved Issues, and Remaining Questions”, American Psychologist, Vol. 50, pp 456-457.
- Paine, L. S. (1994). “Managing for Organizational Integrity”, Harvard Business Review, March-April, pp 106-117.